Monday, June 21, 2010

Menumbuhkan Budaya Motivasi

Rusaknya semangat karyawan secara keseluruhan akan mengakibatkan budaya perusahaan yang demotivated’


Ini seolah mengingatkan kita bahwa sebenarnya dalam bekerja, kita tidak sendiri. Ada orang lain di sekitar kita yang mungkin akan terpengaruh atau sebaliknya, mempengaruhi motivasi kita.

Motivasi itu target bergerak. Karena itu dibutuhkan upaya membidik yang di-adjust atau disesuaikan setiap saat. Karena yang menyemangati orang hari ini tidak bisa lagi digunakan untuk menyemangati dia minggu depan dengan dampak yang sama.

Akan selalu ada ‘efek pembiasaan’. Maksudnya, lambat laun orang akan terbiasa dengan hal-hal yang dulu pernah membuatnya bersemangat.

Orang yang bersemangat karena dibayar tidak lagi bersemangat karena uang yang diterimanya. Dia mungkin membutuhkan pujian. Tapi pujian yang terlalu banyak, juga membuat dia bosan.

Seorang pemimpin itu harus mengerti sekali cara mengelola kualitas anak buah. Karena itu selalu berubah.


Pada kira-kira 20 persen anak buah kita tidak masalah kita menyemangati mereka atau tidak. Karena memang mereka sebetulnya tidak bekerja untuk kita, melainkan bekerja untuk diri mereka sendiri karena mereka melihat apa pun yang mereka alami hari ini adalah ujian dan tempaan untuk menjadi seseorang yang lebih kuat di masa depan.

Tapi ada 70 persen karyawan kita yang semangatnya, kebaikannya, pandangannya tentang masa depan itu sangat bergantung pada apa yang kita lakukan dan kita contohkan.

Dengan demikian, jika atasan menganggap ‘kalau sudah digaji, diancam ketika melakukan kesalahan, maka anak buah akan mengerjakan tugasnya’, atasan ini akan kaget ketika hal itu tidak menghasilkan dampak yang sama setelah tiga bulan.

Ancaman itu dibutuhkan. Baik orang lain mengancam kita, atau kita membuat diri sendiri merasa terancam. Masalahnya, hidup ini ‘kan tidak perlu hanya diancam, tetapi juga perlu dijanjikan sesuatu yang baik. Karena kalau orang hanya melihat ancaman, mereka akan belajar untuk menjadi lebih kuat daripada ancamannya. Nah, kalau orang sudah menjadi lebih kuat, suatu ketika akan membuktikan dan mengatakan, “Saya tidak membutuhkan Anda lagi.” Itu dalam upaya pembalasan.

Sakitnya perusahaan yang hanya mengancam anak buah, adalah diperlakukan sama oleh anak buah pada suatu ketika nanti.

Kritik selalu tidak pernah bisa diterima dengan baik. Jadi, kalau ada orang mengatakan, “Kritik saya ! Saya terbuka.” Itu nonsens. Tidak ada orang yang demikian lapang hatinya hingga bisa menerima kritik dengan baik. Hanya orang yang gemar menipu, yang mengatakan, “Saya lebih senang mendengar buruknya daripada baiknya”.

Kalau kita mau memberikan kritik, ubah dalam bentuk harapan. Bandingkan, orang mengatakan,”Sudah tahu caranya masak, kok masih asin saja” dengan “Hari ini saya makan enak, apa lagi kalau garamnya dikurangi.” Mana yang lebih bisa diterima ?

Nah, hal-hal seperti ini yang tidak dilakukan oleh kebanyakan atasan. Kadang-kadang mereka bilang,”Sekolah tinggi-tinggi, kok masih tetap bodo!” Gitu ‘kan ?

Atau orang tua yang memiliki anak manja, sekolah minta dijemput segala macam… ayahnya lalu mengatakan,”Pak Harto seumur kamu ke sekolah jalan kaki, lho”. Anaknya ya membalas, “Pak Harto waktu seumur Ayah sudah jadi presiden, lho.”
Ha…ha…

Setiap orang yang memberikan kritik, berarti membuka dirinya untuk dikritik. Berikan saja: harapan

Counselling, di beberapa perusahaan yang progresif diperhatikan sebagai salah satu materi training yang sangat penting. Banyak perusahaan sekarang memperhatikan kemampuan para menajernya untuk menjadi counseller –untuk memberikan nasihat.

Para atasan tidak hanya dilatih untuk menjanjikan kebaikan atau mengancamkan hukuman, tetapi juga dilatih untuk memberikan pencerahan. Nah, proses pencerahan ini disebut counselling. Jadi kalau ada anak buah bermasalah, dia tidak berminat lagi pada janji-janji yang baik, tidak takut lagi pada hukuman, mereka ini masih bisa diajak bicara. Teknik counselling macam-macam, tapi tujuannya: mengembalikan orang pada jalur semangat yang diinginkan oleh perusahaan.

Apabila para atasan menguasai teknik counselling, maka organisasinya akan menjadi organisasi yang ‘perasaannya baik’. Karena anak buahnya dijaga semangatnya. Sebaliknya, atasan-atasan yang tidak dibekali dengan kemampuan counselling, hanya menggunakan kekuatan janji dan kekuatan hukuman

Orang yang berbahagia, lepas dari rasa takut dan khawatir, biasanya bekerja dengan kapasitas maksimum. Tetapi orang bekerja dengan kapasitas maksimum ‘kan belum tentu dia senang ? Bisa jadi karena terpaksa, ketakutan, atau mempunyai tujuan-tujuan jangka pendek yang harus dicapainya segera.

Definisi kebahagiaan ‘kan tidak adanya ketidak-bahagiaan. Dan ketidak-bahagiaan itu adalah hadirnya khawatir atau rasa takut. Orang yang khawatir dan takut ‘kan tidak mungkin bahagia ?

Di perusahaan kita, seyogyanya memang rasa khawatir itu dihilangkan. Baik dalam pekerjaan bahkan sampai tembus ke lingkungan rumah. Hal-hal yang dikhawatirkan istri seorang karyawan tidak mengganggunya, karena dia bisa mengatakan, “Perusahaan saya sedang melakukan ini, ada produk baru di-launch, dan saya diberi tugas untuk pemasan di wilayah Sidoarjo. Begitu misalnya. Komisinya sekian, jadi bantu saya untuk bangun lebih pagi, bekerja lebih tahan. Nah, istrinya jadi ikut bersemangat, untuk memasak yang lebih bergizi untuk suaminya.

Jadi, lingkungan perusahaan yang baik itu menyemangati seseorang tidak hanya untuk lingkungan perusahaannya. Tetapi sampai tembus ke rumah. Karena kualitas orang yang bekerja di kantor ‘kan diawali dari kualitas dia berangkat dari rumah, toh, Mbak ?

Kebahagiaan di perusahaan, menghilangkan faktor kekhawatiran dan ketakutan, sampai ke faktor pribadi di rumah.
Kalau kita bicara soal atasan yang memotivasi anak buah, itu sudah kewajiban. Karena posisinya yang di atas itu mengandung konsekuensi membawa sebanyak mungkin anak buah ke arah tujuan yang positif dan mendatangkan janji yang baik bagi semua orang.

Atasan yang merusak semangat orang-orang yang dipimpinnya, akan diganti. Nah pertanyaan Anda ‘kan, “Bagaimana kalau anak buah yang menyemangati atasannya ?”

Membuat anak buah bisa menyemangati atasannya, itu selalu diawali dengan perilaku menyemangati oleh atasannya. Contohnya, kalau Anda ingin anak buah Anda menyemangati Anda, Anda harus terlebih dulu menyemangati mereka dengan cara begini: Cari kesempatan melihat atau menemukan anak buah yang melakukan sesuatu dengan baik, lalu Anda berperilaku kaget.
“Waduh bukan main, super, ini excelellent. Saya tidak tahu ada sesuatu sebaik ini you pikirkan.”

Anak buah ‘kan kaget, Pak… melihat reaksi kita. Dia akan selalu berupaya mengagetkan kita lagi. Karena dia lihat semangat kita naik waktu dia kagetkan kita dengan sesuatu yang baik.

Jadi kalau begitu, nett-nett… semangat organisasi itu tetap datang dari semangat atasannya. Meskipun untuk memotivasi itu dia harus memanipulasi anak buahnya.

Atasan yang tidak mau diingatkan bahwa dia salah, itu bukan karena atasan, tapi karena kewenangan.

Orang yang berwenang biasanya menganggap dirinya bebas dari kritik. Bebas dari keharusan menerima pendapat. Anda perhatikan, atasan-atasan yang menyulitkan orang yang dipimpinnya adalah atasan-atasan yang tidak mempan dikritik. Dia sama sekali tidak mempunyai telinga untuk perbaikan. Semakin seseorang merasa besar, semakin dia mempunyai hak –menurut dia- untuk tidka mendengarkan kritik, masukan, bahkan tidak mau menghormati harapan orang banyak.

Itu sebabnya ada peraturan lucu-lucuan: Aturan pertama: Atasan tidak pernah salah.” Kedua: Kalau dia salah, kembali ke peraturan pertama.

Ha… ha…

Itu atasan ngeyel. Kalau dia bukan pemilik perusahaan, naiknya karena dipilih, dia akan diturunkan. Kalau dia pemilik perusahaan, dia akan ditinggal oleh orang-orang baiknya.

Kalau tadi Anda menyebut fungsi manajer dengan POAC-nya itu, seorang manajer sebenarnya tidak harus mengelola semangat anak buahnya. Karena manajer itu pekerjaannya: mengatur. Begitu manajer menyentuh hal-hal yang berkenaan dengan semangat, maka dia disebut leader. Seorang pemimpin.
Seorang manajer itu mengatur, sedangkan leader menyemangati. Membuat orang bersemangat mencapai suatu target tertentu.


( Sumber Sebuah Transkrip interview Mario Teguh di sebuah radio swasta)

No comments: