Oleh: Vincent Gaspersz
Ketika saya melakukan training-led consultancy di
perusahaan-perusaha an bisnis dan industri Indonesia, para manajer
sering mengajukan pertanyaan berikut: Pak Vincent, kami telah
menerapkan banyak sistem manajemen kinerja, mulai dari ISO 9001:2000,
MBNQA (Malcolm Baldrige Quality Program), Balanced Scorecard, Six
Sigma, dll, tetapi mengapa tidak memberikan hasil yang memuaskan?
Jawaban saya secara gamblang adalah, mungkin manajemen perusahaan Anda
melakukan program peningkatan kinerja secara acak (random performance
improvement) , secara parsial dan tidak terintegrasi dengan kebutuhan
bisnis dan industri yang dirumuskan secara sistematik dalam suatu
kerangka kerja Master Improvement Story. Hal itu yang saya jumpai
dalam banyak perusahaan di Indonesia. Banyak perusahaan di Indonesia
belum melakukan program peningkatan kinerja secara sistematik
(systematic performance improvement) menggunakan kerangka kerja Master
Improvement Story. Memang benar bahwa dalam perusahaan di Indonesia
terdapat puluhan program peningkatan kinerja (performance improvement
programs), demikian pula mungkin ada puluhan tim peningkatan kualitas
(quality improvement teams), tetapi mungkin dari puluhan program dan
tim itu, tidak ada satu pun yang benar-benar berfokus pada peningkatan
kinerja yang sesungguhnya bagi perusahaan yaitu: bottom line
performance improvement, seperti peningkatan ROIC (Return On Invested
Capital) atau ROCE (Return On Capital Employed), eliminasi pemborosan
(waste) dan reduksi biaya terus-menerus, eliminasi atau reduksi cacat
atau kesalahan terus-menerus, peningkatan pelayanan (service level)
dan inovasi nilai kepada pelanggan secara terus-menerus, peningkatan
semangat karyawan dan manajemen dalam meningkatkan kinerja perusahaan
agar menjadi perusahaan kelas dunia, dan lain-lain.
Apakah Anda sebagai manajer perusahaan-perusaha an bisnis dan industri
di Indonesia juga sedang frustrasi? Karena telah banyak sistem
manajemen kinerja yang diimplementasikan, mulai dari: ISO 9001:2000,
Malcolm Baldrige, Balanced Scorecard, Lean Six Sigma, dan lain-lain,
tetapi tidak memberikan hasil manfaat sesuai dengan yang diharapkan!
Kemudian mungkin pada saat sekarang Anda sedang tertarik untuk
menerapkan Blue Ocean Strategy yang sedang populer di dunia, karena
berdasarkan pada konsep inovasi nilai untuk menghindarkan persaingan
dan menciptakan pasar-pasar baru.
Penulis meminta kepada Anda agar berhati-hati mengulang
kesalahan-kesalahan masa lalu, karena implementasi sistem manajemen
kinerja apapun secara acak hanya akan menimbulkan frustrasi! Hasil
pengkajian penulis terhadap perusahaan-perusaha an yang sedang dan/atau
telah dibantu, menunjukkan bahwa AKAR PENYEBAB kegagalan implementasi
sistem-sistem manajemen kinerja dalam perusahaan itu adalah karena
pendekatan manajemen yang masih dilakukan secara acak dan parsial,
tidak terintegrasi satu sama lain, sehingga tidak memberikan dampak
positif pada bottom line perusahaan.
Masih banyak organisasi bisnis dan industri di Indonesia yang hanya
sekedar melakukan upaya peningkatan kinerja secara acak (random
performance improvement) , secara parsial dan tidak terintegrasi dengan
kebutuhan bisnis dan industri yang dirumuskan secara sistematik dalam
suatu kerangka kerja Master Improvement Story. Beberapa upaya
peningkatan acak yang dilakukan itu telah meningkatkan frustrasi di
antara manajemen dan karyawan, di mana tingkat beban kerja menjadi
meningkat namun tidak memberikan dampak positif pada bottom line dari
bisnis dan industri.
Penyebab Kegagalan Sistem Manajemen Kinerja
Pertanyaan kreatif yang perlu diajukan adalah mengapa implementasi
sistem manajemen kinerja selalu gagal? Menurut Balanced Scorecard
Collaborative (www.bsccol. com), terdapat empat faktor penghambat dalam
implementasi sistem manajemen kinerja terintegrasi, yaitu:
1. Hambatan Visi (Vision Barrier)-tidak banyak orang dalam organisasi
yang memahami atau mengerti strategi dari organisasi mereka.
Berdasarkan survei, hanya sekitar 5% dari karyawan yang memahami
strategi perusahaan mereka.
2. Hambatan Orang (People Barrier)-banyak orang dalam organisasi
memiliki tujuan yang tidak terkait dengan strategi organisasi.
Berdasarkan survei, hanya sekitar 25% dari manajer yang memiliki
insentif terkait dengan strategi perusahaan mereka.
3. Hambatan Sumber Daya (Resource Barrier)-waktu, energi, dan uang
tidak dialokasikan pada hal-hal yang penting (kritis) dalam
organisasi. Sebagai misal, anggaran tidak dikaitkan dengan strategi
bisnis, sehingga menghasilkan pemborosan sumber daya. Berdasarkan
survei, sekitar 60% dari organisasi tidak mengaitkan anggaran kepada
strategi perusahaan.
4. Hambatan Manajemen (Management Barrier)-manajemen menghabiskan
terlalu sedikit waktu pada strategi organisasi dan terlalu banyak
waktu pada pembuatan keputusan taktikal jangka pendek. Berdasarkan
survei, sekitar 86% dari tim eksekutif menghabiskan waktu kurang dari
satu jam per bulan untuk mendiskusikan strategi perusahaan mereka.
Di samping itu Master (1996) juga mengemukakan 15 faktor kegagalan
dalam implementasi sistem manajemen kualitas total (TQM), sebagai berikut:
1. Ketiadaan komitmen dari manajemen puncak.
2. Ketiadaan pengetahuan atau kekurangpahaman tentang manajemen
kualitas total.
3. Ketidakmampuan mengubah kultur perusahaan.
4. Ketidaktepatan perencanaan kualitas.
5. Ketiadaan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan (terus-menerus) .
6. Ketidakmampuan membangun suatu learning organization yang
memberikan perbaikan terus-menerus.
7. Ketidakcocokan struktur organisasi serta departemen dan individu
yang terisolasi.
8. Ketidakcukupan sumber daya.
9. Ketidaktepatan sistem penghargaan dan balas jasa bagi karyawan.
10. Ketidaktepatan mengadopsi prinsip-prinsip manajemen kualitas total
ke dalam organisasi.
11. Ketidakefektifan teknik-teknik pengukuran dan ketiadaan akses ke
data dan hasil-hasil.
12. Berfokus jangka pendek dan menginginkan hasil yang cepat.
13. Ketidaktepatan dalam memberikan perhatian pada pelanggan internal
dan eksternal.
14. Ketidakcocokan kondisi untuk implementasi manajemen kualitas.
15. Ketidaktepatan menggunakan pemberdayaan (empowerment) dan kerja
sama (teamwork).
Sebagai bahan pertimbangan kepada manajemen organisasi yang sedang
menerapkan program-program Six Sigma atau Lean Six Sigma, berikut ini
adalah faktor-faktor penyebab kegagalan dari implementasi program Lean
Six Sigma. Mungkin salah satu atau beberapa faktor itu ditemukan dalam
organisasi Anda.
1. Lack of visible senior leader sponsorhip
2. Lack of alignment to a clear organization strategy
3. Lack of performance tracking and accountability
4. Failure to link projects to bottom-line impact
5. Insufficient or ineffective alocation of human resources
6. Over-emphasis on rigid approach and technical tools
Berdasarkan pengalaman penulis yang terlibat langsung dalam
implementasi Lean Six Sigma, kegagalan utama dari implementasi
program-program Six Sigma di Indonesia adalah terbanyak karena poin 1
dan 2 di atas, sedangkan para BELTS terlalu (baca: hanya) menekankan
pada poin 6, tanpa memandang apakah proyek-proyek Lean Six Sigma itu
terkait dengan bottom-line impact secara signifikan dan benar-benar
akan berkontribusi pada Master Improvement Story dari perusahaan (poin
4).
Swayne (2003) telah mengidentifikasi beberapa kegagalan implementasi
proyek Six Sigma yang terjadi dalam setiap tahap DMAIC, sebagai berikut.
Kegagalan Proyek Six Sigma dalam Tahap DMAIC
Define:
. Definisi lingkup dan kebutuhan proyek yang tidak tepat dan tidak
terintegrasi dengan kebutuhan nyata dari bisnis
. Kesalahan mengidentifikasi proyek yang tepat
. Kesalahan dalam desain kuesioner (questionnaire) dan penerapan
statistika pada riset pelanggan
. Kesalahan dalam penetapan sasaran dan tujuan yang tepat
Measure:
. Ketiadaan ukuran-ukuran kinerja kunci (KPIs) yang tepat
. Memiliki alat-alat pengukuran yang jelek
. Pengumpulan data yang tidak efisien dan tidak tepat
. Kecepatan eksekusi yang lambat
Analyze:
. Kesalahan dalam mengembangkan hipotesis kausal (sebab-akibat)
. Kegagalan mengidentifikasi pengendali kunci (key drivers)
. Penggunaan alat-alat statistika yang terlalu berlebihan dan
seolah-olah hanya berfokus pada penerapan alat-alat statistika
tersebut tanpa mempedulikan efektivitas dan efisiensi dalam solusi
masalah-masalah bisnis yang nyata
. Ketiadaan pengetahuan bisnis praktis
. Kegagalan mengidentifikasi praktek-praktek bisnis terbaik
Improve:
. Ketiadaan dukungan manajemen terhadap sistem
. Kegagalan dalam mengembangkan ide-ide untuk menghilangkan akar-akar
penyebab masalah bisnis
. Kegagalan dalam implementasi solusi-solusi masalah bisnis
Control:
. Kegagalan dalam tindak-lanjut (follow-up) oleh manajer-manajer dan
pemilik proses, yaitu mereka yang bertanggung jawab terhadap kinerja
dari proses-proses bisnis
. Ketiadaan mekanisme umpan-balik menerima atau mendengarkan suara
pelanggan (voice of customer) secara terus-menerus
. Ketiadaan institusionalisasi dari pemikiran atau pemahaman terhadap
peningkatan kinerja bisnis terus-menerus
Referensi:
www.bsccol.com
Master, R. J., Overcoming the Barriers to TQM's Success., Quality
Progress, May 1996., pp.53-55., American Society for Quality.,
Milwaukee, Wisconsin, 1996.
Swayne, B., Where Has All the Magic Gone?., Six Sigma Forum Magazine,
Pp. 22-27., ASQ Quality Press, Milwaukee, Wisconsin, May 2003.
Vincent Gaspersz (Gramedia, 2007-Sedang dalam proses penerbitan).
Organizational Excellence: Model Strategik Menuju World Class
Enterprise Management. Memperkenalkan Cara-Cara Implementasi Teknik
Manajemen Kelas Dunia:
. Balanced Scorecard
. Customer Service Excellence
. Customer Relationship Management
. 5S/6S, Kaizen Blitz, Lean, Six Sigma
. Lean Six Sigma for Manufacturing and Service
. Lean Six Sigma SCOR (Supply Chain Operations Reference)
. Integration of Blue Ocean Strategy and
. Design for Lean Six Sigma
. Implementation of Integrated Performance Management System in World
Class Manufacturing and Service Companies
============ ========= ========= ========= =========
No comments:
Post a Comment