Thursday, August 16, 2007

62 TAHUN INDONESIA MERDEKA (II)

TAJUK RENCANA SUARA MERDEKA 16 AUG 2007
Berpikir tentang Keindonesiaan
Memasuki usia kemerdekaan ke-62, bangsa dan negara kita masih harus bergulat dengan berbagai persoalan yang begitu beragam. Kadang kita merasa sudah melompat jauh ke depan dalam menata kehidupan demokrasi, tetapi pada aspek lain justru mundur ke belakang karena tingkat kemakmuran dan pemerataan yang masih seperti berjalan di tempat. Ukurannya selalu pada output dan bagaimana kita bisa menyelesaikan persoalan mendasar seperti kemiskinan dan pengangguran. Harus diakui, kita masih sangat rentan dalam soal ini, dan masih tertatih-tatih menghadapi persaingan global yang kian mencekam.

Kehidupan demokrasi dan kebebasan pers sering dibanggakan sebagai buah reformasi sejak 1998 setelah tumbangnya rezim Orde Baru. Demikian juga kita dikatakan selangkah lebih maju dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, kendati masih jauh dari memuaskan. Tetapi di sisi lain kita justru dihadapkan pada kenyataan tentang lemah dan kurang efektivitasnya pemerintahan. Sistem politik dengan multipartai, pemilihan presiden dan pilkada langsung adalah langkah-langkah besar dalam demokrasi. Tetapi ada sesuatu yang harus dibayar ketika tatanan pemerintahan tak lagi mempunyai vitalitas yang memadai.

Kita juga kurang berpikir tentang keindonesiaan. Sudah berpuluh-puluh tahun belum dikonsep dan diimplementasikan dengan baik strategi pembangunan yang merata ke seluruh penjuru Tanah Air. Insiden penurunan bendera Merah Putih di Aceh, insiden tari Cakalele oleh aktivis Republik Maluku Selatan (RMS), juga Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang menggeliat menggambarkan masih rentannya integrasi. Semua sepakat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah final, tetapi apakah kita mampu menjaganya? Terkadang tanggung jawab dilupakan. Keinginan suatu daerah untuk merdeka lebih karena terabaikan.

Bagaimanapun elite politik dan para pemimpin nasional memiliki peran strategis untuk menentukan ke mana arah ke depan, dan bagaimana kita akan melangkah. Coba direnungkan, apakah sudah tepat apabila semangat otonomi selalu harus dibarengi dengan permintaan pemekaran wilayah dengan munculnya kota/ kabupaten atau provinsi baru? Tampaknya lebih aspiratif dan adil, padahal sesungguhnya ada dampak disintegratif dan inefisiensi atau pemborosan keuangan negara puluhan triliun rupiah. Berapa banyak kantor baru harus dibangun, demikian juga fasilitas lain. Dana operasional pun membengkak luar biasa.

Siapa yang harus memikirkan semua itu? Ketika tak ada lagi lembaga tertinggi negara, dan malah terjadi disharmoni antarlembaga tinggi, sesungguhnya kita bisa kehilangan haluan yang merupakan akumulasi tekad bersama. Sangatlah riskan bangsa atau negara yang tak memiliki visi yang jelas dan terukur setidak-tidaknya sampai 25 tahun ke depan. Kalaupun visi sudah ada, apakah juga telah menjadi komitmen bersama, karena tidak sedikit yang membuat sesuai versinya masing-masing? Di sini kita melihat bangsa ini semakin lepas dan longgar, padahal persaingan global membutuhkan kepemimpinan kuat dan visi yang tajam.

Renungan di hari kemerdekaan seharusnya tak lepas dari pemikiran tentang keindonesiaan, dan sebaliknya meninggalkan sikap pragmatis. Kelemahan dirasakan dalam kepemimpinan nasional, terutama dalam mengonsolidasi dan mengendalikan seluruh potensi bangsa. Kepercayaan internasional pun berkurang, karena kita dinilai tak mampu menjaga kepastian baik dalam politik, hukum, sosial dan keamanan. Dan, ketika investasi serta aktivitas ekonomi tak meningkat, problem akan semakin menumpuk. Berpikir tentang keindonesiaan berarti kita meninggalkan kepentingan sempit kelompok, golongan, apalagi individu.

No comments: