Rabu, 12 September 2007 harian wawasan
Puasa dan pembinaan karakter bangsa
BULAN puasa akan segera hadir di hadapan kita. Sebagian besar umat Islam menyambutnya dengan gembira, laksana menyambut datangnya tamu agung. Memang mengherankan, ibadah yang relatif berat, justru ditunggu-tunggu oleh umat Islam. Bahkan di Indonesia ini bulan puasa dan Lebaran membawa dampak positif dalam segi ekonomi bagi sebagian besar penduduk. Sebab, berbagai kegiatan ekonomi mengalami peningkatan pada waktu-waktu tersebut. Sebagai contoh, para pedagang sembako, pedagang pakaian, tukang jahit, tukang cukur, perusahaan angkutan, dan lain-lain menjelang Lebaran akan memperoleh penghasilan yang meningkat. Dalam segi peribadatan, masjid dan musala akan ramai dikunjungi umat yang melaksanakan salat di dalamnya.
Khususnya salat tarawih, meski jumlah rakaatnya banyak, namun justru banyak orang yang melaksanakannya. Mengapa terjadi demikian, dan apa motivasi spiritual yang mendorongnya? Ibadah puasa di bulan Ramadan diyakini oleh umat Islam sebagai ibadah yang istimewa, sebab bila umat Islam dapat mengerjakannya dengan baik dengan segala rangkaian ibadah di dalamnya, maka segala dosanya akan diampuni oleh Allah swt. Bukankah setiap orang menyadari, bahwa setiap hari dia takkan luput dari berbuat kesalahan atau dosa? Kapan dia akan menghapus dosadosanya itu? Nah, dalam bulan Ramadan itulah dia mendapat kesempatan untuk menghapuskan dosa-dosanya itu. Di samping itu semua ibadah yang dilaksanakan dalam bulan suci tersebut akan mendapat pahala yang berlipat ganda.
Nabi Muhammad SAW bersabda: ”Allah berfirman : Semua amal anak Adam (manusia) akan dilipatgandakan pahalanya dari sepuluh kali hingga tujuh ratus kali lipat. Allah berfirman pula: Kecuali puasa, karena puasa itu untuk- Ku dan Akulah yang akan memberinya pahala (secara khusus). Orang yang berpuasa itu meninggalkan keinginan dan makannya demi Aku”. Hadis ini mengisyaratkan bahwa Allah akan memberi pahala istimewa kepada orang yang mengerjakan puasa dan amal ibadah lainnya dalam bulan suci tersebut.
Penyucian jiwa dan raga Puasa di bulan Ramadan dapat dianggap sebagai bulan penataran, pelatihan, dan penggemblengan pribadi muslim untuk mencapai tazkiyatun nafsi wal badani, atau penyucian jiwa dan raga. Penyucian raga dalam arti, tubuh manusia dikendalikan agar jangan sampai digunakan untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah berupa kejahatan dan kemaksiatan.
Dalam bulan suci ini umat Islam dilatih untuk memerangi hawa nafsu. Dalam bulan-bulan lain umat Islam juga dilarang melakukan kejahatan dan kemaksiatan, tetapi lebih-lebih dalam bulan Ramadan, sebab mereka menghendaki penghapusan dosa secara total melalui ibadah di bulan Ramadan.
Penyucian jiwa dalam arti agar umat Islam menjauhi sifat-sifat batin yang tercela seperti : berdusta, menipu, dengki, buruk sangka, berpikiran cabul, kotor, dan lain-lain. Jadi, orang yang berpuasa bukan hanya mencegah makan dan minum di siang hari, melainkan juga harus menjauhi perbuatan yang tercela serta sifat-sifat yang jelek. Sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah SAW: ”Puasa itu bukan hanya mencegah makan dan minum, melainkan juga mencegah omongan yang tidak berguna serta ha-hal yang cabul”.
Dalam Hadis lain disebutkan : ”Nabi telah bersabda: Lima perkara yang menghilangkan pahala puasa yaitu bohong, mengumpat, mengadu domba, bersumpah palsu, dan melihat lain jenis dengan syahwat”.
Menahan lapar dan haus serta mengendalikan diri dari sifat dan perbuatan yang tercela adalah bukan pekerjaan yang ringan, lebih-lebih jika mendapat godaan atau cemoohan dari orang lain.
Misalnya pada waktu kita sedang berpuasa, ada orang yang secara demonstratif makan, minum, dan merokok di depan kita. Menghadapi godaan demikian kita tidak dibenarkan marah atau memaki-maki dia. Oleh karena itu orang yang berpuasa harus memiliki sifat sabar, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: ”Puasa itu separo dari sifat sabar. Dan sabar itu separo dari iman”.
Murah hati
Rasulullah SAW memberi contoh kepada umatnya agar selalu bersikap murah hati, dermawan, lembut, dan santun dalam pergaulan sosial. Sifat-sifat tersebut sangat menonjol diperlihatkan oleh Rasulullah SAW dalam bulan Ramadan. Seandainya setiap pribadi muslim dapat mengamalkan sifat-sifat tersebut niscaya sangat menunjang terwujudnya hubungan sosial yang harmonis.
Dalam sebuah hadis diceritakan oleh Ibnu Abbas, ”Bahwa Rasulullah adalah orang yang paling murah hati (dermawan) di antara manusia, dan beliau paling murah hati di bulan Ramadan pada saat bertemu dengan malaikat Jibril setiap malam, untuk bertadarus Alquran. Sesungguhnya ketika itu Nabi lebih bermurah hati dalam kebaikan daripada angin yang berhembus”. Bermurah hati melebihi angin yang berhembus artinya Nabi mempunyai sifat yang dermawan dalam kebaikan yang menyebar luas ke warga masyarakat sekelilingnya.
Solidaritas sosial
Ibadah puasa Ramadan diakhiri dengan Idul Fitri atau Lebaran, yang disebut juga hari kemenangan umat beriman. Maksudnya ialah setelah umat Islam selama sebulan berlatih dan mengamalkan pengendalian hawa nafsu, maka sampailah pada puncak ibadat tersebut, yaitu telah memiliki ketahanan mental untuk untuk menangkis godaan hawa nafsu yang didorong oleh bujuk rayuan setan. Umat beriman merasa mendapat kemenangan melawan godaan setan.
Ajaran pengendalian hawa nafsu ini dimaksudkan agar umat Islam setelah Lebaran dan menapak pada bulanbulan berikutnya telah memiliki fondasi yang kukuh untuk selalu menentang kejahatan dan kemaksiatan.
Sebelum umat Islam melakukan ibadah salat Idul Fitri, mereka diwajibkan mengeluarkaan zakat fitrah bagi mereka yang mampu. Zakat fitrah berupa bahan makanan pokok dibagikan kepada kaum fakir miskin agar mereka bisa menikmati kegembiraan pada hari raya Lebaran tersebut bersama saudara-saudaranya yang mampu.
Dalam sebuah Hadis disebutkan: ”Rasulullah mewajibkan zakat fitrah untuk membersihkan orang yang berpuasa dari omongan yang tak berguna dan perbuatan cabul serta memberi makan kepada orang-orang miskin”. Di samping itu umat Islam yang mampu juga diwajibkan mengeluarkan zakat mal (harta) yang waktunya tidak terikat dengan bulan Ramadan.
Selain zakat fitrah, zakat mal, masih ada lagi anjuran untuk mengeluarkan infak dan sadaqah. Sungguh mulia sekali ajaran ini sebab ajaran ini mengamanatkan agar umat Islam yang mampu hendaknya menyantuni saudarasaudaranya yang fakir miskin. Dalam harta orang-orang yang kaya terdapat bagian bagi orang miskin. Sebagaimana tersebut dalam Alquran Surat Adz- Dzariyat ayat 19 yang artinya : ”Dan pada harta-harta mereka (orang-orang kaya) terdapat hak bagi orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian”.
Secara teoritis, agama telah menyiapkan aturan untuk menjembatani kesenjangan sosial ekonomi agar terwujud keharmonisan hubungan sosial, karena kebanyakan konflik-konflik sosial di negara mana pun disebabkan oleh masalah perut, yakni tidak adanya keadilan dalam memenuhi kebutuhan perut.
Yang menjadi masalah ialah belum lancar dan tertibnya masalah pengumpulan dan pembagian zakat, infak, dan sadaqah. Dalam rangka membenahi manajemen pengumpulan zakat, infak, dan sadaqah, Pemerintah RI telah menerbitkan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Namun hingga kini pelaksanaannya tampak masih mlempem. Tentu instansi Departeman Agama yang bertanggung jawab dalam masalah ini sangat diharapkan greget dan kiprahnya.
Bangsa Indonesia mayoritas memeluk agama Islam. Maka jika internalisasi nilai-nilai ajaran puasa itu dapat terlaksana dengan efektif berarti menyentuh sebagian besar bangsa kita. Oleh karena itu internalisasi nilai-nilai ajaran puasa mempunyai andil dalam pembinaan karakter bangsa Indonesia, berupa penanaman nilai-nilai kesalehan pribadi dan kesalehan sosial. hf
Drs H Ibnu Djarir Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah)
No comments:
Post a Comment