Kamis, 16 Agustus 2007
Tajuk Rencana Kompas
Keprihatinan di Hari Proklamasi
Rel kereta api digergaji. Penganggur masih sekitar 10 juta. Penduduk miskin terhitung masih sekitar 35 juta orang. Di banyak tempat orang berunjuk rasa.
Unjuk rasa di sana-sini diikuti bentrokan. Bencana alam terus menggebu. Penyakit flu burung dan demam berdarah pasang surut. Dari negara-negara tetangga pun, kita masih ketinggalan. Prihatin, ya, prihatin. Itulah suasana hati kita dalam menyambut dan memperingati Hari Proklamasi Kemerdekaan Ke-62.
Dengan sengaja kita lukiskan suasana pikiran dan hati kita dengan prihatin. Suatu ungkapan sarat nuansa dan makna. Sedih, berduka, tetapi tidak menyerah, apalagi patah semangat. Mengandung kritik, koreksi, dan peringatan, tetapi kental dengan nuansa menyalahkan dan menggugat diri sendiri. Bersedih hati, tetapi tidak patah semangat, bahkan tetap menimba semangat kebangkitan, harapan, serta upaya bersama dari kondisi yang memprihatinkan itu.
Memperingati Hari Proklamasi berarti menghidupkan cita-cita, semangat, dan komitmen bersejarah masa lampau untuk masa depan disertai refleksi kritik terhadap pengalaman jatuh bangun dan pasang surut selama 62 tahun ini. Luar biasa historis alias bersejarah, pengorbanan dan heroisme pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan. Pandangan, sikap, dan tujuan perjuangan dan pergulatan para Bapak Bangsa sungguh berdimensi dan bermakna sejarah yang mendahului zaman, lengkap dan amat sangat aktual hingga kini dan selanjutnya. Negara merdeka, berfaham kebangsaan yang terbuka, berideologi Pancasila yang merupakan sublimasi dari kekayaan Ibu Pertiwi yang diaktualkan dan diperkaya dengan beragam ideologi dunia serta dikunyah tuntas, sehingga merupakan jati diri yang historis, sekaligus aktual dan relevan. Ya, mendahului zaman.
Pelaksanaan, penyelenggaraan perikehidupan bangsa dan negara yang merdeka untuk mewujudkan cita-cita dan komitmen bersama itulah tantangan selama 62 tahun. Itu pula tantangan di depan mata kita dalam konteks dunia yang semakin terbuka dan global. Jalan yang kita pilih kini jalan demokrasi. Demokrasi yang mana? Bukan liberal parlementer seperti tahun lima puluhan, bukan demokrasi terpimpin, bukan demokrasi otokratis. Demokrasi yang menghargai martabat dan hak asasi, yang memberikan kebebasan, yang mewujudkan kedaulatan rakyat lewat pemilihan umum, yang praktiknya kini ya presidensial, ya parlementer.
Berbagai jalan yang kita tempuh selama ini disertai tujuan dan cara subyektif yang baik, yakni semakin cepat mewujudkan tujuan kemerdekaan yang secara amat mulia dan bersintesa dirumuskan dalam kelima sila Pancasila. Yang semangat, prinsip, dan tujuannya yang konkret adalah keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh warga. Demokrasi adalah jalan. Betapapun prinsipiilnya, jalan itu akhirnya haruslah menuju ke kesejahteraan seluruh rakyat secara adil. Komitmen pada tujuan dan prinsip kecuali disertai semangat pengabdian dan pengorbanan disertai upaya dan kerja keras lagi jujur, harus pula cakap dan cerdas. Diperlukan pelengkap ilmu pengetahuan, teknologi, dan kerja sama yang kritis positif dengan bangsa-bangsa lain. Dalam sistem politik apa pun, suatu bangsa yang mengejar cita-cita dan tujuannya memerlukan kepemimpinan pada tingkat puncak dan semua eselonnya formal maupun informal. Ya, kita peringati Hari Proklamasi Kemerdekaan Ke-62 ini dengan keprihatinan!
Terlunta di Negeri Merdeka
Baskara T Wardaya
Ketika pada tanggal 17 Agustus 1945 Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsanya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, yang mereka maksud adalah kemerdekaan bagi seluruh rakyat di bekas wilayah Hindia Belanda.
Bagi mereka, kemerdekaan itu bukan hanya untuk kelompok ekonomi tertentu, kelompok etnis tertentu, atau kelompok agama tertentu. Kemerdekaan adalah kemerdekaan untuk semua.
Itu sebabnya penjajah bermaksud menguasai kembali negeri ini dan dilawan kedua proklamator serta para pejuang. Hal ini dimaksudkan, sekali lagi, kemerdekaan untuk semua. Dengan prinsip sadumuk bathuk sanyari bumi, yang berarti ’tidak rela tanahnya dikuasai kembali oleh penjajah meski hanya sejengkal’, para pejuang mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan tanah tumpah darah. Banyak pejuang mati di tangan musuh asing. Namun, bagi mereka, lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup tertindas di bawah penjajah. "Merdeka atau mati!", itu tekad mereka.
Berjuang sendirian
Betapa ironisnya 62 tahun kemudian, saat kita menengok ke belakang dan merenungkan kembali perjalanan negeri ini, sejak kemerdekaan diproklamasikan. Tampak begitu banyak warga "negeri merdeka" yang ternyata tetap tertindas dan terlunta-lunta di tanah tumpah darahnya sendiri. Banyak dari mereka tak mampu memiliki cukup tanah untuk tinggal atau menghidupi diri. Berbagai upaya untuk bisa mendapatkan tanah yang layak selalu mengalami hambatan karena harus berhadapan dengan kepentingan mereka yang lebih kuat dan lebih berkuasa.
Kita masih ingat, pada tahun 1960-an ada upaya untuk membagi tanah secara adil berdasarkan undang-undang resmi pemerintah (Undang-Undang Pokok Agraria). Upaya itu justru menimbulkan ketegangan sosial dan menjadi salah satu pemicu bagi pembantaian massal terhadap rakyat kecil. Sistem kepemilikan tanah yang lebih adil pun gagal dilaksanakan. Tak cukup dengan tragedi pembunuhan sesama warga, kasus-kasus tanah terus merebak sejak naiknya rezim otoritarian yang merebut panggung kepemimpinan setelah berlangsungnya tragedi itu.
Terjadilah, misalnya, kasus penggusuran paksa tanpa ganti rugi yang pantas demi pembangunan Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta (1971), misalnya. Juga sengketa tanah di Gunung Balak, Lampung (1972), kasus tanah Siria-ria, Sumatera Utara (1977), dan penggusuran demi pembangunan Taman Borobudur, Jawa Tengah (1982). Begitu pula kasus tanah Kedung Ombo (Jawa Tengah), penggusuran untuk pembuatan lapangan golf di Cimacan (Jawa Barat), kasus tanah Kemayoran, serta kasus tanah Talangsari (Lampung)—yang semuanya berlangsung tahun 1989. Pada tahun 1996 terjadi kasus tanah Balongan (Jawa Barat) dan Nipah (Madura). Belum lagi kasus lumpur Lapindo (2006) di Jawa Timur yang melahap tanah tempat tinggal dan gantungan hidup banyak warga masyarakat. Ini belum terhitung ratusan kasus penggusuran di kota-kota besar, dengan warga diusir dari tempat tinggalnya tanpa alternatif memadai.
Terakhir, Mei 2007. Kita dibuat sedih oleh kasus Alas Tlogo, Jawa Timur, saat sejumlah warga harus mati saat hendak mempertahankan tanah tempat mereka hidup. Di Alas Tlogo itu rakyat gugur bukan karena mempertahankan tanah dari serangan musuh asing, tetapi oleh oknum aparat. Sungguh menyedihkan.
Semua kasus itu dan berbagai kasus lain yang ada boleh saja berbeda tempat dan waktu terjadinya. Namun, biasanya berujung pada klimaks yang sama: atas nama kepentingan tertentu rakyat harus minggir dan meninggalkan tanah tempat mereka hidup. Mereka digusur secara tidak adil dari tempat tinggal di Tanah Air mereka sendiri, yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh pahlawan pendahulu mereka.
Sementara itu, ribuan warga masyarakat yang terpinggirkan akhirnya harus hidup terlunta-lunta secara ekonomis dan terpaksa mencari nafkah di negeri-negeri lain sebagai buruh kasar atau pembantu rumah tangga. Keterlunta-luntaan tersebut sering membuat mereka harus berjuang sendiri melawan kekejaman para majikan.
Kasus tewasnya Siti Tarwiyah dari Ngawi dan Susmiyati dari Pati serta teraniayanya dua rekan lain di tangan anak majikan mereka di Arab Saudi, Agustus 2007 ini, hanyalah contoh terakhir tragedi anak bangsa dari negeri yang resminya sudah merdeka ini.
Penjajahan baru
Menjadi tampak, pada satu sisi kemerdekaan yang diproklamasikan tahun 1945 telah membuat kita bebas dari penjajahan asing. Namun, di sisi lain belum seluruh rakyat Indonesia berkesempatan menikmati kemerdekaan itu. Banyak orang di negeri ini masih hidup di bawah tekanan dan ketertindasan. Apa yang diperjuangkan para pahlawan kemerdekaan belum sepenuhnya menjadi kenyataan.
Itu sebabnya acara mengheningkan cipta pada setiap upacara bendera, termasuk upacara peringatan Proklamasi, bukan hanya merupakan saat penting untuk mengenang jasa pahlawan, tetapi juga menjadi kesempatan istimewa guna menundukkan kepala bagi mereka yang meski telah diperjuangkan oleh para pahlawan, tetapi masih terlunta-lunta di negeri merdeka milik sendiri. Mereka ini berhak mendapat perhatian dan pembelaan dari siapa saja. Kemerdekaan kita adalah kemerdekaan untuk semua.
Jelaslah, bagi rakyat Indonesia merdeka dari penjajah asing itu penting. Namun, tak kalah penting adalah merdeka dari bentuk-bentuk penjajahan baru, entah itu datang dari bangsa asing, entah itu datang dari bangsa sendiri. Merdeka!
Baskara T Wardaya Direktur Pusat Sejarah dan Etika Politik (Pusdep) Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Sumber: Opini Kompas Aug.16.07
Merdeka bagi Rakyat Miskin
Benny Susetyo
Setiap memperingati hari kemerdekaan, selalu muncul pertanyaan, seberapa jauh kita benar-benar merdeka?
Bila ditanyakan arti kemerdekaan kepada pedagang kaki lima yang tempat berjualannya digusur semena-mena, warung dirobohkan paksa, atau buruh ditipu majikan, maka kemerdekaan merupakan omong kosong. Bagi mereka, kemerdekaan hanya fakta sejarah.
Tidak menjiwai kehidupan
Kemerdekaan tidak menjiwai kehidupan masyarakat karena berhenti sebagai fakta sejarah. Kemerdekaan adalah cerita masa lalu dan tidak terkait dengan masa kini. Keharuan dan keceriaan dalam aneka perlombaan, pemutaran film, upacara pengibaran bendera, kerja bakti memerahputihkan kampung sering hanya seremoni agustusan. Rutinitas mencoba memaknai heroisme.
Kemerdekaan kita baru sebatas kata-kata, sulit menjadi jiwa peri kehidupan masyarakat, sebab semua orang ingin meraih "kemerdekaannya" masing-masing. Jiwa kemerdekaan sebagai kesatuan rasa kolektif kebangsaan berubah menjadi keserakahan pribadi-pribadi untuk memiliki kemerdekaan masing-masing.
Makna kemerdekaan terasa sempit bila hanya merdeka dari penjajah pada 17 Agustus 1945. Seolah setelah kemerdekaan itu kita tak lagi memiliki musuh bersama, atau tak ada lagi yang bisa dijadikan musuh bersama. Padahal seiring dengan perubahan era, masih banyak musuh yang harus dihadapi bersama.
Kemerdekaan bukan sekadar upacara di tanah lapang, melainkan memberi kelapangan luas kepada rakyat untuk mengisi kemerdekaan ini tanpa gangguan.
Keadilan yang kian melepuh ibarat api dalam sekam. Ketidakadilan merupakan musuh yang terus menggerogoti jiwa kemerdekaan 1945. Siapakah yang tidak khawatir bila jiwa kemerdekaan 1945 suatu saat runtuh karena kesadaran elite untuk bersikap adil terhadap rakyatnya tergerus sikap egois, cinta kekuasaan, dan nafsu serakah.
Tanpa meremehkan arti kemerdekaan 1945, inilah fakta kehidupan bangsa sepanjang merdeka. Dialektika "mengisi kemerdekaan" selama 62 tahun sering hampa bagi kaum papa. Mereka seolah bukan pribadi yang berhak menikmati kemerdekaan.
Para pahlawan yang gigih berjuang pada masa lalu tak pernah membayangkan kehidupan anak yang kesulitan mengakses pendidikan. Faktanya, berapa juta anak Indonesia merasa sengsara karena harus berpendidikan atau lebih sengsara karena sulitnya berpendidikan?
Para elite bangsa harus bertanggung jawab atas aneka persoalan yang menyangkut nestapa kehidupan rakyat pada masa merdeka ini. Mereka telah memperlakukan negara dan kekuasaan bukan untuk membuktikan kesungguhan kemerdekaan, melainkan meremehkannya dengan berbuat tidak adil dan menghambat kreativitas masyarakat.
Para elite bangsa yang tidak merasa keliru mengelola negara, dengan menghamba kepada neoimperialisme asing ataupun utang luar negeri, sudah saatnya menyadari dampak yang kian parah dari ketidaksiapan bangsa menghadapi globalisasi. Kita nyaris tidak memiliki nilai tawar di mata internasional. Bahkan lebih buruk, pembangunan yang telah dijalankan 62 tahun, sebagian besar tidak jelas untuk siapa.
Masyarakat miskin tetap menjadi obyek derita dari semua sandiwara elite kekuasaan. Kemiskinannya menjadi komoditas yang diperjualbelikan untuk keuntungan tertentu. Ini semua dilakukan dalam situasi dan kondisi yang disebut merdeka.
Merdeka bermakna bebas
Merdeka bermakna bebas dari penjajahan fisik ataupun mental. Merdeka bermakna kolektif, dengan kemerdekaan kolektif menjadi cermin kemerdekaan individual, bukan sebaliknya.
Kaum miskin butuh hak untuk menikmati kemerdekaan. Kemerdekaan bukan hanya milik elite politik dan orang kaya. Kini, kemerdekaan belum merata. Tidak semua jiwa yang hidup di Tanah Air ini menikmati kemerdekaan dalam arti sebenarnya. Semakin tua umur kemerdekaan, selayaknya melahirkan bangsa dengan elite lebih bijak. Semakin tua umur kemerdekaan, seharusnya menambah kedewasaan berpikir, merasa, dan bertindak.
Kemerdekaan 1945 memiliki makna amat dalam bagi pembebasan manusia. Ketidakadilan ekonomi, agama, sosial, budaya dan politik adalah bentuk ketidakmerdekaan. Membiarkan ketidakadilan berkembang, berarti membiarkan pengkhianatan terhadap arti kemerdekaan.
BENNY SUSETYO Pendiri Setara Institute
Membesarkan Jiwa Bangsa
Yudi Latif
Apa yang menentukan besar-kecilnya suatu bangsa? Sejarawan HG Wells menyimpulkan, "Anasir terpenting yang menentukan nasib suatu bangsa adalah kualitas dan kuantitas tekadnya." Tekad sebagai sikap mental (state of mind) yang mencerminkan kuat-lemahnya jiwa bangsa.
Soekarno menandaskan hal ini dalam peringatan Isra Mi’raj 7 Februari 1959. "Tidak ada suatu bangsa dapat berhebat, jikalau batinnya tidak terbuat dari nur iman yang sekuat-kuatnya. Jikalau kita bangsa Indonesia ingin kekal, kuat, nomor satu jiwa kita harus selalu jiwa yang ingin Mi’raj—kenaikan ke atas—agar kebudayaan kita naik ke atas, supaya negara kita naik ke atas. Bangsa yang tidak mempunyai adreng, adreng untuk naik ke atas, bangsa yang demikian itu, dengan sendirinya akan gugur pelan-pelan dari muka Bumi (sirna ilang kertaning Bumi).
Membesarkan jiwa
Maka, Bung Karno berkali-kali menekankan perlunya membesarkan jiwa. "Tiap-tiap bangsa mempunyai orang-orang besar, tiap-tiap periode sejarah mempunyai orang-orang yang besar, tetapi lebih besar daripada Mahatma Gandhi adalah jiwa Mahatma Gandhi, lebih besar dari Stalin adalah jiwa Stalin, lebih besar daripada Roosevelet adalah jiwa Roosevelt,... lebih besar daripada tiap-tiap orang besar adalah jiwa daripada orang besar itu. Jiwa yang besar yang tidak tampak itu ada dalam dada tiap manusia, bahkan kita mempunyai jiwa sebagai bangsa. Maka kita sebagai manusia mempunyai kewajiban untuk membesarkan kita punya jiwa sendiri dan membesarkan jiwa bangsa yang kita menjadi anggota daripadanya."
Dalam hal ini, Mohammad Hatta gundah tentang masa depan kemerdekaan Indonesia yang mungkin dilumpuhkan oleh kekerdilan jiwa bangsa sendiri. Dengan mengutip puisi Schiller, ia bernubuat, "Sebuah abad besar telah lahir/tetapi ia menemukan generasi yang kerdil."
Dalam pandangan Bung Hatta, sebuah bangsa tidak eksis dengan sendirinya, tetapi tumbuh atas landasan keyakinan dan sikap batin yang perlu terus dibina dan dipupuk. Terlebih kebangsaan Indonesia, sebagai konstruksi politik yang meleburkan aneka (suku) bangsa ke dalam unit kebangsaan baru, "Untuk mempertahankannya tiap orang harus berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."
Peran kepemimpinan amat penting sebagai jangkar solidaritas kebangsaan. Para pemimpin mengemban amanat penderitaan rakyat, yang tanpa pertanggungjawabannya kemajemukan kebangsaan Indonesia sulit menemukan kehendak bersama. "Indonesia luas tanahnya, besar daerahnya dan tersebar letaknya. Pemerintahan negara yang semacam itu hanya dapat diselenggarakan oleh mereka yang mempunyai tanggung jawab yang sebesar-besarnya, dan mempunyai pandangan yang amat luas. Rasa tanggung jawab itu akan hidup dalam dada kita jika kita sanggup hidup dengan memikirkan lebih dahulu kepentingan masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa. Untuk mendapatkan rasa tanggung jawab yang sebesar-besarnya, kita harus mendidik diri kita sendiri dengan rasa cinta akan kebenaran dan keadilan yang abadi. Hati kita harus penuh dengan cita-cita besar, lebih besar dan lebih lama umurnya dari kita sendiri (Pidato Radio, 8 November 1944).
Kesempatan merenung
Harapan dan peringatan kedua bapak bangsa itu perlu direnungkan di sela peringatan kemerdekaan Indonesia. Perlu refleksi diri, mengapa karunia kekayaan dan keindahan negeri ini tak sebanding dengan martabat bangsanya, kekayaan alam tak membawa kemakmuran, kelimpahan penduduk tak memperkuat daya saing, kemajemukan kebangsaan tak memperkuat ketahanan budaya, keberagamaan tak mendorong keinsafan berbudi.
Berdiri di awal milenium baru, menyaksikan perubahan yang luas cakupannya, instan kecepatannya, dan dalam penetrasinya, menyentuh rasa hirau kita tentang masa depan bangsa. Adakah kelebihan yang bisa dibanggakan selain karunia yang terberikan? Adakah sebutan yang bisa diukir di gelanggang internasional selain gelar-gelar buruk?
Manusia, sang pengubah
Dalam rasa keadilan Ilahi, tak ada ketentuan bahwa jalan hidup suatu bangsa harus tetap di pinggiran. Dari hari ke hari, firman Tuhan kian membuktikan kebenaran dirinya. Dalam sejarah kejatuhan dan kejayaan suatu kaum, manusia sendirilah pusat pengubahnya.
Kita perlu "senjata" baru, cara pengucapan baru, dan karisma pengubah sejarah baru. Ilmu dan teknologi, semangat inovasi dan daya etos dan etis yang mewujud ke dalam kualitas manusia unggul adalah senjata, bahasa, dan karisma baru kita untuk memenangi masa depan.
Seharusnya kita bisa. Kita mewarisi kebesaran jiwa para pendiri bangsa, yang menorehkan nama Indonesia sebagai pelopor gerakan kemerdekaan di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Dengan kebesaran jiwa dan pengikatan kekuatan nasional, kita masih cukup memiliki sumber daya untuk bangkit dari keterpurukan.
Untuk itu, bangsa kita harus keluar dari kekerdilan mentalitas budak—yang mudah dilamun ombak dan bersilang sengkarut—dengan memberi isi dan arah hidup kebangsaan. Seperti kata Bung Karno dalam Amanat Proklamasi 1956, "Bangsa Indonesia harus mempunyai isi hidup dan arah hidup. Kita harus mempunyai levensinhoud dan levensrichting. Bangsa yang tidak mempunyai isi hidup dan arah hidup adalah bangsa yang hidupnya tidak dalam, bangsa yang dangkal, bangsa yang cetek, bangsa yang yang tidak mempunyai levensdiepte sama sekali. Ia adalah bangsa penggemar emas sepuhan, dan bukan emasnya batin. Ia mengagumkan kekuasaan pentung, bukan kekuasaan moril. Ia cinta kepada gebyarnya lahir, bukan kepada nurnya kebenaran dan keadilan. Ia kadang-kadang kuat, tetapi kuatnya adalah kuatnya kulit, padahal ia kosong melompong di bagian dalamnya."
Yudi Latif Pemikir Kenegaraan dan Keagamaan
No comments:
Post a Comment