Investasi ratusan juta dollar AS kini mengalir ke industri gula di Afrika Selatan. Wall Street Journal, Kamis (22/2), menyebutkan, aliran investasi itu merupakan respons langsung dari rencana Uni Eropa memotong pajak impor dan subsidi pertanian yang bertahun-tahun terbukti memasung akses pasar petani di negara berkembang.
Ekspansi bisnis di Afrika Selatan itu menunjukkan arti penting pembukaan pasar produk pertanian Uni Eropa (UE) bagi peningkatan produksi di sejumlah negara berkembang. Di sisi lain, konsumen Eropa mendapatkan gula dengan harga lebih kompetitif, sementara produsen yang tidak efisien di Eropa akan tersingkir.
Ekonom Organisasi Gula Internasional yang berbasis di London, Inggris, Leonardo Bichara, menegaskan, kelonggaran kebijakan tarif yang akan diterapkan UE secara bertahap itu berpotensi menjadikan Afrika Selatan zona produksi gula paling "panas" di dunia, di luar Brasil.
UE yang beranggotakan 27 negara selama ini membelanjakan 60 miliar euro atau sekitar 79 miliar dollar Amerika Serikat per tahun untuk subsidi pertanian. Sekitar 500.000 petani dan produsen gula domestik di Eropa juga mendapat jaminan pembelian hasil produksinya dengan harga tinggi. Harga gula di Eropa bahkan bisa empat kali lebih tinggi dari harga rata-rata dunia.
Padahal, UE merupakan produsen gula terbesar kedua di dunia setelah Brasil dengan produksi gula kasar 28,1 juta metrik ton (2005), sekaligus menjadi konsumen gula terbesar di dunia setelah India. Konsumsi gula kasar 16,7 juta metrik ton (2005).
Sejak 2005, Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) meminta UE memotong subsidinya pada produk gula domestik dan menyatakan pola itu telah mendistorsi pasar ekspor gula dunia. Karena tekanan itu, UE kini memangkas sepertiga dari tarif dan sedikit mengurangi subsidi untuk lebih mengefisienkan produsen gula di kawasannya. UE juga sudah memutuskan untuk mengeliminasi pajak impor bagi produk dari 50 negara termiskin di dunia, termasuk Mozambik dan Zambia, mulai 1 Januari 2009.
Komisi Eropa memperkirakan, produksi gula di kawasan itu pada 2009 akan turun menjadi sekitar 16 juta metrik ton dari 22 juta metrik ton pada tahun 2005. Sementara tingkat konsumsi diperhitungkan tetap pada kisaran 17 juta ton per tahun. Artinya, akan ada ruang bagi produsen di negara-negara berkembang untuk masuk ke pasar Eropa.
Jaminan pembelian gula yang diberikan pada produsen gula Eropa dengan harga tinggi juga direncanakan dipotong. Pada 2009, jaminan harga pembelian diturunkan menjadi 335 euro per metrik ton. Lebih rendah dari 497 euro pada 2007.
Beet Growers dari Konfederasi Internasional Eropa mengatakan, pembenahan di UE itu akan menutup 80 pabrik gula di kawasan itu, terutama yang selama ini terlalu dimanjakan dukungan subsidi dan tingkat tarif bea masuk yang menghambat produk impor menyaingi. Akan tetapi, maraknya investasi perkebunan dan industri gula di Afrika terkait pembukaan pasar gula Eropa itu hanya penggalan cerita tentang perjuangan panjang negara berkembang untuk menembus pasar dunia yang terdistorsi kepentingan negara maju. Selain gula, belum ada skema pemotongan subsidi domestik produk-produk pertanian lainnya di Eropa.
Eliminasi tarif untuk 50 negara berpenghasilan rendah yang akan diberlakukan Eropa mulai 2009 itu pun belum cukup mendorong persaingan pasar dunia yang sehat bagi produk pertanian. Kongres AS pun kini mengajukan paket subsidi pertanian yang akan berlaku hingga lima tahun ke depan.
Dalam perundingan putaran Doha, AS dan UE menawarkan pemotongan subsidi domestik dan pengurangan tarif untuk memperluas akses pasar yang selama ini terdistorsi. Tetapi, usulan itu ditolak negara-negara berkembang, antara lain karena pemotongan yang diusulkan tidak cukup signifikan.
"Pertempuran" Indonesia
Bagi Indonesia, sektor perdagangan berkontribusi sangat besar terhadap produk domestik bruto (PDB). Neraca perdagangan Indonesia (ekspor dan impor) tumbuh 15 persen pada tahun 2005 dan 12,97 persen pada tahun 2006. Perdagangan itu tumbuh jauh lebih tinggi dari pertumbuhan PDB Indonesia yang hanya 5-6 persen.
Uni Eropa merupakan mitra dagang Indonesia yang terbesar setelah Jepang, sedangkan AS berada pada peringkat ketiga.
Dalam kunjungannya ke Jakarta pekan lalu, Direktur Jenderal WTO Pascal Lamy mengingatkan, kesuksesan negosiasi putaran Doha akan turut menentukan akses pasar bagi Indonesia di tingkat global.
Namun, menurut Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, kesuksesan itu bergantung pada kesediaan negara maju mengakomodasi kepentingan negara berkembang untuk membuat aturan perdagangan WTO menjadi lebih adil.
Pengurangan substansial terhadap subsidi pertanian serta tarif bea masuk produk-produk ekspor tertentu dari negara berkembang, seperti tekstil, produk tekstil, dan alas kaki harus terus diperjuangkan.
Eskalasi tarif (bea masuk lebih tinggi bagi produk olahan dibandingkan produk mentah) yang dikenakan negara maju untuk melindungi industri manufakturnya juga merupakan distorsi perdagangan yang harus diminimalkan melalui penyelesaian putaran Doha.
Lamy mengakui, aturan perdagangan WTO masih diwarnai ketidakadilan. Ia pun menjanjikan, perundingan Doha yang kini digulirkan kembali harus mengarah pada perbaikan terhadap ketidakseimbangan itu.
"Ada ketidakseimbangan yang kita warisi dari putaran-putaran perundingan sebelumnya. Ketidakseimbangan itu terjadi karena kekuatan relasi negara kaya dan maju yang dulu berperan lebih. Sekaranglah waktunya memperbaiki dengan melanjutkan perundingan," kata Lamy.
Peran aktif negara-negara berkembang pun diakui Lamy semakin menguat dalam perundingan WTO. Ia mengatakan, sebagai direktur jenderal, adalah tugasnya untuk "membujuk" semua negara anggota berkontribusi bagi kesuksesan perundingan. Tetapi, inilah saatnya negara-negara maju berkontribusi lebih besar dari negara yang lebih lemah secara ekonomi.
Kelompok negara-negara berkembang dalam G-33 yang diketuai Indonesia berketetapan memperjuangkan dicapainya kesepakatan untuk memberi fleksibilitas pada negara berkembang, antara lain melalui modalitas produk khusus atau strategis serta mekanisme pengamanan khusus (special safeguard mechanism/SSM). Kedua instrumen itu merupakan bentuk perlakuan khusus dan berbeda dalam perjanjian perdagangan di bidang pertanian.
Sementara perundingan G-20 di Sydney, Australia, akhir 2006, menyimpulkan pencabutan subsidi pertanian di AS dan UE merupakan syarat untuk melanjutkan perundingan soal liberalisasi perdagangan dunia lewat WTO. Indonesia merupakan salah satu anggota G-20 yang juga dimotori India, Brasil, dan China.
Ketidakadilan di pasar dunia memang tidak bisa dilawan dengan sekadar bertahan, menutup diri. Namun, berjuang membutuhkan kejelasan konsep dan kematangan negosiasi. Kali ini, Indonesia harus "siap tempur"!
Dikutip dari tulisan Nur Hidayati dalam harian kompas Feb.27.2007
No comments:
Post a Comment