Ramadhan untuk Perdamaian
Khamami Zada
Marhaban, ya Ramadhan. Begitulah sambutan umat Islam saat menyambut bulan suci Ramadhan. Di mana-mana diserukan kepada umat Islam untuk meningkatkan ibadah, zakat, dan amal saleh.
Di bulan yang suci itu, umat Islam melakukan kegiatan ibadah yang amat agung sebagai latihan diri dari segala perbuatan kemungkaran dan kemaksiatan. Karena itu, di bulan Ramadhan inilah, umat Islam harus menahan diri secara lahiriah dengan tidak makan, tidak minum, dan berhubungan seksual di siang hari, sekaligus juga harus menahan diri dari segala kemaksiatan dan kemungkaran. Karena itu, substansi ibadah puasa di bulan Ramadhan biasanya sering disebut sebagai pengendalian diri. Maka bagi umat Islam, Ramadhan ialah pusat latihan untuk meningkatkan kualitas ibadah, memperbaiki akhlak (moral), dan berbagi dengan fakir miskin (sedekah dan zakat).
Sayang, Ramadhan tidak hanya dihiasi ajakan keagamaan yang substansial, tetapi juga dengan simbol-simbol yang tidak substansial. Lihat kesibukan umat Islam saat menyambut Ramadhan yang ditunjukkan dengan berbagai kegiatan. Dari sekadar menyiapkan keperluan buka puasa dan sahur dengan berbelanja kebutuhan pokok di supermarket, baju koko (baju Islam) dan peci, hingga menyiapkan diri membeli kaset-kaset religius. Bagi mereka, tak lengkap rasanya di bulan Ramadhan dengan melewatkan aktivitas simbolik ini. Maka, yang terjadi adalah konsumtivisme yang dijustifikasi agama.
Padahal, Ramadhan tidak mengajak kita untuk berbelanja aneka kebutuhan yang simbolik, tetapi berbelanja berbagai kebutuhan substansial, seperti kualitas ibadah, perbaikan moral, dan kepedulian terhadap kemiskinan. Inilah yang membuat setiap kali Ramadhan datang, umat Islam kesulitan menangkap nilai-nilai substansial yang diajarkan. Peneguhan identitas sebagai Muslimlah lebih menonjol, sehingga bulan suci Ramadhan lebih diwarnai simbol-simbol keislaman.
Toleransi timbal balik
Dalam kondisi ini, kata kunci yang sering dilupakan dalam memaknai Ramadhan ialah toleransi dan kedamaian. Padahal, nilai toleransi dan kedamaian memiliki kaitan amat erat di bulan Ramadhan. Bukankah Islam di Indonesia ialah agama yang dipeluk mayoritas penduduk. Maka, sebulan penuh di bulan Ramadhan seakan menjadi milik umat Islam. Warnanya seakan menjadi satu, islami.
Karena itu, toleransi sebagai paradigma awal menuju cita-cita kedamaian dan perdamaian menjadi sesuatu yang amat penting, tentang bagaimana kelompok non-Muslim menghargai umat Islam yang berpuasa, sebaliknya umat Islam menghargai non-Muslim yang tidak berpuasa.
Hubungan timbal balik ini merupakan spirit bagi berbagai upaya untuk selalu menghargai dan memelihara kedamaian. Karena itulah, Ramadhan memiliki signifikansi yang jelas dalam upaya memperkuat toleransi dan ikut mendorong terciptanya perdamaian saat gejolak, pertikaian antarkelompok, aliran, dan agama.
Pertikaian atas nama agama, etnik, dan aliran selama ini masih menjadi hantu bagi kita akibat kesalahpahaman, kepentingan, dan kontestasi ideologi. Kini kedamaian seakan tidak dirasakan lagi akibat perilaku manusia yang suka berbuat kerusakan dan pertikaian. Di sinilah, Ramadhan sebagai bulan suci mengajarkan kepada umat Islam agar menahan diri dari kebencian, kedengkian, pertikaian, dan kemungkaran antarsesama manusia. Tentu saja, toleransi timbal balik yang bisa menjembatani aneka perbedaan yang kita rasakan di bulan Ramadhan dalam hubungan antaragama.
Visi perdamaian dalam Ramadhan menuntut kita untuk menghindari sikap permusuhan di antara sesama manusia. Islam sendiri secara otentik bisa dimaknai sebagai agama perdamaian. Karena itulah, pesan substansial dalam ajaran Ramadhan adalah menciptakan perdamaian sejati, bukannya memperbanyak perselisihan, pertikaian, dan peperangan. Hal ini dibuktikan dalam Alquran yang menyebutkan, ibadah puasa yang menjadi ibadah pokok di bulan Ramadhan tidak hanya milik umat Islam, tetapi juga telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu. "Wahai sekalian orang-orang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelummu agar kamu bertakwa" (Qs Al-Baqarah, 183). Di sinilah, puasa diletakkan sebagai ibadah universal, yang secara nyata pernah dipraktikkan agama-agama lain.
Visi perdamaian
Berpijak kepada kondisi inilah, perdamaian yang sejati seharusnya menjadi paradigma fundamental dalam pergaulan antarsesama umat manusia meski berbeda suku, bangsa, dan agama. Sebab, perdamaian merupakan cita-cita bersama umat manusia. Cita-cita ini dapat terwujud jika umat manusia memiliki kesadaran tentang toleransi dan adanya keadilan (kesetaraan) dalam kehidupan sosial.
Meski dalam praktiknya perdamaian di tempat-tempat tertentu sulit diwujudkan, baik yang disebabkan oleh faktor agama, budaya, ekonomi, maupun politik, upaya merajut toleransi tetap menjadi agenda serius dalam upaya mewujudkan perdamaian.
Ajaran puasa di bulan Ramadhan, seperti pernah diungkap Ismail al-Faruqi, adalah latihan terbaik dalam seni mengendalikan diri (the art of self mastery). Artinya, latihan untuk mengendalikan diri ini harus tercermin dalam gerak selanjutnya, bukan sekadar terjadi di bulan Ramadhan. Ajaran puasa—menahan lapar, minum, berhubungan seksual, dan menahan sifat marah, benci dan dengki—adalah sebuah latihan untuk mengendalikan diri dari godaan untuk berbuat yang menimbulkan permusuhan.
Di sinilah, kita dituntut untuk selalu memaknai Ramadhan dalam konteksnya yang paling aktual agar tidak sekadar menjadi ibadah simbolik, tetapi benar-benar substansial, yaitu untuk ibadah dan kedamaian.
Khamami Zada Manajer Program Kajian Agama dan Kebudayaan PP Lakpesdam NU; Pengajar pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta
Dikutip dari Kompas.com Sept.12.2007
Puasa untuk Semua
Abd Rohim Ghazali
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa." Inilah ayat utama dalam Al Quran yang menjadi landasan kewajiban menjalankan puasa Ramadhan.
Menurut Asghar Ali Engineer, makna "orang beriman" tak hanya diidentikkan pemeluk keyakinan agama tertentu. Meski kewajiban puasa yang dimaksud ayat itu ditujukan pada umat Muhammad SAW.
"Puasa," lanjut ayat itu, "juga diwajibkan bagi orang-orang sebelum kamu." Artinya, semua umat sebelum Nabi. Semua Nabi dan Rasul membawa titah puasa, meski tak sama mekanisme dan waktu pelaksanaannya. Maka, puasa tak hanya milik umat Muslim. Puasa milik semua umat.
Dalam konteks itulah, puasa bisa dijadikan momentum untuk merajut kebersamaan antarumat beragama—terutama Islam dan Kristen—yang di banyak tempat, termasuk Indonesia, sering mengalami kesalahpaham, bahkan friksi destruktif bagi perkembangan kedua agama ini.
Puasa syariat dan hakikat
Agama, kata Simmel, seperti dua mata pisau. Satu sisi dapat mempererat solidaritas, di sisi lain dapat menumbuhkan konflik sosial. Solidaritas bisa terbangun bila komunitas manusia ada dalam satu payung agama serta konflik mudah terpicu di antara komunitas berlainan agama. Uniknya, baik solidaritas maupun konflik sering dibangun atas dalil-dalil legitimasi agama.
Puasa merupakan salah satu bentuk peribadatan yang masih menyimpan banyak misteri. Ahli spiritualitas Muslim terkemuka, al-Ghazali (wafat 1111 M) dalam Rahasia Ibadah Puasa membahas, mengapa puasa menyimpan banyak misteri. Melalui Rasulullah SAW, Allah SWT berfirman, Setiap perbuatan baik mendapat pahala sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat, kecuali puasa. Puasa adalah untuk-Ku dan Akulah yang menentukan pahalanya.
Hadis Qudsi ini menunjukkan, di antara keistimewaan puasa, dibandingkan dengan ibadah lain, terletak pada pahala atau implikasi positifnya. Pahala puasa ditentukan oleh Allah dan manusia tidak ikut andil di dalamnya. Dari Hadis Qudsi ini bisa dipahami, mengapa puasa memiliki hikmah yang kaya dan kadang luar biasa, tak mampu dipahami manusia (misteri).
Kapan puasa bisa mendatangkan hikmah yang sesuai harapan manusia? Ketika dijalankan secara baik, secara syariat (dengan meninggalkan makan, minum, merokok, dan koitus dari fajar hingga matahari terbenam) ataupun hakikat (meninggalkan perkataan dan perbuatan tercela).
Secara syariat, puasa bisa dijalankan siapa saja (orang awam) yang kuat menahan lapar dan haus sekitar 12 jam. Namun, secara hakikat, puasa tidak mudah dijalankan. Menurut al-Ghazali, puasa model ini hanya bisa dijalankan pemeluk Islam yang superkhusus (khawasu al-khawas), yakni mereka yang mampu melakukan pendakian spiritual pada tingkat the highest consciousness, yakni kesadaran nurani untuk sampai pada puasa sebagai disclosure; pengalaman akan kehadiran Tuhan dalam dirinya. Ke mana pun engkau hadapkan wajahmu, di situlah wajah Allah... (QS 2:115). Demikian antara lain ayat yang menegaskan "kebersamaan" Allah dan manusia yang mampu beribadah secara hakikat.
Untuk semua
Masalahnya, adakah dampak puasa bagi jalinan kebersamaan antarumat beragama? Puasa yang dijalankan secara hakikat akan menampilkan "wajah" dan "sifat-sifat" Tuhan pada pelakunya. Puasa yang dijalankan "hanya" secara syariat belum tentu sampai pada maqam (tingkat) demikian. Nabi bersabda, "Betapa banyak orang yang menjalankan ibadah puasa, tetapi tidak menghasilkan sesuatu, kecuali lapar dan dahaga." Bisa dipahami, meski di negeri ini mayoritas penduduknya menjalankan puasa, tidak berarti orang baik-baiknya mayoritas juga. Masalahnya, masih banyak orang yang oke berpuasa, tetapi bermaksiat pun oke.
Jika demikian, puasa yang dijalankan secara hakikatlah yang paling memungkinkan membuka peluang bagi terjalinnya semangat kebersamaan. Karena mereka yang menjalankan puasa secara hakiki akan meraup hikmah memancarkan "wajah" dan "sifat-sifat" Tuhan. Salah satu sifat Tuhan, seperti ditegaskan dalam doktrin Islam, adalah rahmatan lil’alamin (rahmat bagi semesta) atau dalam doktrin Kristiani sebagai "penyebar kedamaian dan kesejahteraan di Bumi".
Tuhan Maha Pengasih bagi siapa pun tanpa pilih kasih. Setiap pemeluk agama yang menjalankan agamanya, seyogianya bisa mengaktualisasikan sifat Tuhan itu. Dalam konteks kebersamaan tanpa memandang perbedaan agama. Sifat kasih Tuhan bisa dimanifestasikan dalam bentuk toleransi, saling menghormati, bahkan saling menyayangi.
Inti hikmah puasa adalah upaya manusia untuk menuju kehidupan yang makin sesuai dengan fitrahnya, yakni jati diri yang dikehendaki dan/atau yang sesuai sifat belas kasih Tuhan. Itu sebabnya, mengapa seusai menjalankan ibadah puasa sebulan penuh, umat Islam merayakan Idul Fitri (hari kemenangan bagi kembalinya manusia pada fitrah). Dalam Idul Fitri, umat Islam juga diwajibkan membayar zakat fitrah (sedekah yang harus dikeluarkan sebagai tanda kasih sayang sesama umat). Semakin dekat manusia pada fitrah, semakin ia menyadari adanya kesamaan antarmanusia; semua manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan.
Perbedaan yang ada pada diri manusia hanya atribut lahiriah, yang dalam perspektif keyakinan agama disebut syariat. "Syariat" berasal dari bahasa Arab yang artinya "jalan". Jalan yang ditempuh antara pemeluk agama yang satu dan yang lain bisa saja berbeda. Namun, tujuannya sama, Tuhan. Puasa adalah salah satu jalan menuju Tuhan, siapa pun bisa melakukannya.
Abd Rohim Ghazali Anggota Dewan Penasihat The Indonesian Institute; Direktur Eksekutif The Indonesian Research Institute (TIRI)
Dikutip dari Kompas.com edisi Sept.12.2007
Hisab dan Rukyat
Ichwan
Menjelang awal dan akhir bulan Ramadhan, tema hisab dan rukyat selalu menjadi pusat pembicaraan umat Islam di mana-mana, termasuk di Indonesia.
Hisab adalah metode penentuan awal atau akhir bulan berdasarkan perhitungan astronomi atau ilmu falak. Rukyat adalah metode penentuan awal atau akhir bulan berdasarkan pandangan mata secara langsung.
Posisi Bulan dan Matahari
Perhitungan bulan dalam Islam didasarkan pada posisi relatif Bulan terhadap Matahari jika dilihat dari Bumi (pengertian posisi Bulan dan Matahari dalam tulisan ini akan selalu mengacu asumsi jika dilihat dari Bumi). Awal bulan terjadi saat posisi Bulan secara relatif mulai menjauh dari Matahari, sementara pertengahan bulan atau Bulan purnama terjadi ketika posisi Bulan secara relatif mencapai jarak terjauh dari Matahari sebelum kembali lagi mendekat menuju akhir bulan.
Penentuan awal hari atau pergantian tanggal dilakukan pada saat Matahari terbenam karena pada saat itulah Bulan mulai dapat dilihat secara visual. Demikian juga penentuan awal atau akhir bulan. Menjelang akhir bulan, Bulan sama sekali tidak terlihat secara visual karena posisinya ada di bawah Matahari. Karena itu, jika Bulan mulai terlihat setelah hari sebelumnya tidak terlihat, hal itu menandakan bulan sudah berganti.
Bantuan "software"
Karena periode putaran Bulan mengelilingi Bumi adalah sekitar 29,49 hari, umat Islam selalu melakukan rukyatul hilal (melihat Bulan) pada hari ke 29 dari bulan Hijriah. Jika pada hari ke 29 saat Matahari terbenam Bulan terlihat, saat itu adalah tanggal 1 bulan berikutnya. Sebaliknya, jika Bulan tidak terlihat, tanggal 1 bulan berikutnya adalah esok harinya setelah Matahari terbenam.
Dengan metode hisab, apalagi dengan bantuan software komputer, penentuan awal dan akhir bulan relatif lebih mudah. Dengan bantuan software, hisab tidak lagi cuma hitung-hitungan, tetapi juga dapat dilihat secara visual.
Sebagai gambaran, perhatikan gambar 1 dan gambar 2.
Gambar 1 menunjukkan posisi Bulan dan Matahari pada 16 Mei 2007, beberapa menit menjelang Matahari terbenam di ufuk barat. Di situ dapat dilihat bahwa dengan lebih dulunya Bulan terbenam daripada Matahari menunjukkan bulan yang berjalan (rabi’ul tsani) belum berakhir.
Sementara itu, pada 17 Mei 2007, sebagaimana ditunjukkan gambar 2, posisi Matahari yang lebih dulu terbenam daripada Bulan menunjukkan bulan berjalan sudah berakhir sehingga tanggal 18 Mei 2007 sudah masuk tanggal 1 Jumadil Awal.
Perbedaan posisi Bulan dan Matahari yang jelas, seperti dua gambar itu, umumnya tidak menimbulkan perbedaan dalam penentuan awal bulan, baik dengan metode rukyat maupun metode hisab. Perbedaan mungkin terjadi ketika jarak Bulan dan Matahari amat tipis sehingga, walaupun dengan metode hisab terlihat bahwa Matahari lebih dulu terbenam daripada Bulan, dengan metode rukyat, Bulan amat sulit terlihat.
Kasus yang paling dekat adalah penetapan 1 Syawal 1427 H yang lalu. Dengan bantuan software, dapat dilihat bahwa pada 22 Oktober 2006 menjelang Matahari terbenam, posisi Bulan dan Matahari seperti ditunjukkan gambar 3.
Dari gambar itu terlihat, menurut metode hisab, Matahari lebih dulu terbenam daripada Bulan (dengan selisih waktu sekitar empat menit) sehingga 23 Oktober 2006 sudah masuk 1 Syawal 1427 H. Namun, perbedaan posisi Bulan dan Matahari yang tipis menyulitkan metode rukyat untuk dapat melihat Bulan, baik dengan mata telanjang maupun dengan bantuan teleskop, sehingga mereka yang lebih mengandalkan rukyat berlebaran pada 24 Oktober 2006.
Penentuan Ramadhan
Lalu bagaimana dengan 1 Ramadhan dan 1 Syawal tahun 1428 H yang akan kita jalani?
Inilah perkiraan posisi Bulan dan Matahari (menjelang Matahari terbenam) pada 12 September 2007 dan 11 Oktober 2007 (gambar 4 dan 5).
Dari gambar itu dapat disimpulkan, untuk awal Ramadhan kemungkinan besar tidak akan ada perbedaan antara metode hisab dan rukyat. Tanggal 1 Ramadhan kemungkinan besar jatuh tanggal Masehi yang sama, yaitu 13 September 2007.
Namun, untuk 1 Syawal tampaknya perbedaan posisi Bulan dan Matahari lebih tipis lagi dibandingkan dengan posisi pada 1 Syawal 1427 H tahun lalu. Jika pada tahun lalu selisih waktu terbenamnya Matahari dan Bulan adalah sekitar empat menit, tahun ini diperkirakan selisih itu hanya sekitar dua menit.
Jadi, tampaknya kita harus kembali bersiap-siap untuk shalat Idul Fitri tidak pada hari yang sama tahun ini.
Ichwan Pemerhati Astronomi dikutip dari Kompas.com edisi Sept.12.2007
Agama dan Krisis Bangsa
ZAINAL ALIMUSLIM HIDAYAT
Gembira tetapi tak bahagia. Inilah perasaan kebanyakan umat Muslim menyambut Ramadhan tahun ini. Gembira karena berjumpa lagi dengan bulan yang penuh berkah. Namun sedih saat dihadapkan kesulitan hidup bertubi-tubi.
Puncak krisis ekonomi terjadi 10 tahun lalu. Tetapi masalah fundamental seperti kelangkaan kebutuhan pokok dan energi masih menjadi rutinitas. Pemerintah memang menjamin, stok kebutuhan pokok selama puasa. Tetapi siapa yang menjamin semua bisa menjangkau harganya?
Badai sulit berlalu. Inilah lagu yang terus dinyanyikan rakyat Indonesia hingga kini. Pertanyaannya, di manakah letak agama di tengah aneka krisis yang terus menghimpit?
Pada krisis tahun 1998-1999, agama menjadi tumpuan masyarakat dalam mengurangi derita. Kebalikan dari teori sekularisasi, studi Daniel L Chen menyimpulkan, tekanan ekonomi justru meningkatkan intensitas keagamaan (Club Goods and Group Identity: Evidence from Islamic Resurgence During the Indonesian Financial Crisis, 2004).
Himpitan ekonomi ternyata menstimulasi masyarakat lebih intensif mengikuti studi al Quran (pengajian) dan banyak anak dimasukkan ke sekolah agama. Di sisi lain, kegiatan pengajian menjadi ex post social insurance di mana dalam klub ini masyarakat menumbuhkan solidaritas untuk saling membantu menutup kebutuhan dasar saat didera krisis.
Kompetisi Sekular
Di bulan Ramadhan gairah beragama juga meningkat. Masalahnya, kini tak gampang menjaga kekhusyukan dalam menjalankan puasa dan ibadah lain. Mal-mal bermunculan. Begitupula stasiun televisi dengan siaran 24 jam sehari.
Kini, ritual agama harus berkompetisi dengan banyak hal sekular. Dalam kertas kerja berjudul The Church v.s the Mall: What Happens When Religion Faces Increased Secular Competition?, Gruber dan Hungerman (2006) menunjukkan pengalaman di Amerika Serikat.
Sejak undang-undang yang melarang toko ritel buka pada hari minggu (blue law) dicabut tiga dekade lalu, partisipasi orang yang pergi ke gereja dan donasi yang dikumpulkan merosot. Tak cuma itu, kalangan remaja tak lagi tertarik ikut sunday school.
Mungkinkah Ramadhan mengalami gejala yang sama? Di awal bulan puasa masjid meluap. Namun tak lama, mal-mal lebih ramai dikunjungi orang. Di bulan puasa jumlah pengemis di kota-kota meningkat karena umat Muslim lebih giat bersedekah.
Tetapi mereka juga menjadi beberapa kali lipat lebih konsumtif. Penjualan mobil pada September hingga Oktober diproyeksikan naik 10 persen-15 persen dibanding bulan-bulan sebelumnya (Bisnis Indonesia, 1/9). Nielsen Media Riset mencatat, terlihat spending insidential pada produk-produk telekomunikasi, makanan, minuman, departemen store dan sebagainya, yang mengalami peningkatan dalam beriklan (Cakram, Agustus 2007).
Di negeri ini, berhasil dikumpulkan zamat sekitar Rp 250 milyar per tahun. Padahal potensi paling optimistis sebagaimana dirilis PBB UIN Rp 19 triliun (Eri Sudewo, 2006). Meski agama memiliki instrumen redistribusi kekayaan, tampak belum optimal karena terdesak konsumerisme yang dijajakan iklan.
Homo religius
Adam Smith dalam The Wealth of Nations seperti dikutip Iannaccone (1998) berargumen, self interest motivates clergy just as it does secular producers. Sejak tahun 1970-an ekonom dan sosiolog banyak yang kembali pada pandangan itu. Perilaku religius merupakan bentuk pilihan rasional, baik pada level individu, kelompok, maupun pasar.
Karena itu, derajat keterlibatan dalam aktivitas religius dilakukan dalam rangka memenuhi “kebutuhan" yang dipersepsikan masing-masing. Saudagar membalut jualannya dengan baju agama demi mengeruk laba. Partai politik membangun organisasi sayap keagamaan seraya berharap bisa mendulang suara. Dan pejabat menggelar istighasah serta taubat nasional untuk menenangkan hati rakyat.
Masalah ritual agama yang tak mengubah perilaku, boleh jadi bukan karena ragam ibadah yang menekankan consumption afterlife atau pelaksanaannya terlampau berhitung pahala. Banyak studi di masyarakat Kristen AS menunjukkan sebaliknya di mana orang melaksanakan aktivitas keagamaan berorientasi kini dan di sini. Ironisnya, ke-di sini-an itu terperangkap dan mewujud homo economicus ala Smith yang tak memberi ruang pada kesalihan sosial (atau dalam bahasa politisi, tak ada makan siang gratis).
Agama selalu diharapkan memberi eksternalitas positif dan berkontribusi dalam mengikis aneka krisis. Namun perlu diingat, meski agama berpengaruh, tetapi efeknya tidak seragam di tiap level.
Banyak studi menunjukkan partisipasi keagamaan pada individu bisa menghindarkan dari narkoba, seks pranikah, atau membuat panjang umur seperti mazhab agama yang mengharamkan rokok. Tetapi di negara kita yang konon religius ini, ternyata korupsi tidak bisa diberantas dengan petuah agama saja.
Nabi Muhammad SAW menjelaskan, betapa banyak orang berpuasa tetapi hanya mendapat lapar dan dahaga. Bagi umat Muslim, hikmah Ramadhan harus membekas pada jiwa dan perilaku. Karena itu, mari bermetamorfosa dari sekadar homo economicus menjadi homo religiousus yang rasional dan mengembangkan kesalihan sosial.
ZAINAL ALIMUSLIM HIDAYAT Peneliti di Indonesia Muda Institute; Sedang studi economics of religion
No comments:
Post a Comment