Refleksi HUT RI ke-62, Ber(Indonesia) dengan Kesadaran Multikultural Thursday, 16 August 2007 Harian surya surabaya
Konflik-konflik terus terjadi, karena sekalipun bangsa
ini demokratis, sejatinya bangsa ini belum bisa keluar dari masyarakat
tribalis yang tertutup
Tanggal 17 Agustus menjadi hari yang super penting bagi rakyat Indonesia,
karena menjadi titik awal para pendiri bangsa (founding father) membentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang bebas kolonialisme. Kini
menjelang peringatan HUT RI ke-62 diwarnai polemik kontroversi lagu
asli Indonesia Raya berkat klaim temuan Roy Suryo dan Yayasan Air Putih
diperpustakaan Leiden, Belanda, yang kemudian dibantah banyak pihak
termasuk musisi Des Alwi. (Surya, 06/08)
Pertanyaan mendasar yang segera kita ajukan, kira-kira apa urgennya
mempolemikkan autentisitas lagu Indonesia Raya itu? Bukankah
mempertanyakan keaslian tak lebih hanyalah bagian sifat maskulinitas yang
tergopoh-gopoh dengan romantisme sejarah.
Dalam pandangan saya polemik ini tak jauh berbeda maknanya dengan
kebanyakan dari kita, yang menyambut HUR RI dengan berlomba panjat
pinang, lari karung, lomba bawa kelereng dengan sendok, lomba
memasukkan benang ke jarung jahit dan lain sebagainya. Model seperti ini,
sesungguhnya hanyalah memaknai kemerdekaan RI ini dalam arti simbolik,
yang tak membawa implikasi apa-apa dalam perbaikan kesejahteraan kolektif
bangsa.
Harus bahwa bangsa Indonesia itu terdiri dari suku bangsa Jawa, Madura, Batak, Aceh, Melayu, Banjar, Dayak, Sumba, Bali, Ambon, Sunda, Bali, Tionghoa, Arab, India dan sebagainya. Begitu halnya aneka ragam identitas ini memiliki agama yang berbeda pula ada Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Keanekaragaman ini menjadi mozaik yang semestinya indah untuk
membangun peradaban pencerahan kemanusiaan. Namun faktanya
kemajemukan identitas itu justru mejadi awal petaka terjadinya konflik di seluruh belahan Nusantara. Konflik-konflik itu selalu
bermunculan atas nama agama, etnis dan kepentingan ekonomi-politik.
Konflik-konflik ini terjadi saya kira lemahnya makna perjumpaan diantara
kemajemukan identitas komponen bangsa. Juga, adanya sifat
fanatisme terhadap identitas masing-masing.
Mengapa konflik-konflik terus terjadi, karena sekalipun bangsa
ini demokratis, sejatinya bangsa ini belum bisa keluar dari masyarakat
tribalis yang tertutup (closed society), untuk menuju masyarakat demokratis
yang terbuka (open society), rasional dan kompetitif.
Kini konflik sosial secara vertikal dan horizontal terus mendapatkan tempatnya, ketika perebutan kekuasaan politik semakin terbuka. Kenyataannya
keanekaragaman atas nama agama, etnis kelompok selalu dituduh menjadi
biang konflik, meskipun pandangan semacam ini tetap harus dikoreksi karena
tidak pernah mengaitkan atas akses ekonomi politik bagi minoritas.
Terapi Multikulturalisme
Orang tidak akan sanggup terus-menerus menghadapi konflik, kekerasan dan
ketidakpastian. Suatu sistem politik yang rasional, dapat diramalkan, dan
memperhitungkan manajemen konflik, diperlukan untuk menjamin masa
depan yang lebih baik. Sistem politik semacam itu tidak bisa mengabaikan
etika politik. (Haryatmoko, Halaqah Budaya, 2007: 1)
Oleh karena itu, perlu didorong bagaimana proses pilkada yang selama ini jadi
sumber konflik, seharusnya menjadi ajang demokrasi yang santun, bukan
pintu konflik yang terbuka. Sebab dalam sistem politik demokrasi, kehadiran
pemilu dan pilkada yang bebas dan adil (free and fair) adalah suatu
keniscayaan.
Sebagaimana dijelaskan Muhammad Asfar, adanya pemilu dan pilkada secara
bebas dan adil, memungkinkan pihak-pihak yang berkonflik menahan diri dan
memanfaatkan pemilu sebagai sarana untuk berkonflik.
Sebab pertama,
kelompok-kelompok oposisi yang ingin mengganti pemerintah akan
memusatkan tenaganya untuk menghadapi pemilu dan bukannya menyerang
pemerintah melalui kekuatan fisik. Kedua, pihak penguasa bisa melakukan
konsolidasi kekuasaan untuk menghadapi penantangnya melalui pemilu dan
bukannya menekan melalui kekerasan fisik dan senjata. (Muhammad Asfar,
Pemilu dan Perilaku Memilih 1955-2004, 2006: 4)
Tetapi, nyatanya diskriminasi selalu dialami oleh kelompok-kelompok
minoritas yang tersingkir dan diperlakukan tidak adil. Pada altar inilah
multikulturalisme bergema untuk meniupkan angin kesegaran untuk
membuka kesadaran baru bagi masyarakat anggota bangsa agar perbedaan
dijamin dan diterima apaadanya.
Setidaknya ada tiga tujuan mulia dari multikulturalisme yang dapat
menjembatani keanekaragaman identitas bangsa ini.
Pertama,
multikulturalisme memperjuangkan agar setiap warga negara mempunyai
kesempatan yang sama (hak dan kewajiban) dan atas dasar kemampuan
masing-masing ikut serta mengarahkan masa depan masyarakatnya.
Kedua, multikulturalisme mendorong masyarakat mengakui dan menerima
keberagaman budaya sehingga berkembang rasa memiliki dan komitmen
pada masyarakatnya. Ketiga, dengan kebijakan multikulturalisme, mau
dibangun masyarakat yang menjamin perlakuan adil dan hormat akan
martabat setiap orang dari manapun asalnya.
Sebenarnya bangsa ini sudah benar membuat paradigma Bhinneka Tunggal
Ika, untuk mengakomodasi multikultural bangsa ini, hanya persoalannya
kemudian tafsirnya selalu tidak bebas dari politik kekuasaan.
Jika kita ikuti aturan filsafat bahasa maka Bhinnek' adalah bentuk wajah
asli bangsa Indonesia yang majemuk dan plural, sebab realitas kebangsaan ini
yang taken for granted. Sedangkan Tunggal Ika merupakan gagasan ideal
yang menjadi cita, tujuan, dan acuan dari fakta sosial yang pluralitas dalam
sebuah bangsa ini.
Karenanya, haruslah dimaknai sebagai keanekaramanan kultural dari
identitats masyarakat Indonesia untuk menyatu. Dalam tafsir ini berindonesia
berarti sebuah konsep negara yang tak lebih sebagai proses mem'bangsa'
dan me'masyarakat' untuk membentuk masyarakat baru yang inklusif,
toleran dan demokratis. Sehingga tafsir yang lengkap dari Bhinneka Tunggal
Ika adalah berbeda-beda untuk menyatu membentuk Negara kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Bukan seperti tafsir yang dikembangkan oleh Orde Baru yang memaknai
Bhinneka Tunggal Ika sebagai berbeda-beda tapi tetap satu.
Tafsir yang
dikembangkan Orde Baru itu dalam perspektif filsafat bahasa lebih
dimaksudkan sebagai usaha penyeragaman kemajemukan identitas bangsa
Indonesia ini. Maka akibat yang mesti ditanggung bersama sampai hari ini
adalah derita kemanusiaan yang akut pada basis konflik dan pertengkaran
sosial yang tidak tahu kapan akan usai.
Keanekaragaman kultur bangsa ini sesungguhnya menjadi prasarat penting
untuk menjadi bangsa besar, dalam meletakkan common goal, bangsa ini
sesungguhnya sudah benar memilih Bahasa Melayu sebagai bahasa
kebangsaan.
Namun dalam perspektif multikulturalisme saya ingin memperluas tafsir
bahasa melayu sebagai salah satu common goal bangsa Indonesia dalam
bingkai negara bangsa modern (modern nation state).
Dipilihnya Bahasa
Melayu sebagai bahasa kebangsaan Indonesia karena, sifat bahasa
ini yang sangat demokratis, tidak seperti Bahasa Jawa
yang feodalistik. Kedua, bahasa melayu itu ditemukan dari
pelosok tanah air di Pulau Sumatra dari komunitas masyarakat yang
minoritas, yang dimungkinkan tidak akan melahirkan hegemoni dan
eksploitasi terhadap perjalanan sejarah bangsa ini.
Tidak terbayangkan jika pada tahun 1928, para pelopor Sumpah Pemuda
menjadikan bahasa Jawa sebagai bahasa persatuan.
Dapat dipastikan akan
terjadi hegemoni yang luar biasa, sebagaimana ditunjukkan oleh Orde Baru,
sekalipun bahasa Jawa tidak dipilih sebagai bahasa nasional, struktur bangsa
ini diseragamkan dan diatur sesui sistem feodalistik Jawa. Betapa pentingnya menumbuhkan terus-menerus common goal bagi bangsa
Indonesia. Sebab common goal adalah hal-hal pokok yang harus dipetik dan
disepakati bersama. Seperti isi Sumpa Pemuda, 1928, yakni bahasa, bangsa,
dan tanah air Indonesia.
Konsep seperti ini diperluas Hassan Hanafi, 1999, dalam Islam in
The Modern World yang mengklasifikasikan common goal menjadi tujuh
macam. Yaitu, (1) kemerdekaan dari penjajah, (2) kebebasan
menghadapi ketidak-adilan dan sistem otoriter, (3) keadilan sosial
dalam rangka memecahkan problem kemiskinan dan kesenjangan sosial, (4)
kesatuan bangsa dalam menghadapi ancaman disintegrasi, (5)
pembangunan dan pemajuan dalam menghadapi kemunduran, (6) penetapan
identitas kebangsaan dalam menghadapi segala macam bentuk westernisasi,
dan (7) mobilisasi masyarakat seluruhnya dalam melawan kejumudan,
stagnasi dan sikap acuh kepada permasalahan bersama bangsa.
Oleh karena itu, di usianya ke-62 tahun bagi bangsa besar ini, rasanya lebih
strategis jika semua kekuatan bangsa memaknai kembali Indonesia.
Dibandingkan sekedar berdebat soal lagu Indonesia Raya dan
perayaan perlombaan yang berakhir kerusuhan sosial.
Oleh: Sufyanto
Mahasiswa Program Doktor (S3) Ilmu Sosial
Universitas Airlangga Surabaya
No comments:
Post a Comment