Hasil memprihatinkan pesta olahraga Asian Games 2006 kian menunjukkan ketidaksiapan kita menghadapi dinamika kompetisi antarbangsa yang kian semarak di segala bidang.
Memang peradaban suatu masyarakat sering dikaitkan dengan prestasi olahraganya karena moto Olimpiade sejak zaman Yunani kuno, Citius-Altius-Fortius (Lebih Cepat, Lebih Tinggi, Lebih Kuat), di dunia olahraga modern bukan hanya berbicara otot, kekuatan fisik, tetapi juga kecerdasan dan kecerdikan, semangat, keuletan dan ketabahan, kekuatan mental, ketekunan, keandalan manajemen dan keterampilan; kemampuan diri yang dinamai talenta.
Dalam bidang ekonomi, Indonesia tidak lagi disebut sebagai kekuatan baru; kita tak hanya tertinggal dari negara-negara Asia yang sudah sejahtera, atau yang difavoritkan seperti China dan India, tetapi juga dari negara-negara pendatang baru.
Majalah Time baru-baru ini melaporkan, lima negara Asia dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi, China, Vietnam, Laos, Kamboja, dan India. Sementara lima negara Asia dengan pertumbuhan ekspor tertinggi adalah China, Vietnam, India, Banglades, dan Mongolia.
Perekonomian negara-negara itu tumbuh pesat, meninggalkan Indonesia yang target pertumbuhan ekonominya tahun ini diperkirakan 5,8 persen.
Kinerja ekonomi Indonesia memang belum pulih sejak krisis hampir 10 tahun lalu. Tanpa bermaksud menyesalkan perubahan politik yang telah terjadi, perbedaan Indonesia dengan negara-negara lain dalam menghadapi krisis ekonomi Asia 1996-1998 adalah sistem politik negara-negara lain tidak berubah sehingga program pemulihan tidak sulit dan pembangunan jangka panjang dapat diteruskan. Sementara di Indonesia, krisis berlangsung bersamaan dengan perubahan sistem politik. Pemulihan lebih sulit, pembangunan jangka panjang sulit diteruskan.
Kompetisi kian ketat
Tahun 1943, PM Inggris Winston Churchill di Harvard University, AS, mengatakan, "The empires of the future will be empires of the mind. The battles of the future will be battles for talent" . The old battles for natural resources are still there, but they are being supplemented by new ones for talent; not just among companies, but also among countries (which fret about the "balance of brains").
Tak ada yang lebih efektif untuk membangun bangsa kecuali melalui pendidikan yang baik bersamaan layanan kesehatan prima dan input makanan berkualitas.
Dibandingkan dengan negara-negara lain, kita memerlukan perbaikan konsumsi protein hewani yang terdapat dalam telur, susu, daging, dan ikan yang amat penting bagi pertumbuhan fisik dan kecerdasan. Perbaikan itu terkait kemampuan ekonomi masyarakat. Karena itu, perbaikan gizi masyarakat seiring dengan upaya meningkatkan kualitas SDM terkait upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tidak akan ada perbaikan kualitas SDM negara ini tanpa perbaikan gizi masyarakatnya.
Saat ini, konsumsi susu per kapita per tahun rakyat Indonesia 6,50 liter; lebih rendah dari Kamboja yang 12,97 liter dan Banglades 31,55 liter, jauh di bawah India yang melalui "revolusi putih"-nya sukses meningkatkan konsumsi susu per kapita per tahun rakyatnya menjadi 60 liter.
Begitu pula dengan daging, konsumsi per kapita per tahun bangsa kita baru 7 kg, di bawah Malaysia yang 48 kg dan Filipina 18 kg. Konsumsi telur ayam per kapita per tahun rakyat Indonesia 51 butir, Malaysia 279 butir. Sebagai negara yang 75 persen wilayahnya lautan seluas 5,8 juta km, konsumsi ikan rakyat kita juga rendah, baru 26 kg per kapita per tahun, di bawah Malaysia 45 kg, jauh di bawah Jepang 70 kg per kapita per tahun; yang telah membuat bangsa Jepang mencapai usia harapan hidup tertinggi di dunia. Konsumsi susu, daging, telur, dan ikan per kapita per tahun rakyat Indonesia perlu ditingkatkan.
Bila tidak, hanya dalam satu generasi, Singapura, Vietnam, Kamboja, dan Malaysia akan lebih tinggi, lebih kuat, dan lebih cerdas daripada kita. Mereka akan lebih berpeluang mencapai prestasi tinggi di berbagai bidang. Persaingan antarbangsa hanya bisa dimenangkan dengan kecerdasan bangsa bersangkutan.
Perkembangan iptek
Abad ini akan didominasi pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di segala bidang. Berbagai negara bangsa terus mencari dan mengembangkan anak-anak mudanya yang memiliki talenta unggul untuk mencapai prestasi maksimal. Di berbagai perusahaan multinasional, orang-orang muda dengan talenta unggul diproyeksikan menduduki posisi penting untuk pengembangan teknologi masa depan.
Kita perlu mencari dan mengembangkan anak-anak bangsa kita yang memiliki talenta istimewa. Amat banyak anak cerdas yang terbatas sekolahnya karena keterbatasan kemampuan ekonomi orangtuanya. Cukup menggembirakan, dalam jumlah kecil telah muncul beberapa yang berprestasi dalam Olimpiade Science Internasional. Tetapi, yang perlu dicari dan diasah, jumlahnya jauh lebih banyak lagi.
Amerika Serikat pada tahun 2003, meski masih mendominasi Nobel bidang eksakta, mulai khawatir karena jumlah insinyur muda AS yang siap bekerja di perusahaan multinasional AS hanya 540.000 orang; kurang dari kebutuhannya. Sementara China memiliki stok sekitar 160.000 insinyur muda yang siap bekerja di perusahaan multinasional.
Singapura memiliki 10,9 persen populasi di bawah 24 tahun yang menyandang gelar di bidang eksakta, di bawahnya Korea Selatan yang memiliki 11,1 persen. Singapura dan Korea Selatan melampaui AS yang hanya memiliki 5,7 persen populasi di bawah 24 tahun yang telah menyandang gelar di bidang eksakta.
Terbatasnya anggaran adalah salah satu kendala kita. Menurut UNDP, untuk memperoleh pendidikan bermutu, diperlukan anggaran Rp 1,7 juta per tahun bagi setiap siswa SD, Rp 2,4 juta per tahun untuk SMP. Pada tahun 2006, anggaran yang tersedia bagi 33 juta siswa SD dan SMP hanya Rp 600.000 per siswa SD per tahun dan Rp 800.000 per siswa SMP per tahun.
Menurut majalah The Economist, pada tahun 2005 anggaran belanja penyelenggaraan perguruan tinggi di seluruh dunia mencapai 300 miliar dollar AS, atau 1 persen produk ekonomi dunia; sedangkan Indonesia hanya 0,13 persen PDB kita. Tahun 2006, biaya yang disediakan untuk tiap mahasiswa di AS adalah Rp 200 juta per tahun; Jepang Rp 108 juta per tahun, Eropa Rp 81 juta per tahun, sementara Indonesia dengan satu juta mahasiswa perguruan tinggi negeri dan tiga juta Mahasiswa perguruan tinggi swasta hanya Rp 6 juta per mahasiswa per tahun.
Saat ini setiap negara bangsa sedang berjuang keras untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Tinggi rendahnya harkat, derajat, dan martabat suatu bangsa kian diukur dari tingkat kesejahteraan dan peradabannya. Karena itu, peningkatan standar hidup dan kualitas manusia Indonesia perlu dilakukan sungguh-sungguh, oleh pemerintah, masyarakat, tiap keluarga, dan orang per orang.
Negara dan pemerintah kita perlu cerdik hidup di dunia baru ini. Masyarakat juga perlu matang dalam menyikapi berbagai hal. Tak terbantahkan, banyak hal yang harus dilakukan untuk mencapai Indonesia yang maju, sejahtera, dan bersatu dengan daya saing tinggi. Dengan perencanaan yang tepat, yang dilaksanakan dengan kesungguhan di bawah kepemimpinan nasional yang visioner, kita akan mampu mencapainya.
Ditulis oleh Siswono Yudo Husodo ( Kompas Jan.27.2006)
No comments:
Post a Comment