“Apa untungnya bagi manusia menguasai seluruh isi dunia, tetapi kehilangan jiwa? Lalu, dengan apa ia akan memberikan sebagai gantinya jika ia kehilangan jiwanya?”
Demikian kira-kira kutipan kalimat pembuka film “Caligula”, karya sutradara Tinto Brass yang diproduksi pada 1979 yang mengisahkan kepemimpinan Kaisar Romawi ke-3, Gaius Julius Caesar Augustus Germanicus.
Lantas, apa hubungannya? Kaisar Gaius, yang lebih dikenal dengan julukan Caligula dengan karakter kepemimpinan eksentrik, hura-hura, korup sekaligus kejam. C Suetonius Tranquillus dalam “The Lives of the Twelve Caesar” mengklaim, Caligula sebagai pengidap kelainan seks–heteroseksual juga homoseksual (“peculiar sexual escapades”), “incest” dengan ketiga saudarinya. Ah, masak ia? Benarkan seorang pemimpin demikian akhlaknya? Albert Camus bahkan pernah menerjemahkan “Caligula” dalam sebuah drama.
Ada beberapa pertanyaan spontan menyerbu relevansi jiwa dan kekuasaan: Apakah jiwa memang lebih berharga dari pada kekuasaan, akan bagaimana jadinya jika kekuasaan jika tanpa jiwa. Lantas, jiwa yang bagaimana agar kekuasaan mampu memberi arti. Tentu akan lebih banyak pertanyaan lainnya.
Menyoal kalimat itu, kita pun akan teringat kata bijak: “Kekayaan bukan segalanya,” “kebahagiaan melebihi kekayaan materi,” atau “uang bukan segalanya.”
Maka, kita pun pasti heran dengan kebodohan manusia zaman sekarang yang sering melontarkan: “Ah, selama kita masih tinggal di dunia, itu sih masih wajar. Namanya juga manusia, dari sononya memang sudah berdosa.”
Lantas, manusia yang bagaimanakah yang dikatakan manusia yang kehilangan jiwa? Benarkah jiwa lebih berharga daripada kekuasaan atau kekayaan materi? Jawabnya mungkin ada pada kalimat awal tadi.
Begini persamaan kalimat itu, “Jiwa adalah segala-galanya. Kekayaan tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan jiwa,” atau “sebenarnya orang yang paling berbahagia adalah orang yang memiliki jiwa,” dan “jiwa bisa membawa manusia kepada dunia mana yang ia suka. Jika jiwanya sinting, maka sinting pulalah dunianya, demikian sebaliknya.”
Jiwa, apa itu?
Jiwa, apa itu? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Edisi Ketiga terbitan Balai Pustaka Tahun 2002, tertulis arti jiwa yang pas: roh manusia (yang ada dalam tubuh dan menyebabkan seseorang hidup); nyawa: seluruh kehidupan batin manusia (yang terjadi dari perasaan, pikiran, angan-angan, dsb); sesuatu atau orang yang utama dan menjadi sumber tenaga dan semangat.
Sekarang, marilah kita lihat pengertian jiwa dalam bahasa asing. Kata jiwa (soul) berasal dari saduran Bahasa Inggris lama yaitu: “sawol”. Kata ini dimungkinkan erat kaitannya “se(u)la” (Jerman) yang berarti “kepunyaan laut”.
Dalam bahasa Jerman kuno, konsep jiwa dilibatkan dengan kehidupan setelah kematian yang selanjutnya menjadi bagian dari media alam, termasuk air. Maka masuk akal jika kemudian istilah itu dikembangkan menjadi kehidupan dalam air (living water). Barangkali dari sana mulai terkuaklah apa itu pengertian jiwa.
Dalam bahasa Yunani Kuno, jiwa disebut dengan “psyche”. Kata ini kemudian dalam bahasa Inggris modern disebut dengan “psychology”. Dalam karya Aristoteles pada terjemahan latin, kata jiwa disebut dengan “anima” Dalam bahas Latin sendiri, jiwa berarti “napas; bernapas”. Sama halnya dalam kitab Ibrani, jiwa (nephesh) berarti kehidupan.
Akan tetapi, dalam konteks religius dan filsafat, jiwa sering diartikan dengan kehidupan sesudah kematian. Atau barangkali pertanyaan yang lebih sesuai dengan pengertian ini, seperti ini: Apakah yang akan terjadi pada jiwa jika tubuh telah mati?” (What may happen to the soul after the death of the body?). Beranikah Anda menjawabnya? Seandainya kita tahu akan bagaiamana jadinya, sebaliknya kita tidak akan pernah tahu, maka kita tak acuh.
Setidaknya jagalah jiwa. Agar ia tak lepas dan tubuh dan menguasai. Sigmund Freud, sang psikoanalis mengklaim manusia dihidupi 3 unsur dalam siklus kehidupannya: ego, id dan superego, yang ketiganya seharusnya mampu saling menutupi.
Mengutip ucapan penyair Inggris Francis Macdonald Cornford (1874– 1943), yang meminjam seuntai bait “Pindar” (sebutan untuk sembilan lirik penyair Yunani Kuno, 522 SM): “jiwa akan tertidur ketika tubuh-tubuh kita bergerak, akan tetapi ketika manusia tertidur, jiwa akan bergerak dan bangkit dalam banyak wujud dalam sebuah mimpi “sebuah hadiah kegembiraan atau hasrat akan bayangan terdekat.”
Kembali ke topik awal, apakah hubungan Caligula dengan ungkapan “jiwa” itu. Barangkali, jelas sudah. Menjadi pemimpin bukanlah semata-mata untuk materi, kekuasaan dan hedonisme. Hal utama yang harus diperangi adalah dirinya sendiri. Lalu, ia akan menjadi bijak untuk rakyatnya.
Sebenarnya, kita manusia dituntut menjadi pemimpin dan penguasa: Penguasa dan
pemimpin jiwa. Siapkah kita?
(Tonggo Simangunsong, Harian Global )
No comments:
Post a Comment