Oleh : Bramantyo Djohanputro, Ph.D.(*)
Perilaku perusahaan Indonesia sangat berbeda dengan perusahaan asal
Taiwan, Hong Kong maupun Korea Selatan. Sudah bertahun-tahun
perusahaan kita di-ninabobok-kan oleh kenyamanan usaha di pasar
domestik sampai-sampai nyaris melupakan pasar manca negara.
Sebaliknya, perusahaan-perusahaan asal ketiga negara tersebut sudah
lama berorientasi manca negara. Kalaupun ada perkembangan orientasi
luar negeri, yang selama ini bisa dilakukan dengan cukup baik,
sebatas pada kegiatan ekspor. Sedangkan investasi di luar negeri,
pembentukan aliansi strategis di manca negara, apalagi pemberian
wiralaba (franchising) ke luar Indonesia sangat terbatas.
Berlakunya pasar bebas dan AFTA seolah menjadi momok perusahaan
domestik akan beratnya persaingan. Sementara pasar domestik diserbu
berbagai produk dari sesama negara berkembang seperti RRC dan
Taiwan, perusahaan Indonesia belum mampu mencengkeramkan usahanya di
negara lain. Mengapa gerangan?
Ada tiga sudut pandang cara memahami kemampuan perusahaan bersaing
pada pasar global dan memasuki pasar asing. Cara pertama didasarkan
atas teori keunggulan komparatif (comparative advantage). Penganut
teori ini mendasarkan argumennya berdasarkan keunggulan komparatif
suatu negara dan prinsip spesialisasi. Mereka bilang, negara
tertentu memiliki keunggulan untuk memproduksi barang atau jasa
tertentu karena mampu menyediakannya sampai ke tangan konsumen
dengan biaya yang lebih rendah, yang berarti juga dengan harga jual
yang lebih murah.
Kemampuan memproduksi barang dan jasa dengan murah karena adanya
kekayaan (endowment) yang telah tersedia di negara tersebut,
misalnya sumber daya alam, tenaga kerja yang murah, dan sebagainya.
Bisa juga murahnya ongkos produksi disebabkan oleh tersedianya bahan
masukan hasil ciptaan, misalnya teknologi yang maju, akumulasi
modal, kekayaan informasi, dan sebagainya. Kemampuan menggunakan
kekayaan tersebut dengan baik meningkatkan daya saing secara
komparatif dibandingkan negara lain.
Spesialisasi menyebabkan terjadi overproduction untuk barang dan
jasa tertentu dan underproduction untuk barang dan jasa lainnya.
Itulah sebabnya konsep keunggulan komparatif membantu kita memahami
mengapa terjadi transaksi ekspor-impor.
Konsep keunggulan komparatif membantu menerangkan mengapa Indonesia
cenderung mampu berkompetisi untuk produk dan jasa berdasarkan
teknologi rendah dan berdasarkan sumber alam. Misalnya agrobisnis
dan hasil kerajinan. Pada tahun 1977 terdapat penelitian yang
membandingkan keunggulan negara-negara Asean menurut persepsi para
pengusaha. Kesimpulannya, Indonesia memiliki dua keunggulan utama:
murahnya tenaga kerja dan stabilitas ekonomi.
Tetapi tampaknya kedua keunggulan tersebut telah pudar. Ongkos buruh
telah meningkat, yang saat ini untuk UMP kawasan Jabotabek saja di
atas Rp500 ribu. Angka ini relatif masih kecil dibandingkan dengan
upah minimum negara-negara maju, yang mencapai sekitar US$2 per jam.
Tetapi persaingan produk Indonesia tidak dengan produk negara maju
tetapi dengan produk sesama negara berlembang. Kalau dibandingkan
dengan mereka, ada dua kelemahan yang kita hadapi. Secara nominal,
upah tersebut relatif besar. Secara produktivitas, tenaga kerja
Indonesia memiliki tingkat produktivitas yang relatif rendah. Dengan
demikian, biaya per unit barang atau jasa menjadi relatif mahal.
Keunggulan kedua, stabilitas, juga sudah hilang dan belum kembali.
Gejolak nilai tukar dan laju inflasi menunjukkan stabilitas ekonomi
Indonesia terpuruk sejak 1997 sampai 2001. Ada hasil yang cukup
menggembirakan di tahun 2002 yang ditunjukkan dengan menguatnya
Rupiah dan terkendalinya laju inflasi selama setahun. Namun hal
tersebut masih perlu disikapi dengan hati-hati. Menguatnya Rupiah
bisa jadi karena selama masa krisis sampai tahun 2001 penurunan
nilai Rupiah melebihi angka normal (undervalued). Jadi penguatan
tahun 2002 lebih merupakan reaksi balik (reversion).
Karena stabilitas terait dengan tingkat risiko, semakin bergejolak
Indonesia menyebabkan semakin besar tingkat diskonto investasi di
Indonesia. Artinya, aset-aset Indonesia mengalami penurunan nilai
yang semakin besar. Perusahaan dibeli dengan harga murah, barang dan
jasapun ditawar dengan harga rendah.
Dengan demikian kemampuan bersaing berdasarkan konsep keunggulan
komparatif perusahaan-perusahaan Indonesia dapat diperoleh lagi bila
secara nasional kita mampu meningkatkan produktivitas tenaga kerja
dan sekaligus menciptakan stabilitas secara makro. Perusahaan-
perusahaan tentu saja dapat berkontribusi terhadap kedua faktor
tersebut melalui pemilihan strategi usaha yang tepat. Namun peran
penyelenggara negara jauh lebih penting karena produktivitas
nasional dan stabilitas merupakan hasil kebijakan nasional dan
perilaku para penyelenggara negara.
Bila konsep keunggulan komparatif membantu kita mengevaluasi dan
memahami pengembangan usaha ekspor-impor, konsep yang kedua, ketidak
sempurnaan pasar (imperfect market concept) membantu kita memahami
mengapa suatu perusahaan asing ada di negara lain. Konsep
ketidaksepurnaan pasar menyatakan, oleh karena pasar tidak sempurna
maka harga-harga bahan baku dan masukan industri berbeda-beda di
lokasi yang berbeda. Bayangkan pasar yang sempurna. Bahan baku, biji
besi misalnya, memiliki nilai jual yang sama dimanapun juga, baik di
daerah yang terdapat pertambangan biji besi maupun di daerah yang
jauh sekali dari lokasi pertambangan. Harga biji cokelat di Amerika
latin, yang merupakan penghasil uatam di dunia, sama dengan harga
biji coklat di Afrika, Eropa, Asia maupun di kutub utara. Ini
terjadi karena, sekali lagi dalam pasar sempurna, biaya transaksi
nol, pajak sama di mana-mana, biaya transportasi juga nol.
Tetapi kenyataan lain. Ketidaksempurnaan pasar mengatakan, biji besi
akan lebih murah di lokasi pertambangan dibanding harganya di daerah
yang jauh dari daerah pertambangan. Biji cokelat lebih murah di
Amerika latin dibandingkan dengan harganya di Rusia.
Namun Indonesia yang memiliki tambang biji besi belum tentu mampu
mengembangkan industri pengolahan biji besi sampai menjadi barang
jadi yang siap dibeli oleh konsumen akhir. Ini karena ada masukan
produksi yang mahal di Indonesia, karena langka, tetapi relatif
murah dan tersedia di negara lain. Misalnya para ahli dan mesin
pengolahan, yang tersedia di negara-negara maju.
Hal ini mendorong munculnya berbagai bentuk usaha. Misalnya,
kerjasama melalui waralaba (franchising) dan pemberian lisensi.
Pengusaha domestik membeli hak memproduksi dengan menggunakan
teknologi, metoda dan berbagai standar yang ditetapkan oleh
franchisor. Atau pemerintah Indonesia memberikan lisensi kepada
pengusaha asing untuk mendapatkan hak eksklusif mengolah tambang
biji besi di suatu lokasi untuk kurun waktu tertentu dengan
persyaratan yang ditetapkan.
Bentuk usaha lain yang dapat dikembangkan adalah berupa aliansi
strategis. Ini bisa dilakukan bila pengusaha domestik memiliki suatu
keunggulan yang tidak dimiliki oleh pengusaha asing dan, sebaliknya,
pengusaha asing memiliki sesuatu yang tidak dimiliki pengusaha
domestik. Kerjasama seperti ini diharapkan meningkatkan nilai kedua
perusahaan.
Berdasarkan kondisi saat ini, keunggulan perusahaan Indonesia masih
mengandalkan pada endoment berupa kekayaan alam. Oleh karena itu
perusahaan-perusahaan ekstraksi/pertambangan banyak dibanjiri oleh
perusahaan asing. Dalam hal kerjasama (partnership), pengusaha lokal
lebih banyak mengandalkan akses lisensi pengusahaan areal, termasuk
HPH, ke pemerintah.
Dari beberapa kasus yang pernah saya temui, banyak terjadi keluhan
partner domestik karena mereka merasakan ketidakseimbangan pembagian
hasil. Akumulasi tunai yang diterima oleh partner asing lebih besar
dibandingkan dengan akumulasi tunai yang diterima partner domestik.
Sekalipun proporsional dalam pembagian dividen, banyak komponen
penerimaan yang dinikmati asing tetapi tidak oleh partner domestik.
Penerimaan non-dividen tersebut terdiri dari dua kategori,
penerimaan langsung dan penerimaan konsesi. Penerimaan langsung
antara lain mencakup biaya manajemen (management fee) dan lisensi.
Sedangkan penerimaan konsesi berasal dari hak pembelian produk
perusahaan hasil aliansi oleh partner asing dengan harga di bawah
harga pasar dunia. Selisih tersebut menjadi penerimaan parner asing.
Dalam kondisi tidak ada partner domestik yang mumpuni, pengusaha
asing dapat secara langsung mendirikan perusahaan di Indonesia.
Selama tidak ada persyaratan kewajiban harus berpartner dengan
pengusaha lokal, hal tersebut sangat mungkin terjadi.
Konsep ketidaksempurnaan pasar juga sekaligus mampu menjelaskan
mengapa perusahaan Indonesia tidak mampu masuk ke negara asing
melalui pendirian aliansi maupun anak perusahaan. Kelemahan SDM,
teknologi, dan pemasaran menjadi titik utama sulitnya bermitra
dengan mitra asing di negara lain.
Untuk menciptakan kondisi yang lebih baik bagi pengusaha Indonesia,
diperlukan bukan saja keunggulan dalam hal akses lisensi tetapi juga
dalam bidang lain. Misalnya, kualitas SDM, keunggulan teknologi
tepat guna, dan akses pasar. Lagi-lagi, pencapaian ini bukan saja
pekerjaan pengusaha tetapi diperlukan campur tangan aktif pemerintah
untuk menciptakan kebijakan dan sistem yang kondusif.
Konsep ketiga, yaitu siklus hidup produk, mampu menjelaskan mengapa
suatu perusahaan mampu melakukan ekspor, mendirikan cabang, sampai
mendirikan anak perusahaan di negara lain. Konsep ini sering
diaplikasikan untuk produk-produk teknologi tinggi atau memiliki
tingkat keunikan yang tinggi. Pemasaran suatu produk dimulai dari
pasar domestik. Setelah muncul permintaan dari negara lain tetapi
pada skala yangf relatif kecil, mulailah dengan ekspor. Pada saat
permintaan meningkat, diperlukanlah pengawasan yang lebih baik dan
perwakilan di pasar lokal untuk penyelesaian transaksi dan
administrasi. Berdirilah kantor cabang di pasar lokal. Pada saat
permintaan terus meningkat dan melewati batas minimum (critical
mass) maka diperlukan pendirian anak perusahaan (subsidiary) di
pasar lokal. Pendirian anak perusahaan tersebut bisa melalui
akuisisi perusahaan domestik yang sudah ada, bisa juga dengan cara
pendirian perusahaan dari awal.
Oleh karena konsep siklus hidup produk cocok untuk produk teknologi
tinggi atau yang memiliki tingkat keunikan tinggi, konsep inipun
dapat menjelaskan mengapa sulit mencari perusahaan Indonesia yang
mampu mendirikan anak perusahaan di negara lain. Berdasarkan
analisis di atas, bila kita ingin mengembangkan dan mendorong
perusahaan Indonesia untuk melakukan ekspansi ke luar negeri, kita
musti melacak keunggulan-keunggulan dengan pendekatan dua konsep,
keunggulan komparatif dan ketidaksempurnaan pasar.
Untuk mencapainya, ada beberapa hal yang perlu dibenahi secara
makro. Pertama, teknologi perlu diperbaharui khususnya dalam rangka
peningkatan produktivitas. Harapannya, biaya produksi turun. Kedua,
SDM musti diperkuat. Tanpa kekuatan ini, sulit untuk meningkatkan
kemampuan berkompetisi dan inovasi sebagai syarat penting dalam
meningkatkan daya tawar dalam membentu aliansi strategis. Ketiga,
stabilitas makro perlu dipulihkan secepatnya untuk menurunkan
tingkat risiko dan otomatis tingkat diskonto.
Dengan mengejar ketertinggalan faktor-faktor tersebut melalui
kebijakan yang tepat, perusahaan Indonesia tidak saja mengandalkan
ekspor tetapi juga bebagai bentuk usaha lain dalam persaingan
global. Pertanyaannya, kapan pengelolaan kebijakan tersebut dapat
tercapai secara efektif dan efisien? Masih cukup sulit untuk
ditebak.
Oleh : Bramantyo Djohanputro, Ph.D.(*)
(*) Pengamat keuangan, investasi dan ekonomi
Staf Pengajar Lembaga Manajemen PPM
brm@lppm.ac.id
No comments:
Post a Comment