SAMPAI sekarang saya belum paham persis mengapa setiap tahun baru datang, orang-orang menyambutnya dengan suka cita. Terkadang -terutama di kota-kota besar- sambutan malah berlebihan. Seringkali dengan pesta pora dan gegap gempita.
Suka cita orang yang menyambut tahun baru itu apakah karena besarnya optimisme akan datangnya masa yang lebih cerah atau merupakan luapan rasa lega dengan ditinggalkannya masa lalu yang parah? Ataukah itu hanya seperti kesukaan lumrah orang kepada setiap yang baru.
Padahal, bukankah tahun baru merupakan rambu-rambu penanda jarak mendekati batas akhir perjalanan hidup yang berarti pengurangan umur? Bagi orang yang menyadari batas akhir sejak melangkah dalam perjalanan hidup, seperti Sutardji Calzoum Bachri yang bersajak "maut menabungku/ segobang segobang", tahun baru tentu tidak serta merta disambut dengan gembira.
Akan tetapi terlebih dulu dengan perenungan. Apabila tahun yang lewat mencatat masukan-masukan positif bagi bekal perjalanan selanjutnya, maka sudah selayaknya tahun yang baru datang, disyukuri. Namun jika sebaliknya, tahun yang lalu memperlihatkan rapor buruk, maka kegembiraan menyambut tahun baru sungguh sulit dimengerti.
Sebagai hamba Allah yang diangkat sebagai khalifah-Nya di muka bumi, sudah sepatutnya dalam menyambut tahun baru, kita merenungkan perjalanan hidup yang sudah kita lalui untuk melanjutkan perjalanan menjelang tempuhan mendatang.
Jangan-jangan selama ini, kita terlampau sadar dengan kekhalifan kita hingga melupakan kehambaan atau sebaliknya terlalu sadar akan kehambaan kita lalu tidak berbuat apa-apa, hanya menunggu nasib dan lupa untuk apa kita diangkat sebagai khalifah-Nya.
Kadang-kadang kita menyadari kehambaan dan kekhalifahan kita, tapi kita kurang memahami apa yang harus kita lakukan sebagai hamba dan apa yang harus kita lakukan sebagai khalifah-Nya. Maka, bisa saja terjadi hanya kita yang merasa hamba, sedangkan Tuhan sendiri tidak menganggap. NaĆudzu billah. Atau kita merasa sebagai khalifah bumi, padahal waktu demi waktu kita merusaknya
Jangan-jangan selama ini kita malah melupakan keduanya. Melupakan kehambaan dan kekhalifahan kita, karena kita melupakan Tuhan yang mengangkat kita sebagai khalifah-Nya. Dalam kitab suci-Nya, Allah berfirman kepada kaum beriman, Walaa takuunu kalladziina nasuullaha fa ansaahum anfusahum; ulaa-ika humul-faasiquun. (Q. 59: 19).
"Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa akan Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa akan diri mereka sendiri; mereka itulah orang-orang yang fasik."
Orang yang lupa diri akibat lupa Allah, bagaimana bisa diharapkan ingat akan yang lain; ingat tempatnya, lingkungannya, keluarganya, saudaranya, dan sebagainya. Orang Indonesia yang lupa diri akan lupa negerinya, lupa bangsanya, lupa kewajibannya.
Bila orang yang lupa diri itu termasuk rakyat jelata, mungkin tidak seberapa pengaruhnya terhadap kehidupan. Tapi bila dia termasuk elite, termasuk pemimpin, Anda bisa bayangkan -atau malah bisa membuktikan- sendiri betapa buruk dampak yang diakibatkannya.
Bayangkan, pemimpin yang lupa diri dan lupa amanah serta tanggung jawab yang dipikulnya. Bayangkan pejabat yang lupa diri dan lupa bahwa tidak semua yang ada di tangannya adalah miliknya dan bahwa dia tidak selamanya menjabat. Bayangkan orang berilmu yang lupa diri dan lupa memanfaatkan serta mengamalkan ilmunya. Bayangkan kiai yang lupa diri dan lupa maqamnya. Bayangkan, apa jadinya?
Dengan merenung, kita jadi sadar bahwa hidup di dunia ini ternyata memang sangat singkat. Kemarin baru tahun 2006, tak terasa sekarang sudah tahun 2007. Yang kemarin belum lahir, kini sudah lahir. Yang kemarin masih bersama kita, kini telah tiada. Yang kemarin belum balig sekarang sudah dewasa. Yang kemarin belum menikah, sekarang sudah punya anak.
Hidup di dunia ini bagaikan waktu asar, sangat singkat. Dan, perjalanan setelah itu sangat jauh. Sebelum lupa, mari kita ingat-ingat, tahun-tahun kemarin seberapa banyak kita mengumpulkan bekal dan seberapa banyak kita menyia-nyiakan, bahkan membuang-buang bekal?
Tahun ini, apakah kita akan melanjutkan pemupukan dan pengembangan perolehan positif kita bagi kepentingan kebahagiaan hakiki dan abadi kita? Ataukah kita akan terus mengulang-ulang rutinitas kesia-siaan kita, meski Tuhan bersama alam-Nya terus mengingatkan kita?
"Demi waktu asar, sungguh manusia itu benar-benar dalam kerugian; kecuali mereka yang beriman, mengerjakan amal saleh, saling menasihati untuk menegakkan kebenaran dan saling menasihati untuk sabar." (Q. 103)
Selamat Tahun Baru! Selamatlah Tahun ini!
Tulisan ini dari Suaramerdeka.com Jan.02.2007 by Mustofa Bisri
No comments:
Post a Comment