Tuesday, August 28, 2007

Religi : Jangan Melalaikan SHOLAT

Akibat Melalaikan Shalat

Sayyid Ali bin Thawus meriwayatkan bahwa panutan seluruh wanita, Fathimah ra, putri panutan seluruh nabi, bertanya kepada ayahandanya, Muhammad SAW, "Ayahanda, apa yang akan didapat oleh orang -baik laki-laki ataupun perempuan- yang mengabaikan shalatnya?"

Rasulullah SAW menjawab, "Fathimah putriku, barangsiapa - baik laki-laki ataupun perempuan - mengabaikan shalatnya, maka Allah SWT akan mengujinya dengan 15 ujian. Enam diantaranya ditimpakan di dunia; tiga diantaranya ditimpakan ketika dia mati; tiga diantaranya ditimpakan di dalam kubur dan tiga lagi ditimpakan pada hari Kiamat, tatkala dia keluar dari kuburnya.

Enam ujian yang ditimpakan kepadanya di dunia adalah:
1. Allah akan menghilangkan keberkahan dari umurnya,
2. Allah akan menghilangkan keberkahan dari rezkinya,
3. Allah akan menghapus tanda-tanda kesalehan dari wajahnya,
4. semua amal yang pernah ia kerjakan tidak akan diberi pahala,
5. do'anya tidak akan diangkat ke langit
6. dia tidak mendapat bagian apapun dari do'a yang dipanjatkan oleh orang-orang saleh

Tiga ujian yang ditimpakan ketika dia mati adalah:
1. dia akan mati dalam keadaan hina
2. dia akan mati dalam keadaan lapar
3. dia akan mari dalam keadaan haus, meski air dari seluruh sungai dunia diberikan kepadanya, hausnya tidak akan reda.

Tiga ujian yang ditimpakan di kuburnya adalah:
1. Allah menyerahkannya kepada malaikat yang akan menyusahkannya dalam kuburnya
2. Allah menyempitkan kuburnya
3. Allah menggelapkan kuburnya

Adapun tiga ujian yang ditimpakan pada hari kiamat ketika dia keluar dari kuburnya adalah:
1. Allah menyerahkannya pada malaikat yang akan menyeret kepalanya disaksikan oleh seluruh makhluk
2. Allah menghisabnya dengan berat
3. Allah tidak akan melihatnya dan tidak akan menyucikannya, dan dia akan dapat siksa yang amat pedih.
Mustadrak Al-Wasa'il, juz 3 hal 24)

(Dikutip dari buku "Wasiat Nabi kepada Fathimah")

Sudut pandang : Karyawan Vs Pengusaha [ soal GAJI ]


Keputusan untuk menaikkan gaji ataupun tunjangan karyawan bukanlah langkah yang lazim diambil perusahaan sebagai sebuah strategi “bertumbuh”.

Sekali keputusan diambil, semenjak itu pula biaya tambahan menjadi “pasti” dan tidak mungkin “turun”, sementara jaminan peningkatan “omzet”, belum tentu terjadi.

Disisi lain, ketidak mampuan perusahaan untuk memenuhi tuntutan kenaikan gaji karyawan akibat pengaruh inflasi beresiko menurunkan kinerja karyawan.

Penurunan kinerja karyawan berarti pula melambatnya laju pertumbuhan usaha atau lebih buruk lagi menjadikan perusahaan semakin uzur dan renta (pinjam syair Ebiet G. Ade).

Apa yang dapat perusahaan dan karyawan lakukan ?

Bersinergilah antara perusahaan dan karyawan secara sehat.

Bagi perusahaan, berfokuslah hanya pada “penyempurnaan” sistem sedang bagi karyawan berfokuslah hanya pada “peningkatan” kompetensi.

Gunakan alat manajemen seperti ISO, Balance Score Card, Kaizen dsb. benar benar sebagai alat peningkatan manajemen, bukan tujuan. Dan karena yang menjalankan sistem adalah karyawan, berdayakan mereka dan jika perlu fasilitasi karyawan agar “mengerti” bahwa kompetensi dan bekerja secara team adalah kepentingan pribadi mereka. Dengan demikian perusahaan berpotensi terus tumbuh dan mampu mensejahterakan karyawannya dan yang terpenting tentunya “profit” perusahaan berpotensi meningkat.

Demikian halnya dengan karyawan…. Jadikan perusahaan sebagai sarana peningkatan kompetensi. Kalaupun perusahaan diuntungkan dengan kontribusi Anda, itu merupakan konsekwensi logis karena Anda bekerja di perusahaan tersebut. Kalaupun sistem perusahaan sedemikian buruk sehingga kompetensi Anda tidak dihargai, maka penuhi rancangan karir Anda yaitu hanya bekerja di perusahaan yang menghargai kompetensi Anda.

Dengan demikian “harga diri” (dan pendapatan ? ) Anda akan semakin meningkat dan diperhitungkan.

Saturday, August 25, 2007

Kata Bijak untuk jadi lebih BIJAK

Letak Kepuasan. Kepuasan terletak pada usaha, bukan pada hasil. Berusaha dengan keras adalah kemenangan yang hakiki. (Mahatma Gandhi)


Rahasia Kesuksesan. Orang-orang menjadi begitu luar biasa ketika mereka mulai berpikir bahwa mereka bisa melakukan sesuatu. Saat mereka percaya pada diri mereka sendiri, mereka memiliki rahasia kesuksesan yang pertama. (Norman Vincent Peale)


Kesulitan & Kesempatan. Apa perbedaan antara kesulitan dan kesempatan? Perbedaannya terletak pada sikap kita dalam memandangnya. Selalu ada kesulitan dalam setiap kesempatan; dan selalu ada kesempatan dalam setiap kesulitan. (J. Sidlow Baxter)

Mendapatkan Kebahagiaan. Bila kau ingin mendapatkan kebahagiaan dalam satu jam, tidurlah. Bila kau ingin mendapatkan kebahagiaan dalam sehari, pergilah memancing. Bila kau ingin mendapatkan kebahagiaan dalam setahun, mintalah keberuntungan. Bila kau ingin mendapatkan kebahagiaan seumur hidupmu, maka tolonglah orang lain. (Pepatah Cina)

Pukulan Terakhir. Saya melihat seorang pemecah batu sedang memukul sebongkah batu padas sampai seratus kali tanpa kelihatan retak sedikitpun. Tapi, pada pukulan ke seratus satu kali, batu itu pecah menjadi dua. Saya tahu bahwa bukan pukulan yang terakhir itu yang membelah batu, tapi semua pukulan yang sudah dilakukan sebelumnya. (Jacob Riis)


Kerendahan Hati. Kerendahan hati menuntun pada kekuatan bukan kelemahan. Mengakui kesalahan dan melakukan perubahan atas kesalahan adalah bentuk tertinggi dari penghormatan pada diri sendiri. (John Mccloy)

Cinta dan Benci. Cintailah orang yang kau cintai sekedarnya saja; siapa tahu, pada suatu hari kelak, ia akan berbalik menjadi orang yang kaubenci. Dan bencilah orang yang kau benci sekedarnya saja; siapa tahu, pada suatu hari kelak, ia akan menjadi orang yang kaucintai. (Imam Ali R.A.)

Menutup Pintu. Apabila anda menutup pintu terhadap segala kesalahan, maka anda pun juga telah menutup pintu terhadap kebenaran. (Rabindranath Tagore)

Yang dinilai adalah Bagaimana Anda BERSIKAP


Dalam sebuah survey yang dilakukan oleh Anthony P. Carnevale dan kawan kawan tentang “apa yang dikehendaki pemberi kerja dari pekerja barunya”, ternyata kemampuan dasar untuk “belajar” mengatasi pekerjaan merupakan hal yang paling diinginkan.

Selain itu, keterampilan lain yang diinginkan antara lain :

- kemampuan mendengarkan dan komunikasi lisan
- kemampuan beradaptasi dan respon kreatif terhadap hambatan
- kemampuan manajemen pribadi, rasa percaya diri, motivasi dalam meraih sasaran, keinginan pengembangan karir serta kebanggaan terhadap prestasi yang dicapai
- kemampuan berinteraksi antar pribadi, kerjasama dalam kelompok, keterampilan mengatasi perbedaan pendapat
- efektifitas dalam perusahaan, keinginan memberi kontribusi serta potensi kepemimpinan (Anthony P. Carnevale et. al. ,”Workplace Basics: The Skills Employers Want,” U.S. Department of Labor Employment and Training Administration, 1989).

Saya jadi teringat teman saya saat menjalani management trainee di sebuah perusahaan multinasional.

Setelah lolos seleksi tahap awal, ybs. masih harus diseleksi “super ketat” setiap 3 bulan (dengan resiko di-DO) selama periode 1 tahun dengan job desc. “mendevelop” produk produk baru.

Terlihat betapa tegang dan melelahkan ybs. menjalani hari hari sebagai management trainee dan saat akhir tahun dinyatakan “lulus” ybs. menanyakan alasan kelulusan.

Jawaban manajemen sbb. :

“Yang dinilai dari Anda bukanlah kemampuan Anda untuk menemukan produk baru, karena hal tsb. bukanlah tugas seorang management trainee, melainkan tentang bagaimana Anda menyiapkan rencana Anda, bagaimana Anda berkomunikasi, bagaimana Anda bekerja sama atau dengan kata lain tentang bagaimana “sikap” Anda dalam merespon “tantangan” pekerjaan yang diberikan.”

Dikutip dari tulisan Isywara Mahendratto

Thursday, August 23, 2007

Law of Attraction - The Law of Vibration

Law of Attraction - The Law of Vibration

PERINGATAN KERAS: TIPS INI SANGAT MUNGKIN AKAN MENGGUNCANG KEYAKINAN YANG SELAMA INI ANDA PEGANG TEGUH TENTANG KESUKSESAN DAN KEBERHASILAN!

TENTANG KERJA KERAS

Kami sekeluarga, pernah mempekerjakan seorang pembantu rumah tangga, yang kebetulan tetangga kami sendiri, sebagai tenaga pencuci pakaian. Selama belasan tahun, ia bekerja pada keluarga kami dan beberapa keluarga lainnya secara bergiliran, dengan penuh dedikasi dan kesetiaan.

Beberapa tahun yang lalu, ia pensiun karena kendala fisik yang dialaminya. Tangan dan kakinya tak lagi mampu bersentuhan dengan dinginnya air untuk lebih dari beberapa menit saja. Setiap kali tangan dan kakinya tersaput air, ia akan merasakan ngilu yang sangat luar biasa, tak hanya di tangan dan kakinya, tapi juga di seluruh tubuhnya.

Sebagai pekerja super keras, Saya melihatnya sebagai contoh yang sangat nyata. Kendala fisik di atas sebagai muara dari kerasnya ia bekerja, adalah sebuah ironi tentang fenomena kerja keras.

Apakah setelah semua itu kehidupan fisiknya juga berubah? Kecuali tentang penyakit encok dan rematiknya itu, tidak ada. Penghasilannya selama ia bekerja hanya cukup untuk hidup hari demi hari.

Saat ia memutuskan untuk pensiun, pakaiannya tetap sama seperti saat ia memulai profesinya dahulu. Begitu pula rumahnya, tetap sebuah pondok berdinding kayu dengan segala perabot yang sama. Begitu pula dengan warung pecelnya, tetap seperti semula, bermeja reot berbangku reot, beratap terpal plastik yang itu-itu juga.

Bagaimanakah fenomena ini bisa terjadi? Mengapakah seseorang yang telah bekerja sedemikian keras di sepanjang hidupnya, tetap jua tak mengalami berbagai kemajuan dan peningkatan dalam kesejahteraan?

Lihatlah sekeliling Anda, Anda juga pasti akan menemukan banyak fenomena yang sama. Bagaimana dengan Anda sendiri? Mungkin Anda sudah membanting tulang setengah mati sepanjang hidup Anda. Kemudian, Anda menyadari bahwa keringat dan air mata yang bercucuran sekian lama, tak jua membuahkan peningkatan dalam kesejahteraan. Ya, sangat mungkin Anda "bernasib" seperti itu.

Bagaimana dengan ini?

Seorang Bill Gates drop out dari sekolah hukum ternama, tapi kini justru menjadi orang paling kaya di muka bumi. Akankah ia tetap menjadi orang paling kaya sedunia, jika ia tidak drop out? Saya yakin tidak. Sebab sebagai sebagai pengacara, sepopuler dan setop apapun ranking bisnisnya, tetaplah "pasarnya" lebih kecil dari dunia IT. Dan itu, tak akan membuatnya jadi orang paling kaya sedunia.

Seorang Aa Gym, yang "tak pernah" mengenyam bersekolah di pesantren, kini memiliki pesantren yang terhitung paling besar, sekaligus juga menjadi konglomerat bisnis.

Atau bahkan ini?

Seorang Rasulullah SAW, adalah pebisnis tulen sebelum menjadi Rasul. Saat menjadi Rasul, ia tidak lagi berbisnis. Apa yang terjadi? Setengah wilayah bumi kemudian menjadi "miliknya", separuh kekuasaan di muka bumi "berada di tangannya", dan setengah dari kekayaan dunia "berada di dalam genggamannya".

Pernahkah Anda melihat orang yang santai bekerja, tapi kemudian kaya raya? Pernahkah Anda melihat seseorang, yang hanya bekerja empat jam sehari dan dua hari dalam seminggu, tapi berpenghasilan jauh lebih besar dari orang lain yang pontang-panting dan babak-belur lebih dari empatpuluh jam seminggu? Hoki? Nasib? Atau bisnis ideal?

Perhatikanlah bagaimana seorang konglomerat di dalam kesehariannya. Sangat mungkin, Anda akan melihat mereka begitu santai dan rileks. Waktu kerjanya mungkin akan sama seperti Anda. Begitu pula dengan jam tidurnya. Jika Anda bekerja pada mereka, sangat mungkin Anda justru bekerja lebih keras dari pada mereka.

Saat mereka memiliki satu perusahaan, jatah waktunya untuk berbisnis pada perusahaan itu mungkin delapan sampai enambelas jam. Saat punya dua perusahaan, waktunya untuk satu perusahaan mungkin akan berkurang menjadi setengahnya.

Saat punya empat perusahaan, mungkin waktunya untuk satu perusahaan hanya tinggal dua sampai empat jam saja. Dan saat perusahaannya sudah mencapai ratusan, maka bisa jadi mereka hanya punya waktu lima sampai sepuluh menit untuk setiap perusahaan.

Pada intinya, peningkatan di dalam kesuksesan dan kemajuan di dalam bisnis, justru berasosiasi dengan makin sedikitnya waktu mereka untuk semua upaya. Mereka makin sedikit bekerja, tapi justru makin sukses dan makin kaya.

Bagaimana ini?

Bagaimanakah Anda bisa memahami fenomena paradoksial seperti itu? Mengapakah ada orang yang bekerja keras dan makin keras, tapi nasib baik justru makin jauh berlari? Sebaliknya, mengapakah ada orang yang lebih santai, malah makin sukses dan makin sukses lagi?

Bapak dan Ibu sekalian yang budiman, apa yang akan Anda baca berikut ini, adalah ringkasan dari sebuah buku yang berjudul "The (Shocking!) Truth About Action". Di dalam judulnya ada kata "shocking". Itu bukan gertak sambal. Sebab, apa yang diulas di dalamnya, memang benar-benar akan mengguncang apapun yang Anda yakini selama ini tentang kesuksesan.

Pada sub judulnya, bahkan dikatakan kurang lebih begini,

"Ini semua adalah tentang bagaimana dan mengapa, nyaris segala yang Anda terima sebagai bahan pelajaran, di sepanjang hidup Anda, di sekolah, di rumah, dan di manapun, dari guru manapun, justru membangun tembok besar yang makin tinggi dan tebal, yang menjadi penghalang utama Anda mencapai kesuksesan."

Bapak dan Ibu sekalian yang budiman, ulasan berikut ini bisa memperjelas berbagai fenomena di atas. Dan seperti yang sudah Saya ingatkan, semua ini sangat mungkin bisa membuat Anda mengalami shock berat.

KESALAHAN MENDASAR TENTANG ACTION

Kesalahan itu adalah, Anda sudah terlanjur meyakini - di sepanjang hidup Anda - bahwa Anda akan mencapai apapun yang Anda inginkan dengan melakukan tindakan. Alias, Anda meyakini bahwa untuk mencapai sukses, Anda harus bertindak.

Inilah kenyataannya:

Keyakinan Anda itu justru menciptakan yang sebaliknya.

Dalam konteks ini, Anda telah menomorduakan kekuatan pikiran. 90% orang, ternyata bertindak dalam rangka mengkompensasi berbagai bentuk pemikiran yang tidak tepat.

Maksudnya, nyaris setiap tindakan yang Anda lakukan selama ini, adalah didorong oleh motivasi untuk struggle. Untuk selamat dan untuk survive.

Artinya:

Nyaris setiap tindakan yang Anda lakukan, sumbernya adalah ketakutan, kekhawatiran, dan keragu-raguan.

Dalam hal ini, Anda telah memaksa pikiran untuk terealisasikan dalam bentuk nyata melalui berbagai tindakan. Jika keputusan Anda untuk bertindak lebih dominan, maka apa yang akan menjadi fokus Anda adalah doing. Dan Anda menjadi lupa akan satu hal, yaitu being.

Apa yang akan tercipta dari pemikiran seperti itu, adalah sesuatu yang menyimpang dari tujuan awalnya. Anda merasa akan berbahagia dengan menjadi kaya. Tapi yang tercipta adalah; Anda memang menjadi kaya, tapi tidak berbahagia.

Being, adalah syarat pertama dan paling penting di dalam proses penciptaan.

Ketahuilah bahwa segala sesuatu diciptakan dua kali. Pertama dalam bentuk blue print, dan kedua saat direalisasi menjadi nyata.

Sebuah bangunan diciptakan dua kali, pertama saat di atas kertas dan kedua saat pembangunan fisik. Di atas kertas, arsitek bangunan itu tidak akan pernah menggambarkan proyeksi bangunan, dengan asumsi bahwa bangunan itu akan segera roboh.

Saat Anda menggambar "blue print" di dalam kepala, Anda bisa menggambarkan diri Anda sebagai orang yang super kaya misalnya. Tentunya, Anda tidak akan pernah menggambarkan bahwa di samping kekayaan itu, diri Anda juga tidak berbahagia.

Jadi, semuanya harus dimulai dengan being pada saat ini juga. Mulailah dengan berbahagia. Peganglah itu dengan kuat. Setelah itu, barulah Anda mulai melangkah untuk memanifestasikan bahagia dalam bentuk "menjadi orang kaya". Bukan sebaliknya, "pokoknya Saya mau kaya!" dan menomorduakan bahagia.

Bukankah urutannya adalah being, doing, baru kemudian having?

Ingatlah bahwa kaya tidak sama dengan bahagia. Untuk keduanya, Anda akan mengejar "having". Kaya sekaligus bahagia. Kaya boleh nanti, tapi bahagia? Rugi besar jika Anda menundanya. Dan jika Anda menundanya, maka ia akan segera terlepas dari Anda seumur hidup. Anda akan kaya, tapi Anda tak akan pernah berbahagia. Mengapa demikian?

INILAH RAHASIANYA

Bukanlah tindakan Anda yang menciptakan sesuatu, tapi niat Anda.

Anda akan bisa meminimalisir tindakan Anda (sehingga Anda lebih santai dan rileks), dengan berfokus pada semangat dan cita-cita - yang dibentuk oleh niat, sampai Anda merasa sudah waktunya untuk bertindak. Sehingga, tindakan itu nantinya tidak dilakukan dengan drive rasa takut, kekhawatiran, dan keragu-raguan. Saya pribadi menyebut ini dengan konsep "TUNGGULAH GONGNYA".

Bagaimana supaya kita bertindak setelah bunyi "gong" dan tidak mendahuluinya?

Fokuslah pada apa yang Anda inginkan, dan bukan pada apa yang tidak Anda inginkan.

Dengan fokus itu, Anda akan tahu kapan harus bertindak. Dan saat tindakan itu dieksekusi, maka semuanya akan terasa ringan dan tidak menjadi beban.

Di titik itulah, Anda akan berangkat dari titik departure yang benar, yaitu bertindak bukan dengan dasar rasa takut, khawatir, ragu, atau bahkan hanya sekedar ingin cari selamat alias struggle, melainkan dengan dasar semangat, cita-cita, dan enjoyment. Maka, seluruh alam semesta akan mulai mendukung Anda, dan memberi jalan yang mulus di hadapan Anda.

UJI KELAYAKAN SEBELUM BERTINDAK

Jika Anda sudah fokus pada semangat dan cita-cita, tapi Anda masih merasa grogi dan tidak percaya diri, Anda belum siap bertindak.

Jika Anda paksakan, semua tindakan Anda akan berubah menjadi beban. Padahal, Anda bisa bertindak tanpa beban, tanpa penghalang, dan tanpa rasa sakit. Sesungguhnyalah, Anda bisa bertindak nothing to lose. Alias Ikhlas. And that's fun of course.

Mendasarkan diri semata-mata pada tindakan, adalah tidak tepat. Tindakan Anda harus dibarengi dengan rasa tanpa beban. Menyenangkan dan nothing to lose. Hanya itulah yang akan membuat lingkungan dan alam semesta mendukung Anda.

Anda harus memperbaiki konsepsi tentang "no pain, no gain". Mengapa? Karena "pain" Anda semestinya berproporsi benar. Memang harus ada "pain", tapi itu tidak berarti bahwa semua bentuk "pain" harus Anda alami terlebih dahulu. "Pain" Anda haruslah worthed dengan "gain" yang Anda cita-citakan.

Jika Anda salah memahami konsep "no pain, no gain" ini, maka tindakan Anda hanya akan berbentuk struggle dan cari selamat saja.
Dan:

Anytime You are struggling, You are miscreating.

Jika Anda bertindak untuk struggle dan cari selamat saja, maka Anda akan sangat fokus pada "menghindari sesuatu". Ketahuilah, "sesuatu" yang Anda hindari itulah yang justru akan Anda dapatkan!

Ini menjelaskan fenomena masyarakat miskin di berbagai belahan dunia, yang terus bekerja keras siang dan malam, tapi nasibnya tidak berubah. Mereka, sebenarnya bisa merubah nasib dengan "hanya" merubah niatnya.

Bukankah Anda juga melihat, mereka yang tadinya di bawah, memang terbukti berubah nasibnya dengan merubah niatnya? Lihatlah perubahan nasib pengrajin, yang tercipta karena pergeseran niat dari "mencari sesuap nasi" menjadi "berbagi keindahan". Lihatlah pemenang Kalpataru. Lihatlah penerima penghargaan UKM. Lihatlah fenomena Grameen Bank. Mereka, telah merubah nasibnya dengan merubah niatnya.

Apa berikutnya?

Tindakan itu perlu, tapi ketahuilah bahwa tindakan adalah komponen terakhir di dalam proses penciptaan.

Tindakan tidak dapat dijadikan sebagai inisiator dari hasil. Inisiasi adalah fungsi dari being, thought, baru kemudian action. Dengan kata lain, inisiatif-lah yang menentukan hasil. Maka, di sini Anda mungkin perlu memperbaiki konsep tentang inisiatif. Inisiatif bukan hanya ide. Inisiatif adalah paket lengkap dari being, thought, dan action. Inisiatif akan menciptakan vibrasi.

Alam semesta ini adalah vibrasi. Setiap atom dan molekul alam semesta bervibrasi. Atom dan molekul di tubuh Anda juga. Pikiran Anda juga. Pikiran Anda punya frekuensi listrik seperti juga gelombang radio. Dan teori modern telah membuktikan bahwa gelombang itu termanifestasi secara fisik sebagai atom, molekul, dan partikel. Alias, punya bentuk materi juga.

Di dalam alam semesta ini, segala sesuatu diciptakan untuk bisa saling harmoni sehingga seimbang dan tidak hancur. Dengan harmonisasi vibrasi itu, alam semesta bergerak dan berubah. Dengan harmonisasi itu berbagai proses penciptaan lanjutan berlangsung. Termasuk, apapun yang menjadi cita-cita Anda, baik fisik maupun non fisik.

Maka sebelum bertindak, bertanyalah terlebih dahulu pada diri Anda sendiri:

"Bagaimana Saya bervibrasi, harmoniskah dengan vibrasi alam semesta?"

"Sesuaikah dengan tujuan dari penciptaan diri Saya?"

"Sesuaikah dengan tujuan dari penciptaan alam semesta?"

Bagaimana Anda bisa mengetahui dan mengatakannya? Anda bisa mengetahui dan mengatakannya dengan bertanya pada perasaan Anda. Lebih tinggi lagi, bertanyalah kepada nurani dan kalbu Anda.

Apa yang Anda rasakan, akan menentukan apa yang akan Anda tarik.

Dengan hanya berfokus pada apa yang Anda inginkan sesuai perasaan, nurani, dan kalbu Anda, maka alam semesta akan menciptakan satu set situasi dan keadaan khusus, di mana Anda akan bisa bertindak dengan ringan dan tanpa beban, dengan sebuah jaminan akan kesuksesan.

Setting situasi dan keadaan khusus itu, pasti tercipta bersama dengan apapun yang menjadi niat Anda. Alias, setting itu netral sifatnya. Begitulah hukum universalnya.

Dengan kata lain, semudah Anda jatuh, gagal, dan tidak sukses, semudah itu pula sebenarnya, Anda bisa bangkit, berhasil, dan menuai sukses, tanpa perlu terlalu ngoyo dan tergopoh-gopoh, apalagi kemaruk.

KESIMPULAN

Hasil Anda tidak ditentukan oleh tindakan Anda. Hasil Anda, ditentukan oleh niat Anda.

Saya Ingin Anda Sukses,
Saya Harus Membuat Anda Sukses.
(Ini niat Saya.)

Ditulis oleh : Ikhwan Sopa
Trainer E.D.A.N.

"TO GIVE or TO GET "

" TO GIVE OR TO GET"

Seorang pebisnis muda datang mengadukan masalahnya
kepada sahabat saya yang berprofesi sebagai konsultan spiritual bisnis.

Pebisnis itu membuka masalahannya dengan mengatakan,
"Pak saya memiliki adik yang sangat durhaka. Ketika
kuliah saya yang membiayai.

Ketika dia menikah saya yang menikahkan dan
menanggung semua biayanya.

Sekarang berbekal satu kwitansi atas namanya, dia
akan menggugat saya ke pengadilan.

Dalam gugatannya ia mengatakan rumah yang saya
tempati adalah milik adik saya."

Pebisnis muda itu diam sejenak sambil menarik napas
panjang.

Kemudian dia meneruskan ceritanya, "Padahal rumah
itu saya beli dengan tetesan keringat saya.

Saya nggak habis pikir, mengapa dia tega melakukan
ini. Saya minta petunjuk dari Bapak bagaimana
menundukkan adik saya.

Saya ingin agar adik saya sadar dan tidak usah
membawa permasalahan itu ke pengadilan. Saya malu
dengan banyak orang."

Kemudian konsultan bertanya, "Dari mana uang yang
kamu gunakan untuk membangun rumahmu?"
Orang itu menjawab, "Dari hasil jerih payah usaha
saya. Saya pernah punya usaha pom bensin tapi
sekarang sudah bangkrut."

Terus darimana modal usaha pom bensinmu? desak sang
konsultan. Dia terdiam.

Setelah menarik nafas panjang, dia berkata , "Modal
usaha pom bensin saya peroleh dari hasil penjualan
tanah milik ibu saya.

Saya jual tanah itu tanpa izin ibu saya. Ibu saya
kecewa, tak lama setelah kejadian itu ibu saya
dipanggil Yang Maha Kuasa."

"Itulah sebab musabab problem anda. Memulai usaha
dengan uang yang tidak bersih bahkan dengan cara
menyakiti ibu kandung anda.

Ironisnya, anda belum sempat meminta maaf kepada ibu
anda dan dia sudah meninggal dunia," jawab sang konsultan.

"Terus bagaimana saya selanjutnya?" kata orang itu.

Konsultan energik itu menjawab, "Ikhlaskan rumah itu
buat adik anda.

Kehidupan anda tidak akan berkah dengan rumah yang
merupakan buah dari menyakiti ibu anda."

Butiran jernih mengalir di pipi orang itu. Dengan
nada tersengal dia berkata, "Lalu dimana keluarga
saya harus berteduh?

Sang konsultan menjawab, "Allah , Tuhan Penguasa
Alam Maha Kaya, pasti ada jalan yang akan Dia berikan."

Sesampainya di rumah sang kakak memanggil adiknya,
"Adikku daripada kita bertengkar di pengadilan dan
hubungan persaudaraan kita rusak hanya karena rumah
ini, aku serahkan rumah ini untukmu.

Aku ikhlas. Rumah ini sebenarnya milik ibu, bukan
milik saya. Mulai hari ini, rumah ibu ini aku
serahkan sepenuhnya untukmu."

Sang adik berdiri dan kemudian memeluk sang kakak
sambil berkata, "Kakakku, rumah ini adalah rumahmu
maka ambilah.

Saya tidak akan meneruskan di pengadilan. Tinggalah
dengan damai di rumah ini bersama istri dan
anak-anak kakak.

Saya bangga menjadi adikmu. Saya tak ingin
kehilangan engkau kakakku..."

Keduanya berpelukan dengan linangan air mata di
masing-masing pipinya.

Kisah nyata di atas memberi pelajaran kepada kita
bahwa ketika kita berpikir apa yang akan saya
dapatkan (to GET) maka yang kita peroleh adalah
kegelisahan dan permusuhan.

Sebaliknya ketika kita berpikir apa yang bisa saya
berikan ( to GIVE ) maka yang kita peroleh kedamaian,
rasa hormat, rasa cinta dan persaudaraan.

Tatkala kita berpikir to GET pada hakekatnya kita
masih TERJAJAH

Terjajah oleh harta, terjajah oleh jabatan, terjajah
oleh kepentingan dan terjajah oleh gengsi.


Orang-orang yang merdeka adalah orang yang di dalam
dirinya tertanam kuat sikap to GIVE

Bila ia memiliki harta, ilmu dan karunia lainnya ia
selalu berpikir kepada siapa lagi saya harus
berbagi... berbagi...dan berbagi.


Negeri ini akan terus tumbuh, berkembang, maju
dengan diselimuti kedamaian, rasa cinta,
persaudaraan, dan kemulian bila sebagian besar
diantara kita mengembangkan sikap to GIVE ketimbang
to GET

Kita semua harus selalu berpikir, apa yang sudah
saya berikan buat anak, mitra kerja, perusahaan,
pasangan hidup, saudara, orang tua, bangsa dan Sang
Maha Pencipta? Pertanyaan itu harus selalu tertanam
kuat dalam setiap aktivitas kita sehari-hari.

Jangan kedepankan to GET dalam sikap keseharian kita.

Pada saat sebagian besar orang memiliki sikap to GIVE
kita sudah boleh mengatakan bahwa kita memang sudah MERDEKA.


dari milis sebelah....

Semangat ISO 9000 ????

Sebelum berkecimpung di bidang “kecerdasan sikap” atau “kecerdasan emosional” yang sekarang, saya berprofesi sebagai konsultan ISO 9000 diperusahaan yang sama.

Satu fenomena menarik yang sering saya temukan diberbagai perusahaan yang saya bimbing (barangkali fenomena ini pulalah yang menyebabkan saya sekarang beralih profesi menggeluti bidang kecerdasan sikap / kecerdasan emosi) adalah walaupun perusahaan sudah memiliki Visi dan Misi yang luar biasa bagus namun sering hanya “habis” sebagai penghias dinding disetiap ruang perusahaan saja.

Demikian halnya dengan Manual Mutu, Prosedur Mutu, Instruksi Kerja ataupun Dokumen Pendukung lainnya hanya menjadi dokumen “pasif” yang sekedar memenuhi persyaratan sertifikasi, bahkan terkadang menjadi tambahan beban administratif belaka.

Seolah perusahaan tidak memiliki “ruh” ataupun kehilangan semangat “bertumbuh” sama sekali, padahal sebagai sebuah tools, ISO 9000 merupakan sebuah sistem yang sangat bagus dan dinamis.

Usut punya usut ternyata ada beberapa pertanyaan “mendasar” yang harus dijawab perusahaan sebelum dan sesudah menerapkan ISO 9000, yaitu :

- Apakah Visi dan Misi perusahaan sejalan dengan Visi Misi pribadi karyawan ybs. ?
- Apakah sasaran mutu fungsi memang benar benar diinginkan oleh masing masing fungsi ?
- Apakah prosedur sudah dipandang sebagai “cara” yang akan memudahkan dan “melindungi” pekerjaan karyawan ?
- Apakah karyawan sudah melihat bahwa “kompetensi” merupakan kebutuhan pribadi ybs. ?
- Apakah setiap “ketidak sesuaian” yang ditemukan sudah difahami sebagai sebuah sarana “bertumbuh” (atau malah difahami sebaliknya sebagai sebuah aib) ?
- Apakah karyawan sudah memahami bahwa mereka merupakan “sel” penting dari sebuah fungsi ?
- Apakah karyawan sudah menyadari bahwa sebagai sebuah fungsi dari sebuah sistem, mereka harus saling bekerja sama ?

Dan banyak pertanyaan lain yang berhubungan dengan “kecerdasan sikap” ataupun “kecerdasan emosional” yang harus dijawab oleh karyawan sebelum dan sesudah menjalankan ISO 9000.

Ditulis oleh :Isywara Mahendratto

Monday, August 20, 2007

Motivasi : Ciptakan KEHIDUPAN, bukan sekedar HIDUP


"Your successes and happiness are forgiven you only if you generously consent to share them. ?Kesuksesan dan kebahagiaan akan sangat berarti jika kau mau berbagi dengan orang lain." Albert Camus

Untuk dapat sekedar hidup, mungkin kita tidak perlu bersusah payah mencari peluang ataupun memikirkan bagaimana meningkatkan kualitas dan manfaat diri kita. Namun sebagai mahluk yang paling spesial diantara mahluk ciptaan Tuhan YME, kita berkewajiban untuk mendapatkan kehidupan yang berarti. Kita harus berupaya semaksimal mungkin. Sebuah pepatah bijak menyebutkan, "Find a meaningful need and fill it better than anyone else. Kejarlah sesuatu yang bermakna, dan gunakanlah setiap peluang yang ada secara lebih baik dari siapapun."

Ada beberapa langkah untuk menjadikan kehidupan kita menjadi lebih berarti.

*Langkah pertama adalah memperbesar kemauan untuk belajar.

Manusia mempunyai pikiran yang luar biasa, maka gunakan pikiran tersebut untuk belajar menciptakan kemajuan-kemajuan dalam hidup.

Kita dapat belajar dari berbagai hal, diantaranya adalah belajar kepada pengalaman hidup, kegagalan, kejadian sehari-hari, orang lain dan sebagainya. Maka tingkatkan terus kemauan
belajar.

*Langkah kedua supaya kehidupan kita lebih berati adalah mencoba melakukan sesuatu agar lebih dekat dengan impian yang diidamkan.

Bekerjalah lebih keras, lebih aktif atau produktif. Langkah ini sangat efektif dalam meningkatkan kemungkinan mendapatkan uang, kekayaan atau segala sesuatu yang berharga bagi manusia.

Satu hal yang patut dijadikan pedoman bahwasanya kerja keras itu bukan semata-mata mengejar 5 P, yaitu power (kekuasaan), position (posisi), pleasure (kesenangan), prestige (kewibawaan) dan prosperity (kekayaan).

Setiap usaha yang hanya berorientasi kepada lima hal tersebut memang menjamin kesuksesan atau bahkan hasil yang melimpah ruah, tetapi tidak menjamin sebuah akhir yang menyenangkan. Contohnya adalah sebuah fakta tentang delapan orang miliarder di Amerika Serikat yang berkumpul di Hotel Edge Water Beach di Chicago, Illionis pada tahun 1923. Mereka adalah orang-orang yang sangat sukses, tetapi mengalami nasib tragis 25 tahun kemudian.

Salah seorang diantara mereka adalah Charles Schwab, CEO perusahaan besi baja ternama pada waktu itu, yaitu Bethlehem Steel. Tetapi Charles Schwab mengalami kebangkrutan total. Sehingga ia terpaksa berhutang untuk membiayai hidupnya selama 5 tahun sebelum meninggal.

Yang kedua adalah Richard Whitney, President New York Stock Exchange.
Namun pria ini ternyata menghabiskan sisa hidupnya dipenjara Sing Sing. Orang ketiga adalah Jesse Livermore, raja saham "The Great Bear" di Wall Street. Tetapi Jesse mati bunuh diri.

Orang ke empat adalah "The Match King", Ivar Krueger, CEO perusahaan hak cipta, yang juga mati bunuh diri. Begitu juga dengan Leon Fraser, Chairman of Bank of International Settlement, ia mati bunuh diri.

Yang keenam adalah Howard Hupson, CEO perusahaan gas terbesar di Amerika Utara. Tetapi ia sakit jiwa dan dirawat di rumah sakit jiwa hingga akhir hidupnya. Arthur Cutton sebelumnya adalah pemilik pabrik tepung terbesar di dunia, tetapi ia meninggal di negri orang lain.

Sedangkan Albert Fall, waktu itu ia adalah anggota kabinet presiden Amerika Serikat. Namun ia meninggal di rumahnya di Texas ketika baru saja keluar dari penjara.

Di dunia ini tidak sedikit orang yang semula sangat sukses, tetapi merana di tahun-tahun terakhir kehidupan mereka.

Kehidupan mereka seakan-akan tidak berarti meskipun sebelumnya sangat kaya raya. Upaya terbaik memang dapat menghasilkan kesuksesan besar, tetapi bukan berarti merupakan jaminan sebuah akhir kehidupan sebagai manusia yang penuh arti.

Karena itu langkah berikutnya yang harus kita lakukan adalah mengimbangi kerja keras dengan berbuat kebaikan.

Seorang penulis pada abad 20-an yang berkebangsaan Perancis, Andr?Gide, mendefinisikan kebaikan itu sebagai berikut; "True kindness presupposes the faculty of imagining as one's own the suffering and joys of others. ?nbsp; Kebaikan yang sesungguhnya adalah kemampuan merasakan penderitaan maupun kebahagiaan orang lain."

Kerja keras yang diimbangi dengan berbuat kebaikan akan menghasilkan semangat yang tinggi untuk mendapatkan lebih dari apa yang dibutuhkan. Hal itu terdorong oleh keinginan untuk dapat berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Pada akhirnya kebaikan tersebut berpengaruh positif terhadap semangat hidup, motivasi, dan kemajuan sikap dan ekonomi. James Allen, penulis buku berjudul As a Man Thinketh mengatakan, "Pemikiran serta perbuatan baik tidak mungkin mendatangkan hasil yang buruk; pemikiran dan perbuatan buruk tidak mungkin mendatangkan hasil baik."

Dengan belajar, bekerja keras dan berbuat kebaikan maka kita akan dapat menciptakan kehidupan yang jauh lebih berarti.

Langkah-langkah sebagaimana dijelaskan diatas terbukti juga sangat efektif menjadikan kesan positif tentang diri kita tidak mudah dilupakan orang. Saya meyakini bahwa kita masih mempunyai banyak kesempatan dan potensi untuk mendapatkan kehidupan berharga itu dimanapun dan apapun pekerjaan kita.



Sumber: Make A Life, Not Merely A Living - Ciptakan Kehidupan, Bukan Sekedar Hidup



By Andrew Ho

Motivasi : Murid si Pematung

Alkisah, di pinggir sebuah kota, tinggal seorang seniman pematung yang sangat terkenal di seantero negeri. Hasil karyanya yang halus, indah, dan penuh penghayatan banyak menghiasi rumah-rumah bangsawan dan orang-orang kaya di negeri itu. Bahkan, di dalam istana kerajaan hingga taman umum milik pemerintah pun, dihiasi dengan patung karya si seniman itu.

Suatu hari, datang seorang pemuda yang merasa berbakat memohon untuk menjadi muridnya. Karena niat dan semangat si pemuda, dia diperbolehkan belajar padanya. Bahkan, ia juga diijinkan untuk tinggal di rumah paman si pematung.

Sejak hari itu, mulailah dia belajar dengan tekun, mengukur ketepatan bahan adonan semen, membuat rangka, cara menggerakkan jari-jari tangan, dan mengenali setiap tekstur sesuai bentuk dan jenis benda yang akan dibuat patung, dan berbagai kemampuan mematung lainnya.

Setelah belajar sekian lama, si murid merasa tidak puas. Sebab, menurutnya, hasil patungnya belum bisa menyamai keindahan patung gurunya. Dia pun kemudian menganalisa dengan seksama, lantas memutuskan meminjam alat-alat yang biasa dipakai gurunya. Dia berpikir, rahasia kehebatan sang guru pasti di alat-alat yang dipergunakan.

”Guru, bolehkan saya meminjam alat-alat yang biasa Guru pakai untuk mematung? Saya ingin mencoba membuat patung dengan memakai alat-alat yang selalu dipakai guru agar hasilnya bisa menyamai patung buatan Guru. ”
”Silakan pakai, kamu tahu dimana alat-alat itu berada kan? Ambil saja dan pakailah, ”jawab sang guru sambil tersenyum.

Selang beberapa hari, dengan wajah lesu si murid mendatangi gurunya dan berkata,

”Guru, saya sudah berusaha dan berlatih dengan tekun sesuai petunjuk Guru, memakai alat-alat yang biasa dipakai Guru. Kenapa hasilnya tetap tidak sebagus patung yang Guru buat”

”Anakku, gurumu ini belajar dan berlatih membuat patung selama puluhan tahun. Mengamati obyek benda, mencermati setiap gerak dan tekstur, kemudian berusaha menuangkannya ke dalam karya seni dengan segenap hati dan seluruh pikiran. Tidak terhitung berapa kali kegagalan yang telah dibuat, tapi tidak pernah pula berhenti mematung hingga hari ini. Bukan alat-alat bantu yang engkau pinjam itu yang kamu butuhkan untuk menjadi seorang pematung handal, tetapi jiwa seni dan semangat untuk menekuninya yang harus engkau punyai. Dengan begitu, lambat laun engkau akan terlatih dan menjadi pematung yang baik. ”

”Terima kasih Guru, saya berjanji akan terus berlatih, mohon Guru bersabar mengajari saya. ”

Pembaca yang berbahagia,
Untuk menciptakan sebuah maha karya, tidak cukup hanya mengandalkan talenta semata. Kita butuh proses belajar dan ketekunan berlatih bertahun-tahun. Bahkan, meski dibantu alat-alat secanggih apapun, hasil yang didapat sebenarnya sangat tergantung pada tangan-tangan terampil dan terlatih yang menggerakkannya.

Demikian pula dalam kehidupan ini, jika ingin meraih prestasi yang gemilang, ada harga yang harus kita bayar! Apapun bidang yang kita geluti, apapun talenta yang kita miliki, kita membutuhkan waktu, fokus dan kesungguhan hati dalam mewujudkannya hingga tercapai kesuksesan yang membanggakan!!!

Oleh : Andrie Wongso

Motivasi : Menembus Batas . . .

Bila kita melihat keadaan di sekitar kita hari-hari ini, kita akan melihat betapa cepatnya jaman ini berkembang. Bahkan perubahan tersebut seringkali terjadi tanpa kita sadari. Sebagai contoh, teknologi yang berkembang begitu pesat, intelektual yang semakin meningkat, penemuan-penemuan baru di bidang kesehatan dan obat-obatan, dsb. Perubahan tersebut tidak dapat kita hindari, sebagaimana ada pepatah yang mengatakan, "Satu-satunya hal yang tidak akan pernah berubah, adalah perubahan itu sendiri."

Bila kita terlena sedikit saja, besar sekali kemungkinan untuk kita akan kehilangan kesempatan kita untuk berkembang, atau setidak-tidaknya kita akan tertinggal dengan semua kolega kita. Maka dari itu kita harus belajar untuk membiasakan diri dengan perubahan tersebut, sehingga kita akan menjadi pribadi yang mudah untuk beradaptasi dengan situasi yang ada, ta! npa meniadakan norma, prinsip dan nilai yang sudah kita pegang dari mulanya.

1. Miliki tujuan yang jelas - kembangkan!.
Orang yang tidak memiliki tujuan di dalam hidupnya tidak akan pernah bisa berkembang dengan maksimal. Mengapa? Karena dia tidak akan tahu ke mana dia harus melangkah, dan ini akan berdampak pada keputusan-keputusan yang diambilnya. Tetapi untuk menjadi berkembang tanpa batas, seseorang juga harus memiliki kemampuan untuk memperluas tujuannya. Walt Disney dapat berkembang begitu luas sampai ke seluruh dunia hanya dimulai dari mimpi seorang Walter Elias Disney yang miskin untuk berusaha membahagiakan semua anak di seluruh dunia. Dan sampai sekarang, meskipun Mr. Disney sudah meninggal, tetapi mimpi itu masih terus berlanjut.

2. Miliki inisiatif untuk berkembang tanpa batas.Saat Christopher Columbus ingin berlayar mengelilingi dunia, semua orang menganggapnya gila karena mereka percaya bahwa bumi itu data! r, bukan bulat. Tetapi karena keberaniannya untuk berinisiatif! 'gila' tersebutlah kita dapat mengetahui fakta bahwa bumi memang bulat, bukan datar. Saat kita ingin berkembang, jangan menunggu perubahan terjadi pada orang lain baru kita dapat berkembang. Miliki mental bahwa perubahan itu harus dimulai dari diri kita, bukan orang lain.

3. Berpikirlah selangkah lebih maju.Thomas John Watson, pendiri perusahaan komputer raksasa IBM suatu hari memaparkan kunci dari keberhasilan IBM, dan berkata, "Setiap kali kami memperoleh kemajuan dalam IBM, itu adalah karena ada orang yang mau untuk mengambil kesempatan, memikirkannya dengan keras, dan mencoba sesuatu yang baru." Di dalam hidup ini, kita memiliki pilihan untuk menjadi orang seperti apakah kita. Apakah kita ingin menjadi orang yang gagal, ataukah biasa-biasa saja, ataukah kita ingin menjadi orang yang unggul? Orang yang ingin menjadi orang yang unggul, ia harus melatih cara berpikirnya untuk selalu mengeluarkan ide-ide yang mungkin bahkan belum terpikirkan oleh orang-o! rang di sekitarnya.

4. Kembangkan rasa ingin tahu yang positif.Semua penemuan bersejarah di seluruh dunia ini pasti didasari dari keingintahuan dari para penemunya. Tidak selamanya rasa ingin tahu itu adalah sesuatu yang negatif, karena selama kita dapat memanfaatkan rasa ingin tahu kita untuk sesuatu yang positif dan berguna bagi banyak orang, rasa ingin tahu tersebut akan menjadi sesuatu yang menguntungkan. Seorang Albert Einstein tidak akan pernah menjadi penemu dari teori relativitas yang sangat terkenal itu bila dia tidak memiliki rasa ingin tahu yang besar akan bagaimana energi dapat memiliki hubungan yang erat dengan massa sebuah benda dan kecepatan cahaya.

5. Rajin-rajinlah membaca.Setiap orang yang tidak memiliki wawasan yang luas pasti akan mengalami masalah dalam berkomunikasi dengan berbagai macam tipe orang. Dan salah satu cara yang baik untuk memiliki wawasan yang luas adalah dengan meningkatkan minat bac! a. Thomas Jefferson, presiden ketiga Amerika Serikat, adalah s! eorang y ang sangat dikenal lewat kinerjanya dalam menuliskan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat. Tetapi mungkin tidak semua orang menyadari bahwa Thomas Jefferson adalah seorang kolektor buku, yang membuatnya menjadi seorang yang sangat berwawasan luas dalam berbicara berbagai aspek, mulai dari pertanian, arsitektur, bahkan sampai penelitian fosil-fosil purbakala.

Sumber : Anonymous

Thursday, August 16, 2007

62 Tahun indonesia Merdeka

Kamis, 16 Agustus 2007 Opini harian Republika

Sekali Merdeka, Merdeka Sekali
Oleh : Fahmi AP Pane


Fahmi AP Pane
Anggota Lembaga Penerbitan dan Media Massa Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan

Peringatan HUT Kemerdekaan RI yang selalu dilakukan dengan ritus dan seremoni tertentu oleh institusi negara, serta aktivitas hiburan oleh warga dan massa, tampaknya akan selalu menutupi pemahaman terhadap realitas sehari-hari bangsa Indonesia. Padahal, sekalipun kita memang wajib bersyukur, apalagi jika melihat kondisi Irak, Palestina, Kosovo, dan Afghanistan, bertafakur di Hari Kemerdekaan bakal lebih efektif untuk merenda kesadaran bersama demi merevitalisasi kemerdekaan sejati sebagai bangsa yang beriman dan bertakwa. Faktanya, Indonesia sebagai institusi negara dan bangsa memang telah memproklamasikan kemerdekaannya.

Namun, slogan 'sekali merdeka tetap merdeka' hanya ada dalam lagu dan pidato. Sekali merdeka, untuk kemudian terjajah kembali, setidaknya kita tidak sepenuhnya menjadi bangsa merdeka. Bahkan, dalam aspek fisik dan teritorial, kita juga belum merdeka.

Ironisnya, tidak sedikit aktivis Muslim yang menyatakan Indonesia sudah merdeka secara fisik, tapi belum secara ideologi, politik, ekonomi, dan sebagainya. Padahal, militer Amerika Serikat dan sekutunya bebas melayari wilayah laut yang disebut Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Bahkan, Singapura akan memperingatkan pesawat Indonesia yang berada di wilayah tertentu di atas Batam dan daerah Provinsi Kepulauan Riau lainnya untuk segera meninggalkan areal karena menurut mereka 'posisi itu mengancam Singapura'. Pesawat militer Indonesia harus memberitahukan dan memohon perkenan Singapura, meski ingin melintasi wilayah Indonesia sendiri.

Kepentingan asing
Pada sisi lain, warga negara dan penduduk Indonesia sebagai individu dan komunitas ternyata merdeka sekali. Fenomena individu dan masyarakat yang terlalu bebas itu berlangsung pada semua aspek kehidupan, termasuk aspek keagamaan, seperti liberalisasi penafsiran Alquran dan syariah Islam. Fenomena keterbelengguan negara dan bangsa Indonesia terlihat jelas pada aspek ideologi dan politik. Demokrasi dijalankan, namun itu sebatas dalam pemilu, pemilihan presiden dan kepala daerah. Padahal, ketiga proses pemilihan itu sebenarnya tidak menunjukkan realitas kedaulatan rakyat seperti yang dibayangkan dengan teori demokrasi. Rakyat tidak mampu mengontrol proses dan hasil (output) sistem politik. Jangankan rakyat biasa, anggota parlemen dan partai-partai politik juga tidak mampu menggenggam proses legislasi peraturan perundang-undangan, penyusunan APBN, dan kerangka kebijakan negara. Kalau pun ada undang-undang dan kebijakan negara yang digodok di parlemen dan menerima masukan publik, itu tidak sepenuhnya mampu mencegah praktik penyelenggaraan negara yang telah dikendalikan oleh kekuatan asing dan kompradornya di Indonesia.

Kontrak karya Freeport, konsesi migas bagi Exxon-Mobil di Natuna dan Cepu, kontrak penjualan gas alam di Aceh ke Jepang, dan sebagainya adalah bukti ketidakberdayaan sistem dan hukum negara bila berhadapan dengan misi dan kepentingan negara asing. Kontrak-kontrak itu lebih efektif dan menentukan daripada hukum negara, bahkan hukum dibuat untuk melegitimasinya. Misalnya, pemberian jutaan hektare lahan tambang emas, perak, dan tembaga di Papua kepada Freeport McMoran Copper and Gold Inc, termasuk penambangan terbuka di areal hutan lindung dan kawasan konservasi.

Konsesi Freeport diberikan sebelum Undang-undang Penanaman Modal Asing Nomor 1/1967 dan UU Pertambangan Nomor 11/1967. Belakangan, untuk mencegah UU No 41/1999 tentang Kehutanan menghambat laju eksploitasi Freeport dan perusahaan tambang lainnya di kawasan lindung, pemerintahan Megawati membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 1/2004 yang akhirnya disetujui DPR menjadi undang-undang. Suasana kebatinannya mirip dengan kelahiran perppu dan UU antiterorisme. Situasi tidak berganti meski pemerintahan berganti. Perjanjian Kerja Sama Pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA), baik dengan Singapura, Australia maupun lainnya, adalah bukti lain bahwa kita belum merdeka mengelola negara sendiri. Bayangkan, perjanjian itu dibuat dan diteken dengan mengabaikan Pembukaan UUD 1945, UU Pertahanan Negara, UU Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Pemerintahan Daerah. Itu belum cukup, DCA juga melanggar platform pemerintah sendiri, yang tersusun dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP). RKP adalah pedoman penyusunan APBN (Pasal 12 UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara).

Penelusuran halaman demi halaman baik dalam RKP Tahun 2007 yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2006, maupun RKP Tahun 2008 yang ditetapkan dengan Perpres No 18 Tahun 2007, ternyata tidak ada rencana untuk membuat perjanjian kerja sama pertahanan dengan Singapura dan Australia.

Yang ada antara lain, peningkatan kerja sama bilateral di berbagai bidang, penataan batas wilayah dan pengawasan batas. Ada rencana kerja sama militer internasional dan bilateral, tapi jelas tertulis dengan Malaysia, Papua Nugini, Filipina, dan Timor Leste.

Bila demikian, darimana sumber kekuatan dan anggaran untuk membuat dan melaksanakan DCA dengan Singapura yang ditandatangani tanggal 27 April 2007 di Bali dan dengan Australia pada 13 November 2006 di Lombok? Apakah kasus dana non-budgeter milik Rokhmin Dahuri semata? Sekiranya pemerintah tidak membatalkan DCA, padahal ditegaskan PM Singapura Lee Hsien Loong dan Menlu George Yeo (14 Agustus 2007) bahwa mereka menolak renegosiasi sama sekali, maka jelaslah Indonesia di bawah hegemoni Singapura.

Kungkungan liberalisasi
Sebaliknya, meski negara ini tidak sepenuhnya merdeka, individu-individunya didorong untuk berpikir dan berperilaku terlalu liberal. Atas nama HAM, kekuatan Barat mendorong kebebasan berpikir, bersikap, berperilaku, berbusana, bahkan beragama atau tidak, memuliakan agama atau menistakannya dengan dalih hermeneutika, kontekstualisasi ayat Alquran dan syariah Islam, dan sejenisnya. Pada tataran legislasi, mereka melakukan dekonstruksi draf RUU Pornografi dan Pornoaksi, mengamandemen UU Kesehatan untuk membolehkan aborsi di luar indikasi medis, pengajuan RUU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, dan lain-lain, agar liberalisasi dan komersialisasi syahwat merdeka tetap lestari. Sementara liberalisasi pendidikan akan merajalela sekiranya RUU Badan Hukum Pendidikan disetujui.

Fenomena negara lemah dan terkekang, sementara individu diliberalisasi juga terlihat dalam sektor ekonomi dan keuangan. Liberalisasi finansial itu telah menggiring Indonesia kembali ke tepi krisis moneter dan ekonomi, yang mulai terlihat dari rontoknya bursa saham dan depresiasi rupiah. Liberalisasi perdagangan juga menciptakan rutinitas kelangkaan barang dan jasa di dalam negeri, serta kenaikan harganya, juga meremukkan daya produksi industri domestik. Demokrasi liberal, yang memuja kebebasan individu, makin berkibar sesudah calon perseorangan dibolehkan bertanding dalam pilkada, apalagi bila persyaratannya merujuk kepada calon non-partai di AS. Ini mungkin melebar kepada pemilihan anggota DPR, DPRD dan presiden-wapres. Sementara itu, demokrasi liberal-federal dikembangkan dari jalur partai lokal yang dicoba melalui Mahkamah Konstitusi untuk bisa diterapkan di luar Aceh, serta sistem bikameral kuat ala Amerika.

Kedua fenomena yang bertolak belakang itu memang bertujuan melemahkan NKRI, bahkan menghancurkannya. Tidak ada jalan lain, kecuali kembali kepada Islam, yang bukan saja telah memerdekakan para budak semacam Bilal dan Ammar, tapi juga bangsa Indonesia seperti pengakuan dalam Pembukaan UUD 1945 sejak 62 tahun silam. Islam pula yang mewajibkan kita bersatu serta melarang berpecah belah (QS 3:103), dan mengharamkan kekuatan asing menguasai kita (QS 5:51). Namun, mengapa masih meragukan Allah, padahal ”sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu sebuah kitab yang di dalamnya ada sebab-sebab kemuliaan bagimu, maka apakah kamu tidak memahaminya?” (QS 21:10).

Ikhtisar
- Kemerdekaan Indonesia barulah berada pada tataran fisik, dan belum pada aspek ekonomi, ideologi, politik, dan sejenisnya. - Kekuatan asing masih banyak bermain untuk menekan Indonesia. - Dalam kondisi tertekan seperti itu, individu-individu dalam bangsa ini, didorong untuk terus meliberalisasi dirinya. - Dikotomi ini sengaja diciptakan untuk melemahkan kesatuan Indonesia.



Kamis, 16 Agustus 2007

Kemerdekaan Sejati
Oleh : A Ilyas Ismail


Merdeka atau kemerdekaan (al-hurriyyah) merupakan suatu nilai yang amat tinggi dan merupakan anugerah Tuhan yang amat berharga bagi manusia. Dalam adagiun Arab, terdapat ungkapan, ''La syai'a atsman-u min-a al-hurriyah, tak ada sesuatu yang lebih bernilai ketimbang kemerdekaan.''

Allah SWT berkenan memberikan kemerdekaan itu kepada manusia dan tidak kepada makhluk lain seperti langit dan bumi. Firman Allah, ''Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa. Keduanya menjawab, 'Kami datang dengan suka hati'.'' (QS Fushshilat [41]: 11).

Dalam Islam, kemerdekaan terkait dengan doktrin Ketuhanan Yang Maha Esa. Manusia, sebagai makhluk tertinggi ciptaan Allah, tidak boleh tunduk kepada siapa pun selain Allah. Sebab, ketundukan ini mengandung makna perendahan. Penghambaan manusia kepada sesama manusia, apalagi kepada makhluk lain yang lebih rendah, dapat merendahkan harga diri manusia bahkan melecehkan harkat kemanusiaannya.

Dalam pespektif ini, hanya orang yang bertauhid, ia dapat disebut sebagai orang yang bebas dan merdeka. Ia mampu membebaskan diri dari berbagai belenggu yang akan menjauhkan dirinya dari kebenaran dan dari kepatuhan kepada Allah SWT.

Inilah kemerdekaan sejati yang dibawa dan diadvokasi oleh para Nabi dan Rasul Allah sepanjang sejarah. Kemerdekaan ini pula yang didambakan oleh Siti Hanah, istri Imran, ketika ia bernadzar tentang anak yang dikandungnya. Katanya, ''Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menadzarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi anak yang bebas dan merdeka.'' (QS Ali Imran [3]: 35).

Kata muharrar (orang merdeka) dalam ayat ini, menurut banyak pakar tafsir, bermakna muwahhid, yaitu orang yang tulus dan sepenuh hati menuhankan Allah dan menyembah hanya kepada-Nya. Menurut tafsir al-Ishfahani, merdeka di sini juga mengandung makna moral dalam arti mampu membebaskan diri dari sifat-sifat tercela seperti korup, sewenang-wenang, dan memperkaya diri.

Bila di suatu negara kemanusiaan dan keadilan ditegakkan, maka tidak akan ada di sana perbudakan dan ketundukan, kecuali kepada Tuhan Yang Mahatinggi. Dengan begitu, manusia dapat hidup bebas dan merdeka dalam arti yang sesungguhnya. Wallahu a'lam.


Kolom Hikmah Repubika Aug.16.07
Kamis, 16 Agustus 2007, Tajuk harian Republika

Merdeka dari Ketimpangan



Indonesia bisa berbangga diri sebagai negara berpenduduk terbesar keempat di dunia yang mempraktikkan demokrasi. Sistem ini meniscayakan kebebasan, salah satu pilar kemerdekaan. Inilah salah satu buah reformasi tahun 1998, saat kita membebaskan diri dari penindasan. Sebuah episode panjang setelah kita membebaskan diri dari penjajahan pada 1945. Ya, besok, seperti halnya pada 62 tahun lalu, 17 Agustus jatuh pada hari Jumat, saat kita memproklamasikan kelahiran negara Indonesia. Jumat adalah hari yang diutamakan oleh umat Islam dan juga suku Jawa, yang menjadi mayoritas di Indonesia ini.

Dalam semangat kemerdekaan ini, kita bisa berefleksi dan berintrospeksi. Apa yang kurang dan apa yang sudah dicapai. Kita bersyukur bahwa negeri ini mampu bertahan dari keterpecahan dan tetap utuh sebagaimana saat kita merdeka. Negeri-negeri besar yang merdeka setelah Perang Dunia II tak semuanya bisa mempertahankan keutuhan wilayahnya. Contohnya India dan Mesir. Usai perang dingin, masa keruntuhan negeri-negeri besar terjadi lagi: Uni Soviet dan Yugoslavia. Indonesia memang kehilangan Timor Timur, namun itu tak perlu disesali. Masuknya wilayah bekas jajahan Portugal ke Indonesia itu sebenarnya kecelakaan sejarah akibat terjebak semangat war against communism yang digelorakan blok Barat.

Kita juga bersyukur bahwa negeri yang dipisahkan 17 ribu pulau serta terdiri atas beragam etnis dan budaya ini tak terjebak perang sektarian seperti yang menimpa negeri-negeri Afrika. Saat gelombang ketiga demokratisasi melanda dunia pada dekade 1990-an, Indonesia juga berhasil memasukinya. Tak hanya itu, sistem itu dipraktikkan tanpa ada pertumpahan darah seperti yang menimpa negara-negara berkembang lainnya.

Namun harus diakui, ada dua prahara yang menyakitkan saat kita berada dalam transisi. Pertama, prahara saat kejatuhan rezim Sukarno. Kedua, prahara menjelang, saat, dan setelah kejatuhan Soeharto. Bahkan prahara yang kedua ini relatif panjang: Ada konflik etnik di Kalimantan, konflik agama di Maluku dan Poso, kerusuhan Mei 1998, dan kisruh dukun santet di Jawa Barat serta Jawa Timur. Lainnya, kita terpukul aksi teroris. Namun kita berhasil menyelesaikan gerakan separatis di Aceh. Dalam konteks ini kita menyisakan gerakan separatis di Maluku dan Papua. Tentu kita tak melupakan fase pahit rezim represif Orde Baru yang telah berhasil kita lalui.

Lalu apa pekerjaan besar kita saat ini? Penting dicatat di sini bahwa kemerdekaan adalah prasyarat bagi sebuah bangsa untuk mengembangkan diri sebagai bangsa yang maju dan sejahtera. Sedangkan demokrasi adalah instrumennya. Dalam konteks ini kita harus mengakui bahwa kita masih tertinggal, terbelakang, dan miskin. Bahkan kemerdekaan dan kebebasan itu baru dinikmati secara benar hanya oleh sebagian kecil elite di negeri ini. Sedangkan sebagian besar lagi masih berkubang pada kemelaratan dan kebodohan. Kata kuncinya bukanlah melarat dan bodoh, tapi ketimpangan. Di negeri semaju apapun, tetap saja ada sedikit orang yang miskin dan bodoh. Sehingga yang tak boleh terjadi adalah adanya ketimpangan. Inilah perjuangan kita: Merdeka dari ketimpangan. Kita baru berhasil memerdekakan diri dari penjajahan dan penindasan.

Ketimpangan meniscayakan ketidakadilan di segala bidang. Padahal demokrasi adalah kesamaan dan kesetaraan di depan hukum, serta kesamaan kesempatan dan peluang. Namun saat ini kita menyaksikan ketidakadilan dalam mendapatkan pekerjaan, berusaha, berekspresi, pelayanan, dan perlakuan hukum.

Jika kita tak mampu merdeka dari ketimpangan, maka kita bisa kembali ke siklus masa lalu. Tentu kita tak menghendakinya.

62 Tahun Indonesia Merdeka (IV)

Refleksi HUT RI ke-62, Ber(Indonesia) dengan Kesadaran Multikultural Thursday, 16 August 2007 Harian surya surabaya
Konflik-konflik terus terjadi, karena sekalipun bangsa
ini demokratis, sejatinya bangsa ini belum bisa keluar dari masyarakat
tribalis yang tertutup

Tanggal 17 Agustus menjadi hari yang super penting bagi rakyat Indonesia,
karena menjadi titik awal para pendiri bangsa (founding father) membentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang bebas kolonialisme. Kini
menjelang peringatan HUT RI ke-62 diwarnai polemik kontroversi lagu
asli Indonesia Raya berkat klaim temuan Roy Suryo dan Yayasan Air Putih
diperpustakaan Leiden, Belanda, yang kemudian dibantah banyak pihak
termasuk musisi Des Alwi. (Surya, 06/08)

Pertanyaan mendasar yang segera kita ajukan, kira-kira apa urgennya
mempolemikkan autentisitas lagu Indonesia Raya itu? Bukankah
mempertanyakan keaslian tak lebih hanyalah bagian sifat maskulinitas yang
tergopoh-gopoh dengan romantisme sejarah.

Dalam pandangan saya polemik ini tak jauh berbeda maknanya dengan
kebanyakan dari kita, yang menyambut HUR RI dengan berlomba panjat
pinang, lari karung, lomba bawa kelereng dengan sendok, lomba
memasukkan benang ke jarung jahit dan lain sebagainya. Model seperti ini,
sesungguhnya hanyalah memaknai kemerdekaan RI ini dalam arti simbolik,
yang tak membawa implikasi apa-apa dalam perbaikan kesejahteraan kolektif
bangsa.

Harus bahwa bangsa Indonesia itu terdiri dari suku bangsa Jawa, Madura, Batak, Aceh, Melayu, Banjar, Dayak, Sumba, Bali, Ambon, Sunda, Bali, Tionghoa, Arab, India dan sebagainya. Begitu halnya aneka ragam identitas ini memiliki agama yang berbeda pula ada Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.

Keanekaragaman ini menjadi mozaik yang semestinya indah untuk
membangun peradaban pencerahan kemanusiaan. Namun faktanya
kemajemukan identitas itu justru mejadi awal petaka terjadinya konflik di seluruh belahan Nusantara. Konflik-konflik itu selalu
bermunculan atas nama agama, etnis dan kepentingan ekonomi-politik.
Konflik-konflik ini terjadi saya kira lemahnya makna perjumpaan diantara
kemajemukan identitas komponen bangsa. Juga, adanya sifat
fanatisme terhadap identitas masing-masing.

Mengapa konflik-konflik terus terjadi, karena sekalipun bangsa
ini demokratis, sejatinya bangsa ini belum bisa keluar dari masyarakat
tribalis yang tertutup (closed society), untuk menuju masyarakat demokratis
yang terbuka (open society), rasional dan kompetitif.

Kini konflik sosial secara vertikal dan horizontal terus mendapatkan tempatnya, ketika perebutan kekuasaan politik semakin terbuka. Kenyataannya
keanekaragaman atas nama agama, etnis kelompok selalu dituduh menjadi
biang konflik, meskipun pandangan semacam ini tetap harus dikoreksi karena
tidak pernah mengaitkan atas akses ekonomi politik bagi minoritas.

Terapi Multikulturalisme
Orang tidak akan sanggup terus-menerus menghadapi konflik, kekerasan dan
ketidakpastian. Suatu sistem politik yang rasional, dapat diramalkan, dan
memperhitungkan manajemen konflik, diperlukan untuk menjamin masa
depan yang lebih baik. Sistem politik semacam itu tidak bisa mengabaikan
etika politik. (Haryatmoko, Halaqah Budaya, 2007: 1)
Oleh karena itu, perlu didorong bagaimana proses pilkada yang selama ini jadi
sumber konflik, seharusnya menjadi ajang demokrasi yang santun, bukan
pintu konflik yang terbuka. Sebab dalam sistem politik demokrasi, kehadiran
pemilu dan pilkada yang bebas dan adil (free and fair) adalah suatu
keniscayaan.

Sebagaimana dijelaskan Muhammad Asfar, adanya pemilu dan pilkada secara
bebas dan adil, memungkinkan pihak-pihak yang berkonflik menahan diri dan
memanfaatkan pemilu sebagai sarana untuk berkonflik.

Sebab pertama,
kelompok-kelompok oposisi yang ingin mengganti pemerintah akan
memusatkan tenaganya untuk menghadapi pemilu dan bukannya menyerang
pemerintah melalui kekuatan fisik. Kedua, pihak penguasa bisa melakukan
konsolidasi kekuasaan untuk menghadapi penantangnya melalui pemilu dan
bukannya menekan melalui kekerasan fisik dan senjata. (Muhammad Asfar,
Pemilu dan Perilaku Memilih 1955-2004, 2006: 4)
Tetapi, nyatanya diskriminasi selalu dialami oleh kelompok-kelompok
minoritas yang tersingkir dan diperlakukan tidak adil. Pada altar inilah
multikulturalisme bergema untuk meniupkan angin kesegaran untuk
membuka kesadaran baru bagi masyarakat anggota bangsa agar perbedaan
dijamin dan diterima apaadanya.

Setidaknya ada tiga tujuan mulia dari multikulturalisme yang dapat
menjembatani keanekaragaman identitas bangsa ini.

Pertama,
multikulturalisme memperjuangkan agar setiap warga negara mempunyai
kesempatan yang sama (hak dan kewajiban) dan atas dasar kemampuan
masing-masing ikut serta mengarahkan masa depan masyarakatnya.

Kedua, multikulturalisme mendorong masyarakat mengakui dan menerima
keberagaman budaya sehingga berkembang rasa memiliki dan komitmen
pada masyarakatnya. Ketiga, dengan kebijakan multikulturalisme, mau
dibangun masyarakat yang menjamin perlakuan adil dan hormat akan
martabat setiap orang dari manapun asalnya.

Sebenarnya bangsa ini sudah benar membuat paradigma Bhinneka Tunggal
Ika, untuk mengakomodasi multikultural bangsa ini, hanya persoalannya
kemudian tafsirnya selalu tidak bebas dari politik kekuasaan.

Jika kita ikuti aturan filsafat bahasa maka Bhinnek' adalah bentuk wajah
asli bangsa Indonesia yang majemuk dan plural, sebab realitas kebangsaan ini
yang taken for granted. Sedangkan Tunggal Ika merupakan gagasan ideal
yang menjadi cita, tujuan, dan acuan dari fakta sosial yang pluralitas dalam
sebuah bangsa ini.

Karenanya, haruslah dimaknai sebagai keanekaramanan kultural dari
identitats masyarakat Indonesia untuk menyatu. Dalam tafsir ini berindonesia
berarti sebuah konsep negara yang tak lebih sebagai proses mem'bangsa'
dan me'masyarakat' untuk membentuk masyarakat baru yang inklusif,
toleran dan demokratis. Sehingga tafsir yang lengkap dari Bhinneka Tunggal
Ika adalah berbeda-beda untuk menyatu membentuk Negara kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Bukan seperti tafsir yang dikembangkan oleh Orde Baru yang memaknai
Bhinneka Tunggal Ika sebagai berbeda-beda tapi tetap satu.

Tafsir yang
dikembangkan Orde Baru itu dalam perspektif filsafat bahasa lebih
dimaksudkan sebagai usaha penyeragaman kemajemukan identitas bangsa
Indonesia ini. Maka akibat yang mesti ditanggung bersama sampai hari ini
adalah derita kemanusiaan yang akut pada basis konflik dan pertengkaran
sosial yang tidak tahu kapan akan usai.

Keanekaragaman kultur bangsa ini sesungguhnya menjadi prasarat penting
untuk menjadi bangsa besar, dalam meletakkan common goal, bangsa ini
sesungguhnya sudah benar memilih Bahasa Melayu sebagai bahasa
kebangsaan.

Namun dalam perspektif multikulturalisme saya ingin memperluas tafsir
bahasa melayu sebagai salah satu common goal bangsa Indonesia dalam
bingkai negara bangsa modern (modern nation state).

Dipilihnya Bahasa
Melayu sebagai bahasa kebangsaan Indonesia karena, sifat bahasa
ini yang sangat demokratis, tidak seperti Bahasa Jawa
yang feodalistik. Kedua, bahasa melayu itu ditemukan dari
pelosok tanah air di Pulau Sumatra dari komunitas masyarakat yang
minoritas, yang dimungkinkan tidak akan melahirkan hegemoni dan
eksploitasi terhadap perjalanan sejarah bangsa ini.

Tidak terbayangkan jika pada tahun 1928, para pelopor Sumpah Pemuda
menjadikan bahasa Jawa sebagai bahasa persatuan.

Dapat dipastikan akan
terjadi hegemoni yang luar biasa, sebagaimana ditunjukkan oleh Orde Baru,
sekalipun bahasa Jawa tidak dipilih sebagai bahasa nasional, struktur bangsa
ini diseragamkan dan diatur sesui sistem feodalistik Jawa. Betapa pentingnya menumbuhkan terus-menerus common goal bagi bangsa
Indonesia. Sebab common goal adalah hal-hal pokok yang harus dipetik dan
disepakati bersama. Seperti isi Sumpa Pemuda, 1928, yakni bahasa, bangsa,
dan tanah air Indonesia.

Konsep seperti ini diperluas Hassan Hanafi, 1999, dalam Islam in
The Modern World yang mengklasifikasikan common goal menjadi tujuh
macam. Yaitu, (1) kemerdekaan dari penjajah, (2) kebebasan
menghadapi ketidak-adilan dan sistem otoriter, (3) keadilan sosial
dalam rangka memecahkan problem kemiskinan dan kesenjangan sosial, (4)
kesatuan bangsa dalam menghadapi ancaman disintegrasi, (5)
pembangunan dan pemajuan dalam menghadapi kemunduran, (6) penetapan
identitas kebangsaan dalam menghadapi segala macam bentuk westernisasi,
dan (7) mobilisasi masyarakat seluruhnya dalam melawan kejumudan,
stagnasi dan sikap acuh kepada permasalahan bersama bangsa.
Oleh karena itu, di usianya ke-62 tahun bagi bangsa besar ini, rasanya lebih
strategis jika semua kekuatan bangsa memaknai kembali Indonesia.
Dibandingkan sekedar berdebat soal lagu Indonesia Raya dan
perayaan perlombaan yang berakhir kerusuhan sosial.

Oleh: Sufyanto
Mahasiswa Program Doktor (S3) Ilmu Sosial
Universitas Airlangga Surabaya

62 tahun indonesia merdeka ( III )

Tuesday, 14 August 2007 Harian Sore Wawasan

Nasionalisme sebatas kata-kata

KEMERDEKAAN bangsa Indonesia tidah diperoleh dengan cara yang mudah. Kemerdekaan yang kita peringati setiap tanggal 17 Agustus bukanlah suatu pemberian atau hadiah dari penjajah, melainkan dari pengorbanan para pejuang pembela tanah air kita.

Dalam proses pencapaian kemerdekaan Republik Indonesia (RI), puluhan bahkan ribuan pahlawan kemerdekaan gugur di medan pertempuran. Mereka tidak hanya berkorban harta dan benda, melainkan nyawa pun mereka taruhkan untuk mengusir para penjajah dari bumi Indonesia. Banyak dari kaum wanita yang terpaksa harus menjanda, dan tidak sedikit pula dari anakanak bangsa yang terpaksa menjadi yatim piatu.

Mengingat begitu besarnya pengorbanan para pahlawan kita dalam memperjuangkan kemerdekaan, maka sudah sepantasnya. Hari Ulang Tahun (HUT) kemerdekaan Republik Indonesia (RI) diperingati oleh segenap komponen bangsa.

Peringatan ini bertujuan untuk mendoakan arwah para pahlawan, mengenang perjuangan dan pengorbanan yang telah mereka berikan bagi bangsa Indonesia, serta memupuk nasionalisme generasi penerus bangsa.

Dengan dilakukannya peringatan HUT kemerdekaan RI, diharapkan generasi muda sebagai generasi penerus bangsa dapat mengisi kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan halhal yang positif, hal-hal yang dapat membangun dan meningkatkan harkat dan martabat bangsa di mata dunia internasional.

Khusus untuk Kota Semarang, peringatan HUT kemerdekaan RI yang ke-62 kali ini jauh lebih meriah daripada tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya, peringatan HUT diawali dengan gelar Semarang Pesona Asia (SPA) yang diselenggarakan dari tanggal 9- 15 Agustus 2007. Berbagai macam lampu hias, umbul-umbul, spandukspanduk, dan asesoris, bernuansa nasionalisme terdapat di seluruh penjuru kota.

Aksi gotong-royong membersihkan jalan, mengecat pagar-pagar rumah, dan membuat gapura menjadi fenomena yang selalu terjadi menjelang peringatan HUT kemerdekaan RI. Berbagai macam hiburan dan perlombaan, seperti jalan sehat dan balap karung, banyak digelar guna menambah semarak perayaan HUT kemerdekaan RI.

Sayangnya, masyarakat seringkali larut dalam suasana senang-senangnya saja. Akibatnya, terjadi pergeseran makna dari peringatan HUT kemerdekaan RI itu sendiri. Peringatan yang semula bertujuan untuk mengenang jasa-jasa para pejuang kemerdekaan dan menumbuhkan nasionalisme generasi muda beralih menjadi ajang hiburan semata.

Perayaan HUT kemerdekaan RI yang mendatangkan artis-artis terkenal akan dapat dengan mudah menyedot antusiasme masyarakat. Tidak heran jika generasi muda lebih fasih menyanyikan lagu-lagu pop kontemporer dari pada menyanyikan lagulagu wajib nasional.

Menurut penulis, nasionalisme dalam peringatan HUT kemerdekaan RI tahun ini semakin memudar. Lagulagu perjuangan pun sudah sangat jarang diperdengarkan. Nasionalisme yang ada sekarang ini hanya sebatas kata. Orang sangat sering berbicara mengenai nasionalisme, namun mereka tidak memahami apa makna nasionalisme tersebut.

Memudarnya nasionalisme dikalangan masyarakat disebabkan oleh dua hal. Pertama, tidak ada contoh kepahlawanan sejati yang ditunjukan oleh para pemimpin di negeri ini. Pahlawan sejati, layaknya pahlawanan pejuang kemerdekaan, rela mengorbankan harta dan nyawanya untuk tanah air Indonesia. Saat ini yang ada hanyalah ‘’penjajah-penjajah’’ yang mengatasnamakan rakyat untuk memperoleh kepentingan pribadi atau golongannya sendiri.

Dalam hal kepahlawanan kiprah tim nasional sepak bola Indonesia dalam ajang piala Asia beberapa waktu lalu, barangkali bisa dijadikan sebagai contoh. Mereka mengeluarkan segala kemampuan dan berjuang ‘’mati- matian’’ untuk mengalahkan lawan. Tidak sedikit dari mereka yang harus cidera demi mengharumkan nama bangsa Indonesia di dunia sepak bola.

Sikap kepahlawanan inilah yang pada akhirnya menumbuhkan rasa nasionalisme masyarakat kita. Puluhan ribu supporter bersatu padu menanggalkan atribut daerahnya guna mendukung tim nasional berlaga.

Kedua, peringatan HUT kemerdekaan RI dijadikan ajang untuk mencari keuntungan oleh para pengusaha. Salah satu indikator yang dapat kita lihat adalah dari beragam sepanduk kemerdekaan yang mereka buat. Isi pesan dari sepanduk-sepanduk tersebut lebih menonjolkan promosi produk yang mereka tawarkan daripada pesanpesan yang dapat menggugah rasa nasionalisme.

Menurut hemat penulis, guna menumbuhkan kembali nasionalisme masyarakat dalam peringatan HUT kemerdekaan RI maka harus dilakukan beberapa perubahan. Selain para pemimpin di negeri ini harus menunjukkan sikap kepahlawanan yang sejati, lomba-lomba yang diselenggarakan menjelang 17-an juga harusnya dapat menghibur sekaligus memupuk nasionalisme. Misalnya saja lomba drama perjuangan. Dengan drama semacam ini, generasi muda ‘’dipaksa’’ untuk belajar kepahlawanan, mengenang perjuangan para pahlawan, dan memainkannya dalam sebuah drama. Perusahaan-perusahaan bisnis harus berperan aktif dalam memberikan dukungan finansial guna mengembangkan drama semacam ini.

Selain lomba drama perjuangan, pemutaran film-film perjuangan juga perlu digalakkan agar generasi muda dapat membayangkan dan merasakan betapa susahnya kemerdekaan Indonesia diraih. hf

Penulis Dwi Hastho Mahasiswa FISIP Undip

62 TAHUN INDONESIA MERDEKA (II)

TAJUK RENCANA SUARA MERDEKA 16 AUG 2007
Berpikir tentang Keindonesiaan
Memasuki usia kemerdekaan ke-62, bangsa dan negara kita masih harus bergulat dengan berbagai persoalan yang begitu beragam. Kadang kita merasa sudah melompat jauh ke depan dalam menata kehidupan demokrasi, tetapi pada aspek lain justru mundur ke belakang karena tingkat kemakmuran dan pemerataan yang masih seperti berjalan di tempat. Ukurannya selalu pada output dan bagaimana kita bisa menyelesaikan persoalan mendasar seperti kemiskinan dan pengangguran. Harus diakui, kita masih sangat rentan dalam soal ini, dan masih tertatih-tatih menghadapi persaingan global yang kian mencekam.

Kehidupan demokrasi dan kebebasan pers sering dibanggakan sebagai buah reformasi sejak 1998 setelah tumbangnya rezim Orde Baru. Demikian juga kita dikatakan selangkah lebih maju dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, kendati masih jauh dari memuaskan. Tetapi di sisi lain kita justru dihadapkan pada kenyataan tentang lemah dan kurang efektivitasnya pemerintahan. Sistem politik dengan multipartai, pemilihan presiden dan pilkada langsung adalah langkah-langkah besar dalam demokrasi. Tetapi ada sesuatu yang harus dibayar ketika tatanan pemerintahan tak lagi mempunyai vitalitas yang memadai.

Kita juga kurang berpikir tentang keindonesiaan. Sudah berpuluh-puluh tahun belum dikonsep dan diimplementasikan dengan baik strategi pembangunan yang merata ke seluruh penjuru Tanah Air. Insiden penurunan bendera Merah Putih di Aceh, insiden tari Cakalele oleh aktivis Republik Maluku Selatan (RMS), juga Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang menggeliat menggambarkan masih rentannya integrasi. Semua sepakat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah final, tetapi apakah kita mampu menjaganya? Terkadang tanggung jawab dilupakan. Keinginan suatu daerah untuk merdeka lebih karena terabaikan.

Bagaimanapun elite politik dan para pemimpin nasional memiliki peran strategis untuk menentukan ke mana arah ke depan, dan bagaimana kita akan melangkah. Coba direnungkan, apakah sudah tepat apabila semangat otonomi selalu harus dibarengi dengan permintaan pemekaran wilayah dengan munculnya kota/ kabupaten atau provinsi baru? Tampaknya lebih aspiratif dan adil, padahal sesungguhnya ada dampak disintegratif dan inefisiensi atau pemborosan keuangan negara puluhan triliun rupiah. Berapa banyak kantor baru harus dibangun, demikian juga fasilitas lain. Dana operasional pun membengkak luar biasa.

Siapa yang harus memikirkan semua itu? Ketika tak ada lagi lembaga tertinggi negara, dan malah terjadi disharmoni antarlembaga tinggi, sesungguhnya kita bisa kehilangan haluan yang merupakan akumulasi tekad bersama. Sangatlah riskan bangsa atau negara yang tak memiliki visi yang jelas dan terukur setidak-tidaknya sampai 25 tahun ke depan. Kalaupun visi sudah ada, apakah juga telah menjadi komitmen bersama, karena tidak sedikit yang membuat sesuai versinya masing-masing? Di sini kita melihat bangsa ini semakin lepas dan longgar, padahal persaingan global membutuhkan kepemimpinan kuat dan visi yang tajam.

Renungan di hari kemerdekaan seharusnya tak lepas dari pemikiran tentang keindonesiaan, dan sebaliknya meninggalkan sikap pragmatis. Kelemahan dirasakan dalam kepemimpinan nasional, terutama dalam mengonsolidasi dan mengendalikan seluruh potensi bangsa. Kepercayaan internasional pun berkurang, karena kita dinilai tak mampu menjaga kepastian baik dalam politik, hukum, sosial dan keamanan. Dan, ketika investasi serta aktivitas ekonomi tak meningkat, problem akan semakin menumpuk. Berpikir tentang keindonesiaan berarti kita meninggalkan kepentingan sempit kelompok, golongan, apalagi individu.

62 TAHUN INDONESIA MERDEKA (II)

TAJUK RENCANA SUARA MERDEKA 16 AUG 2007
Berpikir tentang Keindonesiaan
Memasuki usia kemerdekaan ke-62, bangsa dan negara kita masih harus bergulat dengan berbagai persoalan yang begitu beragam. Kadang kita merasa sudah melompat jauh ke depan dalam menata kehidupan demokrasi, tetapi pada aspek lain justru mundur ke belakang karena tingkat kemakmuran dan pemerataan yang masih seperti berjalan di tempat. Ukurannya selalu pada output dan bagaimana kita bisa menyelesaikan persoalan mendasar seperti kemiskinan dan pengangguran. Harus diakui, kita masih sangat rentan dalam soal ini, dan masih tertatih-tatih menghadapi persaingan global yang kian mencekam.

Kehidupan demokrasi dan kebebasan pers sering dibanggakan sebagai buah reformasi sejak 1998 setelah tumbangnya rezim Orde Baru. Demikian juga kita dikatakan selangkah lebih maju dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, kendati masih jauh dari memuaskan. Tetapi di sisi lain kita justru dihadapkan pada kenyataan tentang lemah dan kurang efektivitasnya pemerintahan. Sistem politik dengan multipartai, pemilihan presiden dan pilkada langsung adalah langkah-langkah besar dalam demokrasi. Tetapi ada sesuatu yang harus dibayar ketika tatanan pemerintahan tak lagi mempunyai vitalitas yang memadai.

Kita juga kurang berpikir tentang keindonesiaan. Sudah berpuluh-puluh tahun belum dikonsep dan diimplementasikan dengan baik strategi pembangunan yang merata ke seluruh penjuru Tanah Air. Insiden penurunan bendera Merah Putih di Aceh, insiden tari Cakalele oleh aktivis Republik Maluku Selatan (RMS), juga Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang menggeliat menggambarkan masih rentannya integrasi. Semua sepakat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah final, tetapi apakah kita mampu menjaganya? Terkadang tanggung jawab dilupakan. Keinginan suatu daerah untuk merdeka lebih karena terabaikan.

Bagaimanapun elite politik dan para pemimpin nasional memiliki peran strategis untuk menentukan ke mana arah ke depan, dan bagaimana kita akan melangkah. Coba direnungkan, apakah sudah tepat apabila semangat otonomi selalu harus dibarengi dengan permintaan pemekaran wilayah dengan munculnya kota/ kabupaten atau provinsi baru? Tampaknya lebih aspiratif dan adil, padahal sesungguhnya ada dampak disintegratif dan inefisiensi atau pemborosan keuangan negara puluhan triliun rupiah. Berapa banyak kantor baru harus dibangun, demikian juga fasilitas lain. Dana operasional pun membengkak luar biasa.

Siapa yang harus memikirkan semua itu? Ketika tak ada lagi lembaga tertinggi negara, dan malah terjadi disharmoni antarlembaga tinggi, sesungguhnya kita bisa kehilangan haluan yang merupakan akumulasi tekad bersama. Sangatlah riskan bangsa atau negara yang tak memiliki visi yang jelas dan terukur setidak-tidaknya sampai 25 tahun ke depan. Kalaupun visi sudah ada, apakah juga telah menjadi komitmen bersama, karena tidak sedikit yang membuat sesuai versinya masing-masing? Di sini kita melihat bangsa ini semakin lepas dan longgar, padahal persaingan global membutuhkan kepemimpinan kuat dan visi yang tajam.

Renungan di hari kemerdekaan seharusnya tak lepas dari pemikiran tentang keindonesiaan, dan sebaliknya meninggalkan sikap pragmatis. Kelemahan dirasakan dalam kepemimpinan nasional, terutama dalam mengonsolidasi dan mengendalikan seluruh potensi bangsa. Kepercayaan internasional pun berkurang, karena kita dinilai tak mampu menjaga kepastian baik dalam politik, hukum, sosial dan keamanan. Dan, ketika investasi serta aktivitas ekonomi tak meningkat, problem akan semakin menumpuk. Berpikir tentang keindonesiaan berarti kita meninggalkan kepentingan sempit kelompok, golongan, apalagi individu.

62 Tahun Indonesia Merdeka (I)

Kamis, 16 Agustus 2007


Tajuk Rencana Kompas


Keprihatinan di Hari Proklamasi

Rel kereta api digergaji. Penganggur masih sekitar 10 juta. Penduduk miskin terhitung masih sekitar 35 juta orang. Di banyak tempat orang berunjuk rasa.

Unjuk rasa di sana-sini diikuti bentrokan. Bencana alam terus menggebu. Penyakit flu burung dan demam berdarah pasang surut. Dari negara-negara tetangga pun, kita masih ketinggalan. Prihatin, ya, prihatin. Itulah suasana hati kita dalam menyambut dan memperingati Hari Proklamasi Kemerdekaan Ke-62.

Dengan sengaja kita lukiskan suasana pikiran dan hati kita dengan prihatin. Suatu ungkapan sarat nuansa dan makna. Sedih, berduka, tetapi tidak menyerah, apalagi patah semangat. Mengandung kritik, koreksi, dan peringatan, tetapi kental dengan nuansa menyalahkan dan menggugat diri sendiri. Bersedih hati, tetapi tidak patah semangat, bahkan tetap menimba semangat kebangkitan, harapan, serta upaya bersama dari kondisi yang memprihatinkan itu.

Memperingati Hari Proklamasi berarti menghidupkan cita-cita, semangat, dan komitmen bersejarah masa lampau untuk masa depan disertai refleksi kritik terhadap pengalaman jatuh bangun dan pasang surut selama 62 tahun ini. Luar biasa historis alias bersejarah, pengorbanan dan heroisme pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan. Pandangan, sikap, dan tujuan perjuangan dan pergulatan para Bapak Bangsa sungguh berdimensi dan bermakna sejarah yang mendahului zaman, lengkap dan amat sangat aktual hingga kini dan selanjutnya. Negara merdeka, berfaham kebangsaan yang terbuka, berideologi Pancasila yang merupakan sublimasi dari kekayaan Ibu Pertiwi yang diaktualkan dan diperkaya dengan beragam ideologi dunia serta dikunyah tuntas, sehingga merupakan jati diri yang historis, sekaligus aktual dan relevan. Ya, mendahului zaman.

Pelaksanaan, penyelenggaraan perikehidupan bangsa dan negara yang merdeka untuk mewujudkan cita-cita dan komitmen bersama itulah tantangan selama 62 tahun. Itu pula tantangan di depan mata kita dalam konteks dunia yang semakin terbuka dan global. Jalan yang kita pilih kini jalan demokrasi. Demokrasi yang mana? Bukan liberal parlementer seperti tahun lima puluhan, bukan demokrasi terpimpin, bukan demokrasi otokratis. Demokrasi yang menghargai martabat dan hak asasi, yang memberikan kebebasan, yang mewujudkan kedaulatan rakyat lewat pemilihan umum, yang praktiknya kini ya presidensial, ya parlementer.

Berbagai jalan yang kita tempuh selama ini disertai tujuan dan cara subyektif yang baik, yakni semakin cepat mewujudkan tujuan kemerdekaan yang secara amat mulia dan bersintesa dirumuskan dalam kelima sila Pancasila. Yang semangat, prinsip, dan tujuannya yang konkret adalah keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh warga. Demokrasi adalah jalan. Betapapun prinsipiilnya, jalan itu akhirnya haruslah menuju ke kesejahteraan seluruh rakyat secara adil. Komitmen pada tujuan dan prinsip kecuali disertai semangat pengabdian dan pengorbanan disertai upaya dan kerja keras lagi jujur, harus pula cakap dan cerdas. Diperlukan pelengkap ilmu pengetahuan, teknologi, dan kerja sama yang kritis positif dengan bangsa-bangsa lain. Dalam sistem politik apa pun, suatu bangsa yang mengejar cita-cita dan tujuannya memerlukan kepemimpinan pada tingkat puncak dan semua eselonnya formal maupun informal. Ya, kita peringati Hari Proklamasi Kemerdekaan Ke-62 ini dengan keprihatinan!


Terlunta di Negeri Merdeka

Baskara T Wardaya

Ketika pada tanggal 17 Agustus 1945 Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsanya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, yang mereka maksud adalah kemerdekaan bagi seluruh rakyat di bekas wilayah Hindia Belanda.

Bagi mereka, kemerdekaan itu bukan hanya untuk kelompok ekonomi tertentu, kelompok etnis tertentu, atau kelompok agama tertentu. Kemerdekaan adalah kemerdekaan untuk semua.

Itu sebabnya penjajah bermaksud menguasai kembali negeri ini dan dilawan kedua proklamator serta para pejuang. Hal ini dimaksudkan, sekali lagi, kemerdekaan untuk semua. Dengan prinsip sadumuk bathuk sanyari bumi, yang berarti ’tidak rela tanahnya dikuasai kembali oleh penjajah meski hanya sejengkal’, para pejuang mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan tanah tumpah darah. Banyak pejuang mati di tangan musuh asing. Namun, bagi mereka, lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup tertindas di bawah penjajah. "Merdeka atau mati!", itu tekad mereka.

Berjuang sendirian

Betapa ironisnya 62 tahun kemudian, saat kita menengok ke belakang dan merenungkan kembali perjalanan negeri ini, sejak kemerdekaan diproklamasikan. Tampak begitu banyak warga "negeri merdeka" yang ternyata tetap tertindas dan terlunta-lunta di tanah tumpah darahnya sendiri. Banyak dari mereka tak mampu memiliki cukup tanah untuk tinggal atau menghidupi diri. Berbagai upaya untuk bisa mendapatkan tanah yang layak selalu mengalami hambatan karena harus berhadapan dengan kepentingan mereka yang lebih kuat dan lebih berkuasa.

Kita masih ingat, pada tahun 1960-an ada upaya untuk membagi tanah secara adil berdasarkan undang-undang resmi pemerintah (Undang-Undang Pokok Agraria). Upaya itu justru menimbulkan ketegangan sosial dan menjadi salah satu pemicu bagi pembantaian massal terhadap rakyat kecil. Sistem kepemilikan tanah yang lebih adil pun gagal dilaksanakan. Tak cukup dengan tragedi pembunuhan sesama warga, kasus-kasus tanah terus merebak sejak naiknya rezim otoritarian yang merebut panggung kepemimpinan setelah berlangsungnya tragedi itu.

Terjadilah, misalnya, kasus penggusuran paksa tanpa ganti rugi yang pantas demi pembangunan Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta (1971), misalnya. Juga sengketa tanah di Gunung Balak, Lampung (1972), kasus tanah Siria-ria, Sumatera Utara (1977), dan penggusuran demi pembangunan Taman Borobudur, Jawa Tengah (1982). Begitu pula kasus tanah Kedung Ombo (Jawa Tengah), penggusuran untuk pembuatan lapangan golf di Cimacan (Jawa Barat), kasus tanah Kemayoran, serta kasus tanah Talangsari (Lampung)—yang semuanya berlangsung tahun 1989. Pada tahun 1996 terjadi kasus tanah Balongan (Jawa Barat) dan Nipah (Madura). Belum lagi kasus lumpur Lapindo (2006) di Jawa Timur yang melahap tanah tempat tinggal dan gantungan hidup banyak warga masyarakat. Ini belum terhitung ratusan kasus penggusuran di kota-kota besar, dengan warga diusir dari tempat tinggalnya tanpa alternatif memadai.

Terakhir, Mei 2007. Kita dibuat sedih oleh kasus Alas Tlogo, Jawa Timur, saat sejumlah warga harus mati saat hendak mempertahankan tanah tempat mereka hidup. Di Alas Tlogo itu rakyat gugur bukan karena mempertahankan tanah dari serangan musuh asing, tetapi oleh oknum aparat. Sungguh menyedihkan.

Semua kasus itu dan berbagai kasus lain yang ada boleh saja berbeda tempat dan waktu terjadinya. Namun, biasanya berujung pada klimaks yang sama: atas nama kepentingan tertentu rakyat harus minggir dan meninggalkan tanah tempat mereka hidup. Mereka digusur secara tidak adil dari tempat tinggal di Tanah Air mereka sendiri, yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh pahlawan pendahulu mereka.

Sementara itu, ribuan warga masyarakat yang terpinggirkan akhirnya harus hidup terlunta-lunta secara ekonomis dan terpaksa mencari nafkah di negeri-negeri lain sebagai buruh kasar atau pembantu rumah tangga. Keterlunta-luntaan tersebut sering membuat mereka harus berjuang sendiri melawan kekejaman para majikan.

Kasus tewasnya Siti Tarwiyah dari Ngawi dan Susmiyati dari Pati serta teraniayanya dua rekan lain di tangan anak majikan mereka di Arab Saudi, Agustus 2007 ini, hanyalah contoh terakhir tragedi anak bangsa dari negeri yang resminya sudah merdeka ini.

Penjajahan baru

Menjadi tampak, pada satu sisi kemerdekaan yang diproklamasikan tahun 1945 telah membuat kita bebas dari penjajahan asing. Namun, di sisi lain belum seluruh rakyat Indonesia berkesempatan menikmati kemerdekaan itu. Banyak orang di negeri ini masih hidup di bawah tekanan dan ketertindasan. Apa yang diperjuangkan para pahlawan kemerdekaan belum sepenuhnya menjadi kenyataan.

Itu sebabnya acara mengheningkan cipta pada setiap upacara bendera, termasuk upacara peringatan Proklamasi, bukan hanya merupakan saat penting untuk mengenang jasa pahlawan, tetapi juga menjadi kesempatan istimewa guna menundukkan kepala bagi mereka yang meski telah diperjuangkan oleh para pahlawan, tetapi masih terlunta-lunta di negeri merdeka milik sendiri. Mereka ini berhak mendapat perhatian dan pembelaan dari siapa saja. Kemerdekaan kita adalah kemerdekaan untuk semua.

Jelaslah, bagi rakyat Indonesia merdeka dari penjajah asing itu penting. Namun, tak kalah penting adalah merdeka dari bentuk-bentuk penjajahan baru, entah itu datang dari bangsa asing, entah itu datang dari bangsa sendiri. Merdeka!

Baskara T Wardaya Direktur Pusat Sejarah dan Etika Politik (Pusdep) Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Sumber: Opini Kompas Aug.16.07


Merdeka bagi Rakyat Miskin
Benny Susetyo

Setiap memperingati hari kemerdekaan, selalu muncul pertanyaan, seberapa jauh kita benar-benar merdeka?

Bila ditanyakan arti kemerdekaan kepada pedagang kaki lima yang tempat berjualannya digusur semena-mena, warung dirobohkan paksa, atau buruh ditipu majikan, maka kemerdekaan merupakan omong kosong. Bagi mereka, kemerdekaan hanya fakta sejarah.

Tidak menjiwai kehidupan

Kemerdekaan tidak menjiwai kehidupan masyarakat karena berhenti sebagai fakta sejarah. Kemerdekaan adalah cerita masa lalu dan tidak terkait dengan masa kini. Keharuan dan keceriaan dalam aneka perlombaan, pemutaran film, upacara pengibaran bendera, kerja bakti memerahputihkan kampung sering hanya seremoni agustusan. Rutinitas mencoba memaknai heroisme.

Kemerdekaan kita baru sebatas kata-kata, sulit menjadi jiwa peri kehidupan masyarakat, sebab semua orang ingin meraih "kemerdekaannya" masing-masing. Jiwa kemerdekaan sebagai kesatuan rasa kolektif kebangsaan berubah menjadi keserakahan pribadi-pribadi untuk memiliki kemerdekaan masing-masing.

Makna kemerdekaan terasa sempit bila hanya merdeka dari penjajah pada 17 Agustus 1945. Seolah setelah kemerdekaan itu kita tak lagi memiliki musuh bersama, atau tak ada lagi yang bisa dijadikan musuh bersama. Padahal seiring dengan perubahan era, masih banyak musuh yang harus dihadapi bersama.

Kemerdekaan bukan sekadar upacara di tanah lapang, melainkan memberi kelapangan luas kepada rakyat untuk mengisi kemerdekaan ini tanpa gangguan.

Keadilan yang kian melepuh ibarat api dalam sekam. Ketidakadilan merupakan musuh yang terus menggerogoti jiwa kemerdekaan 1945. Siapakah yang tidak khawatir bila jiwa kemerdekaan 1945 suatu saat runtuh karena kesadaran elite untuk bersikap adil terhadap rakyatnya tergerus sikap egois, cinta kekuasaan, dan nafsu serakah.

Tanpa meremehkan arti kemerdekaan 1945, inilah fakta kehidupan bangsa sepanjang merdeka. Dialektika "mengisi kemerdekaan" selama 62 tahun sering hampa bagi kaum papa. Mereka seolah bukan pribadi yang berhak menikmati kemerdekaan.

Para pahlawan yang gigih berjuang pada masa lalu tak pernah membayangkan kehidupan anak yang kesulitan mengakses pendidikan. Faktanya, berapa juta anak Indonesia merasa sengsara karena harus berpendidikan atau lebih sengsara karena sulitnya berpendidikan?

Para elite bangsa harus bertanggung jawab atas aneka persoalan yang menyangkut nestapa kehidupan rakyat pada masa merdeka ini. Mereka telah memperlakukan negara dan kekuasaan bukan untuk membuktikan kesungguhan kemerdekaan, melainkan meremehkannya dengan berbuat tidak adil dan menghambat kreativitas masyarakat.

Para elite bangsa yang tidak merasa keliru mengelola negara, dengan menghamba kepada neoimperialisme asing ataupun utang luar negeri, sudah saatnya menyadari dampak yang kian parah dari ketidaksiapan bangsa menghadapi globalisasi. Kita nyaris tidak memiliki nilai tawar di mata internasional. Bahkan lebih buruk, pembangunan yang telah dijalankan 62 tahun, sebagian besar tidak jelas untuk siapa.

Masyarakat miskin tetap menjadi obyek derita dari semua sandiwara elite kekuasaan. Kemiskinannya menjadi komoditas yang diperjualbelikan untuk keuntungan tertentu. Ini semua dilakukan dalam situasi dan kondisi yang disebut merdeka.

Merdeka bermakna bebas

Merdeka bermakna bebas dari penjajahan fisik ataupun mental. Merdeka bermakna kolektif, dengan kemerdekaan kolektif menjadi cermin kemerdekaan individual, bukan sebaliknya.

Kaum miskin butuh hak untuk menikmati kemerdekaan. Kemerdekaan bukan hanya milik elite politik dan orang kaya. Kini, kemerdekaan belum merata. Tidak semua jiwa yang hidup di Tanah Air ini menikmati kemerdekaan dalam arti sebenarnya. Semakin tua umur kemerdekaan, selayaknya melahirkan bangsa dengan elite lebih bijak. Semakin tua umur kemerdekaan, seharusnya menambah kedewasaan berpikir, merasa, dan bertindak.

Kemerdekaan 1945 memiliki makna amat dalam bagi pembebasan manusia. Ketidakadilan ekonomi, agama, sosial, budaya dan politik adalah bentuk ketidakmerdekaan. Membiarkan ketidakadilan berkembang, berarti membiarkan pengkhianatan terhadap arti kemerdekaan.

BENNY SUSETYO Pendiri Setara Institute



Membesarkan Jiwa Bangsa

Yudi Latif

Apa yang menentukan besar-kecilnya suatu bangsa? Sejarawan HG Wells menyimpulkan, "Anasir terpenting yang menentukan nasib suatu bangsa adalah kualitas dan kuantitas tekadnya." Tekad sebagai sikap mental (state of mind) yang mencerminkan kuat-lemahnya jiwa bangsa.

Soekarno menandaskan hal ini dalam peringatan Isra Mi’raj 7 Februari 1959. "Tidak ada suatu bangsa dapat berhebat, jikalau batinnya tidak terbuat dari nur iman yang sekuat-kuatnya. Jikalau kita bangsa Indonesia ingin kekal, kuat, nomor satu jiwa kita harus selalu jiwa yang ingin Mi’raj—kenaikan ke atas—agar kebudayaan kita naik ke atas, supaya negara kita naik ke atas. Bangsa yang tidak mempunyai adreng, adreng untuk naik ke atas, bangsa yang demikian itu, dengan sendirinya akan gugur pelan-pelan dari muka Bumi (sirna ilang kertaning Bumi).

Membesarkan jiwa

Maka, Bung Karno berkali-kali menekankan perlunya membesarkan jiwa. "Tiap-tiap bangsa mempunyai orang-orang besar, tiap-tiap periode sejarah mempunyai orang-orang yang besar, tetapi lebih besar daripada Mahatma Gandhi adalah jiwa Mahatma Gandhi, lebih besar dari Stalin adalah jiwa Stalin, lebih besar daripada Roosevelet adalah jiwa Roosevelt,... lebih besar daripada tiap-tiap orang besar adalah jiwa daripada orang besar itu. Jiwa yang besar yang tidak tampak itu ada dalam dada tiap manusia, bahkan kita mempunyai jiwa sebagai bangsa. Maka kita sebagai manusia mempunyai kewajiban untuk membesarkan kita punya jiwa sendiri dan membesarkan jiwa bangsa yang kita menjadi anggota daripadanya."

Dalam hal ini, Mohammad Hatta gundah tentang masa depan kemerdekaan Indonesia yang mungkin dilumpuhkan oleh kekerdilan jiwa bangsa sendiri. Dengan mengutip puisi Schiller, ia bernubuat, "Sebuah abad besar telah lahir/tetapi ia menemukan generasi yang kerdil."

Dalam pandangan Bung Hatta, sebuah bangsa tidak eksis dengan sendirinya, tetapi tumbuh atas landasan keyakinan dan sikap batin yang perlu terus dibina dan dipupuk. Terlebih kebangsaan Indonesia, sebagai konstruksi politik yang meleburkan aneka (suku) bangsa ke dalam unit kebangsaan baru, "Untuk mempertahankannya tiap orang harus berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."

Peran kepemimpinan amat penting sebagai jangkar solidaritas kebangsaan. Para pemimpin mengemban amanat penderitaan rakyat, yang tanpa pertanggungjawabannya kemajemukan kebangsaan Indonesia sulit menemukan kehendak bersama. "Indonesia luas tanahnya, besar daerahnya dan tersebar letaknya. Pemerintahan negara yang semacam itu hanya dapat diselenggarakan oleh mereka yang mempunyai tanggung jawab yang sebesar-besarnya, dan mempunyai pandangan yang amat luas. Rasa tanggung jawab itu akan hidup dalam dada kita jika kita sanggup hidup dengan memikirkan lebih dahulu kepentingan masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa. Untuk mendapatkan rasa tanggung jawab yang sebesar-besarnya, kita harus mendidik diri kita sendiri dengan rasa cinta akan kebenaran dan keadilan yang abadi. Hati kita harus penuh dengan cita-cita besar, lebih besar dan lebih lama umurnya dari kita sendiri (Pidato Radio, 8 November 1944).

Kesempatan merenung

Harapan dan peringatan kedua bapak bangsa itu perlu direnungkan di sela peringatan kemerdekaan Indonesia. Perlu refleksi diri, mengapa karunia kekayaan dan keindahan negeri ini tak sebanding dengan martabat bangsanya, kekayaan alam tak membawa kemakmuran, kelimpahan penduduk tak memperkuat daya saing, kemajemukan kebangsaan tak memperkuat ketahanan budaya, keberagamaan tak mendorong keinsafan berbudi.

Berdiri di awal milenium baru, menyaksikan perubahan yang luas cakupannya, instan kecepatannya, dan dalam penetrasinya, menyentuh rasa hirau kita tentang masa depan bangsa. Adakah kelebihan yang bisa dibanggakan selain karunia yang terberikan? Adakah sebutan yang bisa diukir di gelanggang internasional selain gelar-gelar buruk?

Manusia, sang pengubah

Dalam rasa keadilan Ilahi, tak ada ketentuan bahwa jalan hidup suatu bangsa harus tetap di pinggiran. Dari hari ke hari, firman Tuhan kian membuktikan kebenaran dirinya. Dalam sejarah kejatuhan dan kejayaan suatu kaum, manusia sendirilah pusat pengubahnya.

Kita perlu "senjata" baru, cara pengucapan baru, dan karisma pengubah sejarah baru. Ilmu dan teknologi, semangat inovasi dan daya etos dan etis yang mewujud ke dalam kualitas manusia unggul adalah senjata, bahasa, dan karisma baru kita untuk memenangi masa depan.

Seharusnya kita bisa. Kita mewarisi kebesaran jiwa para pendiri bangsa, yang menorehkan nama Indonesia sebagai pelopor gerakan kemerdekaan di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Dengan kebesaran jiwa dan pengikatan kekuatan nasional, kita masih cukup memiliki sumber daya untuk bangkit dari keterpurukan.

Untuk itu, bangsa kita harus keluar dari kekerdilan mentalitas budak—yang mudah dilamun ombak dan bersilang sengkarut—dengan memberi isi dan arah hidup kebangsaan. Seperti kata Bung Karno dalam Amanat Proklamasi 1956, "Bangsa Indonesia harus mempunyai isi hidup dan arah hidup. Kita harus mempunyai levensinhoud dan levensrichting. Bangsa yang tidak mempunyai isi hidup dan arah hidup adalah bangsa yang hidupnya tidak dalam, bangsa yang dangkal, bangsa yang cetek, bangsa yang yang tidak mempunyai levensdiepte sama sekali. Ia adalah bangsa penggemar emas sepuhan, dan bukan emasnya batin. Ia mengagumkan kekuasaan pentung, bukan kekuasaan moril. Ia cinta kepada gebyarnya lahir, bukan kepada nurnya kebenaran dan keadilan. Ia kadang-kadang kuat, tetapi kuatnya adalah kuatnya kulit, padahal ia kosong melompong di bagian dalamnya."

Yudi Latif Pemikir Kenegaraan dan Keagamaan