Mengembangkan Seni Inovasi
"Dari semua kualitas yang dimiliki wirausahawan, satu yang bisa selalu Anda lihat—dengan bermacam derajat—adalah kemampuan menjadi inovatif."
(Robert Warlow, Small Business Success)
Wirausahawan atau entrepreneur disebut selalu tampil menghadapi problem dan secara aktif mencari solusi untuk menanggulanginya. Ada kalanya ia memulai satu bisnis dengan menambahkan satu polesan ringan pada satu layanan atau produk untuk membuatnya lebih baik dari sebelumnya.
Robert Warlow dalam situsnya (www.smallbusinesssuccess.biz), antara lain, menyebutkan sejumlah langkah agar orang—tidak harus entrepreneur—bisa bersikap inovatif. Langkah itu adalah orang harus punya sikap ingin tahu. Lainnya adalah "terbuka terhadap ide baru", yang bisa membawa orang pada situasi yang memungkinkannya mendapat stimulasi. Sikap lain yang diusulkan adalah "tidak konvensional", siap menantang hal-hal yang (seolah) tak bisa ditantang. Ringkasnya, menjauhlah dari kerumunan dan jadilah orang aneh.
Sikap keempat yang tak kalah penting adalah "Siaplah selalu" karena ide inovatif bisa datang kapan saja, siang atau malam, dan di mana saja. Tentu saja, masih banyak resep yang ditawarkan untuk menjadi inovatif, seperti "tekun", dan "mau berbagi".
Lalu, seperti apa proses inovasi terjadi? Salah satu contohnya adalah penemuan stiker penanda (misalnya bagian/halaman mana saja pada satu dokumen yang harus ditandatangani, atau catatan "mohon perhatian" tanpa harus mengganggu dokumennya) yang kini dikenal sebagai "Post-It Note". Ide untuk munculnya stiker ini berawal pada tahun 1968, ketika Dr Spence Silver bekerja untuk perusahaan 3M dan mencari adhesif/stiker jenis baru. Yang tersirat di benaknya waktu itu adalah barang yang cukup nempel, tetapi tidak sampai membuatnya melekat kuat ke barang yang ditempeli. Barang itu tidak biasa dan ia juga tidak tahu akan digunakan sebagai apa.
Barulah tahun 1973, setelah ia bercerita tentang ide itu kepada orang lain, ada kemajuan berarti. Rekannya di perusahaan yang sama, Geoff Nicholson mempromosikan penggunaan stiker baru itu untuk dipasang di papan pengumuman. Toh, orang belum banyak yang memerhatikan.
Baru setelah karyawan 3M lain—Art Fry—melihatnya, muncul cahaya terang. Sebagaimana orang lain, ia juga melihat produk itu, tetapi tidak sebagaimana orang lain, ia lalu berjuang untuk membuat lompatan terakhir. Adhesif yang tidak lengket itu pun menemukan jalan penggunaannya. Stiker yang bisa digunakan menandai buku tanpa harus merusak dan menutupi halaman buku secara permanen.
Riwayat Post-It Note cocok dengan prinsip inovasi: rasa ingin tahu, ketekunan, berbagi penemuan, siap menerima keanehan (dalam hal ini: lem yang tidak nempel). Semua ada pada perkembangan produk sederhana, tapi banyak manfaatnya ini.
Inovasi "par excellence"
Sebagian orang menganggap dari segi ketinggian nilainya, inovatif masih kalah dibandingkan dengan kreatif. Dulu sempat muncul analisis tentang mengapa pemenang hadiah Nobel asal Jepang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pemenang asal Amerika. Penjelasannya adalah ilmuwan Amerika lebih kreatif dibandingkan ilmuwan Jepang.
Sebaliknya, bangsa Jepang lebih dikenal sebagai inovator terkemuka. Salah satunya terbukti pada penciptaan pemutar CD (compact disc). Ketika berkunjung ke pabrik Philips di Eindhoven, Belanda, penulis mendengar cerita bahwa mereka menemukan teknik penggunaan laser untuk pemutar CD, tetapi Sony-lah yang pada awal dekade 1980-an itu sukses membuat pemutar CD.
Bila kreatif dikaitkan dengan munculnya sesuatu dari yang semula tidak ada, inovatif dikaitkan dengan aktivitas memasukkan hal baru pada hal yang sudah ada.
Dewasa ini, banyak kalangan yang terpesona oleh inovasi yang diperlihatkan oleh perusahaan Amerika, Apple. Pertama, kekaguman berasal dari fakta bahwa perusahaan ini sesungguhnya mau roboh satu dasawarsa silam, namun kini tidak saja bangkit lagi, tetapi bahkan menjadi perusahaan ikonik. Kalau melihat salah satu produk perusahaan ini yang amat masyhur, yakni iPod, tampak bahwa nama perusahaan tertulis kecil saja, tetapi lambang buah Apple yang tidak utuh, seperti habis digigit, itu sudah amat tersohor.
Reputasi Apple, seperti diulas dalam The Economist (9/6), mungkin saja muncul dari bagaimana salah seorang pendirinya, Steve Jobs, kembali ke perusahaan ini tahun 1997 (setelah berada di luar selama bertahun-tahun) dan membuat langkah hebat untuk menyelamatkan perusahaan. Namun, yang mengundang decak kagum adalah reputasi yang terkait dengan kemampuannya menelurkan produk baru. Dalam jajak pendapat untuk perusahaan paling inovatif di dunia, Apple selalu keluar sebagai urutan teratas. Dimulai dari komputer pertamanya tahun 1977 sampai Macintosh yang dilengkapi mouse tahun 1984, hingga iPod tahun 2001, dan kini iPhone, yang mulai dijual di Amerika bulan ini.
Menurut The Economist, dari Apple ada empat pelajaran penting yang dapat disimak.
Yang pertama, inovasi bisa datang dari dalam maupun dari luar. Pada satu sisi, Apple masih sering dianggap mengikuti tradisi inovasi yang juga dikembangkan oleh Thomas Alva Edison dan Bell Laboratories, di mana para insinyurnya dikonsinyasi untuk menelurkan ide baru dan mendasarkan produk pada hadirnya ilham. Padahal, kenyataannya, keterampilan sejatinya ada pada kemampuan menggabungkan ide sendiri dengan teknologi dari luar, lalu membungkusnya dalam perangkat lunak yang elegan dan desain produk yang cantik (stylish).
Ide iPod, misalnya, aslinya muncul dari konsultan yang disewa untuk menangani proyek alat main musik ini, dan yang akhirnya muncul dengan menggabungkan bahan dari luar dan racikan dari dalam adalah produk yang khas dengan sistem kendali yang amat mudah itu.
Rumus kedua inovasi Apple adalah bahwa pembuatan produk tidak didasarkan pada tuntutan teknologi, tetapi pada kebutuhan pengguna. Lihat iPod. Ia bukan alat main musik digital pertama, tetapi iPod-lah yang menjadikan pemindahan dan pengelolaan musik, juga membelinya secara online, cukup mudah untuk dilakukan oleh hampir semua orang yang menggunakannya. Demikian pula iPhone, ia bukan handphone pertama yang memasukkan pemutar musik, web browser, atau e-mail.
Pelajaran ketiga adalah, perusahaan kadang perlu mengacuhkan apa yang oleh pasar dikatakan dibutuhkan sekarang. Dikisahkan bahwa iPod dulu diolok-olok saat diluncurkan tahun 2001. Akan tetapi, Steve Jobs tetap pada keyakinannya dan terbukti kini amat sukses.
Yang keempat, Apple mengajarkan arif dalam menyikapi kegagalan. Apple pernah mengalami kegagalan, seperti pada produk Lisa (yang lalu jadi Macintosh). Pesan Apple, jangan menstigmasi kegagalan, tetapi bertoleransilah, dan memetik pelajaran darinya.
The Economist akhirnya menyimpulkan, memang semua kearifan di atas—membeli ide pintar, berorientasi pada kemudahan, pada kebutuhan pengguna, dan belajar dari kegagalan—bukan jaminan sukses bila diterapkan. Siapa bisa menjamin sukses iPhone? Namun, setidaknya untuk saat ini, sulit membayangkan sebuah perusahaan besar yang demikian sukses mempraktikkan seni inovasi lebih baik dari Apple.
Itulah wacana tentang inovasi yang diwujudkan secara mengesankan oleh perusahaan yang produknya saat ini demikian lekat pada jutaan orang di seluruh dunia, tua dan muda.
No comments:
Post a Comment