Tantangan Ibadah Puasa Wujudkan Semangat Menyantuni
Hari ini umat Islam mulai menjalankan ibadah puasa Ramadan. Selama sebulan muslim dan muslimat di negeri ini harus berpuasa dengan tantangan baru. Tantangan yang barangkali sangat mungkin lebih berat dibanding ibadah puasa tahun silam.
Pertama, ibadah puasa tahun ini tepat jatuh -dimulai- pada saat puncak musim kemarau. Ini berarti ibadah puasa Ramadan tahun ini membutuhkan ketahanan fisik yang harus luar biasa bagus.
Agar fisik tetap bagus, dibutuhkan makanan dan minuman yang kaya gizi, kaya vitamin dan mineral. Dengan kata lain, karena fisik harus bagus, kebutuhan fisik minimun (KFM) harus di atas rata-rata.
Kedua, ibadah puasa tahun ini memiliki tantangan lebih berat dibanding tahun sebelumnya lantaran dampak kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak) terhadap harga barang kebutuhan pokok masih sangat terasa.
Harga-harga kebutuhan pokok sejak kenaikan harga BBM mencapai 30 persen. Efek itu bukan hanya secara psikologis belum lenyap, melainkan proses recovery dalam anggaran rumah tangga keluarga belum sepenuhnya dapat dilakukan.
Kenaikan harga kebutuhan pokok belum bisa di-recovery, dengan, misalnya, belum ada kenaikan gaji pegawai. Akibatnya, pegawai golongan menengah ke bawah masih sulit mereposisi atau menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran dalam anggaran rumah tangga yang masih defisit.
Ketiga, di tengah masa recovery pasca kenaikan harga BBM belum bisa dilakukan dan anggaran rumah tangga belum balance, menjelang ibadah puasa -sejak dua minggu ini- ini harga kebutuhan pokok naik tajam lagi.
Contoh kecil, separo belah kelapa yang sebelumnya hanya Rp 5 ribu, menjelang Ramadan dikeluhkan banyak ibu rumah tangga karena melonjak menjadi Rp 9 ribu. Harga lombok yang sebelumnya hanya Rp 25 ribu per kg kini menjadi Rp 65 ribu per kg.
Dengan kondisi seperti itu, ibadah puasa tahun ini betul-betul membutuhkan perjuangan amat berat. Yakni, berat di psikologis. Juga berat di anggaran rumah tangga bagi golongan ekonomi menengah ke bawah.
Tantangan ini akan menjadi kian berat kalau rumah tangga muslim menjadikan Idul Fitri kelak -di akhir Ramadan- sebagai hari yang amat istimewa. Harus ditransformasikan menjadi suasana "serbabaru." Barang baru rumah tangga, pakaian baru, dan terbiasa dengan makan dan minuman yang serba industrialistik yang berharga mahal.
Oleh sebab itu, ada baiknya atau bahkan menjadi amat bijaksana jika tantangan berat beribadah puasa Ramadan tahun ini dijadikan kesadaran moral dan spiritual baru. Menjadi momentum untuk introspeksi. Menata diri menjadi lebih bersadar. Lebih telaten dan tekun. Menaikkan nalar guna menelurkan perbuatan yang lebih bijak dan realistis.
Dalam hal ini nilai spiritualitas dan kesucian Ramadan diwujudkan dengan menahan diri untuk mengekang nafsu dan ego konsumtif yang jauh dari semangat muamalat.
Makin beratnya tantangan beribadah puasa hendaknya dijadikan dorongan untuk lebih berempati dan bersimpati pada sesama muslim yang secara ekonomi jauh kurang beruntung. Kekanglah sifat pamer kemewahan. Perteballah spirit silaturahmi dengan sesama muslim yang wajib kita santuni.
Dengan demikian, diharapkan nilai moral dan spiritual ibadah puasa itu dapat mendongkrak semangat untuk meningkatkan pengeluaran zakat, infak, dan sedekah
Selamat memulai ibadah puasa, 1 Ramadan 1429H.
( Dikutip dari editorial Jawapos. 01 Sept.1928 )
01 September 2008
Ramadan yang Istimewa
Oleh A Mustofa Bisri
TIDAK terasa Ramadan, bulan istimewa dengan situasi dan suasananya yang istimewa, sudah kembali tiba. Di antara bulan-bulan setahun, bulan Ramadan memang merupakan bulan istimewa. Keistimewaannya bisa dilihat dari berbagai sudut; di antaranya bulan ini kitab suci Alquran diturunkan (Q.2: 185).
Bahkan menurut sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Shuhuf-nya Nabi Ibrahim, Tauratnya Nabi Musa, Injilnya Nabi Isa, dan Zaburnya Nabi Daud, semuanya juga turun di bulan Ramadan.
Pada bulan ini kita, kaum muslimin, diwajibkan berpuasa (Q. 2: 183). Pada bulan ini pintu sorga dibuka (HR imam Bukhori dan imam Muslim dari shahabat Abu Hurairah).
Istimewanya lagi, setiap keistimewaan Ramadan justru bermuara kepada keistimewaan kita. Turunnya Alquran adalah istimewa, karena, sebagaimana kitab-kitab suci lainnya, Alquran adalah firman Allah kepada hamba-hambaNya. Dan ini berarti istimewa bagi kita, hamba-hamba-Nya.
Bayangkan Allah Yang Maha Besar yang tak terhingga kebesarannya, Pencipta alam semesta , berkenan berfirman kepada kita yang sungguh amat sangat kecil di planet yang hanya sebesar debu di alam semesta ini.
Pada bulan Ramadan kita, kaum beriman, diwajibkan berpuasa. Ini istimewa. Di sebelas bulan yang lain, kita boleh dikata bebas memperlakukan dan mentasarufkan apa saja yang dianugerahkan Allah kepada kita.
Kita, misalnya, bebas menggunakan mulut anugerahNya untuk memasukkan dan mengeluarkan apa saja yang kita kehendaki, kecuali yang berbahaya terhadap diri kita sendiri.
Kita bebas makan, minum, dan berbicara kapan saja kita mau. Begitu bebasnya sehingga terhadap yang berbahaya terhadap diri kita sendiri pun seringkali kita tabrak juga.
Di bulan Ramadan ini lain. Kita tidak lagi bebas. Kita dipaksa mengekang dan menahan diri meski dalam waktu yang terbatas dari hal-hal yang halal yang tidak membahayakan diri kita sekali pun.
Kemudahan
Untuk kepentingan siapa kita mengekang dan menahan diri itu? Tidak untuk kepentingan siapa-siapa? Tapi untuk kepentingan kita sendiri. Di samping di bulan suci ini kita bisa dengan intens melatih diri menjadi mukmin yang kuat yang mampu mengalahkan diri sendiri yang pada akhirnya menjadi orang-orang yang benar-benar bertakwa, di samping itu bulan Ramadan menyediakan berbagai kemudahan bagi kita untuk mendapatkan rahmat dan pahala Allah.
Pada bulan Ramadan, seperti berita yang disampaikan Rasulullah SAW, pintu surga dibuka. Kesempatan mendapatkan sesuatu yang memudahkan kita masuk surga terbuka lebar-lebar.
Tinggal bagaimana kita mempergunakan kesempatan istimewa ini. Sebab ada hadis yang menyatakan banyak orang yang berpuasa dan hanya mendapatkan lapar belaka.
Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang dapat mengambil kesempatan istimewa bulan suci Ramadan ini terutama bagi kebahagiaan kita di akhirat kelak. Sedangkan untuk kebahagiaan dunia kita, sebelas bulan masa sih masih belum cukup?
Selamat menunaikan ibadah puasa bagi kaum muslimin. Selamat mempergunakan kesempatan istimewa bulan Ramadan untuk mengevaluasi diri, menuju keridhaan Allah.(77)
— Penulis adalah pemimpin Pondok Pesantren Roudhotut Thalibin, Rembang.
( Dikutip dari suaramerdeka.com, edisi 01 September 2008 )
Tajuk Rencana harian Suara merdeka edisi 01 September 2008
Puasa dan Altruisme yang Makin Langka
Visi Rasulullah Muhammad tentang ”banyaknya orang berpuasa yang hanya mendapat lapar dan dahaga” menemukan pembenaran pada masa-masa yang jauh melompat menembus waktu. Pesan ibadah shaum, seperti pada Ramadan 1429 Hijriah ini, mendapat aktualisasi moral sangat telak jika formalisme lebih menonjol ketimbang internalisasi substansialnya. Penghayatan, penjiwaan, dan serapan sikap menahan dirilah yang mestinya dilatih untuk dijadikan pilihan cara hidup. Bukan sekadar penuntasan aspek syariat berupa kemampuan menahan lapar, dahaga, dan larangan tertentu dalam periode waktu tertentu.
Pesan moral puasa Ramadan adalah pemuliaan para pelakunya untuk menjadi manusia yang memiliki keseimbangan laku, yakni budi penghambaan dan budi sosial. Dan, itulah sesungguhnya singkapan makna spiritualitas dalam jenis ibadah apa pun. Bukankah kita acap menangkap ironi: ketidaksambungan antara budi penghambaan dengan budi sosial? Secara fisik terlihat sebagai seorang yang saleh, tetapi kesalehannya tidak terpancar dalam sikap kesehariannya? Muhammad mencontohkannya lewat pernyataan hikmah yang sederhana, ”Mana mungkin kamu berpuasa tetapi kamu menyakiti hati orang lain?”
Menahan diri di tengah gemuruh kemungkinan. Tepatlah kalimat itu merumuskan ”sikap puasa” yang harus diserap dari pelatihan selama sebulan pada tiap Ramadan. Punya kesempatan untuk mengambil sesuatu, tetapi kita tahan tangan kita untuk tidak mengambilnya karena sadar itu bukan hak kita. Kita tenang mengelola kekuasaan yang sedang berada di tangan. Kita tidak berpamrih atas peluang-peluang yang cenderung ke arah pengayaan diri secara bias. Mohamad Sobary dalam buku Moralitas Orang Pinggiran menyebutnya sebagai bahasa hati yang merupakan hikmah dari latihan tidak makan itu.
Altruisme dalam sikap hidup sosial, benarkah menjadi sesuatu yang makin langka di tengah kita? Selama beberapa tahun terakhir ini, betapa banyak kita mendapat suguhan berita mengenai orang-orang di dalam lingkar kekuasaan yang tidak mampu menghindar dari pemanfaatan tiap peluang. Kekuasaan justru dijadikan kekuatan untuk menekan pihak lain dengan imbalan materi: agar memilih seseorang sebagai pejabat publik, agar bersikap tertentu dalam perumusan kebijakan, agar mempermulus pengalihan fungsi lahan, serta sederet keputusan penting lainnya. Bagaimana kita membaca fenomena kekuasaan macam itu?
Puasa Ramadan disambut dengan ghirrah ibadah, dan spirit performa. Kita menyaksikan pemandangan rutin mereka yang mlungsungi dalam tampilan fisik. Tentulah tidak kita harapkan performa yang ”seolah-olah”, karena perilaku individu hanya akan dirasakan manakala sudah menjangkau perilaku sosial. Yang kita inginkan tentulah pancaran altruisme yang memberi makna bagi kemaslahatan masyarakat. Menahan diri untuk tidak pamer di tengah kemiskinan sebenarnya sudah merupakan ungkapan altruisme, termasuk ketidaklarutan ke pemanfaatan kepentingan ketika berada di pusaran kekuasaan.
Salah besar jika Ramadan dilewatkan dengan formalisme dan sekadar ritus reguler. Selalu kita temukan spirit baru untuk memperbaiki hati. Kita tangkap pesan moralnya. Kealtruisan, me-muraqabah-an (selalu merasa ”diintip” oleh Yang Maha Agung), dan iktikad untuk memberi makna bagi sesama merupakan sebagian dari nilai-nilai yang kita serap sebagai sikap hidup, karena puasa bukan terminal mobilitas atau sekadar jeda selama sebulan. Kesuksesan budi penghambaan akan menemukan muaranya yang sejati sebagai budi sosial manakala tiap ibadah selalu diorientasikan untuk memayu hayuning bawana.
" Selamat menjalankan ibadah PUASA, semoga menjadi manusia TAQWA"
No comments:
Post a Comment