Rabu, 12 September 2007
Memanfaatkan Ramadhan
Said Aqiel Siradj
Ketua PBNU
Tidak pernah kita hitung, sejak kapan kita menjalankan puasa wajib di bulan Ramadhan. Rasanya belum lama kita berpisah dengan Ramadhan tahun lalu, dan alhamdulillah kini kita berjumpa lagi. Tentu saja, kita menaruh harapan dan semangat agar puasa kita tahun ini lebih baik dari puasa-puasa tahun sebelumnya. Sekalipun merasakan haus dan lapar, sungguh unik bahwa kita menjalankannya dengan kegembiraan, antusiasme, dan kekhusyukan. Kita tidak pernah jemu, jengkel, dan merasa direpotkan oleh datangnya Ramadhan.
Ibadah puasa ini tidak saja dikaji menurut kaidah hukum agama, sekarang bahkan berbagai professi keilmuan, khususnya kedokteran dan psikologi, ikut memperkaya analisis ibadah puasa dalam rangka menggali hikmah yang dikandungnya. Praktik puasa sebenarnya tidak hanya dikenal dalam ajaran Islam, melainkan juga pada umat sebelum kerasulan Muhammad. Bahkan dalam tradisi-tradisi di luar agama Ibrahimi juga dikenal praktik puasa sekalipun dengan niat dan cara yang berbeda. Allah berfirman, "Hai, orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu. Agar kamu bertakwa". (QS Al Baqarah [2]: 183).
Substansinya sama
Dengan demikian, perintah puasa yang kita jalankan sekarang ini memiliki sejarah panjang dalam perkembangan manusia. Sejarah puasa adalah sejarah manusia-manusia beragama terdahulu. Perintah puasa memiliki masa lalu, masa sekarang, dan masa mendatang, bagi umat manusia. Tentu saja, puasa kita hari ini berbeda dengan puasa 'orang-orang beriman sebelum kamu'. Bentuk dan kaifiyah pelaksanaan puasa kita dan puasa mereka tidaklah sama. Namun, intinya adalah mengembalikan supremasi spiritual atas dunia fisik dan psikis.
Nabi Adam dan istrinya, Hawa, diperintahkan 'berpuasa' untuk tidak memakan buah khuldi. Menurut para ahli tafsir, kata buah khuldi sebuah kata simbolik yang memiliki banyak makna. Salah satunya adalah objek yang menimbulkan rasa ingin tahu dan nafsu manusia untuk hidup kekal dengan mengejar dan memiliki kenikmatan fisikal, sehingga bisa menjauhkan manusia dari Tuhannya.
Dalam kisah Alquran disebutkan, "Hai Adam, ambillah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang dzalim" (QS Al Baqarah [2]: 35).
Namun, mereka tidak mampu mengendalikan diri mereka dari godaan setan. Mereka melanggar 'perintah puasa', karenanya, Allah pun menurunkan 'siksa' bagi mereka dengan dikeluarkan dari surga (simbol kenikmatan) menuju dunia (simbol cobaan). Ayat tadi memberikan isyarat begitu kuat bahwa sesungguhnya larangan Allah itu sangat sedikit dibandingkan anugerah yang dihalalkan.
Jika dipahami secara metaforis, ayat ini menyadarkan kita bahwa sesungguhnya begitu banyak anugerah Allah yang dibentangkan untuk manusia, dan jangan sekali-sekali anugerah yang melimpah itu hilang karena kita tergelincir oleh hawa nafsu yang mengejar hal-hal kecil dan kenikmatan sesaat. Bumi Indonesia yang melimpah dengan nikmat Allah, kini pemerintah dan rakyatnya miskin karena perilaku pemimpinnya tidak mampu berpuasa menjauhi pohon terlarang, yaitu korupsi.
Nabi Dawud juga mengajarkan puasa dengan berselang hari. Sehari berpuasa sehari berbuka. Adapun Maryam, ibunda Nabi Isa, mengajakan berpuasa untuk menahan diri, tidak berbicara, ketika menghadapi lingkungan sosial yang tidak berguna, bahkan kolutif (QS Maryam [19]:26). Dalam konteks sekarang, Maryam mengajak kita menahan diri agar tidak hanyut ke dalam dunia gosip yang bisa mengotori hati dan pikiran.
Di sini jelas bahwa perintah puasa tidak saja memiliki kesinambungan dan kelanjutan dalam sejarah manusia, namun mengandung edukasi bagi pengembangan dan pembersihan diri. Dalam konteks Islam, kesinambungan dan kelanjutan bisa bermakna penyempurnaan. Dan untuk itulah Islam yang dirisalahkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai agama terakhir setelah agama Yahudi dan Nasrani, mengandung makna sebagai agama penerus dan penyempurna.
Yang dimaksud penyempurna di sini adalah penyempurna bagi praktik dan pelaksanaan ibadah-ibadah agama 'orang-orang beriman terdahulu', termasuk juga perintah berpuasa. Puasa merupakan ibadah yang mendorong kita melatih untuk menguasai dan mengendalikan diri (the art of self-mastery) agar tidak terjebak ke dalam kubangan yang menghinakan martabat diri. Hari-hari selama bulan puasa terasa bagaikan 'medan perang' yang kita usahakan untuk mengalahkan egoisme yang menguasai dan mengendalikan kita. Namun, yang lebih fundamental adalah bagamana kita menemukan dan menguatkan kembali komitmen moral-spiritual kita dengan ibadah puasa ini. Jadi, pesan puasa bukan sekadar 'menahan diri', tetapi mensucikan dan menumbuhkan, serta memperkuat komitmen moral-spiritual.
Atmosfer Ilahi
Segala rutinitas konsumeristik, agenda materialistik, serta sikap dan perilaku kapitalistik yang menjadi keseharian kita, selama Ramadhan kita hentikan untuk menemukan kembali kesucian dan kefitrian kita. Mari kita perbanyak waktu untuk berkontemplasi, membaca buku yang bermutu, dan memperbanyak berbuat kebajikan, mulai saat kita sahur menjelang fajar hingga kita buka puasa saat matahari tenggelam. Dengan begitu, selama sekitar 30 X 24 jam kita benar-benar berada dalam atmosfer ilahi. Dengan demikian, kita berdoa semoga hidayah Alquran akan nuzul (turun) dan menjadi penuntun bagi hati, pikiran, dan perilaku kita.
Peningkatan intensitas dan kuantitas ibadah kita kepada Allah selama puasa Ramadhan itu tentu saja memberi ruang, kesempatan, dan perhatian terhadap pertumbuhan dan perkembangan kualitas ketakwaan kita untuk menjalani agenda hidup di bulan-bulan pasca-Ramadan. Salah satu ciri orang yang bertakwa adalah yang selalu merasakan kehadiran dan kedekatan Tuhan di manapun berada, sehingga seseorang lebih terdorong untuk selalu berbuat kebajikan, menghindari tindakan apapun yang menjauhkan diri dari Tuhan.
Ibadah Ramadan untuk memperoleh derajat ketakwaan akan mengajak kita untuk menjalani hidup dengan antusias, ikhlas, dan senantiasa mengarah pada peningkatan kualitas moral, bukannya hidup yang malah dibebani oleh ambisi mengumpulkan materi yang sifatnya instrumental, lalu diubah posisinya menjadi objek-fundamental.
Sekali lagi, kenikmatan, kedamaian, dan kekhusyukan di dalam bulan Ramadhan sungguh kita menanti-nantikan kedatangannya. Dan kita belum tentu berjumpa lagi dengan bulan yang penuh pesona spiritual seperti Ramadan ini. Malaikat telah turun ke bumi menyambut hamba-hamba Allah yang beriman, yang merindukan kedekatan dengan Allah, yang lapar dan hausnya akan mampu mengusir setan, dan doa serta rintihan hatinya di malam hari akan menjadi nyanyian merdu membuka pintu langit menjemput curahan rahmat, ampunan dan keberkatan Allah. Semoga Allah memberi kekuatan dan petunjuk pada bangsa Indonesia untuk menuju masyarakat adil dan makmur.
Ikhtisar
- Puasa bukan hanya menjadi kewajiban umat sekarang, tapi juga umat terdahulu sejak zaman Nabi Adam.
- Hanya, puasa umat terdahulu dan umat sekarang berbeda dalam hal teknis, namun sama substansinya yaitu untuk mengembalikan supremasi spiritual.
- Karena itu, momentum Ramadhan harus bisa digunakan untuk menghentikan segala rutinitas konsumeristik, materialistik, dan kapitalistik.
- Seluruh waktu selama Ramadhan, haruslah diisi dengan atmosfer Ilahi yang mendekatkan diri kita dengan Tuhan.
dari Opini Republika Sept.12.2007
No comments:
Post a Comment