Visi 2030, Mimpi Vs Realitas
Buku Kerangka Dasar Visi Indonesia 2030 diluncurkan oleh Yayasan Indonesia Forum. Visi itu ditopang empat capaian utama, yaitu pendapatan/kapita (2030) mencapai 18.000 dollar AS, pengelolaan kekayaan alam yang berkelanjutan, perwujudan kualitas hidup modern yang merata dan mengantarkan sedikitnya 30 perusahaan Indonesia masuk daftar Fortune 500. Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi kelima di dunia.
Diharapkan dalam proses industrialisasi, Indonesia bisa menjadi negara berpenghasilan besar. Untuk mewujudkan Visi itu, realisasi pertumbuhan ekonomi riil rata-rata diasumsikan mencapai 7,62 persen, laju inflasi 4,95 persen, pertumbuhan penduduk rata-rata 1,12 persen/tahun. Dijelaskan bahwa Visi Indonesia 2030 punya arti strategis di tengah pesimisme menyongsong Indonesia masa depan dan erosi kebanggaan sebagai bangsa Indonesia.
Mimpi indah
Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Visi 2030 itu bisa saja dianggap mimpi, tetapi jangan malu dengan mimpi itu. Sebab bangsa yang besar adalah bangsa menciptakan mimpi dan mewujudkannya. Saya pernah membaca forecast yang lebih optimistis oleh sebuah lembaga kajian di Amerika Serikat bahwa Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi kelima pada 2020.
Ada yang lebih optimistis lagi. Kawan saya, Ricky Sutanto, seorang pengusaha, tahun 2004 menulis buku berjudul 2015, Kita Terkaya No 5, lengkap dengan berbagai langkah yang perlu dilakukan. Beberapa gagasannya tidak relevan atau tidak mungkin dilakukan, tetapi ada beberapa gagasan yang perlu dikaji lebih serius. Dia mengusulkan membuka pusat judi di Kepulauan Batam. Tidak disadarinya bahwa akan terjadi gelombang penolakan luar biasa terhadap usul itu.
Ricky punya gagasan mengarahkan Batam menjadi First ASEAN Economic Zone (FAEZ). Batam tidak menjadi pesaing Singapura, tetapi harus bahu-membahu. Caranya ialah menghubungkan Batam dan Singapura dengan membangun ASEAN Link yang terdiri dari dua bagian. Pertama ialah terowongan di bawah laut sepanjang 14 km, yang melintas dari Singapura ke Pulau Lengkana. Dari Lengkana menuju Batam dibangun overhead bridge sepanjang 12 km. Pembangunan link tadi sekaligus menghubungkan Indonesia (Batam) dengan daratan Asia. Berarti kita bisa menjelajah ke Asia, Timur Tengah, dan Eropa melalui daratan.
Agar lebih menarik investor dan untuk menciptakan instrumen investasi baru, FAEZ dapat dijual dengan menerbitkan FAEZ Bond berjangka 10 tahun plus 1 tahun. Jika harga tanah di FAEZ bisa mencapai 50 persen dari harga tanah di Singapura, maka FAEZ Bond akan dapat menghasilkan 250 miliar dollar AS dalam waktu lima tahun. Dengan dana itu Indonesia akan dapat melunasi utangnya. Tentu angka hitungan Ricky Sutanto di atas harus dicek kembali kesahihannya.
Realitas yang tidak indah
Pengamat ekonomi UGM, Sri Adiningsih, mengatakan "itu hanya mimpi di awang-awang saja. Ibaratnya, dari mimpi satu juta orang hanya satu orang yang terwujud." Mimpi yang dimaksud Adiningsih tentu beda dengan mimpi yang dimaksud Presiden SBY. Dia memperkirakan bahwa angka pertumbuhan yang paling mungkin dicapai hanya 6 persen, jauh dari target 7,62 persen. Faktor lain yang memberatkan ialah terpuruknya sektor riil.
Saya menerima SMS: "Dengan asumsi income/capita/tahun saat ini 1.500 dollar AS (dibulatkan), rata-rata pertumbuhan/tahun 7,9 persen, pertumbuhan penduduk 0,9 persen/tahun, income/capita/tahun pada 2030 = 1,061^23 x 1.500 dollar AS = 7.110,79 dollar AS. Angka 18.000 dollar AS tidak masuk akal." Kita memang belum mendengar perhitungan dari Visi 2030 Yayasan Indonesia Forum itu. (Tanda ^ berarti bunga berbunga—Red).
Bumi kita mengandung kekayaan yang awalnya melimpah dan sebagian (cukup besar) telah kita serap, gali, dan tebang. Tetapi kekayaan alam yang masih tersisa itu masih bisa memberi kesejahteraan kepada semua rakyat Indonesia jika dikelola dengan baik dan tepat.
Yang menjadi masalah bagi Indonesia dan negara berkembang lain ialah tidak cukupnya dana untuk mengolah kekayaan alam itu. Maka banyak negara yang meminjam kepada kreditor luar negeri. Studi Claessens (1993) menunjukkan, sampai menjelang tahun 1990 utang luar negeri merupakan komponen utama dalam pembiayaan pembangunan negara-negara berkembang, yakni sebesar 83 persen dari keseluruhan nilai produk nasional bruto. Investasi asing langsung berjumlah 10 persen dan 7 persen dari sumber lain.
Terdapat kecenderungan kebijakan untuk memperbesar porsi pembiayaan dan pengurangan utang luar negeri. Apa sebabnya? Terdapat dua alasan utama yang menjadi dasar. Pertama, adanya posisi defisit perkiraan berjalan dalam neraca pembayaran yang telah berlangsung secara terus-menerus dalam waktu lama. Kedua, adanya posisi neto yang negatif dalam aliran masuk sumber-sumber keuangan internasional di sektor pemerintah. Terjadi kesenjangan yang terus-menerus antara kebutuhan investasi nasional dan kemampuan nasional untuk membiayai kebutuhan investasi nasional.
Muncul pertanyaan: dapatkah aliran masuk investasi asing menjadi pemecah masalah neraca pembayaran negara-negara berkembang? Atau malah justru akan memperburuk keadaan? Studi Claessens di atas mendukung proposisi bahwa: "The cost of servicing foreign direct investment is in general higher than the cost of servicing debt." Kesimpulan ini adalah hasil perbandingan antara nilai keuntungan investasi asing yang direpatriasi ke luar negeri sejak tahun 1950 lebih tinggi daripada nilai investasi yang masuk ke negara-negara berkembang. Dan juga lebih tinggi daripada pembayaran kewajiban yang berkaitan dengan utang luar negeri negara-negara itu.
Penelitian Sritua Arief menunjukkan bahwa untuk Indonesia selama 1973-1990 nilai kumulatif investasi asing yang masuk ke Indonesia berjumlah 5,775 miliar dollar AS dan diiringi kumulatif keuntungan investasi yang direpatriasi dari Indonesia pada waktu yang sama berjumlah 58,859 miliar dollar AS. Artinya, setiap dollar AS yang masuk akan diiringi dengan 10,19 dollar AS yang keluar Indonesia. Peranan negatif modal asing dalam pemupukan tabungan domestik di berbagai negara berkembang telah dilaporkan dalam studi Hollis Chenery (1979), Keith Griffin (1986), McDonald (1982). Tidak diketahui apakah angka 18.000 dollar AS Visi 2030 telah memperhitungkan juga dana yang direpatriasi ke luar negeri karena sebagian cukup besar investasi berasal dari luar negeri.
Bangsa kuli
Modal asing masuk ke Indonesia sejak awal Orde Baru. Saat itu pemerintah harus bekerja keras meyakinkan para investor luar negeri untuk masuk ke Indonesia, termasuk di dalamnya keputusan untuk mengembalikan semua perusahaan dan aset non-Belanda kepada pemiliknya yang sah (dan memberikan ganti rugi kepada mereka yang menolak mengambil kembali perusahaan yang sudah rusak). Selama sekitar 30 tahun usia Orde baru, minat untuk masuk modal luar negeri ke Indonesia naik turun. Mereka mempertimbangkan banyak faktor, terutama stabilitas politik dan pengaruhnya terhadap kebijakan pemerintah serta kondisi sosial, seperti reaksi masyarakat terhadap modal luar negeri. Buku Jeffrey Winters berjudul Power in Motion menguraikan dinamika masuknya modal luar negeri ke Indonesia.
Kini kita melihat banyak modal asing yang sudah beroperasi di Indonesia pindah ke negara lain. Untuk menarik investor luar negeri masuk Indonesia, UU PMA tahun 1968 diperbarui dengan memberi kemudahan dan keleluasaan yang lebih besar, antara lain HGU selama 95 tahun, HGB 80 tahun, dan hak pakai 70 tahun, dan cara pemberiannya diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus. Agrarische Wet 1870 hanya membolehkan pemakaian tanah selama 75 tahun.
Sementara itu kita melihat dana menganggur di perbankan nasional kita (SBI) berjumlah ratusan triliun rupiah. Modal pemerintah yang dilarikan ke luar negeri oleh pengusaha hitam jumlahnya juga ratusan triliun rupiah. Bagi masyarakat awam sulit untuk memahami mengapa Presiden dan Wapres menghabiskan banyak waktu berharga untuk menarik minat investasi dari luar negeri. Akan jauh lebih bermanfaat apabila pemerintah fokus untuk meningkatkan investasi pengusaha dalam negeri dengan mendorong pemberian kredit oleh perbankan nasional, terutama UMKM, dan reformasi birokrasi.
Perlu kita amati investasi para pengembang besar pada sektor pusat perdagangan seperti Pasar Blok M dan Pasar Tanah Abang yang mengakibatkan hilangnya pekerjaan pada puluhan ribu pedagang kecil tradisional. Pola semacam ini terjadi di hampir semua kota besar di Indonesia. Pemerintah tidak memberikan peluang kepada pedagang kecil yang sejak awal berdagang di situ untuk mengelola pasar yang terbakar itu dan membantu pembiayaannya, padahal proyek itu amat layak secara bisnis. Pemerintah lupa bahwa pedagang kecil dan UMKM-lah yang menjadi penyangga saat ekonomi kita mengalami krisis terakhir.
Derasnya arus masuk modal luar negeri membuat kita tidak mandiri di dalam banyak hal. Ditambah dengan sikap mental para pejabat yang mengambil keputusan, maka negara banyak dirugikan. Banyak yang mengatakan bahwa kita akan tetap menjadi bangsa kuli dan kuli dari bangsa lain. Kita menyediakan tenaga kerja yang dibayar murah, sumber daya alam dan pasar bagi produk pihak luar negeri yang dibuat di luar negeri dan Indonesia.
Masyarakat menyaksikan sikap berani Hugo Chavez dan Evo Morales terhadap kekuatan modal asing yang didukung AS dan kawan-kawan. Cukup banyak yang bertanya, apakah tidak mungkin kita meniru mereka? Kita paham bahwa apa yang dilakukan Chavez dan Morales belum tentu cocok bagi Indonesia, tetapi kita tidak ingin Indonesia makin jauh masuk ke dalam cengkeraman modal asing, karena penelitian membuktikan bahwa itu akan membuat nilai tambah pemanfaatan sumber daya alam kita sebagian besar akan lari ke luar negeri.
Pimpinan nasional menghadapi pilihan-pilihan yang amat sulit, antara keterbatasan modal nasional dan terkurasnya sumber daya alam yang nilai tambahnya lari ke luar negeri sehingga amat sulit untuk menyejahterakan dan mencerdaskan bangsa. Tetapi memang untuk tugas itulah pimpinan nasional dipilih oleh rakyat.
Salahuddin Wahid Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang
No comments:
Post a Comment