Monday, June 16, 2008

Inspirasi : Kisah Penyembelih sapi

Sang Penyembelih Sapi itu Memperoleh Uang Sebesar Rp 16 Milyar

oleh :Yodhia Antariksa June 16th, 2008

Minggu lalu dalam sebuah penerbangan malam hari dari Banda Aceh – Jakarta, saya duduk bersebelahan dengan bapak tua berusia 60-an tahun. Namanya pak Zainal Abidin. Penampilannya sungguh sangat bersahaja. Bajunya tampak lusuh dengan peci hitam tua menghias kepalanya. Ia bilang kalau hingga beberapa tahun lewat, ia menekuni pekerjaan sebagai seorang penjagal dan penyembelih sapi. Ya, di hari-hari biasa atau juga dalam setiap hari raya Idul Qurban tiba, ia dengan setia menekuni profesinya sebagai sang penyembelih sapi.

Ia bercerita kalau ia hendak berangkat umroh ke tanah suci dengan fasilitas pelayanan super VIP a la hotel bintang lima. Terus terang saya agak terkejut dengan pengakuannya ini. Dan sungguh saya lebih terkejut dan hampir terloncat dari kursi pesawat (untung saya pakai sabuk pengaman), saat ia bilang kalau baru saja ia mendapat rezeki dari Yang Diatas sebesar Rp 16 milyar. What?!! 16 milyar rupiah? Ini bukan uang yang sedikit lho pak. Bisa buat beli helikopter.

Lalu dari mana pak Zainal memperoleh rezeki nomplok sebesar itu? Mari kita simak kisahnya. Sejak tahun 80 hinggan 90-an lalu, Pak Zaenal bilang kalau ia selalu rajin menyisihkan penghasilannya untuk membeli tanah sepetak demi sepetak. Dan kita tahu, dalam era konflik saat itu harga tanah di bumi Rencong relatif murah. Namun pak Zainal ternyata punya keyakinan positif : suatu saat bumi Naggroe Atjeh Darussalam, tempatnya berpijak, pasti akan dilimpahi kemakmuran. Begitulah dengan keyakinan itu, ia pelan-pelan selalu menyisihkan tabungannya buat membeli tanah dipinggiran desa penuh rawa hingga seluas 8000 meter persegi. Rata-rata harganya hanya Rp 20,000 per meter persegi.

Ternyata visi investasi Pak Zainal (wah Pak Zainal sendiri mungkin tak tahu apa itu visi investasi….) benar dan sangat akurat. Selepas tsunami dan kesepakatan damai, uang trilyunan rupiah mengalir ke Serambi Mekah. And thanks God, kebetulan tanah rawa punya Pak Zainal masuk area perluasan jalan raya tembus antar kabupaten. Begitulah, akhirnya disepakati tanah seluas 8000 meter persegi itu dibeli oleh Pemda Aceh seharga Rp 2,000,000,- per meternya. Alhasil, fulus sebesar Rp 16 milyar dengan sukses masuk ke kantong baju Pak Zainal.

Lalu, apa yang bisa kita pelajari dari kisah dramatis ini? Setidaknya ada tiga poin pelajaran penting tentang financial planning yang bisa kita petik dari kisah Sang Penyembelih Sapi ini.

Poin yang pertama adalah sebuah konsep yang dalam wacana wealth management disebut sebagai exponential income growth. Atau pertumbuhan pendapatan secara eksponensial. Pak Zainal membeli tanah dengan harga Rp 20 ribu dan kemudian menjualnya Rp 2 juta. Ini artinya naik seratus kali lipat atau 10,000 % !! And sorry to say, kalau Anda termasuk kelas pekerja kantoran, Anda hampir tak mungkin bisa meraih pertumbuhan pendapatan secara eksponensial ini. Sebab, rata-rata kenaikan gaji karyawan per tahun hanyalah 10 % (ini pun sudah tergerus oleh laju inflasi). Kalaulah gaji Anda 10 juta per bulan, Anda perlu waktu 133 tahun untuk mengumpulkan uang sebesar 16 milyar (dan saat itu, Anda pasti sudah berubah menjadi tulang belulang di alam baka sana). Poinnya jelas : untuk memperoleh exponential income growth, Anda mesti memiliki bisnis sendiri atau melakukan investasi atas aset produktif (seperti tanah, properti, atau saham).

Poin pelajaran yang kedua adalah apa yang kini lazim disebut sebagai passive income. Bahasa kerennya : membiarkan uang bekerja untuk Anda, dan bukan Anda bekerja mati-matian untuk mencari uang. Pak Zainal bercerita, kalau uangnya tersebut sebagian telah disimpan di deposito, sebagian dibagikan kepada anak-anaknya, dan sebagian diinvestasikan kembali dalam bentuk properti dan tanah (dan sebagian lagi dipakai untuk umroh dengan fasilitas super VIP….). Kalaulah yang didepositokan 10 milyar, dengan asumsi bunga 1% per bulan, maka tiap bulan Pak Zaenal bisa menerima uang sebesar Rp 100 juta……dan uang ini akan terus mengalir tanpa dirinya bekerja. Sepanjang hari, pak Zaenal bisa tidur leyeh-leyeh atau menggembalakan sapi di pinggir sawah. Sementara sebagian dari kita, sekedar untuk mendapatkan 5 juta per bulan pun harus bekerja keras, berangkat dari rumah jam 6 pagi, pulang selepas Isya. Dan dikantor dimarahin bos lagi. Sementara dijalanan terjebak macet sambil kena damprat kondektur metromini……(duh Gusti, nasib, nasib….).

Poin pelajaran yang terakhir adalah apa yang disebut sebagai financial freedom atau kebebasan finansial. Dengan uang sebesar 16 milyar rupiah, pak Zaenal tak perlu risau lagi tentang masa depan anak dan cucunya hingga tujuh turunan. Ketika harga BBM terus melambung, banyak orang mengeluh, protes dan membakar ban dijalanan (emang setelah ban dibakar, sim salabim, harga BBM bisa kembali turun?). Mungkin akan jauh lebih baik jika energi untuk mengeluh dan protes itu disalurkan untuk meningkatkan income growth guna meraih financial freedom – persis seperti yang ditunjukkan pak Zaenal itu. Dengan financial freedom, kita tak perlu lagi panik setiap kali diguncang oleh kenaikan harga bahan pokok dan BBM. Kelak, ketika harga bensin menjadi Rp 20,000 per liter, pak Zaenal mungkin akan tetap tenang-tenang saja……bisa tetap tidur leyeh-leyeh sambil menggembalakan sapi di pinggir sawah.

Itulah tiga poin pembelajaran finansial yang bisa kita petik dari sang Penyembelih Sapi dari Aceh ini. Malam kian larut, dan dari balik kabin pesawat, lamat-lamat terdengar suara mesin turbo jet Boeing seri 737 yang kami tumpangi. Ketika saya menoleh ke sebelah, ternyata pak Zaenal telah tertidur lelap, sementara pecinya yang lusuh agak miring ke kanan. Saya melihat segaris senyum tersungging di bibirnya. Ah, malam itu pak Zenal mungkin tengah terlelap dalam buaian mimpi yang indah. Inilah sepotong impian tentang hidup yang berkelimpahan dengan rasa syukur yang terus mengalir tanpa henti……

Monday, June 09, 2008

Inspirasi : Five Minds for the FUTURE

Jarum jam terus berderak dan berdentang. Dan dalam laju perjalanan sejarah itu, kita semua diminta untuk bisa terus tumbuh dan berkembang. Tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang matang nan unggul. Berkembang menjadi manusia - manusia yang mulia nan bermartabat. Sebab pada akhirnya : bukankah kita semua diciptakan untuk “menjadi khalifah-khalifah terbaik di muka bumi”?

Pertanyaannya sekarang adalah : jikalau memang kita mesti menjadi manusia-manusia unggul nan mulia, lalu pola pikir terbaik apa yang mesti dicengkram untuk merajut masa depan yang indah nan tercerahkan? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya ingin mengajak Anda semua melakukan ziarah pada lima elemen pola pikir (minds) yang diyakini merupakan modal penting untuk membangun keunggulan.

Lima pola pikir ini sendiri sejatinya digagas oleh Howard Gardner melalui salah satu bukunya yang memikat bertajuk Five Minds for the Future. Gardner sendiri merupakan pakar psikologi yang dikenal luas karena dia-lah orang yang pertama kali memperkenalkan teori kecerdasan majemuk (multiple intelligences). Melalui serangkaian riset yang ekstensif, Gardner menyimpulkan adanya lima jenis pola pikir yang akan memiliki peran makin penting dalam perjalanan sejarah masa depan.

Pola pikir yang pertama adalah disciplined mind (pikiran terdisiplin) atau suatu perilaku kognisi yang mencirikan disiplin ilmu, ketrampilan, atau profesi tertentu. Seorang praktisi yang menekuni dunia bisnis dan manajemen misalnya, setidaknya mesti menguasai ilmu dan ketrampilan yang solid dalam bidang tersebut. Demikian pula, semua profesional lainnya – entah arsitek, ahli komputer, perancang grafis – harus menguasai jenis-jenis pengetahuan dan ketrampilan kunci yang membuat mereka layak menjadi bagian dari profesi mereka masing-masing. Esensi dari pola pikir yang pertama ini adalah : untuk benar-benar menjadi manusia yang profesional, kita mestinya menguasai secara tuntas, komprehensif, mendalam dan terdisiplin satu bidang pengetahuan/ketrampilan tertentu.

Pola pikir yang kedua adalah : synthesizing mind (pikiran mensintesa). Atau juga pola untuk mencerap informasi dari beragam sumber, memahami, mensintesakannya, dan lalu meraciknya menjadi satu pengetahuan baru yang powerful. Kecakapan dalam melakukan sintesa ini tampaknya menjadi kian penting terutama ketika banjir informasi kian deras mengalir melalui beragam media : televisi, media cetak, dan dunia online. Dan sialnya, bongkahan informasi yang deras mengalir itu acap dipenuhi dengan informasi sampah (junk information). Tanpa kecapakan memilah dan mensintesakan beragam informasi itu, percayalah, kita bisa tergelincir dan tenggelam dalam lautan informasi. Information overload, demikian Alvin Toffler pernah menyebutnya beberapa tahun silam (lewat bukunya yang legendaris itu, The Third Wave).

Pola pikir yang ketiga adalah creating mind (pikiran mencipta). Pikiran ini menggedor kita untuk senantiasa merekahkan ide-ide baru, membentangkan pertanyaan-pertanyaan tak terduga, menghamparkan cara-cara berpikir baru, dan sekaligus memunculkan unexpected answers. Pola pikir inilah yang akan membawa kita masuk dalam wilayah-wilayah baru yang menjanjikan harapan dan peluang untuk direngkuh dan dimanfaatkan. Pola pikir inilah yang akan membuat kita mampu berpikir secara lateral (out of the box) dan bukan sekedar berpikir linear mengikuti jalur konvensional yang acap hanya akan membuat kita stagnan. Dan pola pikir inilah yang akan menemani kita untuk bergerak maju, progresif, demi terciptanya sejarah hidup yang positif dan bermakna (meaningful life).

Pola pikir berikutnya adalah respectful mind (pikiran merespek). Atau sebuah pola pikir untuk menyambut perbedaan pandangan dengan sukacita, dan bukan dengan sikap saling curiga. Sebuah pola pikir yang akan membuat kita terhindar dari anarki akibat pemaksaan kepentingan. Sebuah pola pikir yang senantiasa mengajak kita untuk merayakan keragaman pandangan dan sekaligus menghadirkan empati nan teduh bagi pendapat/pikiran orang lain – meski pendapat itu mungkin berbeda dengan yang kita hadirkan.

Dan pola pikir yang terakhir atau kelima yang juga amat dibutuhkan adalah ethical mind (pikiran etis). Inilah pola pikir yang terus membujuk kita untuk berikhtiar membangun kemuliaan dan keluhuran dalam kehidupan personal dan profesional kita. Sebab pada akhirnya, bagaimana mungkin kita akan menjadi “umat terbaik di muka bumi” jika keluhuran nilai-nilai etika kita penuh dengan debu, robek dan usang?

Demikianlah, lima pola pikir yang barangkali mesti selalu kita injeksikan dalam segenap ranah kognisi kita. Sebab dengan itulah, kita lalu bisa menyimpan sepenggal asa untuk membentangkan masa depan yang indah nan tercerahkan.

Photo Credit by : James Jordan under common creative license
Sumber : Tulisan Yodhia Antariksa June 9th, 2008 dalam strategimanajemen.net

Saturday, June 07, 2008

Kaca diri : Simfoni dalam siri

Simfoni di Dalam Diri
Kompas.com Sabtu, 7 Juni 2008 | 00:49 WIB
Oleh Gede Prama

Ada sebuah institusi sosial yang menyelamatkan peradaban dalam waktu lama sedang mengalami keruntuhan. Institusi itu bernama keluarga. Disebut menyelamatkan peradaban karena di keluarga kita lahir, bertumbuh, menjadi tua, dan akhirnya mati. Lebih dari itu, di keluarga juga sebagian besar kekurangan disempurnakan.

Bersamaan dengan runtuhnya bangunan keluarga (melalui perceraian, menurunnya respek masyarakat, dan semakin minimnya tokoh yang menjadi contoh dalam hal ini), di mana-mana kehidupan ditandai oleh lingkungan yang semakin panas.

Di kantor panas oleh perebutan kekuasaan, di jalan panas oleh kemacetan, bahkan sebagian tempat ibadah pun sudah mulai kehilangan kesejukan. Sejumlah media cetak, radio, dan televisi hanya memberitakan sesuatu yang panas. Yang sejuk-sejuk tidak termasuk dalam klasifikasi berita. Jadi, tidak terbayang panasnya wajah peradaban. Di satu sisi cuaca di luar memanas, di lain sisi keluarga mulai kehilangan atap yang menyejukkan.

Lahan penerimaan

Ketika sayur-sayuran ditanam kemudian gagal bertumbuh segar, manusia otomatis mencari sebabnya pada kekeliruan-kekeliruan kita sendiri. Namun, begitu berhadapan dengan orang lain, terlalu sering dalam kehidupan, manusia mencari kesalahannya pada orang lain. Bukan mencari kekeliruan-kekeliruan yang kita lakukan, sebagaimana ketika berhadapan dengan tetumbuhan.

Diterangi cahaya pemahaman seperti ini, tidak elok bila menimpakan seluruh kekeliruan kepada Descartes yang mengultuskan ”aku” mulai ratusan tahun lalu, pada kapitalisme yang membuat semuanya jadi materialistik. Serupa dengan logika sayuran tadi, mari kita cari sebab-sebab dalam diri yang membuat semua ini terjadi.

Bila diandaikan dengan daun kelapa yang bergoyang, goncangan kehidupan manusia sekarang memang jauh lebih keras. Bahayanya, sudah tambah berguncang kemudian berpegangan pada sesuatu yang bergoyang kencang.

Di dalam diri, manusia labil oleh ketersinggungan, kemarahan, kecemburuan. Pada saat yang sama, nyaris semua hal luar (termasuk rumah dan keluarga) mengalami guncangan-guncangan. Oleh karena itulah, membangun rumah dan keluarga yang sejuk menjadi sebuah isu penting pada zaman ini.

Sebagaimana rumah sesungguhnya, kekokohannya bergantung pada seberapa kuat fondasinya. Bila boleh jujur, kenapa fondasi banyak rumah keluarga demikian keropos, karena dimulai dengan keserakahan hanya mau kelebihan, menolak kekurangan. Belajar dari sinilah, maka penting menata ulang rumah keluarga dengan belajar saling menerima kekurangan.

Rumah mana pun akan indah menawan bila setiap kali pulang ke rumah kita saling menyirami. Seperti pohon yang kekeringan di musim kemarau (konflik di kantor, macet di jalan), demikianlah keadaan emosi tatkala pulang ke rumah. Betapa indahnya kemudian bila kita saling menyirami di rumah (baca: menerima kekurangan). Inilah bibit-bibit cinta yang menawan. Cinta yang mekar dari kesadaran bahwa semua punya kekurangan, semua membutuhkan siraman-siraman.

Mengalir bersama simfoni

Sulit membayangkan mekarnya bunga-bunga cinta kalau hubungan dimulai dengan harapan orang harus sempurna. Sebagaimana alam yang memeluk dualitas sama mesranya (musim hujan rumput menghijau, musim kemarau bunga-bunga bermekaran), cinta baru mulai tumbuh dalam totalitas. Dalam kelebihan ada kekurangan, dalam kekurangan ada kelebihan (love as a totality).

Kebanyakan kecelakaan kehidupan (perceraian, peperangan, perkelahian, kerusuhan) berasal dari mau kelebihan tidak mau kekurangan. Bila ada seribu laki-laki berkumpul, kemudian ditanya siapa yang mau menerima kecantikan dan kebaikan istri, kemungkinan besar semua orang akan angkat tangan. Namun, bila ditanya, siapa yang mau menerima (maaf) kecerewetan dan kekerasan istri, jika ada yang menaikkan tangan, dengan mudah dituduh kurang waras. Atau sekurang-kurangnya dicurigai menjadi ketua dewan pembina ISTI (ikatan suami terinjak-injak istri).

Di tengah hamparan bahan-bahan kosmik seperti ini, suatu sore seorang putri bertanya kepada papanya tentang rumah (home), terutama setelah lama ia lelah mencari. Dengan tersenyum papanya berbisik, ”Home is not a place. It is a journey. Those who totally flow with the journey, they’re at home already.” Rumah indah kehidupan bukanlah tempat, ia adalah perjalanan itu sendiri. Siapa yang mengalir penuh harmoni dengan keseharian, ia sudah sampai di rumah.

Seperti belum jelas dengan jawaban tadi, putri ini bertanya lagi, apa cahaya penerangnya agar rumah ditemukan? Dengan lembut papanya berbisik, ”The light is not outside. It is within your love. Those who are full of love see light everywhere.” Cahaya penerangnya tidak di luar. Ia tersembunyi dalam keseharian yang penuh cinta. Siapa saja yang melangkah dengan penuh cinta, perjalanannya terang benderang.

Lebih dari sekadar terang, sebagaimana pengalaman para master, kehidupan menjadi seperti simfoni indah yang dibentuk berbagai alat musik. Benar-salah, sukses-gagal, semuanya mengukir keindahan.

Ada yang bertanya, bila ada simfoni di dalam diri, lantas siapa dirigennya? Bertanya tentu tidak dilarang. Namun, yang perlu diwaspadai, siapa yang menunggangi pertanyaan. Kerap ada keraguan, kadang ada ketakutan, ada waktunya pertanyaan didorong keingintahuan, sering pertanyaan ditunggangi kecurigaan. Keraguan, ketakutan, apalagi kecurigaan, hanyalah tanda bahwa seseorang masih jauh dari rumah. Keingintahuan adalah pikiran yang lapar. Dalam banyak kehidupan, pikiran lapar adalah awal keguncangan-keguncangan.

Jadi, bisa dimaklumi bila para guru yang sudah lama tinggal di rumah, menyatu dengan rumah, hanya mengenal dua bahasa, silent and smile. Senyuman pertanda persahabatan dengan kehidupan. Keheningan tanda tidak ada lagi yang diragukan.

Mungkin itu sebabnya Zenkei Shibayama memberi judul karyanya A Flower does not talk. Bunga mekar dalam keheningan, layu dalam keheningan. Bisa jadi ini juga alasan tatkala murid-muridnya berselisih paham, Buddha Gautama memilih berdiam diri di hutan bersahabatkan gajah dan pepohonan. Perhatikan apa yang ditulis Rumi dalam Masnavi: The wages of religion are love, inner rapture. Upah buat mereka yang tekun berjalan ke dalam adalah cinta, rasa terpesona dari dalam yang tidak terucapkan.

Inilah simfoni di dalam diri. Simfoni yang membuat batin beristirahat sempurna dalam hening. Apa yang ditakuti manusia sebagai kematian, ia sesederhana daun jatuh dari rantingya.

Gede Prama Bekerja di Jakarta; Tinggal di Desa Tajun, Bali Utara