Surabaya, Kompas - PT Rajawali I yang merupakan anak perusahaan PT Rajawali Nusantara Indonesia menggandeng perusahaan energi asal Korea Selatan, Choi Biofuel Company, untuk membangun pabrik bioetanol. Pembangunan pabrik dengan total kapasitas 40.000 kiloliter ini rencananya akan dimulai pada Juni 2007.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Spiritus dan Etanol Indonesia (Asendo) Agus Purnomo, Selasa (13/2) di Surabaya, nilai pabrik di Pasuruan, Jawa Timur, tersebut mencapai 150 juta dollar AS atau setara dengan Rp 1,35 triliun.
Diharapkan usaha patungan untuk memproduksi energi alternatif ini sudah beroperasi pada pertengahan tahun 2008. Dengan masuknya tambahan produksi tersebut, total produksi bioetanol nasional mencapai 200.000 kiloliter per tahun.
Dalam kerja sama tersebut disepakati, investasi pembangunan dipikul oleh Choi Biofuel Company. Pihak Rajawali bertanggung jawab untuk menyediakan lahan seluas 10 hektar dan pasokan bahan baku senilai 200 juta dollar AS. Dengan demikian, total nilai investasinya proyek tersebut mencapai 350 juta dollar AS atau sekitar Rp 3,15 triliun.
"Kami memiliki stok tetap molase atau tetes tebu sebagai bahan bakunya sebanyak 120.000 ton per tahun untuk memenuhi kebutuhan pabrik itu," katanya.
Saat ini terdapat 10 pabrik bioetanol di seluruh Indonesia dengan kapasitas produksi sebesar 160.000 kiloliter etanol per tahun. Sementara kebutuhan etanol Indonesia mencapai 1,7 miliar liter atau 1,7 kiloliter per tahun. Asumsinya bioetanolnya menggantikan 10 persen premium atau BE10 (10 persen bioetanol ditambah 90 persen premium). Dengan asumsi penggantian 5 persen premium, pemerintah bisa menghemat subsidi bahan bakar minyak Rp 3 triliun.
Agus mengatakan, pemerintah tidak perlu menambah pos anggaran subsidi baru untuk mendukung pengembangan bioetanol. Pemerintah cukup menggunakan dana penghematan subsidi premium untuk menjamin tingkat harga pada level yang menguntungkan investor. Misalnya, membeli produk tersebut pada saat harga turun dengan harga yang ideal.
"Saat ini harga bioetanol dijual ke industri Rp 5.300 per liter. Harga itu sudah cukup memberi keuntungan bagi pengusaha," kata Agus.
Produk etanol ini akan menguntungkan. Selain bisa tetap terbarukan, juga gabungan etanol dan premium (gasohol) akan menghasilkan produk yang setara dengan Pertamax, tetapi dengan harga lebih murah.
"Oplosan etanol dan premium akan menghasilkan gasohol yang memiliki kandungan oktan sebesar 90 persen, mendekati Pertamax yang 92 persen," katanya.
Etanol diproduksi dari singkong, tebu, ubi jalar, dan jagung. "Selain molase, kami juga akan menampung singkong dari penduduk di sekitar pabrik sebagai bahan baku bioetanol ke depan," katanya.
Saat ini jumlah molase yang diproduksi di seluruh Indonesia mencapai 1,3 juta ton per tahun. Namun, molase yang digunakan oleh ke-10 pabrik bioetanol hanya 1,1 juta ton per tahun sehingga Indonesia kelebihan molase sebanyak 200.000 ton per tahun.
Atas dasar itu, kata Agus, pemerintah tengah mempersiapkan sebuah kebijakan baru untuk mendukung industri bioetanol, yakni memasukkan molase sebagai barang yang diawasi ekspornya. Keputusan itu ditetapkan karena daya serap industri di dalam negeri terhadap molase masih terbatas sehingga usulan untuk melarang ekspor molase tidak jadi diterapkan. (oin)
Kompas.Feb.14.2007
No comments:
Post a Comment