Thursday, December 21, 2006
Cermin diri : Surat untuk AA Gym . . .
Aa Gym yang baik, ketika mendapat kabar kalau Aa menikah lagi, saya tertawa. Geli sekali rasanya mendengar kabar itu. Setelah Dhani Dewa, kini Aa yang dikatakan beristri dua. Gosip memang makin aneh saja ya, Aa... Saya tidak percaya. Saya tahu, Aa begitu mencintai Teh Ninih. Di mata Aa, Teh Ninih begitu sempurna.
Setiap melihat foto keluarga Aa, dengan tujuh anak dan Teh Ninih yang tersenyum bahagia, selalu ada airmata yang bergulir di sudut mata saya. Aa membuat saya begitu bangga. Teh Ninih memberikan saya ilham tentang bagaimana mencinta. Melahirkan tujuh anak di zaman ketika memiliki banyak anak telah menjadi semacam "aib", tak ada kata lain untuk menjelaskannya, kecuali pengabdian cinta. Maka, saya tidak percaya gosip itu. Tidak mungkin Aa akan begitu. Aa itu kiai saya, guru saya, kakak, ayah, dan teladan saya. Aa pasti tidak akan mengecewakan saya.
Ketika Aa menggelar jumpa pers di kantor Daarut Tauhid, di Jakarta, Sabtu lalu, saya bersorak gembira. Akan terjawab semuanya, batin saya. Akan terang betapa bodohnya pembuat gosip itu. Saya bayangkan, Aa akan tertawa, Teh Ninih akan terkikik manja, dan memeluk Aa. Ketika melihat Aa dan Teh Ninih muncul, dengan busana satu warna, wajah yang bercahaya, hati saya makin bahagia. Sungguh Aa, tiap kali melihat Aa dan Teh Ninih tampil bersama, saling mengerling dan tersenyum, selalu ada haru dan tangis di mata saya. Aa membuat saya begitu bersyukur dan bahagia. Saya tidak percaya, kerling dan senyum itu akan Aa berikan juga untuk Teteh yang lain....
Aa terlihat lebih muda. Apa karena tanpa sorban ya, Aa? Dan Teh Ninih, kenapa jadi tampak lebih tua. Mata Teh Ninih berkerjapan, tapi dia menyunggingkan senyuman. Aa tahu, saya mulai was-was saat itu. Melihat sorban yang lepas, hati saya cemas. Melihat banyaknya senyum Teh Ninih, dada saya berbuih. Saya mulai menduga, ya Tuhan... apakah kabar itu benar? Apakah benar Aa telah menduakan Teh Ninih, Mbak dan Ibu saya? Tolong Tuhan, tulikan aku sementara... Aku tak sanggup mendengarnya...
Dan airmata saya berloncatan. Saya sesenggukan. Wajah Aa yang cerah di teve dikaburkan airmata saya. Sungguh Aa, saya tidak bisa menerima. Saya sakit, sakit... Setiap melihat Teh Ninih, airmata saya langsung berloncatan. Saya tajamkan pendengaran, saya ingin tahu, apa alasan Aa, apa kekurangan Teh Ninih? Tapi sampai akhir jumpa pers itu, tak ada satu pun dalih yang bisa mengeringkan airmata saya. Aa menyebutkan TTM, teman tapi mesum, dan seks bebas, yang kini jadi dianggap biasa. Aa, saya kaget. Dari Aa-lah saya tahu TTM itu teman tapi mesum. Sebelumnya saya kira hanya teman tapi mesra. Apakah Aa menilai kemesraan sama dengan kemesuman? Aa juga menyebut, keputusan itu lahir dari keprihatinan karena poligami dianggap sebagai perbuatan tidak benar, sering dicemooh, bahkan diperlakukan tidak sebagaimana mestinya. Istri kedua dianggap sebagai perebut suami orang. Aa tampaknya ingin mendudukkan posisi poligami, ingin menunjukkan bahwa istri kedua tidak selamanya buruk. Maaf Aa, saya tidak terharu dengan penjelasan itu.
Aa yang baik, saya lalu mencari tahu siapa Rini, Alfarini Eridani itu. Maaf Aa, saya tidak bisa menyebut Rni dengan panggilan Teteh. Bagi saya, hanya ada satu Teteh untuk Aa, Teh Ninih. Saya lalu tercengang. Bukan Aa, bukan karena dia mantan model. Bagi saya, tidak penting latar belakang seseorang. Bukankah Aa dulu juga bukan seorang kiai? Bukankah pernikahan Aa dengan Teh Ninihlah, yang merupakan anak kiai pondok, yang mengubah hidup Aa? Saya hanya takjub pada kesaksian banyak pihak bahwa sudah sejak awal Rini itu Aa istimewakan. Rini bebas di MQ, dengan status tidak jelas. Bisa jadi marketing, sekretaris, atau kerja serabutan. Pengistimewaan Rini oleh Aa dan adik Aa, Abdurrahman Yuri (Aa Deda) itu terbaca sesama pengurus MQ, dan mereka mengira Aa dekat karena ingin mencarikan jodoh untuk Rini. Mereka juga tidak merasa aneh, ketika Juli lalu, Aa pun meminta Rini jadi "pejabat" saat membentuk unit pelayanan terpadu bank syariah di ponpes Daarut Tauhiid. Tapi, sebagaimana terungkap di banyak media, akhirnya semua kaget, ketika Aa memilihkan diri Aa sendiri sebagai jodoh untuk Rini.
Aa yang baik, maaf jika saya berburuk sangka. Ketika Aa mengatakan telah lima tahun mempersiapkan dan mendiskusikan dengan Teh Ninih untuk berpoligamami, apakah Rini yang Aa persiapkan? Apakah masuknya Rini ke MQ beberapa tahun lalu bagian dari persiapan itu? KH Miftah Farid mengatakan, Aa menikahi Rini untuk menyelamatkannya dari rerebutan pengurus Daarut Tauhiid. Kenapa harus diselamatkan, Aa? Apakah kalau Rini dinikahi karyawan Aa, hidupnya berada dalam bahaya? Atau, apakah Aa merasa dapat berlaku lebih adil daripada mereka yang memperebutkan Rini?
Aa yang baik, maaf jika saya masih bertanya-tanya. Benarkah Teh Ninih sudah memberi izin dan ikhlas? Kalau begitu, mengapa sewaktu menikahinya Aa tidak mengikutkan Teh Ninih? Mengapa tidak ada satu pun keluarga Aa yang datang? Juga adik Aa, Abdurahman Yuri (Aa Deda) yang dekat dengan Rini, kemana? Kata KH Miftah, setelah ijab itulah baru Aa memberitahu Teh Ninih, benarkah? KH Miftah juga mengatakan, saat itu Aa hanya nikah agama, dan perlu waktu untuk dicatatkan ke KUA, menunggu izin tertulis dari Teh Ninih, begitukah Aa? Jadi Aa, benarkah Teh Ninih memberi izin dan ikhlas karena pernikahan itu telah terjadi? Izin dan keikhlasan yang datang karena tak lagi dapat berbuat apa-apa?
Aa yang baik, benarkah ketika Senin (4/12) di saat Aa memberikan tausyiah untuk pengurus MQ Coorporation, Teh Ninih dan Rini duduk berdampingan, dan keduanya tidak bercakapan juga bersalam? Juga, kenapa ketika acara usai, Rini ingin segera berlalu, sampai Aa memanggilnya, "Ibu Rini..." agar dia mau bergabung? Sungguhkah Teh Ninih belum dapat menerima Rini, Aa? Sekali lagi maaf jika saya berburuk sangka. Saya hanya ingin menumpahkan isi hati saya, jutaan pertanyaan yang membebani, biar saya dapat menerima Aa, dengan ringan, dengan enteng, seperti Aa yang ringan, riang, ketika menjelaskan pernikahan itu.
Aa yang dirahmati Allah, di telinga saya saat ini, masih terdengar pengakuan Teh Ninih, Minggu, usai tausyiah itu. Teteh mengaku klenger saat tahu Aa telah menikah. Tiga bulan setelah pernikahan itu, Teteh juga mengaku belum kenal Rini ...
Aa, entah kenapa, saya selalu menangis melihat ketabahan Teh Ninih. Teteh saya itu, yang juga saya anggap Mbak dan Ibu saya, demikian kuat menahan perasaannya. Ia hanya tersenyum, dan menjawab dengan persetujuan Aa. Teteh mengajarkan kepada saya, tentang cinta seorang wanita, yang tak terbagi, tak berpamrih. Dan saya kian menangis, saat melihat Aa acap sekali memeluknya, menciumnya, merangkulnya, lebih sering dari apa yang biasa Aa tunjukkan. Pikiran naif saya selalu berkata, "kenapa bisa lelaki yang demikian sayang dan cintanya, tapi memadu istrinya..." Maaf Aa, sekali lagi maaf, saya tidak bisa berbicara halus seperti Aa, tidak bisa sesabar seperti Aa. Itulah sebabnya, ketika Teh Ninih berkata, "Saya berkeyakinan, apa yang tampaknya menyakitkan belum tentu seburuk yang terlihat.." saya tambah menangis. Saya membaca, Teh Ninih telah mengatakan isi hatinya kepada saya. Karena apa yang dikatakan Teh Ninih bisa dibaca sebaliknya, "apa yang tampak menyenangkan, mengikhlaskan, berpelukan, bahagia, belum tentu seindah yang terlihat...."
Aa yang baik, maaf kalau saya tampak kecewa. Maaf kalau saya tidak bisa mengerti, saya hanya tahu, betapa kian kuat cinta saya kepada Teh Ninih...(Surat oleh Aulia A M/SMCN)
Copied from suaramerdeka.com
Note :
Suratnya bagus juga ya..
Picture ( inside ) hanya tambahan saja
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment