Puasa, Menajamkan Mata Hati
Musa Asy’arie
Menjelang puasa Ramadhan, kita menyaksikan berbagai kegiatan di masyarakat, antara lain penertiban yang dilakukan aparat keamanan, seperti merazia tempat-tempat maksiat dan hiburan malam, karena diharapkan dapat mengantarkan umat Islam menjalani ibadah puasa dengan baik.
Sementara itu, harga-harga kebutuhan sehari-hari bergolak naik, karena biasanya masyarakat menyiapkan makanan dengan menu-menu spesial sehingga terjadi peningkatan permintaan.
Juga ada tradisi keagamaan sebelum puasa, seperti upacara nyadranan, mereka ziarah ke makam orang tua dan leluhur, membersihkan kubur dan berdoa. Selain itu, di berbagai daerah ada tradisi padusan, mandi suci bersama-sama di sungai, di sumber mata air, bahkan di kolam renang untuk membuang kotoran besar dan kecil sebagai bagian dari prosesi menjalani ibadah puasa.
Puasa dan ketakwaan
Kedatangan bulan suci ini menjadi rahmat bagi setiap orang Islam, karena mereka yang menjalani puasa sebulan penuh dengan baik dan ikhlas akan disucikan Tuhan, sehingga pada saat mengakhiri puasanya, mereka akan seperti bayi yang dilahirkan kembali, i’dul fitri, artinya kembali suci. Puasa diwajibkan agar yang menjalaninya menjadi lebih bertakwa.
Dalam tradisi sufi, menjalani puasa dengan menekan hawa nafsu dan menjauhkan kesenangan duniawi dapat membebaskan manusia dari kecenderungan negatif sehingga dapat mencurahkan hatinya hanya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Puncak pendekatan tulus kepada Tuhan adalah pembebasan batin dan pencerahan diri dari segala ikatan duniawi yang negatif.
Karena itu, larangan makan minum dan hubungan intim suami istri pada siang hari, serta larangan berkata-kata kotor, lalu pada malam harinya diikuti banyak zikir, shalat tarawih, dan membaca Al Quran, semua menjadi bagian upaya membangun kesadaran tentang takwa yang benar, yaitu pencerahan untuk membangun kesalihan sosial.
Konsep takwa yang hendak dituju oleh puasa pada hakikatnya adalah munculnya perilaku kesalihan sosial yang makin kuat untuk memperbaiki kehidupan bersama yang lebih baik. Kesalihan sosial inilah yang pada hakikatnya menjadi ukuran utama melihat posisi manusia di hadapan Tuhan. Tuhan tidak melihat manusia dari pakaian, rupa tubuh, jabatan, kedudukan, dan pangkat duniawi yang disandangnya, tetapi amal kesalihannya.
Penajaman mata hati
Dalam perkembangannya, kesalihan sosial dapat dilakukan jika puasa yang dijalankan dapat menajamkan mata hatinya untuk melihat realitas yang benar. Latihan puasa adalah penajaman mata hati. Ketajaman mata hati tidak datang begitu saja, tetapi memerlukan terus proses latihan, untuk membuang semua hal yang menutupi mata hatinya selama ini, seperti kesenangan berlebihan terhadap duniawi, pemujaan terhadap kekuasaan, pamer, bermewah-mewah dengan kekayaan yang tidak ada batasnya.
Di tengah kehidupan bangsa yang dililit berbagai masalah, seperti kemiskinan, pengangguran, konflik kekerasan dan penderitaan di mana-mana, puasa kali ini menjadi amat penting untuk melakukan penajaman mata hati para pemimpin bangsa, sehingga mereka bisa membawa bangsa ini keluar dari kemelut krisis bangsa yang berputar-putar tanpa ujung. Penajaman mata hati membuat kekuasaan punya nyali dan hati nurani. Nyali untuk mengubah secara fundamental kehidupan bangsa dengan kekuatan hati nurani yang dapat melihat realitas dengan benar, tanpa bungkus dan kemasan artifisial.
Jika pada bulan suci ini para pejabat dan pemimpin bangsa melakukan ibadah puasa bersama rakyat di berbagai daerah dengan menggelar berbagai upacara keagamaan dan tradisi, ada baiknya dilepaskan ikatan protokoler yang lebih longgar, sehingga realitas kehidupan masyarakat bisa ditangkap dengan benar untuk mendorong para pejabat dan pemimpin bangsa mempunyai nyali dan hati nurani untuk mengubah kebijakan yang tidak prorakyat.
Jika puasa dapat dilakukan bangsa ini secara benar, untuk meningkatkan ketakwaan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagaimana dipersyaratkan bagi pemilihan para pemimpin dan pejabat negara yang diharuskan beriman dan bertakwa, maka puasa yang dilakukan pasti berbuah peningkatan kesalihan sosial yang makin nyata. Jika tidak, puasa tak akan mengubah apa-apa, bahkan kita hanya mendapat haus dan lapar, tidak ada perubahan dalam kualitas hidup kita bersama.
Jebakan seremonial puasa yang kelihatan marak di mana-mana seharusnya dihindari agar jangan sampai menjadi kemubaziran yang besar, karena berhenti hanya di seremonial terlalu besar ongkosnya, dan tidak ada kaitannya dengan perubahan kualitas hidup bangsa menjadi lebih baik, dan juga bagi usaha peningkatan kesalihan sosial yang amat diperlukan bagi usaha untuk keluar dari krisis bangsa. Kemiskinan, pengangguran, kebodohan, dan juga konflik kekerasan hanya bisa diatasi dengan peningkatan kesalihan sosial masyarakat.
Puasa bukan untuk memuaskan dorongan egoisme spiritual seseorang semata, karena egoisme spiritual yang bersifat pribadi tak akan pernah dapat memonopoli rahmat, berkat, dan ampunan Tuhan yang dijanjikan akan dilimpahkan secara besar-besaran pada bulan suci Ramadhan ini. Puasa sesungguhnya akan bermakna jika kesalihan sosial yang dilahirkannya dapat memperbaiki kualitas berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi penuh rahmat, damai, dan sejahtera. Puasa adalah bagian dari tugas fundamental Islam untuk menjadi rahmatan lil’alamin. Selamat berpuasa!
Musa Asy’arie Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
( Opini Kompas. Sept.11.2007 )
Puasa, Tanda Penyelamatan
Yudi Latif
Apa artinya berpuasa bagi komunitas bangsa dengan mentalitas pecundang? Bukankah sejak awal puasa merupakan tanda kemenangan/keselamatan yang menarik garis pemisah antara yang adil dan yang batil (furqan)?
Ketika Nabi Muhammad berhijrah ke Madinah, Nabi menemukan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Belakangan ia tahu, puasa Yom Kippur itu merupakan cara orang Yahudi memperingati furqan-nya. Nabi pun lantas mengajak para pengikutnya untuk berpuasa pada hari itu.
Beberapa hari setelah kemenangan pasukan Muslim (yang kecil) atas pasukan Quraisy (yang besar) pada perang Badar (9 Ramadhan 624 M), Nabi mewajibkan kaum Muslim berpuasa pada bulan Ramadhan, yang berlaku efektif setahun kemudian. Hal ini bisa diartikan sebagai tanda kaum Muslim memperingati furqan Badar yang monumental.
Penyelamatan dan kemenangan
Jika tradisi berpuasa merupakan tanda furqan, penyelamatan dan kemenangan apakah yang telah dicapai selama ini yang membuat ibadah puasa itu punya kesan dan relevansi kuat dalam kehidupan sekarang dan di sini? Inilah pertanyaan yang selama Ramadhan patut direnungkan. Agar setiap Ramadhan tiba, kita tidak terus dipermalukan defisit amal dan pencapaian, yang membuat ibadah puasa sekadar ritual peringatan (commemorative) yang hampa makna.
"Pandanglah wajahmu setiap waktu di cermin," ujar Imam Ali. "Jika wajahmu bagus, anggaplah ia buruk karena engkau mencorengnya dengan perbuatan buruk. Jika wajahmu buruk, anggaplah memang buruk karena engkau menggabungkan kedua keburukan (buruk rupa dan amal)."
Namun, dalam konteks kehidupan kebangsaan kita hari ini, ada tanda-tanda bahwa orang-orang yang penampilan lahiriahnya tampak buruk justru lebih bisa dibanggakan karena kemampuannya menutupi keburukan dengan amalnya.
Penyelamatan paling heroik dari komponen bangsa selama ini adalah perjuangan kaum papa (mustadhafin) untuk tetap tabah, tolong-menolong, dan giat bekerja di tengah impitan krisis dan ketidakpedulian elite pemimpin. Mereka bertahan hidup dengan menjalankan salah satu prinsip ber-zuhud: Merekalah yang pantas menyambut bulan suci Ramadhan sebagai tanda kemenangan.
Atas kaum elite yang berpesta pora di atas penderitaan rakyat, yang tak mampu menarik batas antara yang adil dan yang batil, bermentalitas pecundang dengan menjual kehormatan negeri secara murah, puasa merupakan momen "bunuh diri". Puasa harus menjadi momen pembakaran egosentrisme dengan jalan ber-zuhud menurut caranya sendiri.
Bagi kedua golongan itu, Al Quran mengajarkan teologi kemenangan lewat furqan Badar yang dirayakan oleh ibadah puasa. Pertama, diizinkan bela diri bagi orang-orang yang terusir dan teraniaya (QS 22: 39). Itu karena sekiranya kejahatan sebagian manusia tidak dicegah oleh sebagian yang lain, "tentulah telah dirobohkan biara-biara, gereja-gereja, sinagoge, dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Tuhan" (QS 22: 40).
Kedua, Tuhan hanya memberi kemenangan sekiranya orang-orang yang diberi kedudukan di muka bumi mau "bershalat" (bertakwa kepada Allah) dan "berzakat" (memajukan kesejahteraan umum), mengembangkan perbuatan baik, dan mencegah perbuatan buruk dengan menegakkan hukum yang adil (QS 22: 41).
Hindari kekerasan
Al Quran juga mengajarkan, kekerasan tidaklah dikehendaki dan jika terpaksa digunakan untuk kepentingan bela diri, hal itu haruslah diakhiri secara segera. Tujuan bela diri tak lain untuk mengembalikan harmoni dan rekonsiliasi, bukan untuk melanggengkan permusuhan. Idealnya, tak perlu bertempur untuk mempertahankan hal-hal luhur.
Perjanjian damai Hudaibiyah (628 M)—dalam situasi ketika kaum Muslim berposisi kuat—mengajarkan, nilai-nilai luhur bisa diaktualisasikan secara lebih produktif dalam situasi damai. Seperti dikatakan Karen Armstong (dengan mengutip Ibnu Ishaq), dalam mengomentari "wujud kemenangan" dari perjanjian Hudaibiyah, "Situai damai menciptakan atmosfer lebih dingin, yang mendorong diskusi antara Muslim dan non-Muslim secara lebih terbuka dan produktif. Dalam situasi demikian, kemenangan bisa dirayakan bersama".
Dengan demikian, kemenangan bisa dicapai jika keadilan ditegakkan, kesejahteraan dikembangkan, ketakwaan dihidupkan, dan kedamaian disuburkan. Ibadah puasa, selain merupakan peringatan atas momen kemenangan, harus juga menjadi momen refleksi dan pelatihan diri untuk meraih kemenangan sejati.
Setiap Ramadhan tiba, kaum Muslim kembali berpuasa. Namun, setiap kali tiba, nyaris tak ada kemenangan dan penyelamatan monumental yang membuat kita bangga merayakannya. Kelihatannya, puasa kita memang sekadar berhenti pada menahan haus dan dahaga. Meski puasa demikian mungkin juga ada manfaatnya, ritus puasa menghendaki lebih dari itu. Ia menghendaki diakhirinya mentalitas pecundang dengan menumbuhkan kembali etos kejuangan. Bahwa agama tidak hanya menjanjikan nirwana di akhirat, tetapi juga harus mewujudkan kebahagiaan di dunia. Barangsiapa tak mampu menghargai dirinya di dunia, tak ada kehormatan baginya di surga!
Yudi Latif Pemikir Kenegaraan dan Keagamaan
Sumber : Opini Kompas Sept.11.2007
Selasa, 11 September 2007, Koran Republika
Puasa dan Solidaritas Sosial
Ian Suherlan
Peneliti Center for Moderate Muslim (CMM)
Kewajiban esensial dalam bulan Ramadhan adalah ibadah puasa. Karena itu, bulan Ramadhan sering disebut bulan puasa. Ibadah puasa ini tidak hanya dibebankan kepada kita, umat Nabi Muhammad SAW, tetapi juga kepada umat-umat terdahulu (QS Al Baqarah [2]: 183). Meski tata cara pelaksanaannya antara satu umat dengan umat Nabi Muhammad SAW mungkin berbeda, namun tujuannya sama, yaitu takwa. Selama ini yang kita rasakan dari puasa hanya lapar dan dahaga (serta menahan hubungan suami istri). Benarkah dari menahan makan dan minum hanya menghasilkan lapar dan dahaga? Tentu saja tidak bermakna jika puasa hanya mendapat lapar dan dahaga.
Puasa disyariatkan dengan target terbinanya insan muttaqien (pribadi takwa). Seruan-seruan kepada takwa ini tidak hanya dalam ibadah puasa, tetapi juga dalam ibadah-ibadah lain bahkan dalam segala aspek muamalah. Pribadi takwa ini memiliki dua dimensi, yakni dimensi internal untuk membentuk pribadi yang saleh (kesalehan individual) dan dimensi eksternal untuk kemaslahatan sesama manusia (kesalehan sosial).
Kesalehan individual
Kesalehan individu merupakan target utama puasa. Seseorang yang berpuasa berarti secara lahir ia telah bertakwa (patuh pada perintah Ilahi). Pelaksanaan ibadah puasa secara langsung mencerminkan ketakwaan. Secara tidak langsung, puasa juga menuntut pelakunya agar senantiasa mengarahkan diri pada nilai-nilai ketakwaan. Dengan demikian, selain pelaksanaan puasa itu sendiri sebagai salah satu bentuk ketakwaan, juga menuntut pelakunya agar mengimplementasikan pesan-pesan yang terkandung dalam puasa, yaitu terjaganya diri dari segala sikap dan tindakan tercela.
Disadari atau tidak, suasana Ramadhan mengondisikan kita untuk meningkatkan pengamalan ajaran agama. Dari bangun tidur hingga tidur lagi, kita disibukkan dengan berbagai ibadah. Tak heran bila setiap kali memasuki bulan Ramadhan, serta-merta kita merasakan adanya perubahan nuansa religius. Berbagai kegiatan keagamaan, seperti pengajian sore menjelang berbuka puasa, kuliah subuh, serta diskusi-diskusi keagamaan lainnya digelar di berbagai tempat.
Media massa elektronika, baik televisi maupun radio tak ketinggalan menyiarkan acara-acara yang tidak hanya berupa 'tontonan' yang hanya enak didengar dan dipandang mata, tetapi juga sekaligus memiliki muatan 'tuntunan'. Begitu pula media cetak, sedikit banyak berubah haluan dengan menyajikan rubrik-rubrik yang sarat nilai religius, khususnya hal-hal yang berkaitan dengan keutamaan ibadah Ramadhan. Kondisi demikian tentu saja mendorong dan mengarahkan kita pada peningkatan ketakwaan.
Nilai yang paling luhur dalam puasa adalah adanya motivasi yang dapat membangkitkan kesadaran keagamaan, sehingga puasa yang dapat membentuk insan muttaqien adalah puasa yang dapat menerapkan nilai-nilai ketakwaan dalam dimensi hidup lainnya. Rasulullah SAW mensinyalir akan banyaknya orang-orang yang berpuasa, tetapi puasanya tidak memiliki nilai apa-apa karena tidak mampu menahan diri dari segala perbuatan tercela. "Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan tindakan jahat, maka Allah tidak membutuhkan dia meninggalkan makan dan minum," (HR Ahmad).
Karena itu, terjaganya kualitas puasa tiada lain adalah menahan diri dari segala ucapan dusta (juga kotor) dan tindakan jahat, termasuk korupsi dan kolusi yang kini tengah menjadi penyakit sosial negeri ini. Begitu pentingnya menjaga kualitas puasa dari segala hal yang mengurangi nilainya, sampai-sampai kita diperintah untuk mengatakan ana shaimun (saya sedang berpuasa) sekalipun kepada orang yang mencaci, menyerang, dan mengajak bertengkar. Penegasan ini tidak berarti harus menyerah dan pasrah atas segala tindakan yang membahayakan diri, tetapi ini menunjukan betapa puasa mengharuskan kita menahan diri dari sikap dan tindakan tercela.
Kesalehan sosial Selain memberikan dorongan pada diri untuk hidup lebih selektif dan hati-hati, puasa juga menuntut pelakunya agar meningkatkan kesalehan sosial sebagai dimensi eksternal puasa. Hal ini dapat diwujudkan dalam bentuk solidaritas sosial kepada mereka yang terbiasa dengan 'lapar dan dahaga' karena kekurangan bahan pangan. Jika sehari-hari kita terbiasa makan dan minum sekenyangnya, dengan menu yang serba mewah, maka ketika merasakan lapar dan dahaga karena puasa, hati harus tergerak untuk lebih peduli kepada fakir miskin yang setiap hari kekurangan. Pengalaman 'lapar dan dahaga' itu harus mendorong kepedulian sosial kepada sesama.
Pembagian sembako yang secara instan dapat dinikmati oleh fakir miskin merupakan salah satu bentuk konkret solidaritas sosial. Acara sahur dan buka bersama yang diselenggarakan setiap Ramadhan, baik oleh para konglomerat atau para selebritis, di mana anak-anak yatim piatu dari panti asuhan atau anak-anak jalanan dikumpulkan untuk makan bersama, merupakan tradisi yang harus dilestarikan. Jika orang-orang yang berkecukupan bahkan berkelebihan sandang, pangan, dan papan kurang peduli terhadap nasib mereka yang serba kurang bahkan tidak punya, tentu saja kehidupan mereka akan semakin sulit.
Kesalehan sosial dalam bentuk solidaritas sosial erat kaitannya dengan kesalehan individual. Apabila secara spiritual puasa telah memberikan pengaruh positif bagi pengamalan ajaran keagamaan, maka rasa kemanusiaannya pun akan besar. Begitu pula sebaliknya, puasa yang tidak memberikan pengaruh apa-apa pada aspek spiritual, maka kepedulian sosialnya pun kecil.
Dalam kondisi masyarakat yang tengah dihimpit berbagai kesulitan ekonomi, puasa memiliki pesan sosial yang sangat luhur. Oleh sebab itu, kini puasa jangan hanya dimaknai sebagai sarana untuk meningkatkan kesalehan diri, tetapi juga sarana untuk meningkatkan kesalehan sosial. Artinya, kesalehan diri dapat mendorong kita untuk membantu sesama. Kini saatnya kita 'mengalihkan' pengaruh puasa: yang semula hanya membimbing kesalehan individual ke peningkatan kesalehan sosial.
Selasa, 11 September 2007 ( Dikutip dari Koran Repubika )
Penetapan Awal Ramadhan Oleh :
Moersjied Qorie Indra
Pengajar Institut Ilmu Alquran (IIQ) Jakarta
Salah satu fenomena sosial-keagamaan yang muncul dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah perbedaan cara dan hasil penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Perbedaan yang terjadi bukan hanya menyangkut persoalan kapan harus meramaikan, memeriahkan, dan mensyukurinya, namun lebih dari itu juga terkait dengan absah-tidaknya suatu peribadatan yang dijalankan seorang Muslim. Oleh karena itulah, persoalan perbedaan penetapan bulan qamariyah dari berbagai segi menjadi problematika, terutama bagi kalangan komunitas Muslim awam.
Lebih jauh, karena perbedaan yang terjadi kerap bersumber dari kelompok/paham keagamaan tertentu, maka perbedaan penetapan penanggalan hijriah juga bisa menjadi faktor pengental proses segmentasi kelompok keagamaan. Keadaan seperti ini tentu saja sangat merugikan umat Islam yang notabene ingin membangun solidaritas dan ukhuwah Islamiyah yang kuat dan mantap.
Dalam diskursus tentang kalender hijriah dikenal istilah hisab urfi dan hisab hakiki. Hisab urfi adalah sistem perhitungan kalender yang didasarkan pada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan secara konvensional. Sistem hisab ini dimulai sejak ditetapkan oleh Khalifah Umar bin Khattab RA (17 H) sebagai acuan untuk menyusun kalender Islam abadi.
Sistem hisab urfi tak ubahnya kalender syamsiyah (miladiyah), bilangan hari pada tiap bulan berjumlah tetap kecuali bulan tertentu pada tahun tertentu jumlahnya lebih panjang satu hari. Oleh karena itu, sistem hisab ini tidak dapat dipergunakan dalam menentukan awal bulan qamariyah untuk pelaksanaan ibadah karena menurut sistem ini umur bulan Sya’ban dan Ramadhan adalah tetap, yaitu 29 hari untuk Sya’ban dan 30 hari untuk Ramadhan. Di antara karya-karya hisab yang menganut teori hisab urfi adalah The Muslim and Christian Calendars karya GSP Freeman Grenvile, Takwim Istilah Hijarah-Masehi 1401-1500 H/1980-2077 M Karya M Khair, dan Almanak Masehi Hijri 1364 H/1945 M – 1429 H/2010 M karya KH Salamun Ibrahim.
Sementara hisab hakiki adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya. Menurut sistem ini untuk tiap bulan tidaklah konstan dan juga tidak beraturan, melainkan tergantung posisi hilal setiap awal bulan. Artinya boleh jadi dua bulan berturut-turut umurnya 29 hari atau 30 hari. Bahkan boleh jadi bergantian seperti menurut hisab urfi. Di Indonesia hisab hakiki dikelompokkan menjadi tiga generasi yaitu, hisab hakiki taqribi, hisab hakiki tahqiqi, dan hakiki kontemporer.
Perbedaan di kalangan ahli hisab pada dasarnya terjadi karena dua hal, yaitu karena bermacam-macamnya sistem dan referensi hisab, dan karena berbeda-bedanya kriteria hasil hisab yang dijadikan pedoman. Para ahli hisab, selain berbeda-beda dalam menggunakan sistem hisab, juga berbeda-beda dalam menggunakan kriteria hasil hisab dalam menetapkan awal bulan qamariyah. Sebagian berpedoman kepada ijtima’ qobla al ghurub, sebagian berpegang pada posisi hilal di atas ufuk.
Sistem rukyah
Untuk menetapkan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, Nahdlatul Ulama berpegang pada tuntunan hadis yang jumlahnya tidak kurang dari 100 hadis. Di antara hadis yang dimaksud adalah, “Janganlah kalian berpuasa sebelum melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka sebelum melihatnya. Maka jika ia tertutup awan bagimu, maka perkirakanlah” (HR Al Bukhari dan Muslim).
Atas dasar hadis-hadis itu, dalam menetapkan awal-awal bulan qamariyah, khususnya awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, NU menggunakan rukyatul hilal fi’li yaitu melihat hilal langsung di lapangan segera setelah matahari terbenam pada hari ke-29 (malam ke-30). Manakala hilal tak berhasil dirukyah, NU menggunakan dasar istikmal yakni menyempurnakan umur bulan menjadi 30 hari.
Penerapan awal bulan qamariyah dengan dasar rukyah ini diambil adalah sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama, diantaranya Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan lain-lain. Di samping itu NU memiliki paradigma bahwa selama dhahir nash itu dapat dilaksanakan, maka tidak perlu ditakwilkan. As-Syafi’i berpendapat bahwa apabila suatu nash memiliki makna dhahir dan batin (takwil), maka pengamalan yang dhahir itu lebih utama
Tidak seluruh kalangan ahli rukyah di Indonesia keadaannya sama seperti masa Rasulullah SAW di mana laporan rukyah dari seorang Muslim diterima tanpa syarat. Kini sebagian ahli rukyah mensyaratkan bahwa hasil rukyah harus selalu sesuai atau didukung oleh hasil hisab. Jika hasil rukyah bertentangan dengan hasil hisab maka hasil rukyah tidak dapat diterima. Di samping itu, para ahli rukyah belum sepakat bulat tentang mathla.
Sejauhmana jangkauan berlakunya hasil rukyah suatu tempat masih menjadi perdebatan. Ada yang menganggap hasil rukyah suatu tempat hanya berlaku untuk satu wilayah hukum (negara) itu sendiri, namun ada juga yang berpendapat bahwa rukyah suatu tempat berlaku untuk seluruh dunia. Untuk kasus hisab dan rukyah Indonesia, dalam keputusan Fatwa MUI No 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah, disebutkan bahwa hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar Indonesia yang mathla’-nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh menteri agama RI.
Pintu ijtihad
Untuk memecahkan masalah-masalah baru di bidang hukum Islam, agama Islam telah memberikan legalitas ijtihad kepada yang memenuhi persyaratannya. Dalam hal ini, Islam memberi toleransi adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad tersebut. Bahkan adanya perbedaan itu, akan membawa rahmat dan kelapangan bagi umat. Prinsip ini selalu dipegang secara konsisten oleh setiap imam mujtahid.
Sebagai produk ijtihad, fikih bersifat swasta (tidak mengikat). Setiap Muslim bebas memilih pendapat mana yang sesuai dengan kondisi dan kemaslahatannya. Hanya, dalam rangka mewujudkan keseragaman dalam amaliah watak, diperlukan campur tangan pemerintah (penguasa) sebagai unifying force. Hal ini untuk menghindari timbulnya percekcokan dan kesimpangsiuran. Sungguh pun demikian, umat Islam tidak wajib patuh manakala pendapat atau ketetapan pemerintah itu membawa pada jalan maksiat atau kekufuran yang nyata. Nabi menegaskan, "Tidak ada kewajiban taat kepada makhluk dalam rangka durhaka (maksiat) kepada Khalik" (HR Ahmad dan Hakim).
Perbedaan yang terjadi dalam penetapan penanggalan hijriah, terutama penetapan awal bulan puasa, Idul Fitri, dan Idul Adha seringkali berdampak sosiologis cukup meresahkan kehidupan beragama masyarakat. Bagi kalangan masyarakat luas, yang sebagian awam tentang masalah hisab dan rukyah, perbedaan menjadi faktor penyebab keraguan akan keabsahan ibadah yang mereka laksanakan. Perbedaan, perselisihan, maupun pertikaian berbasis keagamaan dalam dimensi apapun dapat menjadi faktor peresah masyarakat yang membahayakan integritas bangsa.
Ikhtisar
- Perbedaan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha masih mewarnai dinamika Islam di Indonesia.
- Di antara ahli hisab maupun ahli rukyah sendiri masih terdapat banyak perbedaan.
- Untuk mewadahi adanya perbedaan itu, Islam telah membuka pintu ijtihad.
- Peran pemerintah sangat diperluka agar perbedaan tidak sampai berdampak negatif bagi kehidupan beragama
Selasa, 11 September 2007 ( Suaramerdeka.com ) WACANA
Wasiat Nabi Menjelang RamadanOleh Rozihan
KEHADIRAN Ramadan yang hanya setahun sekali itu disambut gembira oleh umat Islam seluruh dunia. Bulan yang disebut oleh Alquran Surah al Baqarah ayat 185 sebagai bulan petunjuk, bulan yang mengarahkan kehidupan kemanusiaan, bulan yang membedakan antara kebenaran dan kerusakan. Kesemuanya itu direkam dalam Alquran sebagai pesan moral universal yang diturunkan dalam bulan Ramadan.
Ramadan sebagai penghulu segala bulan, dia menyebut dirinya sebagai bulan berkah, bulan yang menjadikan manusia ringan untuk melakukan ibadah, bulan yang tidak hanya meningkatkan produktivitas ibadah,tetapi juga beribadah secara efektif dan cerdas.Keduanya memacu manusia untuk berinvestasi secara sungguh - sungguh dan cerdas dalam beribadah karena berlipat gandanya nilai ibadah pada bulan tersebut.
Konsep pelipatgandaan ibadah pada bulan Ramadan tersebut diperlukan sebuah doktrin yang akurasinya berdimensi spiritual dan mondial. Maka setiap kali mengakhiri bulan Syakban, Rasulullah selalu mengumpulkan para sahabat untuk memberikan ceramah pencerahan. Tradisi Rasulullah itu selayaknya menjadi budaya umat Islam Indonesia melaksanakan pencerahan menjelang Ramadan, atau mengakhiri bulan Syakban.
Dokumen ceramah nabi dalam mengakhiri bulan Syakban dan menjelang Ramadan itu terekam dalam sebuah hadis riwayat Ibnu Khuzaimah yang secara tekstual berbunyi :
"Rasulullah saw pada hari akhir bulan Syakban berceramah di hadapan kami, Maka beliau bersabda;'Wahai manusia kamu akan dinaungi oleh bulan yang besar lagi penuh keberkatan, yaitu bulan yang di dalamya ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan; bulan yang Allah menjadikan bulan untuk berpuasa penuh dan malamnya untuk beribadah sunah. Barang siapa mengerjakan fardlu pada bulan ini pahalanya sama dengan tujuh puluh pada bulan lain. Siapa yang memberi makanan untuk berbuka puasa sekalipun dengan sebutir kurma, pahalanya sama dengan orang yang berpuasa. Dia lah bulan yang permulaannya penuh kasih sayang, pertengahannya ampunan dan berakhir dengan pembebasan dosa.Karena itu perbanyak dengan empat perkara. Dua hal untuk menyenangkan Allah dan dua hal untuk kebutuhan kita sendiri.Dua ucapan untuk Allah itu Asyhadu an laa ilaaha illallah, Astaghfirullah.Dua ucapan untuk kita sendiri yaitu As-alukal jannah, wa'audzubika minan naar.' Barang siapa memberi minum kepada orang yang berpuasa, Allah memberi minum kepadanya yang tidak pernah haus sampai dia masuk surga."( At Targhib II, 217 - 218 )
Memaknai Doa Cerdas
Ibadah efektif dan cerdas (smart pray ) yang ditawarkan pada bulan Ramadan tidak jauh berbeda dengan konsep umur panjang berkaitan dengan hard work dan smart work. Rentang hidup manusia dihitung dengan "umur". Produktivitas manusia bertalian dengan makna positif umur manusia. Orang yang berumur panjang adalah mereka yang berhasil meraih kemakmuran hidup dalam hal harta ,ilmu dan amal. Jadi sekalipun umur manusia panjang, tetapi kalau hidupnya tidak produktif, maka sama halnya dengan umur yang bangkrut atau umur yang pendek.
Jalan berpikir yang demikian ini sejalan dengan konsep "amal jariah" dalam Islam, yaitu amal yang selalu produktif, sekalipun pelakunya telah meninggal dunia, karena mewariskan keturunan yang saleh, harta yang bernilai guna bagi agama dan masyarakat, serta warisan ilmu yang bermanfaat bagi kemanusiaan
Doa cerdas dalam arti ibadah yang efektif dan cerdas jika dihubungkan dengan teori piramida kebutuhan manusia Abraham Maslow, maka semakin tinggi kebutuhan manusia semakin abstrak pula kebutuhannya. Pada tingkat paling bawah , manusia butuh makan dan minum sebagai kebutuhan biologisnya.
Di atas kebutuhan biologis adalah kebutuhan kasih sayang, ketenteraman dan rasa aman. Lebih atas lagi adalah kebutuhan akan perhatian dan pengakuan.Yang tertinggi adalah kebutuhan akan aktualisasi diri yang dalam Islam disebut at takamul al ruhani, yaitu kesempurnaan jiwa manusia.
Doktrin nabi tentang Ramadan sebagai bulan surprise ditawarkan kepada siapa saja, baik dia yang berlumur dosa atau orang - orang yang saleh sekalipun. Ramadan bagaikan jalan tol bagi pengendara mobil, yang dalam waktu relatif singkat dapat memperpendek waktu dan jarak tempuh dibandingkan pengendara di luar jalan tol.
Karena itu nabi berwasiat, ibadah wajib yang dilakukan pada bulan Ramadan nilainya sama dengan tujuh puluh kali pada bulan yang lain. Kita bisa membuat kalkulasi, kalau salat wajib yang kita kerjakan lima kali dalam satu hari di bulan Ramadan, maka nilainya sama salat wajib, maka salat wajib yang kita kerjakan dalam satu bulan Ramadan sama dengan tiga puluh tahun.
Betapa luar biasanya jika kita ber- Ramadan secara benar selama 40 tahun, 1200 tahun, kita berinvestasi di sisi Allah.Tidak berbeda dengan para pendosa, Allah berjanji pada surah az Zumar ayat 53,bahwa Dia akan mengampuni dosa hambanya sekalipun dosa yang dilakukan telah melampaui batas. Maka tidak heran ketika para sahabat itu mengkhayal, andaikata seluruh bulan itu dijadikan Ramadan semuanya.
Melayani Tuhan atau Manusia
Jika seorang yang melayani Tuhan dan kemudian tidak melayani manusia, dia salat sunah, dia bertadarus Alquran di bulan Ramadan, dan i'tikaf, tetapi dia biarkan orang - orang itu menjadi tertindas dan kelaparan, Tuhan pun bertanya kepadanya ; "kamu telah melayani Aku dengan baik, tetapi apa yang kamu bawa untuk Ku ?"
Melayani manusia adalah berkhidmat kepada manusia, dan pengkhidmatan itulah oleh-oleh untuk kekasih kita, Allah yang maha kasih. Cara berkhidmat kepada manusia adalah mencintai manusia.
Belajar untuk mencintai manusia dan melayani manusia. Itulah sebabnya Allah berfirman dalam hadis kudsi "bahwa manusia yang dicintai oleh Allah adalah manusia yang paling banyak melayani manusia" Ramadan menjadi bulan mulia karena banyak manusia yang melayani manusia, sekalipun melayani orang yang berbuka puasa dengan sebutir kurma. (11)
- Drs H Rozihan,S.H,M.Ag, dosen Fakultas Agama Islam Unissula Semarang, peserta Program Doktor Ilmu Hukum Undip Semarang.
> OPINI Pikiran Rakyat Sept.11.2007
Puasa Berdampak pada Kesehatan
Oleh HUSEIN FAUZAN PUTUAMAR
SELAMAT datang Bulan Suci Ramadan. Tidak terasa, rasanya baru kemarin dulu kita berpuasa, salat tarawih, sahur, tadarus, kultumi, pesantren kilat, dan kegiatan spiritual lain. Bahkan ngabuburit, dalam bahasa Cirebon, luru sore, yang biasa dilakukan menjelang magrib pun rasanya baru berlalu, masih segar dan belum lupa dalam ingatan kita.
Padahal, usia kita tidak terasa telah bertambah satu tahun dari Bulan Ramadan tahun kemarin. Walaupun hakikatnya, usia kita telah berkurang satu tahun. Kini, kita bertemu lagi dengan bulan yang penuh berkah, penuh keunggulan, keistimewaan, dan penuh dengan ampunan. Bulan yang di dalamnya terdapat satu malam kemuliaan, Lailatulqodar. Malam itu lebih baik dari seribu bulan (khoerun min alfisyahrin). Seperti ungkapan syair dalam bahasa Cirebon yang berbunyi, "kejemaken ati badan lan fikiran, luwih onjo tikel sewu ning ganjaran".
Saking unggul dan istimewanya Bulan Suci Ramadan, seseorang yang berpuasa pada bulan itu karena iman dan berserah diri hanya kepada Allah SWT, niscaya akan mendapat ampunan terhadap dosa-dosa yang telah lalu. Sungguh luar biasa !
Secara etimologis, puasa atau saum artinya menahan diri dari sesuatu hal atau perkara. Sedangkan pengertian sederhana puasa menurut istilah Agama Islam adalah menahan diri dari kegiatan makan minum dan bercampur suami istri, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Diawali dengan niat yang ikhlas, taat, taqarrub kepada Allah SWT., dan hanya ingin mendapat ridaNya. Yang dalam syair Bahasa Cirebon disebutkan bahwa "hake siam ajar eling awit fajar, teka surup serngenge ya diganjar".
Apabila puasa dilaksanakan dengan penuh kesungguhan, ikhlas, dan hanya ihtisab atau memasrahkan imbalannya hanya kepada Allah, ikhlas, niscaya akan berdampak pada kesehatan jasmani dan rohani yang mengamalkannya.
Sebagai ilustrasi, hikmah puasa terhadap kesehatan jasmani, antara lain dapat mengistirahatkan organ-organ pencernaan manusia. Pada hari-hari biasa atau ketika sedang tidak berpuasa, alat-alat pencernaan bekerja sesuai siklusnya dengan istirahat yang sangat sedikit, bahkan mungkin tidak sama sekali. Padahal sudah selayaknya alat-alat pencernaan itu diistirahatkan.
Ibarat sebuah pabrik, makanan yang kita makan diproses secara kimiawi dan mekanis. Dengan organ tubuh yang serba ajaib mampu melumatkan makanan menjadi suatu sajian yang siap diserap oleh tubuh. Bagaimana makanan diubah menjadi sebuah sajian seperti bubur nan halus, dengan tingkat keasaman tertentu. Selanjutnya, makanan yang telah halus, pada usus kecil diproses, disaring dan diserap menjadi darah, untuk selanjutnya siap diedarkan ke seluruh tubuh.
Menurut para pakar kesehatan, mengolah makanan yang masuk sampai siap untuk diedarkan ke seluruh tubuh, memakan waktu sekitar delapan jam. Empat jam diproses di dalam lambung, dan empat jam lagi di usus kecil. Luar biasa! Bukan waktu yang singkat! Dan itu terjadi terus menerus tiada henti.
Analisis sederhana dapat digambarkan bahwa dalam kondisi di luar Bulan Ramadan atau tidak puasa, sebut saja seseorang makan pagi (sarapan) pada sekitar pukul 06.30 WIB. Itu berarti, makanan akan lumat dan siap diedarkan ke seluruh tubuh delapan jam kemudian, atau persis pada sekitar pukul 14.30. Baru saja selesai memproses makanan sarapan pagi, telah datang makan siang yang biasanya pada sekitar pukul 12.00 atau 13.00. Belum lagi pada rentang waktu antara sarapan pagi sampai makan siang tersebut ada makanan cemilan (snack) yang perlu diproses. Maka sangat boleh jadi pelumatan makanan akan melebihi pukul 14.30. Makanan yang kita santap pada pukul 13.00, akan berakhir dicerna pada pukul 21.00 atau pukul sembilan malam. Maka, makanan yang disantap pada makan malam baru akan berakhir diproses pada pukul empat atau lima subuh. Belum lagi antara makan siang sampai makan malam, masuk makanan kecil (ngemil). Ketika kita bangun pada saat akan melaksanakan salat Subuh, kadang kita langsung minum. Maka proses pun menjadi tanpa putus selama sekitar 24 jam. Begitulah sibuknya alat-alat pencernaan kita. Dan, ini berjalan terus menerus sepanjang hayat.
Namun, lain lagi ceritanya ketika kita melaksanakan ibadah saum. Katakanlah makan Sahur seseorang selesai dilakukan pada sekitar pukul 04.00 menjelang terbit fajar, berarti delapan jam kemudian atau sekitar pukul 12.00, saat salat Duhur tiba, alat pencernaan telah selesai bekerja. Sejak saat itu, atau sekitar enam jam sampai menunggu datangnya makanan yang masuk pada saat berbuka puasa, alat-alat pencernaan mengalami istirahat. Ini berlangsung selama satu bulan dalam Bulan Ramadan.
Sama halnya dengan mesin pabrik, alat pencernaan pun perlu istirahat. Dapat dibayangkan betapa cepat aus dan rusaknya, manakala mesin pada sebuah pabrik setiap waktu berjalan terus menerus tanpa mengenal istirahat. Karena kita yakin, ciptaan Tuhan Allah di muka bumi ini (makhluk) memiliki keterbatasan kemampuan. Fana!
Dengan beristirahat, alat-alat pencernaan menjadi lebih giat dalam mereduksi dan menyerap makanan yang dikonsumsi. Dengan demikian, maka daya serap tubuh terhadap gizi akan semakin menguat. Hal itu sejalan dengan ilmu gizi, yang mengungkapkan bahwa konon pada umumnya orang hanya menyerap gizi sebanyak 35 persen dari gizi makanan yang dikonsumsi. Dengan berpuasa penyerapan gizi dapat mencapai 85 persen. Karena pelumatan makanan dapat berjalan dengan sempurna dari padat menjadi komponen yang sangat amat halus sekali.
Hikmah saum, selain berdampak terhadap kesehatan jasmani, juga sangat bermanfaat bagi kesehatan rohani. Dalam majalah Percikan Iman edisi Oktober 2003 terdapat sebuah tulisan berjudul "Shaum dan Kecerdasan", tulisan itu menyebutkan bahwa sewaktu perut kenyang, banyak darah disalurkan untuk melakukan proses pencernaan. Sehingga mudah terserang kantuk, malas, letih, lesu, dan susah konsentrasi. Dengan demikian, kemampuan berpikir menjadi lemah ! Ketika seseorang menjalankan puasa, volume darah yang digunakan untuk pencernaan dikurangi, dan dipakai untuk kegiatan lain, terutama untuk melayani otak.
Kemasyhuran para ulama, cendekiawan atau para pengarang yang melahirkan karya-karya besar dan bermutu, justru pada Bulan Ramadan. Demikian juga halnya dengan tokoh politik yang berpuasa dalam tahanan sering membuahkan tulisan-tulisan yang sangat berharga seperti yang mulia tokoh spiritual yang juga Pemimpin Revolusi Iran Imam Ayatullah Rohullah Khomeini (almarhum), Buya Hamka (almarhum), dan masih banyak lagi yang lainnya.
Perkembangan terakhir dunia kedokteran jiwa mengungkapkan bahwa saum dapat meningkatkan derajat perasaan atau kecerdasan emosi seseorang, yang biasa disebut dengan istilah Emotional Quotient (EQ). Secara psikologis, manusia tidak cukup hanya diukur atau dinilai dari derajat kecerdasan otak atau Intelligent Quotient (IQ) saja, tetapi perlu diukur juga dari EQ-nya. EQ inilah yang sangat berpengaruh dalam pembentukan sifat-sifat atau kepribadian seseorang, seperti sifat santun, dermawan, sabar, rela berkorban, kasih sayang, kepedulian, dan sebangsanya. Sedangkan IQ berpengaruh pada percaya diri (self confident) dan meningkatnya daya ingat dan daya nalar seseorang.
Kemampuan seseorang dalam mengendalikan diri ketika berpuasa , sangat erat kaitannya dengan meningkatnya EQ seseorang. Misalnya, pada siang bolong, panas terik matahari dan keringnya tenggorokan, serta perut keroncongan, mengapa air yang telah masuk ke mulut ketika kita berwudu untuk melakukan salat tidak diteguk ? Padahal tidak ada seorang pun yang mengetahui bila sepersekian dari air kumur itu ditelan untuk sekadar membasahi keringnya tenggorokan. Begitu juga terhadap makanan dan minuman serta istri yang tersedia di rumah. Mengapa kita tidak makan atau minum atau melakukan hubungan badani dengan istri walaupun itu halal ? Semua itu intinya adalah iman, yang berdampak pada kemampuan pengendalian diri seseorang. Itu merupakan arena pendidikan dan arena pelatihan untuk sabar, disiplin, empati, dermawan dan sebangsanya. Dan itu adalah EQ, yang dalam ungkapan syair Bahasa Cirebon dilukiskan bahwa "sareate siam nutup anggotane, wajib ngeker aja lali pangerane".
Otak adalah titik sentral dalam tubuh untuk berpikir, belajar dan bekerja. Sesuatu yang dihasilkan oleh kecerdasan otak, secara empirik belum dapat dikatakan benar, sebelum dilengkapi dengan kecerdasan rohani atau budi pekerti. Kecakapan otak hanyalah sebatas objek yang nyata, yang dapat diraba dan disaksikan oleh panca indera lahir yang riil dan logis.
Itulah sebabnya, hikmah saum mengajarkan kepada kita bahwa saum dapat menyehatkan jasmani, membangun kepercayaan diri, dan menajamkan mata batin dan intuisi. Dan itu pulalah kiranya apa yang ditulis dalam firmanNya, tujuan perintah puasa atau saum itu adalah menjadi orang yang memiliki derajat takwa (la'allakum tattaquun).
Sebaliknya bila perut selalu penuh, maka seperti dikatakan Luqman Al-Hakim seorang ayah yang namanya diabadikan dalam Alquran pernah memberikan nasihat kepada putranya, "Wahai putraku, bila perutmu penuh, maka pikiranmu akan tidur, kebijaksanaanmu akan kelu, dan anggota tubuh akan malas menjalankan ibadah."
Mungkin ada baiknya, bila menyambut datangnya Bulan Suci Ramadan tahun ini, mari kita luruskan niat, perbanyak amal, hindari hal-hal yang dapat mengurangi keutamaan ibadah saum. Semoga kita dapat menjalankan ibadah saum sebulan penuh, tanpa cela, cacat, dan sebangsanya. Ibadah saum senantiasa kita niati karena Allah. Bukan karena yang lain selain Allah. Sehingga tujuan luhur dan agung sebagai hamba yang muttaqin, yang dicita-citakan, dapat kita raih di kemudian hari. ***
Penulis, staf pengajar pada Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Cirebon, peminat masalah sosial kemasyarakatan, tinggal di Cirebon.
No comments:
Post a Comment