Tuesday, September 25, 2007

Memberi makna lebih RAMADHAN

Ramadan dalam Alquran
Oleh HM Muchoyyar HS



RAMADAN terpilih sebagai bulan puasa yang diwajibkan kepada orang-orang beriman (QS 2: 183, 185). ''(Beberapa hari yang ditentukan itu) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil). Karena itu barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu....''

Para ulama banyak memberikan uraian tentang hikmah puasa Ramadan, misalnya untuk mempertinggi budi pekerti, menimbulkan kesadaran dan kasih sayang terhadap orang-orang miskin, orang-orang lemah yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, melatih jiwa dan jasmani, menambah kesehatan dan lain sebagainya. Uraian seperti itu tentu ada benarnya, walaupun sulit dirasakan oleh setiap muslim yang berpuasa. Karena lapar, haus dan lain-lainnya akibat berpuasa tidak secara otomatis mengingatkan kepada penderitaan orang lain.

Malah mendorongnya untuk mencari dan mempersiapkan makanan dan minuman yang bervariasi pada siang hari untuk melepaskan lapar dan dahaganya di kala berbuka puasa pada malam harinya. Begitu pula tidak akan mudah dirasakan oleh orang berpuasa bahwa puasa itu akan membantu kesehatan. Maka orang berimanlah akan patuh melaksanakan perintah berpuasa sepenuh hati, karena ia merasa kebutuhan jasmaniah dan rohaniah adalah dua unsur pokok bagi kehidupan manusia yang harus dikembangkan dengan bermacam-macam latihan agar tenteram hidup di dunia dan bahagia dan alam baqa.

Bulan Ramadan sebagai salah satu jenis puasa wajib merupakan puasa pokok yang paling utama dibandingkan dengan puasa-puasa wajib lainnya. Puasa kafarat adalah puasa wajib karena pelanggaran suatu tata aturan. Puasa nadzar juga puasa wajib untuk membayar nadzar yang telah diikrarkan berpuasa oleh seseorang hamba Allah. Demikian pula, puasa qadha merupakan pembayaran (ganti) hari-hari puasa Ramadan yang tidak dikerjakan karena halangan.

Ramadan dipilih Allah SWT sebagai bulan diwajibkan puasa, karena bulan itu lebih baik atau istimewa dan lebih tinggi statusnya dari bulan-bulan qamariyah lainnya.

Bila diperhatikan, Ramadan adalah bulan yang paling panas karena terik matahari dan kurang layak bila dijadikan bulan untuk melaksanakan puasa sebulan penuh. Ramadan dipilih Allah SWT, karena terdapat banyak peristiwa dan kejadian-kejadian penting yang berpengaruh besar terhadap pembinaan kehidupan umat manusia.

Wahyu Allah pertama yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. Melalui Malaikat Jibril pada bulan Ramadan (QS Al Baqarah: 185). Wahyu pertama ini merupakan titik tolak yang mendasar dalam menggerakkan perkembangan rohaniyah terbesar serta melahirkan suatu umat baru (umat Islam). Alquranlah yang telah mengangkat kembali derajat manusia dari lembah kenistaan dan kejumudan dengan anjurannya untuk menggunakan akal pikiran dalam menghadapi dan mengamati alam semesta ini. Alquran mengumandangkan ajaran tauhid dan memerintahkan manusia untuk melepaskan diri dari belenggu berhala atau sesembahan lainnya. Alquran juga mencantumkan secara jelas asas persamaan status yang tidak membedakan manusia dalam derajat, pangkat dan kelas tertentu.

Lailatul Qadar sebagai suatu malam yang penuh dengan kemuliaan dan keutamaan, jatuhnya pada bulan Ramadan. Dalam beberapa hadis dijelaskan bahwa Lailatul Qadar itu terdapat pada salah satu malam dari sepuluh terakhir bulan Ramadan.

Lailatul Qadar dengan keutamaannya lebih baik dari seribu bulan, merupakan tumpuan keinginan bagi umat Islam untuk dapat menikmatinya. Firman Allah dalam surat Al-Qadar 1-3 yang artinya: ''Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran) pada malam kemuliaan (Lailatul Qadar). Dan tahukah kamu kemuliaan itu, lebih baik dari seribu bulan''.

Bulan Ramadan merupakan pula bulan kemenangan Rasulullah SAW beserta pengikutnya terhadap kaum kafir Quraisy, seperti: Pertama, Kemenangan dalam Perang Badar yang dikenal sebagai Hari Furqan atau hari pemisah antara yang benar (Islam) dan yang batil (kafir Quraisy) seperti firman Allah SWT dalam surat Al-Anfal 41, yang artinya: ''Dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad) di hari furqan yaitu di hari bertemunya dua pasukan....'' Hari furqan tersebut jatuhnya pada 17 Ramadan (Jumat) tahun kedua Hijriah. Kedua, jatuhnya kota Makkah dari tangan kafir Quraisy kepada umat Islam juga pada bulan Ramadan.(41)

-Prof Dr Muchoyyar HS MA, adalah guru besar IAIN Walisongo Semarang.


Suaramerdeka.com



Selasa, 25 September 2007 WACANA


Memberi Makna Lebih saat Berpuasa


Setiap bulan Ramadhan tiba ummat Islam merasakannya sebagai bulan yang penuh dengan berkah. Bulan di mana Allah menjanjikan begitu banyak pahala yang tidak dimiliki bulan lain. Malam hari, masjid dan mushola yang biasanya sepi terasa lebih sumringah karena gema tadarus dan pengajian. Kesyahduan dan kekusyukan terasa hadir di mana-mana. Di sisi yang lain, kita juga menyaksikan begitu riuhnya siaran televisi pada saat-saat menemani sahur. ''Kehidupan malam'' kaum muslimin menjadi lebih panjang karena berangkat tidur terlambat dan selesai sahur biasanya diteruskan ke subuh. Jam tidur menjadi lebih pendek, sehingga puasa benar-benar menampakkan sebagai bulan penuh tirakat.

Bagi sebagian orang Jawa, puasa sebenarnya bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupannya. Hal ini ditandai dengan begitu banyaknya ragam puasa seperti puasa mutih, ngrowot, ngalong, pati geni dan lain sebagainya. Semakin tinggi kawruh yang ingin digapai, maka puasanya menjadi semakin berat dan rumit. Di samping laku puasa yang tidak umum misalnya pasa ngendikan (puasa bicara). Setiap mereka yang ingin laku biasanya akan mengawali ritual puasa tiga hari, untuk selanjutnya meningkat sesuai dengan kemampuan dan kemauan. Inti dari semua laku itu sebenarnya sama, yakni dalam kerangka nggulawentah agar menjadi manusia yang mendekati sempurna.

Orang Jawa menafsirkan puasa sebagai mepes hawa kalawan nepsu sajroning urip kangge urip sajroning pati. Maknanya, puasa itu berguna untuk mengendalikan hawa nafsu ketika masih hidup untuk bekal hidup di sepanjang kematiannya. Artinya pula, puasa itu selain untuk memperbaiki seluruh sistem tubuh dan seisinya atau ngresiki raga juga sangat penting sebagai sangu ketika manusia wangsul dateng ngarsanipun Gusti Allah. Dengan demikian, puasa bukanlah sekadar mengendalikan nafsu,lebih jauh dari itu yakni memberi makna lebih setelah kematiannya. Dengan demikian, manusia yang berpuasa akan lebih dekat dengan Allah karena telah tertata jiwa dan raganya.

Dengan berpuasa maka manusia mengendalikan nafsu-nafsunya seperti nafsu mencuri, wanita, minum, main, madat, maido (mencela) dan mateni (membunuh). Di samping mengendalikan nafsu merasa benar sendiri, merasa besar sendiri, dan nafsu ego lainnya. Dengan mengendalikan nafsu di saat puasa, dan syukur di bulan lainnya secara niscaya manusia tersebut masuk kategori berakhlaq mulia karena mampu mengimplementasikan ajaran Allah dalam kehidupan kesehariannya. Nah, di sinilah sebenarnya esensi dari ajaran manunggaling kawula Gusti, yakni bertemunya perintah Tuhan dengan pelaksanaan oleh ummat-Nya. Maka, nilai puasa menjadi begitu sangat bermakna bagi yang mengetahuinya.

Tetapi, jika yang terjadi justru gemerlap konsumerisme di saat Ramadhan tiba, maka rasanya perlu direnungi kembali makna dan esensi puasa itu. Kenapa ? Bukankah Ramadhan dimaknai sebagai bulan di mana manusia berusaha mengembangkan diri secara spiritual dengan titik berat pada pengendalian hawa nafsu. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya nafsu untuk belanja, makan, minum, dan berpakaian menjadi lebih semarak. Nah, ketika nafsu kasar seperti ini menjadi lebih dominan, maka tentu akan mengurangi nilai-nilai yang seharusnya ada selama puasa. Puasa menjadi kurang bermakna, ketika ia hanya berfungsi sebagai penunda waktu makan saja.

Rasanya kita perlu terus mengasah hati nurani, dan bertanya tentang makna puasa kepada diri sendiri. Apakah saat puasa harus menebar marah kepada orang-orang yang tidak perlu dimarahi ? Apakah puasa harus makan lebih enak dan banyak ketika di sebelah masih banyak yang harus disantuni ? Apakah harus pula lebih banyak mencela, ketika diri sendiri belum juga sempurna ? Apakah rumangsa resik, sehingga harus menebar ancaman kepada mereka yang dianggap kotor. Puasa yang masih diselimuti dengan kenyang, marah, mencela, dan lain-lain tentu bukan itu makna ajaran-Nya. Sebaliknya, puasa harus membuat diri lebih tentram, dan orang lain tetap nyaman.

Thursday, September 20, 2007

Berdiskusi lewat Milis..

Salah satu manfaat dari internet adalah kita bisa berdiskusi dan bertukar pengetahuan dengan siapapun meskipun kita belum mengenalnya, berikut contohnya :




To: APICS-ID@yahoogroups.com
From: "wieky wong"
Date: Tue, 18 Sep 2007 05:58:42 -0700 (PDT)
Subject: IPOMS-APICS Apakah DMAIC = six sigma?

Yth. Rekan-rekan anggota milis..

Saya pernah ditanya, apakah menggunakan DMAIC sudah bisa dianggap menggunakan 6 sixma?

Menurut saya DMAIC itu sudah mendarah daging dengan Six sigma itu sendiri...
Ataukah ada metode lain selain Six Sigma yang menggunakan DMAIC sebagai langkah kerjanya..??

Setahu saya memang terdapat bbrp metode yang serumpun dengan six sigma, dimana merujuk pada PDCA-nya roda Deming...

Namun, saya hanya menemukan DMAIC pada six sigma saja....

Atau adakah referensi lain..??

Terima kasih....



From : amiruddin
To : APICS-ID@yahoogroups.com
Date : 07/9/20 11:20:47
Subject : Re: IPOMS-APICS Apakah DMAIC = six sigma?

Untuk Laboratory ( R&D ) biasanya memakai metode DMADV
( Define, Measure, Analysis, Design & Verify )

Thanks

Amiruddin
Blackbelt



Clearly for explanation from Mr Amirudin

Six Sigma support an appropriate procedure according to aims of business system. so we should check what method or step we will use for improvement.

1. First we select Issue and we define, after that check need new process or not
if need new process we use : DIDOV ( Define, Identify, Design, Optimize, Verify)
2. If No need new process, define, measure , analysis and we check need new design or not, if need we use: DMADV
3. If we check no need new process and new design we use : DMAIC as ussualy.

Thanks,

Best Regards,

==============================================
Sutaji
Quality Planning - QA Display
PT. LG Electronics Indonesia
Block G, MM2100 Industrial Town
Cikarang Barat, Bekasi 17520, West Java
Phone : 62-21-8989438/308
Fax : 62-21-8980588
Email address : aaji@lge.com





Thanks

Wednesday, September 19, 2007

Motivasi : Memahami MOTIVASI

Untuk membangun motivasi, sebenarnya selalu dikatakan ada dua alternatif: motivasi jalur eksternal maupun internal. Untuk kasus Anda, motivasi eksternal bisa didapat dengan banyak cara. Misalnya, bicara dengan orang yang dengan motivasi tinggi menggeluti bidang Anda. Bisa jadi itu rekan, kenalan ataupun bos Anda (namun soal bicara dengan bos, hati-hatilah, jangan sampai muncul persepsi negatif tentang motivasi Anda).

Tanyakan apa yang membuat mereka tertarik dan berminat dengan bidang mereka. Terkadang, melalui 'kacamata' orang lain kita bisa mendapat inspirasi atas perspektif baru yang selama ini kita 'buta'.

Saya punya pengalaman ketika ditugasi mengurusi ISO di perusahaan pertama saya bekerja. Saya sebel. Tetapi, setelah bicara lama dengan mereka yang menggeluti ISO, ternyata bisa beri pandangan baru soal makna kualitas kerja di balik ISO. Dan ternyata menarik.

Nah, hal sama juga bisa Anda lakukan. Secara eksternal, Anda pun bisa pula bicara dengan konselor, minta nasihat. Mengikuti seminar dan workshop motivasi pun bisa menjadi sumber motivasi eksternal. Demikian pula membaca artikel maupun buku motivasi.

Ada beberapa trainer maupun penulis dunia yang buku-bukunya sangat inspiratif seperti Anthony Robbins, Brian Tracy, Zig Ziglar, Stephen Covey, Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Napoleon Hill, Dale Carnegie, juga ada Dave Pelzer yang inspiratif dengan kisah personalnya.

Saya sendiri sangat merekomendasi buku motivasi karya penulis Orison Swett Marden (penulis motivasi klasik yang sangat dikagumi Bung Karno). Sayangnya, bukunya tidak banyak diterbitkan di negeri kita.

Tetapi, rekan Winarno, motivasi eksternal kadang bisa bertahan hanya sebentar, kurang lebih 3-4 bulan. Karena itu, motivasi eksternal haruslah diinternalisasi. Di sinilah tugas Anda mulai memaknai sendiri dan menggali dari dalam lewat perenungan dan memberikan self talk positif kepada diri Anda mengenai apapun keputusan Anda.

Redefinisi kembali tujuan Anda. Apa yang sebenarnya Anda inginkan dan bagaimana pekerjaan sekarang sebenarnya punya makna mencapai tujuan itu. Tanyakan pula apakah sesuatu dari pekerjaan saat ini yang membuat Anda merasa berharga, bermakna?

Lihat diri Anda di cermin dan lakukan self talk positif kepada diri Anda menyangkut diri dan pekerjaan saat ini, juga dan langkah antisipasi Anda ke depan. Pikirkan pula kalau Anda tidak melakukan apapun, apakah konsekuensinya? Tetapi, tetap pula realistis. Kalau memang dalam beberapa tahun ke depan, pekerjaan ini sama sekali ini tidak mendorong Anda lebih maju, mungkin Anda perlu pikirkan alternatif bidang atau tempat lain.

Tetapi, seperti yang Anda katakan, Anda harus mendobrak 'keenganan' melakukan sesuatu dengan mulai bertindak. Akhir kata, jangan membiarkan diri kita hidup tanpa motivasi untuk waktu lama. Sebab saat Anda tersadar, mungkin biaya yang harus Anda tanggung sudah terlalu mahal. Bangun, dan lakukan sesuatu!

Ada satu rumusan sederhana yang saya simpulkan mengenai motivasi adalah: 1. M e (diri kita sendiri) 2. O bservation (observasi diri atas SWOT) 3. T hank GOD 4. I nspiration 5. V ission Mission and Goal 6. A ct Now 7. T rust your self 8. I will persist 9. N o way back Saya sangat setuju dengan pendapat Bung Martin bahwa motivasi eksternal bersifat hanya sementara, dan motivasi internal jauh lebih kuat. Apa yang menyebabkan hal itu? Saya teringat dengan proses pertumbuhan pohon buah kurma (pbk). Bibit kurma itu ditanam di pasir dengan ditindih sebuah batu besar. Selama masa pertumbuhan, kurma itu hanya bisa bertumbuh ke bawah, terus menguatkan akar dan terus bertumbuh ke dalam untuk mecari sumber air. Setelah pbk itu menemukan sumber air, pbk mulai pertumbuhan ke atas. Pada saat itulah batu yang menindih bibit kurma itu bisa disingkirkan dan pbk terus bertumbuh ke atas dan semakin kuat. Apa yang terjadi bila tidak ada batu yang menindih bibit kurma itu? Bibit itu akan tumbuh akar untuk sementara waktu sampai menemukan air untuk keperluan tumbuh bibit (bukan sumber air) dan akan tumbuh ke atas lebih cepat. Apa yang membedakan keduanya? Bibit yang ditanam dengan ditindih batu itu lebih kuat bertahan terhadap musim panas (akar telah mencapai sumber air), pbk itu menjadi lebih kuat terhadap terpaan angin karena akar telah tertanam dalam sedangkan bibit kurma yang satunya mengalami hal yang sebaliknya. Hal ini dapat menjadi perbandingan antara motivasi eksternal dan internal. Motivasilah diri Anda sendiri dengan cara MOTIVATION. LIhatlah diri Anda sendiri (Me), kenali diri Anda lebih dalam (Observe Strength Weakness Opportunity and Treat), bersyukurlah kepada Tuhan atas keberadaan Anda (Thank GOD), cari tokoh idola atau sesuatu yang memberikan Anda inspirasi (Inspiration), Buat (VMG) Visi Misi dan Tujuan Hidup yang jelas, terencana dengan baik, tercatat dan punya batas waktu/ target pencapaian (Vission Mission Goal), mulai motivasi diri Anda sekarang (Act now), percaya pada diri Anda bahwa Anda mencapai Visi Misi dan Tujuan Hidup Anda, terus berjuang tanpa menyerah sebelum tercapai VMG, karena ada harga yang terlalu mahal jika setiap waktu Anda selalu berpaling ke belakang dan membenahi kembali langkah hidup Anda (No Way Back). Selamat mencoba!

Inspirasi : "Love your Job"

Jumat, 14/09/2007 10:52 WIB

Menghargai pekerjaan
oleh : Lisa Nuryanti

Tiga bulan lalu, Helen memanggil beberapa calon karyawan untuk wawancara. Dari seluruh pelamar yang dipanggil, Helen tertarik dengan dua orang yang dinilai paling cocok.

Salah seorang, sebut saja bernama Nana, adalah seorang fresh graduate. Nana belum pernah bekerja, baru lulus D3 langsung mengirimkan surat lamaran. Dilihat dari angka akademiknya cukup bagus, penampilannya di foto juga oke, maka Nana termasuk dipanggil untuk wawancara pertama.

Ketika datang ke kantor untuk wawancara pertama, Nana tampil oke. Sebagai seorang fresh graduate, penampilannya lebih baik dari yang lain. Seakan-akan dia sudah pernah bekerja. Setelah wawancara selesai, Nana keluar dan melewati ruang resepsionis, Helen tanpa sengaja melihat bahwa Nana tidak berpamitan kepada resepsionis, bahkan tersenyum pun tidak.

Seorang calon lain, sebut saja bernama Wati, juga menarik perhatiannya. Sama seperti Nana, dia juga seorang fresh graduate. Hanya bedanya, Wati pernah bekerja di sebuah perusahaan selama tiga bulan. Di perusahaan tersebut, Wati merasakan susahnya bekerja. Dia tidak boleh seenaknya keluar dari kantor.

Waktu makan siang pun dibatasi. Untuk minta ijin tidak masuk kerja juga sangat sulit, sehingga dia selalu memilih tetap masuk kerja meskipun sedang sakit. Untungnya dia hanya pernah sakit flu dua kali. Bukan penyakit yang termasuk parah.

Waktu dipanggil untuk wawancara, Wati minta agar boleh datang setelah jam kerja. Helen setuju. Ketika datang, Wati berpenampilan rapi dan sederhana. Dia dengan cepat menjawab semua pertanyaan. Ketika datang, dia menyapa resepsonis dengan ramah. Ketika pulang dia juga berpamitan dengan office girl yang kebetulan menunggu di samping meja resepsionis. Sopan dan tulus.

Setelah melalui berbagai test, akhirnya kedua orang ini, Nana dan Wati, diterima bekerja di bagian marketing. Keduanya sama-sama belum berpengalaman di bidang marketing. Karena itu, mereka berdua harus sama-sama belajar. Dari pengetahuan produk hingga cara melakukan pendekatan, cara menjual dan sebagainya.

Nana tampaknya mudah mengerti apabila diberitahu mengenai sesuatu. Langsung berkata "Ya pak, ya pak." Sehingga atasannya menilai Nana sangat cepat belajar. Sebaliknya Wati banyak bertanya apabila diberitahu mengenai sesuatu. Kadang-kadang harus diulang sekali lagi, baru Wati tampak puas dan mengerti.

Lapor perkembangan

Setiap akhir bulan dia melapor kepada Helen mengenai perkembangan Nana dan Wati. Kesannya terhadap mereka berdua cukup positif, sehingga Helen mulai berpikir untuk mempertahankan mereka berdua setelah selesai masa percobaan.

Seperti biasa, Helen juga seringkali melakukan kunjungan keliling ke semua departemen, terutama yang ada karyawan barunya.

Ternyata apa yang ditemuinya di lapangan sangat mengejutkan Helen. Hampir dalam segala hal, Nana selalu bertanya kepada teman-teman lain atau minta bantuan mereka untuk mengerjakan semua pekerjaannya.

Ternyata semua penjelasan dari atasannya tidak dimengerti sama sekali olehnya. Setiap kali atasannya selesai menjelaskan sesuatu dan beliau berlalu, maka segera Nana ribut bertanya kepada yang lain sambil berkeluh kesah.

Bahkan, seringkali Wati mengerjakan pekerjaan Nana, bukan hanya membantunya saja. Begitu pula setiap kali Nana menerima perintah dari atasannya untuk melakukan sesuatu, selalu dia berkeluh kesah panjang lebar.

Misalnya ketika dia diminta menelepon salah seorang pelanggan yang sudah lama tidak berhubungan lagi dengan perusahaan tersebut, Nana mengeluh dengan bersuara keras:"Ah! Sebel deh! Disuruh-suruh melulu! Harus menelepon orang lagi! Reseh!"

Dan sialnya, Helen mendengar langsung keluhan Nana ketika kebetulan dia berada di pintu masuk ruangan marketing. Segera Helen memanggilnya dan menanyakan hal itu, tapi Nana hanya minta maaf saja sambil tersenyum-senyum

Begitu juga ketika dia harus pergi mengunjungi salah seorang pelanggan penting, Nana berkeluh kesah seperti biasa. "Huuuh! Sebel! Masa gua harus pergi lagi! Kan cape?! Masa disuruh-suruh lagi!". Lalu dia mengajak Wati dan pergi sambil cemberut.

Berbeda dengan Wati. Perintah apapun langsung dikerjakan dengan penuh semangat. Disuruh kemana pun, Wati siap. Cara kerjanya juga cepat. Dia tidak pernah mengeluh. Bahkan, dia tidak pernah keberatan membantu pekerjaan Nana sambil mengerjakan tugasnya sendiri.

an, diakhir masa percobaan, bisa ditebak siapa yang dinyatakan lolos dan siapa yang tidak. Helen melihat, Wati sangat menghargai pekerjaannya yang sekarang karena dia pernah merasakan betapa beratnya bekerja di tempat kerja sebelumnya.

Di perusahaan yang sekarang Wati sangat bersyukur karena atasannya tidak segalak dulu. Atasannya mempercayainya, tidak cerewet, dan memperlakukannya dengan wajar. Jadi Wati sangat menikmati pekerjaannya yang sekarang.

Sebaliknya Nana menganggap kebaikan atasannya sebagai suatu kesempatan untuk bisa berbuat seenaknya tanpa takut dimarahi. Dia menganggap atasannya pasti tidak akan marah kepadanya. Dia masih menganggap pekerjaan sebagai suatu kegiatan sosial yang sering dilakukannya.

Karena itu Nana merasa berhak untuk merasa kesal kalau disuruh-suruh. Nana belum bisa menghargai pekerjaannya. Hargai pekerjaan Anda. Love Your Job!


bisnis.com



Good artikel

Inspirasi : Jadilah magnet . . .

Jumat, 14/09/2007 11:00 WIB

Jadilah magnet atas suksesmu
oleh : Anthony Dio Martin

"What you see in your mind, you're going to hold it in your hand"
(Bob Proctor)

Sekarang ini, di mana-mana begitu ramai dibicarakan The Secret, buku yang ditulis oleh penulis kelahiran Australia Rhonda Byrne. Buku yang menggemparkan ini telah memopulerkan nama Rhonda Byrne dan menobatkan dirinya menjadi salah satu perempuan berpengaruh di dunia saat ini. Apakah yang menarik dari buku The Secret ini?

Intisari The Secret adalah The Law of Attraction atau hukum daya tarik. Inti dari hukum daya tarik ini adalah like attract like. Artinya, sesuatu akan menarik sesuatu yang mirip dengannya. Jadi, saat kita memikirkan sesuatu, dikatakan bahwa kita sedang menarik sesuatu itu ke arah diri kita.

Bayangkanlah seorang ibu yang seringkali mengalami kecopetan. Masalahnya, setiap kali ke pasar, ia selalu membayangkan dan dihantui bayangan para pencopet. Setiap kali mengalami kecopetan, ia semakin ketakutan dan semakin membayangkan hal itu terjadi lagi berulang kali. Pikiran si ibu itu menjadi magnet bagi para pencopet untuk mendekatinya.

Di sisi lain, ada seorang mahasiswa teologi yang mengatakan saat dirinya melancong ke luar negeri, ia tidak memiliki tabungan cukup dan tidak kenal siapa pun. Modalnya hanya berdoa dan membayangkan jalan mulus membentang di hadapannya. Anehnya, banyak kemudahan dan jalan 'bantuan' datang menghampirinya saat ia membutuhkan.

Dalam hukum daya tarik ini, pikiran kita bereksistensi ibarat magnet. Pikiran kita memiliki getaran frekuensi yang kita pancarkan ke sekeliling kita. Akibatnya, getaran ini mulai memengaruhi lingkungan sekitar kita dan mulai menarik alam semesta (universe) terkait berbagai hal kembali kepada diri kita.

Jadi, kalau getaran frekuensi yang kita pancarkan merupakan getaran kesuksesan dan kebahagiaan, alam semesta akan mengatur kesuksesan dan kebahagiaan itu sesuai dengan apa yang kita pikirkan. Sebaliknya, bila yang kita pikirkan adalah marabahaya, maka kemungkinan besar hal-hal yang tidak kita inginkan itulah yang bakalan menghampiri kita.

Mendukung mimpi

Seperti dikatakan DR.Joe Vitale, salah seorang pembicara dan penulis yang turut memberikan kontribusi dalam buku The Secret, "Alam semesta akan mulai mengatur dirinya, untuk membuat apa pun yang terpikirkan olehmu, mulai termanifestasikan bagi dirimu".

Persis seperti pesan Sang Alkemis, novel spiritual Paulo Coelho. Di sana, dikisahkan tentang Santiago, seorang bocah penggembala domba dari Padang Andalusia, yang mengelana mewujudkan mimpi-mimpinya. Pesan utamanya, "Orang yang meyakini seluruh mimpi-mimpinya, maka seluruh alam semesta akan membantunya dalam mewujudkan mimpi-mimpi itu menjadi kenyataan."

Bayangkan dengan mereka yang phobia dengan cecak dan takut kalau-kalau ada cecak. Akibatnya, jutsru mereka 'menarik' cecak di mana-mana. Demikian pula yang takut kegagalan, justru mereka menarik energi kegagalan dalam diri mereka. Sebaliknya, kalau kita menarik kekayaan, kesuksesan, uluran tangan, dan kebahagiaan, maka itulah yang akan tertarik ke arah dirimu.

James Ray, salah satu pemikir terkenal dan kontributor buku ini memakai metafora menarik. Bayangkanlah dunia ini seperti kisah lampu Aladin dalam dongeng 1001 Malam. Bayangkan, saat dirimu membutuhkan sesuatu dirimu tinggal menggosok lampunya, maka akan muncul jin ajaib dan berkata pada Anda, "Your wish is my command" (harapan Anda adalah perintah untuk saya). Bayangkanlah alam semesta mengatakan hal tersebut kepada diri Anda.

3 Langkah

Ada tiga langkah dalam proses the Law of Attraction ini. Ketiga langkah tersebut mencakup keberanian meminta (ask), keyakinan akan menerima (believe), dan kemampuan dan perasaan telah menerima (receive). Kalau dicermati prosesnya kembali, maka dikatakan, segala sesuatu dimulai dari keinginan dan kemauan kita untuk meminta dan mengharapkan hal yang positif terjadi dalam hidup kita.

Seperti dikatakan Jack Canfield dalam bukunya The Aladdin Factor, "Jika kamu tidak pernah meminta, maka kamu tidak akan pernah menerimanya". Setelah meminta, maka dibutuhkan keyakinan bahwa kita bisa menerimanya.

Banyak orang meminta sesuatu, tetapi kemudian menjadi ragu-ragu sehingga apa yang ada tidak betul-betul termanifestasikan. Tanpa sadar terjadi energi 'penolakan' akibat keragu-raguannya.

Langkah terakhir adalah kemampuan kita untuk menerima atau, kalaupun belum terasakan sekarang, tetapi merasa telah mulai dalam proses menerima apa yang diharapkan. Masalahnya, banyak orang tidak sabar dan berhenti saat apa yang diharapkan tidak langsung terjadi. Otak membutuhkan penyesuaian dan alam semesta membutuhkan waktu mewujudkannya, tetapi kita sendiri harus meyakininya.

Lagi pula, penting pula kita untuk mendoakan dan mengharapkan bantuan tangan dan izin Tuhan sehingga apa yang kita pikirkan terwujud. Sebab, bagaimanapun hukum ini kita imani berjalan sesuai dengan kehendak-Nya. Karena itu, doa dan keyakinan atas berlakunya the law of attraction ini tetaplah menjadi hal penting.

Akhirnya, the law of attraction ini mengingatkan kita satu hal penting. Marilah kita selalu sadar dengan apa yang kita pikirkan. Hal ini akan menjadi sebuah medan magnet yang luar biasa.

Bayangkan, melalui pikiran itulah kita sedang membuat lukisan kehidupan kita sendiri. Kesimpulannya, kita, adalah apa yang kita bayangkan setiap hari.


bisnis.com

Inspirasi : IQ bukan segalanya????


IPTEK - Kompas. Sept.19.2007

Meredupnya Pamor IQ

NINOK LEKSONO

"Sementara psikometrika menawarkan daya tarik semu fakta obyektif, sains baru membawa kita kembali ke dalam kontak dengan sastra, sejarah, dan kemanusiaan, dan—pada akhirnya—ke keunikan individu." ("The Waning of IQ", David Brooks, IHT, 15-16/9/2007)

Hingga hari ini pun masih banyak orangtua yang mengharapkan anak-anaknya pintar, terlahir dengan IQ (intelligence quotient) di atas level normal (lebih dari 100). Syukur-syukur kalau bisa jadi anak superior dengan IQ di atas 130. Harapan ini tentu sah saja. Dalam paradigma IQ dikenal kategori hampir atau genius kalau seseorang punya IQ di atas 140. Albert Einstein adalah ilmuwan yang IQ-nya disebut-sebut lebih dari 160.

Namun, dalam perjalanan berikutnya orang mengamati, dan pengalaman memperlihatkan, tidak sedikit orang dengan IQ tinggi, yang sukses dalam studi, tetapi kurang berhasil dalam karier dan pekerjaan. Dari realitas itu, lalu ada yang menyimpulkan, IQ penting untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi kemudian jadi kurang penting untuk menapak tangga karier.

Untuk menapak tangga karier, ada sejumlah unsur lain yang lebih berperan. Misalnya saja yang mewujud dalam seberapa jauh seseorang bisa bekerja dalam tim, seberapa bisa ia menenggang perbedaan, dan seberapa luwes ia berkomunikasi dan menangkap bahasa tubuh orang lain.

Unsur tersebut memang tidak termasuk dalam tes kemampuan (aptitude test) yang ia peroleh saat mencari pekerjaan. Pertanyaan sekitar hal ini kemudian terjawab ketika Daniel Goleman menerbitkan buku Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ (1995).

Sebelumnya, para ahli juga telah memahami bahwa kecerdasan tidak semata-mata ada pada kemampuan dalam menjawab soal matematika atau fisika. Kecerdasan bisa ditemukan ketika seseorang mudah sekali mempelajari musik dan alat-alatnya, bahkan juga pada seseorang yang pintar sekali memainkan raket atau menendang bola.

Untuk yang terakhir ini orang mudah mengingat karya Howard Gardner yang mengemukakan Teori Kecerdasan Berganda (Multiple Intelligences) dalam bukunya Frames of Mind: The Theory of Mutiple Intelligences (Basic Books, 1983).

Buku Gardner tampak berpengaruh besar karena setelah itu banyak pendidik yang lalu mengubah cara mengajarnya. Teori Gardner juga mengubah cara orang memandang IQ, dan juga persepsi tentang "menjadi pintar". Mungkin perubahan paling penting ada pada cara pandang guru terhadap murid. Setelah itu guru memberikan perhatian lebih besar terhadap apa yang bisa dikerjakan lebih baik oleh murid, dan bukan pada apa yang tidak bisa mereka kerjakan.

Buku-buku berikut Gardner, seperti The Unschooled Mind: How Children Think and How Schools Should Teach (Basic Books, 1991) dan Multiple Intellligences: The Theory in Practice (Basic Books, 1993) memberikan gambaran lebih jauh tentang bagaimana kecerdasan berganda bisa membuat para guru mengajar dan mengevaluasi murid dengan cara baru dan lebih baik (education world.com, 16/2/1998).

Dalam Frames of Mind, Gardner, guru besar di Universitas Harvard, menyebut tujuh macam kecerdasan: kecerdasan linguistik (kecakapan dan kepekaan terhadap arti dan tata kata-kata); kecerdasan logika-matematika (kecakapan dalam matematika dan sistem logika kompleks lainnya); kecerdasan musikal (untuk memahami dan mencipta musik); kecerdasan spasial (kecakapan "berpikir dalam gambar", untuk memahami dunia visual secara akurat, lalu mencipta kembali (re-create) atau mengubah (alter) dalam pikiran atau di atas kertas. Kecerdasan spasial berkembang besar pada seniman, arsitek, perancang, dan pematung.

Kecerdasan yang kelima adalah kecerdasan tubuh-kinestetik yang diperlihatkan dalam kemampuan menggunakan tubuh dengan terampil, baik untuk ekspresi diri maupun untuk mencapai satu tujuan. Penari, pemain sepak bola, aktor, termasuk sosok yang memperlihatkan jenis kecerdasan ini.

Yang keenam adalah kecerdasan antarpribadi (interpersonal), yakni kecakapan untuk memahami individu lain—suasana hati, keinginan, dan motivasinya. Pemimpin politik dan agama, orang tua dan guru yang arif, juga penyembuh, banyak menggunakan jenis kecerdasan ini.

Lalu yang ketujuh adalah kecerdasan intrapersonal, yakni kecakapan untuk mengerti emosi sendiri. Sejumlah konselor, juga novelis, menggunakan pengalaman pribadi untuk membimbing orang lain.

Kecerdasan kedelapan kemudian dimunculkan Gardner dalam percakapan dengan Kathy Checkley dalam satu wawancara Kepemimpinan Edukasional. Yang dimaksud di sini ternyata kecerdasan lingkungan (naturalis), yakni kecakapan untuk mengenali dan menggolong-golongkan tanaman, mineral, dan binatang, juga batuan dan rerumputan, atau flora dan fauna secara umum. Kemampuan untuk mengenali artifak budaya boleh jadi juga masuk dalam kecerdasan naturalis ini. Tentu saja sosok yang pasti unggul dalam hal ini adalah Charles Darwin.

IQ meredup

Dalam lingkup yang lebih luas itu, IQ—yang dalam satu masa pernah menjadi metode andal untuk menangkap kemampuan mental seseorang—kini tampak meredup. Dengan IQ, dulu banyak diyakini orang terlahir dengan ukuran cc mesin pengolah informasi tertentu. Yang pintar punya Daya Kuda lebih besar daripada yang rata-rata.

Sayangnya, kemudian diketahui masih ada yang belum memuaskan dengan IQ. Di luar penjelasan Gardner itu, orang sulit berkonsensus tentang kecerdasan. Ada yang berpendapat kecerdasan adalah kemampuan menyesuaikan diri terhadap lingkungan, dan lainnya beranggapan kecerdasan adalah kemampuan untuk berpikir secara abstrak, dan seterusnya.

Lalu ada pola aneh dalam paham itu. Misalnya, pada abad lalu, rata-rata IQ naik dengan laju 3 sampai 6 poin per dekade. Gejala yang dikenal sebagai Efek Flynn ini terukur di banyak negara dan berlaku untuk semua kelompok usia (David Brooks, "The Waning IQ", IHT, 15-16/9/2007).

Catatan lain adalah IQ banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Seseorang yang tumbuh di kehidupan miskin membuat kecerdasannya tumbuh buruk, kata Eric Turkheimer dari Universitas Virginia. Hal yang sama juga terjadi jika seseorang tumbuh dalam lingkungan yang secara emosional menekan.

Dengan berbagai catatan yang ada, IQ oleh Brooks disebut sebagai kotak hitam, yang bisa mengukur sesuatu, tetapi tidak jelas apa itu. Ia juga tak bisa digunakan untuk meramalkan apa yang akan dilakukan seseorang dalam hidupnya.

Para peneliti dewasa ini lalu mengalihkan perhatian, tidak lagi pada kekuatan otak semata. Menilai kecerdasan kini sudah tak lagi seperti mengukur tenaga kuda dalam sebuah mesin, tetapi lebih seperti menonton balet. Kecepatan dan kekuatan yang diperlihatkan penari adalah bagian dari kecerdasan, dan unsur itu bisa diukur secara numerik. Namun, intisari aktivitas balet hanya ditemukan dalam irama gerak, keanggunan, dan kepribadian, sifat yang merupakan produk campuran dari emosi, pengalaman, motivasi, dan keturunan.

Riset otak mutakhir, kata Brooks, sudah tidak lagi mereduksi segala hal ke dalam impuls listrik dan denyut yang bisa dikuantifikasi, tetapi pada segi yang justru meningkatkan penghargaan orang terhadap kompleksitas dan keragaman manusia.

Tampak bahwa IQ memang masih jauh dari mencukupi untuk memersepsikan seseorang. Potensi yang dikandung pada individu ber-IQ tinggi rupanya masih perlu dilengkapi dengan kecerdasan lain untuk menciptakan sukses tidak saja dalam karier, tetapi juga dalam kehidupan.

Thursday, September 13, 2007

Renungan : Puasa, latihan pengendalian diri

Pengendalian Diri, Kunci Semua Maslahat

Pengendalian diri, itulah sesungguhnya inti yang diajarkan oleh ibadah puasa. Semua kemaslahatan dalam hidup niscaya akan diperoleh dengan pengendalian diri, pengekangan keinginan-keinginan yang berpotensi menabrak tatanan nilai-nilai, penjungkirbalikan etika, atau penafian moral. Gema tuntunan untuk menjadi "orang bertakwa" - muttaqin - hakikatnya adalah orientasi maslahat untuk semua, karena takwalah yang mendasari keberimbangan hidup, dalam level vertikal sekaligus horisontal, pencapaian kaffah antara kemampuan merajut hablun-minallah, dengan rajutan sosial hablun-minannas.

Datangnya puasa Ramadan umumnya disambut dengan kesadaran semangat kontemplatif. Seperti iktikad bertapa mencari pencerahan hidup, karena ada kesadaran selama sekian bulan sebelum ini melewati hari-hari untuk survive. Ketika harus berkompetisi di tengah pergulatan sosial-ekonomi, pasti akan selalu muncul kelalaian-kelalaian, sehingga mungkin kita keluar dari ambang toleransi persaingan. Apakah kita telah menabrak rambu-rambu keindahan silaturahmi, apakah telah sengaja maupun tidak sengaja menginjak hak-hak orang lain, atau apakah kita menjadi seperti robot yang bergerak tanpa terisi baterei kemanusiaan.

Di tengah arus kompetisi survivalitas itulah manusia cenderung sering kehilangan kendali diri. Spiritnya lebih ke kompetisi. Isian berdiri di batas minimalis dan maksimalis akan terabaikan. Kita lupa begitu banyak orang lain yang merasakan penderitaan kekurangan pangan, rawan gizi, terpinggirkan, menghadapi hidup penuh ketidakpastian untuk memenuhi (sekadar) kebutuhan-kebutuhan dasar. Sementara kita terus menumpuk yang kita bisa menumpuknya, merancang pendapatan sejauh kita bisa meraihnya, mengotak-atik anggaran kesejahteraan karena kita punya kekuasaan, mengakses apa pun yang terkait dengan kekuasaan itu.

Puasa tahun 1428 Hijriah kali ini juga mengetengahkan berbagai potret tentang kesenjangan yang masih dan terus membentang. Antara gemuruh kinclong kehidupan dengan para mustadh'afin yang hidup dengan segala ketidakpastian masa depan. Sikap kendali diri, seperti yang diajarkan oleh ibadah puasa, mestinya dielaborasi ke arah upaya-upaya pengentasan nasib mereka, sebagai tanggung jawab bersama. Yakni kita yang merasa memiliki kekuasaan, harta, dan akses untuk berpihak kepada orang-orang terpinggirkan itu. Tanggung jawab yang mestinya tidak hanya terketuk saat kita memasuki bulan Ramadan!

Nabi Muhammad mengajarkan keberpihakan total kepada orang miskin dan mustadh'afin. Lewat ajaran puasa, dapat ditangkap konteks jelas, karena kita pun akan dihadapkan pada perasaan yang sama ketika menghayati bagaimana ketidakberdayaan saat lapar datang tak tertanggungkan, dahaga tak tertahankan, serta tidak mampu mengakses keinginan apa pun dengan kekuatan yang terbatas. Sikap berpihak seperti itu mestinya memancar sebagai produk Ramadan, dengan mengalirkannya ke nadi kehidupan kita selama bulan-bulan pascapuasa, tidak sekadar berlalu dengan berakhirnya bulan suci itu.

Memperkuat kendali diri menjadi kunci menuju kemaslahatan. Manusia muttaqin bukanlah sekadar mereka yang tangguh dalam spiritualitas individual, melainkan yang melengkapinya dengan pancaran spiritualitas sosial. Jadi pemaknaan produk puasa ini pun sesungguhnya bukan sekadar membentuk manusia sebagai individu dengan mentalitas Ramadan, tetapi bagaimana individu itu memerankan fungsi sosialnya. Jika sebuah masyarakat terisi pribadi-pribadi berwatak penuh kendali diri, kita bisa berharap tentang kemaslahatan dan kedamaian yang merupakan penjabaran Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.
( Sumber : Tajuk harian Suara Merdeka Sept.13.2007 )


Kamis, 13 September 2007 WACANA Suara merdeka

Ramadan Meningkatkan Kesatuan

Oleh Saifuddin Ali Anwar

Ibadah puasa ini, dilakukan di seluruh pelosok dunia, oleh bangsa mana pun oleh siapa saja, di mana-mana tanpa memandang kaya, miskin, tua, muda, anak-anak, laki-laki, perempuan dan dilaksanakan secara tulus ikhlas.

RASANYA baru kemarin berpuasa, tidak terasa satu tahun telah berlalu.Hari ini 13 September 2007 seluruh umat Islam di dunia dengan izinNya dapat berjumpa kembali dengan datangnya Ramadan. Alhamdulillah Marhaban Ya Ramadan, selamat datang bulan puasa, bulan suci Ramadan.

Marhaban dari asal kata rhab yang artinya luas/lapang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti seruan untuk menyambut atau menghormati tamu dengan hati lapang, penuh suka cita dan harapan karena "tamu Ramadan"akan memberikan berkah, rahmah dan ampunan bagi yang melaksanakannya.

Filosofi dan Hikmah

Puasa adalah salah satu ibadah yang mulia dan berpijak pada dua inti sendi: yaitu niat berpuasa menjelang fajar, dan mengendalikan diri dari hal-hal yang dapat merusak puasa itu sendiri sampai matahari terbenam.

Ibadah ini melekat dalam diri pribadi orang perorang nyaris tidak nampak oleh orang lain, bila dibandingkan dengan amal ibadah lain karena terkadang manusia dapat lalai dan hanyut dalam partner akan amal yang diperbuatnya.

Ibadah puasa mengandung nilai filosofis tentang keikhlasan bagi yang melakukannya, keberanian, kesabaran, kejujuran yang sulit disaksikan pada orang lain, oleh karenanya Allah yang akan langsung mengambil alih untuk membalas amal ibadah puasanya... "maka sesungguhnya puasa itu adalah hak-Ku dan Aku akan memberinya pahala menurut kehendak-Ku" (Hadis Qudsy). Hal ini akan diberikan balasan khusus langsung dari Allah menjadi manusia yang takwa dan muttaqin, manusia mulia di sisi Allah, dan nikmat buat dirinya serta orang lain maupun lingkungannya.

Namun sudah barang tentu balasan diberikan apabila orang tersebut mampu menghindari semua larangan-larangan Nya dalam berpuasa, serta tidak melakukan hal-hal yang keji seperti mengumpat/gibah, fitnah/naminah, dusta/kizb, memandang yang mengundang birahi/sjahwat dan mampu mengelola emosional serta empati kepada sesamanya.

Puasa Menyehatkan

Penyakit perut adalah penyakit terbanyak diderita orang di antara segala macam penyakit. Berbagai jenis makanan minuman singgah dan diolah secara mekanik, fisiologik dan kimiawi di dalam perut dan sekitarnya.

Ibarat mesin perut pun membutuhkan pembersihan dan istirahat, maka puasa hendaknya berperan besar demi kesehatan perut, karena aneka ragam makanan serta minuman yang berlebihan akan mengacaukan sistem pencernaan.

Tuhan memberikan kasihNya kepada manusia dengan perintah untuk berpuasa: Hai orag-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS Al Baqarah 2: 183). Selanjutnya ditegaskan dalam firman Alquran (VII, 31): ... dan makan serta minumlah tapi janganlah melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak suka pada orang-orang yang melampaui batas.

Selanjutnya Nabi Muhammad saw bersabda: "Berpuasalah kamu niscaya engkau menjadi sehat". (Hadis Riwayat Ibnu Sunni dan Abu Nu'aim). Berikut ini penegasan dan peringatan Nabi: "Perut adalah rumah segala penyakit dan penjagaan atas makanan adalah permulaan dari pengobatan. Permulaan dari segala penyakit adalah mengisi perut dengan berlebih-lebihan".

(Diriwayatkan oleh Mahjuddin Al Chajat). "Perut adalah semisal kolam air dalam badan manusia dan pembuluh darah datang ke sana untuk diisi (sari makanan untuk diedarkan ke seluruh tubuh). Kalau perut itu sehat rnaka kesehatanlah yang dibawa kembali oleh pembuluh darah itu, dan kalau perut sakit, penyakitlah yang dibawanya. (Sabda Nabi dari Abu Huraerah)

Momentum

Genderang menyambut Tamu Agung Ramadan luar biasa dilakukan secara kolosal dan simultan. Rasulullah saw menyatakan bulan puasa ini sebagai syar'adhim (bulan yang agung), syar mubarak (bulan yang diberkahi), syar al-shabr (bulan kesabaran), syar almuwasah (bulan pertolongan), syar yazdad fihi rizq al mu'min (bulan pertumbuhan bagi rezekinya orang mukmin).

Dari Ibn Khuzaimah dari kitab shahih sumber khotbah Nabi Muhammad pada akhir Syakban (Hasan Asy'ari Ulamai). Ibadah puasa ini, dilakukan di seluruh pelosok dunia, oleh bangsa mana pun oleh siapa saja, di mana-mana tanpa memandang kaya, miskin, tua, muda, anak-anak, laki-laki, perempuan dan dilaksanakan secara tulus ikhlas karena umat Islam tahu bahwa Ramadan awalnya mengandung rahmah, tengahnya maghfirah, berakhirnya Ramadan membebaskan orang berpuasa dari api neraka.

Mereka mematuhi kewajiban atas perintah TuhanNya. Oleh karena itu penulis optimistis karena bangsa Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam Ramadan dapat sebagai momentum dan berperan untuk meningkatkan semangat kesatuan, kebersamaan melalui empati skala nasional sampai kepada sesama warga, tetangga, handai tolan, sanak famili serta lingkungan sekitarnya.

Rasa lapar dan dahaga selama berpuasa mengukir perasaan dan kesan dalam hatinya, bagaimana perasaan kaum dhuafa, fakir dan miskin, yang tidak mendapatkan makanan dan minuman mungkin berhari-hari. Mereka adalah saudara-saudara kita.Saat inilah kesempatan dan kewajiban kita melalui organisasi masyarakat Islam/lembaga kemasyarakatan kita, dari pusat sampai daerah pelosok desa bersatu padu, mengangkat mereka yang kekurangan. Marilah berlomba-lomba dalam kebaikan, memenuhi peringatan Allah dalam firmanNya: Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara dua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (Qs Al Hujurat 10). Kemudian hal ini ditegaskan sabda Nabi: "Tidaklah beriman kepadaku orang yang tidur nyenyak karena kekenyangan, sedangkan tetangganya tidak bisa tidur karena kelaparan. (Hadis Riwayat Thabrani).

Selanjutnya Nabi mengajak: "Wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam, berikanlah makanan kepada fakir miskin, hubungkanlah silaturakhim dan shalatlah pada malam hari ketika orang-orang tidur niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat." (Hadis Riwayat Tarmidzi).

Semoga dengan semangat Ramadan, umat Islam khususnya bangsa Indonesia pada umumnya lebih bersatu padu rela berkorban, untuk sesamanya, memperjuangkan kebahagiaan masyarakatnya menuju keridaan dan ampunan Allah untuk mewujudkan baldatun thayyibatun wa Rabbun ghofur. (11)

- H. Saifuddin Ali Anwar, drg, SKM, ketua Lembaga Studia Islamica Pondok Sisemut Ungaran, widyaiswara Bapelkes Nasional Salaman.

Wednesday, September 12, 2007

Puasa dan pembinaan karakter bangsa

Rabu, 12 September 2007 harian wawasan

Puasa dan pembinaan karakter bangsa


BULAN puasa akan segera hadir di hadapan kita. Sebagian besar umat Islam menyambutnya dengan gembira, laksana menyambut datangnya tamu agung. Memang mengherankan, ibadah yang relatif berat, justru ditunggu-tunggu oleh umat Islam. Bahkan di Indonesia ini bulan puasa dan Lebaran membawa dampak positif dalam segi ekonomi bagi sebagian besar penduduk. Sebab, berbagai kegiatan ekonomi mengalami peningkatan pada waktu-waktu tersebut. Sebagai contoh, para pedagang sembako, pedagang pakaian, tukang jahit, tukang cukur, perusahaan angkutan, dan lain-lain menjelang Lebaran akan memperoleh penghasilan yang meningkat. Dalam segi peribadatan, masjid dan musala akan ramai dikunjungi umat yang melaksanakan salat di dalamnya.

Khususnya salat tarawih, meski jumlah rakaatnya banyak, namun justru banyak orang yang melaksanakannya. Mengapa terjadi demikian, dan apa motivasi spiritual yang mendorongnya? Ibadah puasa di bulan Ramadan diyakini oleh umat Islam sebagai ibadah yang istimewa, sebab bila umat Islam dapat mengerjakannya dengan baik dengan segala rangkaian ibadah di dalamnya, maka segala dosanya akan diampuni oleh Allah swt. Bukankah setiap orang menyadari, bahwa setiap hari dia takkan luput dari berbuat kesalahan atau dosa? Kapan dia akan menghapus dosadosanya itu? Nah, dalam bulan Ramadan itulah dia mendapat kesempatan untuk menghapuskan dosa-dosanya itu. Di samping itu semua ibadah yang dilaksanakan dalam bulan suci tersebut akan mendapat pahala yang berlipat ganda.

Nabi Muhammad SAW bersabda: ”Allah berfirman : Semua amal anak Adam (manusia) akan dilipatgandakan pahalanya dari sepuluh kali hingga tujuh ratus kali lipat. Allah berfirman pula: Kecuali puasa, karena puasa itu untuk- Ku dan Akulah yang akan memberinya pahala (secara khusus). Orang yang berpuasa itu meninggalkan keinginan dan makannya demi Aku”. Hadis ini mengisyaratkan bahwa Allah akan memberi pahala istimewa kepada orang yang mengerjakan puasa dan amal ibadah lainnya dalam bulan suci tersebut.

Penyucian jiwa dan raga Puasa di bulan Ramadan dapat dianggap sebagai bulan penataran, pelatihan, dan penggemblengan pribadi muslim untuk mencapai tazkiyatun nafsi wal badani, atau penyucian jiwa dan raga. Penyucian raga dalam arti, tubuh manusia dikendalikan agar jangan sampai digunakan untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah berupa kejahatan dan kemaksiatan.

Dalam bulan suci ini umat Islam dilatih untuk memerangi hawa nafsu. Dalam bulan-bulan lain umat Islam juga dilarang melakukan kejahatan dan kemaksiatan, tetapi lebih-lebih dalam bulan Ramadan, sebab mereka menghendaki penghapusan dosa secara total melalui ibadah di bulan Ramadan.

Penyucian jiwa dalam arti agar umat Islam menjauhi sifat-sifat batin yang tercela seperti : berdusta, menipu, dengki, buruk sangka, berpikiran cabul, kotor, dan lain-lain. Jadi, orang yang berpuasa bukan hanya mencegah makan dan minum di siang hari, melainkan juga harus menjauhi perbuatan yang tercela serta sifat-sifat yang jelek. Sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah SAW: ”Puasa itu bukan hanya mencegah makan dan minum, melainkan juga mencegah omongan yang tidak berguna serta ha-hal yang cabul”.

Dalam Hadis lain disebutkan : ”Nabi telah bersabda: Lima perkara yang menghilangkan pahala puasa yaitu bohong, mengumpat, mengadu domba, bersumpah palsu, dan melihat lain jenis dengan syahwat”.

Menahan lapar dan haus serta mengendalikan diri dari sifat dan perbuatan yang tercela adalah bukan pekerjaan yang ringan, lebih-lebih jika mendapat godaan atau cemoohan dari orang lain.

Misalnya pada waktu kita sedang berpuasa, ada orang yang secara demonstratif makan, minum, dan merokok di depan kita. Menghadapi godaan demikian kita tidak dibenarkan marah atau memaki-maki dia. Oleh karena itu orang yang berpuasa harus memiliki sifat sabar, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: ”Puasa itu separo dari sifat sabar. Dan sabar itu separo dari iman”.

Murah hati
Rasulullah SAW memberi contoh kepada umatnya agar selalu bersikap murah hati, dermawan, lembut, dan santun dalam pergaulan sosial. Sifat-sifat tersebut sangat menonjol diperlihatkan oleh Rasulullah SAW dalam bulan Ramadan. Seandainya setiap pribadi muslim dapat mengamalkan sifat-sifat tersebut niscaya sangat menunjang terwujudnya hubungan sosial yang harmonis.

Dalam sebuah hadis diceritakan oleh Ibnu Abbas, ”Bahwa Rasulullah adalah orang yang paling murah hati (dermawan) di antara manusia, dan beliau paling murah hati di bulan Ramadan pada saat bertemu dengan malaikat Jibril setiap malam, untuk bertadarus Alquran. Sesungguhnya ketika itu Nabi lebih bermurah hati dalam kebaikan daripada angin yang berhembus”. Bermurah hati melebihi angin yang berhembus artinya Nabi mempunyai sifat yang dermawan dalam kebaikan yang menyebar luas ke warga masyarakat sekelilingnya.

Solidaritas sosial
Ibadah puasa Ramadan diakhiri dengan Idul Fitri atau Lebaran, yang disebut juga hari kemenangan umat beriman. Maksudnya ialah setelah umat Islam selama sebulan berlatih dan mengamalkan pengendalian hawa nafsu, maka sampailah pada puncak ibadat tersebut, yaitu telah memiliki ketahanan mental untuk untuk menangkis godaan hawa nafsu yang didorong oleh bujuk rayuan setan. Umat beriman merasa mendapat kemenangan melawan godaan setan.

Ajaran pengendalian hawa nafsu ini dimaksudkan agar umat Islam setelah Lebaran dan menapak pada bulanbulan berikutnya telah memiliki fondasi yang kukuh untuk selalu menentang kejahatan dan kemaksiatan.

Sebelum umat Islam melakukan ibadah salat Idul Fitri, mereka diwajibkan mengeluarkaan zakat fitrah bagi mereka yang mampu. Zakat fitrah berupa bahan makanan pokok dibagikan kepada kaum fakir miskin agar mereka bisa menikmati kegembiraan pada hari raya Lebaran tersebut bersama saudara-saudaranya yang mampu.

Dalam sebuah Hadis disebutkan: ”Rasulullah mewajibkan zakat fitrah untuk membersihkan orang yang berpuasa dari omongan yang tak berguna dan perbuatan cabul serta memberi makan kepada orang-orang miskin”. Di samping itu umat Islam yang mampu juga diwajibkan mengeluarkan zakat mal (harta) yang waktunya tidak terikat dengan bulan Ramadan.

Selain zakat fitrah, zakat mal, masih ada lagi anjuran untuk mengeluarkan infak dan sadaqah. Sungguh mulia sekali ajaran ini sebab ajaran ini mengamanatkan agar umat Islam yang mampu hendaknya menyantuni saudarasaudaranya yang fakir miskin. Dalam harta orang-orang yang kaya terdapat bagian bagi orang miskin. Sebagaimana tersebut dalam Alquran Surat Adz- Dzariyat ayat 19 yang artinya : ”Dan pada harta-harta mereka (orang-orang kaya) terdapat hak bagi orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian”.

Secara teoritis, agama telah menyiapkan aturan untuk menjembatani kesenjangan sosial ekonomi agar terwujud keharmonisan hubungan sosial, karena kebanyakan konflik-konflik sosial di negara mana pun disebabkan oleh masalah perut, yakni tidak adanya keadilan dalam memenuhi kebutuhan perut.

Yang menjadi masalah ialah belum lancar dan tertibnya masalah pengumpulan dan pembagian zakat, infak, dan sadaqah. Dalam rangka membenahi manajemen pengumpulan zakat, infak, dan sadaqah, Pemerintah RI telah menerbitkan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Namun hingga kini pelaksanaannya tampak masih mlempem. Tentu instansi Departeman Agama yang bertanggung jawab dalam masalah ini sangat diharapkan greget dan kiprahnya.

Bangsa Indonesia mayoritas memeluk agama Islam. Maka jika internalisasi nilai-nilai ajaran puasa itu dapat terlaksana dengan efektif berarti menyentuh sebagian besar bangsa kita. Oleh karena itu internalisasi nilai-nilai ajaran puasa mempunyai andil dalam pembinaan karakter bangsa Indonesia, berupa penanaman nilai-nilai kesalehan pribadi dan kesalehan sosial. hf
Drs H Ibnu Djarir Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah)

Aneka UCAPAN Menyambut Ramadhan 1428 H

Assalumualaikum Wr.wb.

Selamat menunaikan ibadah puasa mudah mudahan kita diberikan kekuatan oleh Alloh SWT untuk menjalankannya dan semoga kita masuk golongan orang2 yang bertaqwa amin.......wassalam


Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

“Jika KALBU sePUTIH salju, jangan biarkan ia KERUH. Jika HATI seterang BINTANG, jangan biarkan ia MENDUNG. Jika PIKIRAN seindah BULAN, hiasi ia dengan IMAN”. Marhaban Ya Ramadhan, Mari kita sambut bulan suci ini dengan silaturahim yang teruntai dari mutiara iman dan keikhlasan untuk senantiasa memaafkan salah dan kekhilafan.

Selamat menunaikan ibadah Shaum Ramadhan Mohon Maaf Lahir dan Bathin.

Allahumma Bariklana fi Sya’ban wa Balighna Ramadhan

Wa’alaikum Salam Warahmatullahi Wabarakatuh


Ramadhan adalah bulan untuk menguji kita dalam rangka menerapkan integritas, kejujuran, dan bertindak positif. Menghindari segala perbuatan yang tidak baik, melakukan perbuatan yang lebih baik dengan ikhlas.

Semoga di bulan Ramadhan ini kita dapat menjaga diri, keluarga dan umat Islam pada umumnya.


Ahlan wa sahlan ya ramadhan

besok kita akan memasuki bulan suci ramadhan, tdk ada kata yg pantas saya ucapkan selain mohon maaf lahir bathin untuk semuanya, semoga kita dapat menjalankan bulan puasa ini dengan hikamh tanpa ada kendala. salam buat kakak saya Ningsih, agus da adiksaya Euis semoga slalu sehat dan di karunia oleh allah swt amin

Selamat Menuaikan Ibadah Puasa Ramadhan 1428 H. Moga-moga momen Ramadhan bisa menjadi lahan kebaikan untuk kita semua dan memperbaiki segala kesalahan kita serta menjadi sarana untuk menjadikan hidup kita lebih baik dan bermakna.



Ass. Marhaban Yaa Ramadhan ... kita sambut ramadhan 1428 H dengan suka cita bersihkan hati, jiwa dan pikiran untuk menggapai ridha-Nya...... mohon maaf untuk semua atas segala perkataan n perbuatan yang telah aku perbuat.... semoga kita termasuk hamba2 Allah yang bertaqwa dan pandai bersyukur....Amiien!!


Selamat Ramadhan, may Allah brighten our heart with noor of iman, bless us with the vision of ihsan, protect us from harm, accept all our prayers, elevate us with the greatness of ramadhan



" mari kita sambut bulan yang penuh bekah ini dengan penuh keikhlasan niat, kesucian hati dan pikiran jernih bersih dari iri dengki,dendam dan sikap tercela lainnya,semoga. mari kita saling memaafkan bila ada salah dan sambung silaturrahmi dengan demikian semoga ibadah puasa kita diterima disisi Allah SWT,amiin. Selamat menunaikan ibadah puasa"

Memanfaatkan Ramadhan

Rabu, 12 September 2007

Memanfaatkan Ramadhan




Said Aqiel Siradj
Ketua PBNU

Tidak pernah kita hitung, sejak kapan kita menjalankan puasa wajib di bulan Ramadhan. Rasanya belum lama kita berpisah dengan Ramadhan tahun lalu, dan alhamdulillah kini kita berjumpa lagi. Tentu saja, kita menaruh harapan dan semangat agar puasa kita tahun ini lebih baik dari puasa-puasa tahun sebelumnya. Sekalipun merasakan haus dan lapar, sungguh unik bahwa kita menjalankannya dengan kegembiraan, antusiasme, dan kekhusyukan. Kita tidak pernah jemu, jengkel, dan merasa direpotkan oleh datangnya Ramadhan.

Ibadah puasa ini tidak saja dikaji menurut kaidah hukum agama, sekarang bahkan berbagai professi keilmuan, khususnya kedokteran dan psikologi, ikut memperkaya analisis ibadah puasa dalam rangka menggali hikmah yang dikandungnya. Praktik puasa sebenarnya tidak hanya dikenal dalam ajaran Islam, melainkan juga pada umat sebelum kerasulan Muhammad. Bahkan dalam tradisi-tradisi di luar agama Ibrahimi juga dikenal praktik puasa sekalipun dengan niat dan cara yang berbeda. Allah berfirman, "Hai, orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu. Agar kamu bertakwa". (QS Al Baqarah [2]: 183).

Substansinya sama
Dengan demikian, perintah puasa yang kita jalankan sekarang ini memiliki sejarah panjang dalam perkembangan manusia. Sejarah puasa adalah sejarah manusia-manusia beragama terdahulu. Perintah puasa memiliki masa lalu, masa sekarang, dan masa mendatang, bagi umat manusia. Tentu saja, puasa kita hari ini berbeda dengan puasa 'orang-orang beriman sebelum kamu'. Bentuk dan kaifiyah pelaksanaan puasa kita dan puasa mereka tidaklah sama. Namun, intinya adalah mengembalikan supremasi spiritual atas dunia fisik dan psikis.

Nabi Adam dan istrinya, Hawa, diperintahkan 'berpuasa' untuk tidak memakan buah khuldi. Menurut para ahli tafsir, kata buah khuldi sebuah kata simbolik yang memiliki banyak makna. Salah satunya adalah objek yang menimbulkan rasa ingin tahu dan nafsu manusia untuk hidup kekal dengan mengejar dan memiliki kenikmatan fisikal, sehingga bisa menjauhkan manusia dari Tuhannya.

Dalam kisah Alquran disebutkan, "Hai Adam, ambillah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang dzalim" (QS Al Baqarah [2]: 35).

Namun, mereka tidak mampu mengendalikan diri mereka dari godaan setan. Mereka melanggar 'perintah puasa', karenanya, Allah pun menurunkan 'siksa' bagi mereka dengan dikeluarkan dari surga (simbol kenikmatan) menuju dunia (simbol cobaan). Ayat tadi memberikan isyarat begitu kuat bahwa sesungguhnya larangan Allah itu sangat sedikit dibandingkan anugerah yang dihalalkan.

Jika dipahami secara metaforis, ayat ini menyadarkan kita bahwa sesungguhnya begitu banyak anugerah Allah yang dibentangkan untuk manusia, dan jangan sekali-sekali anugerah yang melimpah itu hilang karena kita tergelincir oleh hawa nafsu yang mengejar hal-hal kecil dan kenikmatan sesaat. Bumi Indonesia yang melimpah dengan nikmat Allah, kini pemerintah dan rakyatnya miskin karena perilaku pemimpinnya tidak mampu berpuasa menjauhi pohon terlarang, yaitu korupsi.

Nabi Dawud juga mengajarkan puasa dengan berselang hari. Sehari berpuasa sehari berbuka. Adapun Maryam, ibunda Nabi Isa, mengajakan berpuasa untuk menahan diri, tidak berbicara, ketika menghadapi lingkungan sosial yang tidak berguna, bahkan kolutif (QS Maryam [19]:26). Dalam konteks sekarang, Maryam mengajak kita menahan diri agar tidak hanyut ke dalam dunia gosip yang bisa mengotori hati dan pikiran.

Di sini jelas bahwa perintah puasa tidak saja memiliki kesinambungan dan kelanjutan dalam sejarah manusia, namun mengandung edukasi bagi pengembangan dan pembersihan diri. Dalam konteks Islam, kesinambungan dan kelanjutan bisa bermakna penyempurnaan. Dan untuk itulah Islam yang dirisalahkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai agama terakhir setelah agama Yahudi dan Nasrani, mengandung makna sebagai agama penerus dan penyempurna.

Yang dimaksud penyempurna di sini adalah penyempurna bagi praktik dan pelaksanaan ibadah-ibadah agama 'orang-orang beriman terdahulu', termasuk juga perintah berpuasa. Puasa merupakan ibadah yang mendorong kita melatih untuk menguasai dan mengendalikan diri (the art of self-mastery) agar tidak terjebak ke dalam kubangan yang menghinakan martabat diri. Hari-hari selama bulan puasa terasa bagaikan 'medan perang' yang kita usahakan untuk mengalahkan egoisme yang menguasai dan mengendalikan kita. Namun, yang lebih fundamental adalah bagamana kita menemukan dan menguatkan kembali komitmen moral-spiritual kita dengan ibadah puasa ini. Jadi, pesan puasa bukan sekadar 'menahan diri', tetapi mensucikan dan menumbuhkan, serta memperkuat komitmen moral-spiritual.

Atmosfer Ilahi
Segala rutinitas konsumeristik, agenda materialistik, serta sikap dan perilaku kapitalistik yang menjadi keseharian kita, selama Ramadhan kita hentikan untuk menemukan kembali kesucian dan kefitrian kita. Mari kita perbanyak waktu untuk berkontemplasi, membaca buku yang bermutu, dan memperbanyak berbuat kebajikan, mulai saat kita sahur menjelang fajar hingga kita buka puasa saat matahari tenggelam. Dengan begitu, selama sekitar 30 X 24 jam kita benar-benar berada dalam atmosfer ilahi. Dengan demikian, kita berdoa semoga hidayah Alquran akan nuzul (turun) dan menjadi penuntun bagi hati, pikiran, dan perilaku kita.

Peningkatan intensitas dan kuantitas ibadah kita kepada Allah selama puasa Ramadhan itu tentu saja memberi ruang, kesempatan, dan perhatian terhadap pertumbuhan dan perkembangan kualitas ketakwaan kita untuk menjalani agenda hidup di bulan-bulan pasca-Ramadan. Salah satu ciri orang yang bertakwa adalah yang selalu merasakan kehadiran dan kedekatan Tuhan di manapun berada, sehingga seseorang lebih terdorong untuk selalu berbuat kebajikan, menghindari tindakan apapun yang menjauhkan diri dari Tuhan.

Ibadah Ramadan untuk memperoleh derajat ketakwaan akan mengajak kita untuk menjalani hidup dengan antusias, ikhlas, dan senantiasa mengarah pada peningkatan kualitas moral, bukannya hidup yang malah dibebani oleh ambisi mengumpulkan materi yang sifatnya instrumental, lalu diubah posisinya menjadi objek-fundamental.

Sekali lagi, kenikmatan, kedamaian, dan kekhusyukan di dalam bulan Ramadhan sungguh kita menanti-nantikan kedatangannya. Dan kita belum tentu berjumpa lagi dengan bulan yang penuh pesona spiritual seperti Ramadan ini. Malaikat telah turun ke bumi menyambut hamba-hamba Allah yang beriman, yang merindukan kedekatan dengan Allah, yang lapar dan hausnya akan mampu mengusir setan, dan doa serta rintihan hatinya di malam hari akan menjadi nyanyian merdu membuka pintu langit menjemput curahan rahmat, ampunan dan keberkatan Allah. Semoga Allah memberi kekuatan dan petunjuk pada bangsa Indonesia untuk menuju masyarakat adil dan makmur.

Ikhtisar
- Puasa bukan hanya menjadi kewajiban umat sekarang, tapi juga umat terdahulu sejak zaman Nabi Adam.
- Hanya, puasa umat terdahulu dan umat sekarang berbeda dalam hal teknis, namun sama substansinya yaitu untuk mengembalikan supremasi spiritual.
- Karena itu, momentum Ramadhan harus bisa digunakan untuk menghentikan segala rutinitas konsumeristik, materialistik, dan kapitalistik.
- Seluruh waktu selama Ramadhan, haruslah diisi dengan atmosfer Ilahi yang mendekatkan diri kita dengan Tuhan.



dari Opini Republika Sept.12.2007

Marhaban ya Ramadhan, Stop Prasangka Buruk

Marhaban ya Ramadhan, Stop Prasangka Buruk

Rabu 12 September 2007, Jam: 9:21:00

Mulai nanti malam umat islam sedunia, khususnya di Indonesia mulai melaksakan salat taraweh mengawali ibadah di bulan suci ramadhan. Kepastian ini setelah pemerintah secara resmi memutuskan bahwa awal ramadhan jatuh pada hari Kamis, 13 September 2007.

Berbahagialah dengan datangnya bulan suci ramadhan, sebagai bulan yang penuh barokah dan ampunan ini. Bulan di mana umat islam akan menunaikan ibadah puasa. Hanya saja sudah sejauh mana kita berpuasa? Ini pertanyaan mendasar, mengingat puasa itu sendiri memiliki beberapa klasifikasi atau tingkatan.

Setidaknya ada tiga tingkatan dalam berpuasa. Pertama, secara umum atau yang paling mendasar adalah aktivitas untuk menahan lapar dan dahaga sepanjang hari sejak matahari terbit (imsak) hingga sang mentari terbenam (saat adzan magrib). Artinya sepanjang hari kita dilarang makan dan minum.

Kedua, puasa panca indera. Mulut misalnya bukan saja tidak boleh mengunyah makanan atau meneguk air, juga berpuasa untuk berkata jorok, kotor dan memaki. Telinga berpuasa untuk tidak mendengarkan kata- kata kotor, ajakan sesat dan maksiat. Mata agar tidak digunakan untuk melihat hal- hal yang pada akhirnya akan membangkitkan hawa nafsu dan mendatangkan kesesatan.Begitu juga dengan indera lainnya seperti hidung, tangan atau alat peraba untuk berpuasa agar tidak terjerumus kepada perbuatan yang jelas – jelas bakal merugikan diri sendiri dan orang lain

Ketiga, adalah puasa batin. Jika pada tingkatan pertama dan kedua lebih banyak menyangkut aktivitas fisik, organ tubuh, sedangkan yang ketiga adalah suasana batin. Di sini tentunya kita dituntut untuk lebih membersihkan diri dari segala prasangka buruk (negative thinking) terhadap orang lain. Tidak itu saja, hati kita juga dituntut untuk mampu mengendalikan suasana menuju terciptanya ketenangan, kenyamanan dan keikhlasan. Sebab, ketenangan batin akan menuntun kepada kesabaran. Sementara di dalam kesabaran akan tercipta kemampuan untuk mengendalikan diri sebagai makna hakiki dari tujuan berpuasa.

Artinya, ibadah puasa selain untuk menjalankan perintah Allah, diharapkan dapat dijadikan sebagai ajang pendidikan, pelatihan kesabaran dan pengendalian diri.

Tentunya pengendalian diri dilakukan dalam semua aspek kehidupan. Bukan saja yang berhubungan dengan hal- hal yang sifatnya islami, tetapi aktivitas bertetangga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dalam situasi seperti sekarang ini, di mana situasi ekonomi belum pulih, pengendalian diri untuk tidak serakah, mengambil hak orang lain, menumpuk kekayaan, berperilaku korup dan jor – joran adalah hal yang seharusnya diimplementasikan dalam kehidupan sehari- hari.

Di tengah masyarakat sedang berjam- jam antre minyak tanah, tidak seharusnya yang telah berkecukupan ikut menyerobot hak mereka yang kekurangan, memonopoli distribusi atau malah menimbun. Sementara masyarakat sedang kekurangan bahan makanan, bingung dan limbung menyusul harga sembako yang kian melambung, sangatlah tidak etis para penguasa dan pemilik modal berlomba menumpuk untung. Semoga pengendalian diri di bulan puasa ini, sebagai pelatihan untuk sebelas bulan berikutnya. Marhaban ya Ramadhan. (*) dari Tajuk Pos kota Sept.12.2007

Renungan : Ramadhan 1428 , Alhamdulillah....

Ramadhan untuk Perdamaian


Khamami Zada

Marhaban, ya Ramadhan. Begitulah sambutan umat Islam saat menyambut bulan suci Ramadhan. Di mana-mana diserukan kepada umat Islam untuk meningkatkan ibadah, zakat, dan amal saleh.

Di bulan yang suci itu, umat Islam melakukan kegiatan ibadah yang amat agung sebagai latihan diri dari segala perbuatan kemungkaran dan kemaksiatan. Karena itu, di bulan Ramadhan inilah, umat Islam harus menahan diri secara lahiriah dengan tidak makan, tidak minum, dan berhubungan seksual di siang hari, sekaligus juga harus menahan diri dari segala kemaksiatan dan kemungkaran. Karena itu, substansi ibadah puasa di bulan Ramadhan biasanya sering disebut sebagai pengendalian diri. Maka bagi umat Islam, Ramadhan ialah pusat latihan untuk meningkatkan kualitas ibadah, memperbaiki akhlak (moral), dan berbagi dengan fakir miskin (sedekah dan zakat).

Sayang, Ramadhan tidak hanya dihiasi ajakan keagamaan yang substansial, tetapi juga dengan simbol-simbol yang tidak substansial. Lihat kesibukan umat Islam saat menyambut Ramadhan yang ditunjukkan dengan berbagai kegiatan. Dari sekadar menyiapkan keperluan buka puasa dan sahur dengan berbelanja kebutuhan pokok di supermarket, baju koko (baju Islam) dan peci, hingga menyiapkan diri membeli kaset-kaset religius. Bagi mereka, tak lengkap rasanya di bulan Ramadhan dengan melewatkan aktivitas simbolik ini. Maka, yang terjadi adalah konsumtivisme yang dijustifikasi agama.

Padahal, Ramadhan tidak mengajak kita untuk berbelanja aneka kebutuhan yang simbolik, tetapi berbelanja berbagai kebutuhan substansial, seperti kualitas ibadah, perbaikan moral, dan kepedulian terhadap kemiskinan. Inilah yang membuat setiap kali Ramadhan datang, umat Islam kesulitan menangkap nilai-nilai substansial yang diajarkan. Peneguhan identitas sebagai Muslimlah lebih menonjol, sehingga bulan suci Ramadhan lebih diwarnai simbol-simbol keislaman.

Toleransi timbal balik

Dalam kondisi ini, kata kunci yang sering dilupakan dalam memaknai Ramadhan ialah toleransi dan kedamaian. Padahal, nilai toleransi dan kedamaian memiliki kaitan amat erat di bulan Ramadhan. Bukankah Islam di Indonesia ialah agama yang dipeluk mayoritas penduduk. Maka, sebulan penuh di bulan Ramadhan seakan menjadi milik umat Islam. Warnanya seakan menjadi satu, islami.

Karena itu, toleransi sebagai paradigma awal menuju cita-cita kedamaian dan perdamaian menjadi sesuatu yang amat penting, tentang bagaimana kelompok non-Muslim menghargai umat Islam yang berpuasa, sebaliknya umat Islam menghargai non-Muslim yang tidak berpuasa.

Hubungan timbal balik ini merupakan spirit bagi berbagai upaya untuk selalu menghargai dan memelihara kedamaian. Karena itulah, Ramadhan memiliki signifikansi yang jelas dalam upaya memperkuat toleransi dan ikut mendorong terciptanya perdamaian saat gejolak, pertikaian antarkelompok, aliran, dan agama.

Pertikaian atas nama agama, etnik, dan aliran selama ini masih menjadi hantu bagi kita akibat kesalahpahaman, kepentingan, dan kontestasi ideologi. Kini kedamaian seakan tidak dirasakan lagi akibat perilaku manusia yang suka berbuat kerusakan dan pertikaian. Di sinilah, Ramadhan sebagai bulan suci mengajarkan kepada umat Islam agar menahan diri dari kebencian, kedengkian, pertikaian, dan kemungkaran antarsesama manusia. Tentu saja, toleransi timbal balik yang bisa menjembatani aneka perbedaan yang kita rasakan di bulan Ramadhan dalam hubungan antaragama.

Visi perdamaian dalam Ramadhan menuntut kita untuk menghindari sikap permusuhan di antara sesama manusia. Islam sendiri secara otentik bisa dimaknai sebagai agama perdamaian. Karena itulah, pesan substansial dalam ajaran Ramadhan adalah menciptakan perdamaian sejati, bukannya memperbanyak perselisihan, pertikaian, dan peperangan. Hal ini dibuktikan dalam Alquran yang menyebutkan, ibadah puasa yang menjadi ibadah pokok di bulan Ramadhan tidak hanya milik umat Islam, tetapi juga telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu. "Wahai sekalian orang-orang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelummu agar kamu bertakwa" (Qs Al-Baqarah, 183). Di sinilah, puasa diletakkan sebagai ibadah universal, yang secara nyata pernah dipraktikkan agama-agama lain.

Visi perdamaian

Berpijak kepada kondisi inilah, perdamaian yang sejati seharusnya menjadi paradigma fundamental dalam pergaulan antarsesama umat manusia meski berbeda suku, bangsa, dan agama. Sebab, perdamaian merupakan cita-cita bersama umat manusia. Cita-cita ini dapat terwujud jika umat manusia memiliki kesadaran tentang toleransi dan adanya keadilan (kesetaraan) dalam kehidupan sosial.

Meski dalam praktiknya perdamaian di tempat-tempat tertentu sulit diwujudkan, baik yang disebabkan oleh faktor agama, budaya, ekonomi, maupun politik, upaya merajut toleransi tetap menjadi agenda serius dalam upaya mewujudkan perdamaian.

Ajaran puasa di bulan Ramadhan, seperti pernah diungkap Ismail al-Faruqi, adalah latihan terbaik dalam seni mengendalikan diri (the art of self mastery). Artinya, latihan untuk mengendalikan diri ini harus tercermin dalam gerak selanjutnya, bukan sekadar terjadi di bulan Ramadhan. Ajaran puasa—menahan lapar, minum, berhubungan seksual, dan menahan sifat marah, benci dan dengki—adalah sebuah latihan untuk mengendalikan diri dari godaan untuk berbuat yang menimbulkan permusuhan.

Di sinilah, kita dituntut untuk selalu memaknai Ramadhan dalam konteksnya yang paling aktual agar tidak sekadar menjadi ibadah simbolik, tetapi benar-benar substansial, yaitu untuk ibadah dan kedamaian.

Khamami Zada Manajer Program Kajian Agama dan Kebudayaan PP Lakpesdam NU; Pengajar pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta

Dikutip dari Kompas.com Sept.12.2007



Puasa untuk Semua


Abd Rohim Ghazali

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa." Inilah ayat utama dalam Al Quran yang menjadi landasan kewajiban menjalankan puasa Ramadhan.

Menurut Asghar Ali Engineer, makna "orang beriman" tak hanya diidentikkan pemeluk keyakinan agama tertentu. Meski kewajiban puasa yang dimaksud ayat itu ditujukan pada umat Muhammad SAW.

"Puasa," lanjut ayat itu, "juga diwajibkan bagi orang-orang sebelum kamu." Artinya, semua umat sebelum Nabi. Semua Nabi dan Rasul membawa titah puasa, meski tak sama mekanisme dan waktu pelaksanaannya. Maka, puasa tak hanya milik umat Muslim. Puasa milik semua umat.

Dalam konteks itulah, puasa bisa dijadikan momentum untuk merajut kebersamaan antarumat beragama—terutama Islam dan Kristen—yang di banyak tempat, termasuk Indonesia, sering mengalami kesalahpaham, bahkan friksi destruktif bagi perkembangan kedua agama ini.

Puasa syariat dan hakikat

Agama, kata Simmel, seperti dua mata pisau. Satu sisi dapat mempererat solidaritas, di sisi lain dapat menumbuhkan konflik sosial. Solidaritas bisa terbangun bila komunitas manusia ada dalam satu payung agama serta konflik mudah terpicu di antara komunitas berlainan agama. Uniknya, baik solidaritas maupun konflik sering dibangun atas dalil-dalil legitimasi agama.

Puasa merupakan salah satu bentuk peribadatan yang masih menyimpan banyak misteri. Ahli spiritualitas Muslim terkemuka, al-Ghazali (wafat 1111 M) dalam Rahasia Ibadah Puasa membahas, mengapa puasa menyimpan banyak misteri. Melalui Rasulullah SAW, Allah SWT berfirman, Setiap perbuatan baik mendapat pahala sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat, kecuali puasa. Puasa adalah untuk-Ku dan Akulah yang menentukan pahalanya.

Hadis Qudsi ini menunjukkan, di antara keistimewaan puasa, dibandingkan dengan ibadah lain, terletak pada pahala atau implikasi positifnya. Pahala puasa ditentukan oleh Allah dan manusia tidak ikut andil di dalamnya. Dari Hadis Qudsi ini bisa dipahami, mengapa puasa memiliki hikmah yang kaya dan kadang luar biasa, tak mampu dipahami manusia (misteri).

Kapan puasa bisa mendatangkan hikmah yang sesuai harapan manusia? Ketika dijalankan secara baik, secara syariat (dengan meninggalkan makan, minum, merokok, dan koitus dari fajar hingga matahari terbenam) ataupun hakikat (meninggalkan perkataan dan perbuatan tercela).

Secara syariat, puasa bisa dijalankan siapa saja (orang awam) yang kuat menahan lapar dan haus sekitar 12 jam. Namun, secara hakikat, puasa tidak mudah dijalankan. Menurut al-Ghazali, puasa model ini hanya bisa dijalankan pemeluk Islam yang superkhusus (khawasu al-khawas), yakni mereka yang mampu melakukan pendakian spiritual pada tingkat the highest consciousness, yakni kesadaran nurani untuk sampai pada puasa sebagai disclosure; pengalaman akan kehadiran Tuhan dalam dirinya. Ke mana pun engkau hadapkan wajahmu, di situlah wajah Allah... (QS 2:115). Demikian antara lain ayat yang menegaskan "kebersamaan" Allah dan manusia yang mampu beribadah secara hakikat.

Untuk semua

Masalahnya, adakah dampak puasa bagi jalinan kebersamaan antarumat beragama? Puasa yang dijalankan secara hakikat akan menampilkan "wajah" dan "sifat-sifat" Tuhan pada pelakunya. Puasa yang dijalankan "hanya" secara syariat belum tentu sampai pada maqam (tingkat) demikian. Nabi bersabda, "Betapa banyak orang yang menjalankan ibadah puasa, tetapi tidak menghasilkan sesuatu, kecuali lapar dan dahaga." Bisa dipahami, meski di negeri ini mayoritas penduduknya menjalankan puasa, tidak berarti orang baik-baiknya mayoritas juga. Masalahnya, masih banyak orang yang oke berpuasa, tetapi bermaksiat pun oke.

Jika demikian, puasa yang dijalankan secara hakikatlah yang paling memungkinkan membuka peluang bagi terjalinnya semangat kebersamaan. Karena mereka yang menjalankan puasa secara hakiki akan meraup hikmah memancarkan "wajah" dan "sifat-sifat" Tuhan. Salah satu sifat Tuhan, seperti ditegaskan dalam doktrin Islam, adalah rahmatan lil’alamin (rahmat bagi semesta) atau dalam doktrin Kristiani sebagai "penyebar kedamaian dan kesejahteraan di Bumi".

Tuhan Maha Pengasih bagi siapa pun tanpa pilih kasih. Setiap pemeluk agama yang menjalankan agamanya, seyogianya bisa mengaktualisasikan sifat Tuhan itu. Dalam konteks kebersamaan tanpa memandang perbedaan agama. Sifat kasih Tuhan bisa dimanifestasikan dalam bentuk toleransi, saling menghormati, bahkan saling menyayangi.

Inti hikmah puasa adalah upaya manusia untuk menuju kehidupan yang makin sesuai dengan fitrahnya, yakni jati diri yang dikehendaki dan/atau yang sesuai sifat belas kasih Tuhan. Itu sebabnya, mengapa seusai menjalankan ibadah puasa sebulan penuh, umat Islam merayakan Idul Fitri (hari kemenangan bagi kembalinya manusia pada fitrah). Dalam Idul Fitri, umat Islam juga diwajibkan membayar zakat fitrah (sedekah yang harus dikeluarkan sebagai tanda kasih sayang sesama umat). Semakin dekat manusia pada fitrah, semakin ia menyadari adanya kesamaan antarmanusia; semua manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan.

Perbedaan yang ada pada diri manusia hanya atribut lahiriah, yang dalam perspektif keyakinan agama disebut syariat. "Syariat" berasal dari bahasa Arab yang artinya "jalan". Jalan yang ditempuh antara pemeluk agama yang satu dan yang lain bisa saja berbeda. Namun, tujuannya sama, Tuhan. Puasa adalah salah satu jalan menuju Tuhan, siapa pun bisa melakukannya.

Abd Rohim Ghazali Anggota Dewan Penasihat The Indonesian Institute; Direktur Eksekutif The Indonesian Research Institute (TIRI)


Dikutip dari Kompas.com edisi Sept.12.2007


Hisab dan Rukyat


Ichwan

Menjelang awal dan akhir bulan Ramadhan, tema hisab dan rukyat selalu menjadi pusat pembicaraan umat Islam di mana-mana, termasuk di Indonesia.

Hisab adalah metode penentuan awal atau akhir bulan berdasarkan perhitungan astronomi atau ilmu falak. Rukyat adalah metode penentuan awal atau akhir bulan berdasarkan pandangan mata secara langsung.

Posisi Bulan dan Matahari

Perhitungan bulan dalam Islam didasarkan pada posisi relatif Bulan terhadap Matahari jika dilihat dari Bumi (pengertian posisi Bulan dan Matahari dalam tulisan ini akan selalu mengacu asumsi jika dilihat dari Bumi). Awal bulan terjadi saat posisi Bulan secara relatif mulai menjauh dari Matahari, sementara pertengahan bulan atau Bulan purnama terjadi ketika posisi Bulan secara relatif mencapai jarak terjauh dari Matahari sebelum kembali lagi mendekat menuju akhir bulan.

Penentuan awal hari atau pergantian tanggal dilakukan pada saat Matahari terbenam karena pada saat itulah Bulan mulai dapat dilihat secara visual. Demikian juga penentuan awal atau akhir bulan. Menjelang akhir bulan, Bulan sama sekali tidak terlihat secara visual karena posisinya ada di bawah Matahari. Karena itu, jika Bulan mulai terlihat setelah hari sebelumnya tidak terlihat, hal itu menandakan bulan sudah berganti.

Bantuan "software"

Karena periode putaran Bulan mengelilingi Bumi adalah sekitar 29,49 hari, umat Islam selalu melakukan rukyatul hilal (melihat Bulan) pada hari ke 29 dari bulan Hijriah. Jika pada hari ke 29 saat Matahari terbenam Bulan terlihat, saat itu adalah tanggal 1 bulan berikutnya. Sebaliknya, jika Bulan tidak terlihat, tanggal 1 bulan berikutnya adalah esok harinya setelah Matahari terbenam.

Dengan metode hisab, apalagi dengan bantuan software komputer, penentuan awal dan akhir bulan relatif lebih mudah. Dengan bantuan software, hisab tidak lagi cuma hitung-hitungan, tetapi juga dapat dilihat secara visual.

Sebagai gambaran, perhatikan gambar 1 dan gambar 2.

Gambar 1 menunjukkan posisi Bulan dan Matahari pada 16 Mei 2007, beberapa menit menjelang Matahari terbenam di ufuk barat. Di situ dapat dilihat bahwa dengan lebih dulunya Bulan terbenam daripada Matahari menunjukkan bulan yang berjalan (rabi’ul tsani) belum berakhir.

Sementara itu, pada 17 Mei 2007, sebagaimana ditunjukkan gambar 2, posisi Matahari yang lebih dulu terbenam daripada Bulan menunjukkan bulan berjalan sudah berakhir sehingga tanggal 18 Mei 2007 sudah masuk tanggal 1 Jumadil Awal.

Perbedaan posisi Bulan dan Matahari yang jelas, seperti dua gambar itu, umumnya tidak menimbulkan perbedaan dalam penentuan awal bulan, baik dengan metode rukyat maupun metode hisab. Perbedaan mungkin terjadi ketika jarak Bulan dan Matahari amat tipis sehingga, walaupun dengan metode hisab terlihat bahwa Matahari lebih dulu terbenam daripada Bulan, dengan metode rukyat, Bulan amat sulit terlihat.

Kasus yang paling dekat adalah penetapan 1 Syawal 1427 H yang lalu. Dengan bantuan software, dapat dilihat bahwa pada 22 Oktober 2006 menjelang Matahari terbenam, posisi Bulan dan Matahari seperti ditunjukkan gambar 3.

Dari gambar itu terlihat, menurut metode hisab, Matahari lebih dulu terbenam daripada Bulan (dengan selisih waktu sekitar empat menit) sehingga 23 Oktober 2006 sudah masuk 1 Syawal 1427 H. Namun, perbedaan posisi Bulan dan Matahari yang tipis menyulitkan metode rukyat untuk dapat melihat Bulan, baik dengan mata telanjang maupun dengan bantuan teleskop, sehingga mereka yang lebih mengandalkan rukyat berlebaran pada 24 Oktober 2006.

Penentuan Ramadhan

Lalu bagaimana dengan 1 Ramadhan dan 1 Syawal tahun 1428 H yang akan kita jalani?

Inilah perkiraan posisi Bulan dan Matahari (menjelang Matahari terbenam) pada 12 September 2007 dan 11 Oktober 2007 (gambar 4 dan 5).

Dari gambar itu dapat disimpulkan, untuk awal Ramadhan kemungkinan besar tidak akan ada perbedaan antara metode hisab dan rukyat. Tanggal 1 Ramadhan kemungkinan besar jatuh tanggal Masehi yang sama, yaitu 13 September 2007.

Namun, untuk 1 Syawal tampaknya perbedaan posisi Bulan dan Matahari lebih tipis lagi dibandingkan dengan posisi pada 1 Syawal 1427 H tahun lalu. Jika pada tahun lalu selisih waktu terbenamnya Matahari dan Bulan adalah sekitar empat menit, tahun ini diperkirakan selisih itu hanya sekitar dua menit.

Jadi, tampaknya kita harus kembali bersiap-siap untuk shalat Idul Fitri tidak pada hari yang sama tahun ini.

Ichwan Pemerhati Astronomi dikutip dari Kompas.com edisi Sept.12.2007



Agama dan Krisis Bangsa


ZAINAL ALIMUSLIM HIDAYAT

Gembira tetapi tak bahagia. Inilah perasaan kebanyakan umat Muslim menyambut Ramadhan tahun ini. Gembira karena berjumpa lagi dengan bulan yang penuh berkah. Namun sedih saat dihadapkan kesulitan hidup bertubi-tubi.

Puncak krisis ekonomi terjadi 10 tahun lalu. Tetapi masalah fundamental seperti kelangkaan kebutuhan pokok dan energi masih menjadi rutinitas. Pemerintah memang menjamin, stok kebutuhan pokok selama puasa. Tetapi siapa yang menjamin semua bisa menjangkau harganya?

Badai sulit berlalu. Inilah lagu yang terus dinyanyikan rakyat Indonesia hingga kini. Pertanyaannya, di manakah letak agama di tengah aneka krisis yang terus menghimpit?

Pada krisis tahun 1998-1999, agama menjadi tumpuan masyarakat dalam mengurangi derita. Kebalikan dari teori sekularisasi, studi Daniel L Chen menyimpulkan, tekanan ekonomi justru meningkatkan intensitas keagamaan (Club Goods and Group Identity: Evidence from Islamic Resurgence During the Indonesian Financial Crisis, 2004).

Himpitan ekonomi ternyata menstimulasi masyarakat lebih intensif mengikuti studi al Quran (pengajian) dan banyak anak dimasukkan ke sekolah agama. Di sisi lain, kegiatan pengajian menjadi ex post social insurance di mana dalam klub ini masyarakat menumbuhkan solidaritas untuk saling membantu menutup kebutuhan dasar saat didera krisis.

Kompetisi Sekular

Di bulan Ramadhan gairah beragama juga meningkat. Masalahnya, kini tak gampang menjaga kekhusyukan dalam menjalankan puasa dan ibadah lain. Mal-mal bermunculan. Begitupula stasiun televisi dengan siaran 24 jam sehari.

Kini, ritual agama harus berkompetisi dengan banyak hal sekular. Dalam kertas kerja berjudul The Church v.s the Mall: What Happens When Religion Faces Increased Secular Competition?, Gruber dan Hungerman (2006) menunjukkan pengalaman di Amerika Serikat.

Sejak undang-undang yang melarang toko ritel buka pada hari minggu (blue law) dicabut tiga dekade lalu, partisipasi orang yang pergi ke gereja dan donasi yang dikumpulkan merosot. Tak cuma itu, kalangan remaja tak lagi tertarik ikut sunday school.

Mungkinkah Ramadhan mengalami gejala yang sama? Di awal bulan puasa masjid meluap. Namun tak lama, mal-mal lebih ramai dikunjungi orang. Di bulan puasa jumlah pengemis di kota-kota meningkat karena umat Muslim lebih giat bersedekah.

Tetapi mereka juga menjadi beberapa kali lipat lebih konsumtif. Penjualan mobil pada September hingga Oktober diproyeksikan naik 10 persen-15 persen dibanding bulan-bulan sebelumnya (Bisnis Indonesia, 1/9). Nielsen Media Riset mencatat, terlihat spending insidential pada produk-produk telekomunikasi, makanan, minuman, departemen store dan sebagainya, yang mengalami peningkatan dalam beriklan (Cakram, Agustus 2007).

Di negeri ini, berhasil dikumpulkan zamat sekitar Rp 250 milyar per tahun. Padahal potensi paling optimistis sebagaimana dirilis PBB UIN Rp 19 triliun (Eri Sudewo, 2006). Meski agama memiliki instrumen redistribusi kekayaan, tampak belum optimal karena terdesak konsumerisme yang dijajakan iklan.

Homo religius

Adam Smith dalam The Wealth of Nations seperti dikutip Iannaccone (1998) berargumen, self interest motivates clergy just as it does secular producers. Sejak tahun 1970-an ekonom dan sosiolog banyak yang kembali pada pandangan itu. Perilaku religius merupakan bentuk pilihan rasional, baik pada level individu, kelompok, maupun pasar.

Karena itu, derajat keterlibatan dalam aktivitas religius dilakukan dalam rangka memenuhi “kebutuhan" yang dipersepsikan masing-masing. Saudagar membalut jualannya dengan baju agama demi mengeruk laba. Partai politik membangun organisasi sayap keagamaan seraya berharap bisa mendulang suara. Dan pejabat menggelar istighasah serta taubat nasional untuk menenangkan hati rakyat.

Masalah ritual agama yang tak mengubah perilaku, boleh jadi bukan karena ragam ibadah yang menekankan consumption afterlife atau pelaksanaannya terlampau berhitung pahala. Banyak studi di masyarakat Kristen AS menunjukkan sebaliknya di mana orang melaksanakan aktivitas keagamaan berorientasi kini dan di sini. Ironisnya, ke-di sini-an itu terperangkap dan mewujud homo economicus ala Smith yang tak memberi ruang pada kesalihan sosial (atau dalam bahasa politisi, tak ada makan siang gratis).

Agama selalu diharapkan memberi eksternalitas positif dan berkontribusi dalam mengikis aneka krisis. Namun perlu diingat, meski agama berpengaruh, tetapi efeknya tidak seragam di tiap level.

Banyak studi menunjukkan partisipasi keagamaan pada individu bisa menghindarkan dari narkoba, seks pranikah, atau membuat panjang umur seperti mazhab agama yang mengharamkan rokok. Tetapi di negara kita yang konon religius ini, ternyata korupsi tidak bisa diberantas dengan petuah agama saja.

Nabi Muhammad SAW menjelaskan, betapa banyak orang berpuasa tetapi hanya mendapat lapar dan dahaga. Bagi umat Muslim, hikmah Ramadhan harus membekas pada jiwa dan perilaku. Karena itu, mari bermetamorfosa dari sekadar homo economicus menjadi homo religiousus yang rasional dan mengembangkan kesalihan sosial.

ZAINAL ALIMUSLIM HIDAYAT Peneliti di Indonesia Muda Institute; Sedang studi economics of religion

Tuesday, September 11, 2007

Renungan : Menyambut Ramadhan 1428 H

Puasa, Menajamkan Mata Hati

Musa Asy’arie

Menjelang puasa Ramadhan, kita menyaksikan berbagai kegiatan di masyarakat, antara lain penertiban yang dilakukan aparat keamanan, seperti merazia tempat-tempat maksiat dan hiburan malam, karena diharapkan dapat mengantarkan umat Islam menjalani ibadah puasa dengan baik.

Sementara itu, harga-harga kebutuhan sehari-hari bergolak naik, karena biasanya masyarakat menyiapkan makanan dengan menu-menu spesial sehingga terjadi peningkatan permintaan.

Juga ada tradisi keagamaan sebelum puasa, seperti upacara nyadranan, mereka ziarah ke makam orang tua dan leluhur, membersihkan kubur dan berdoa. Selain itu, di berbagai daerah ada tradisi padusan, mandi suci bersama-sama di sungai, di sumber mata air, bahkan di kolam renang untuk membuang kotoran besar dan kecil sebagai bagian dari prosesi menjalani ibadah puasa.

Puasa dan ketakwaan

Kedatangan bulan suci ini menjadi rahmat bagi setiap orang Islam, karena mereka yang menjalani puasa sebulan penuh dengan baik dan ikhlas akan disucikan Tuhan, sehingga pada saat mengakhiri puasanya, mereka akan seperti bayi yang dilahirkan kembali, i’dul fitri, artinya kembali suci. Puasa diwajibkan agar yang menjalaninya menjadi lebih bertakwa.

Dalam tradisi sufi, menjalani puasa dengan menekan hawa nafsu dan menjauhkan kesenangan duniawi dapat membebaskan manusia dari kecenderungan negatif sehingga dapat mencurahkan hatinya hanya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Puncak pendekatan tulus kepada Tuhan adalah pembebasan batin dan pencerahan diri dari segala ikatan duniawi yang negatif.

Karena itu, larangan makan minum dan hubungan intim suami istri pada siang hari, serta larangan berkata-kata kotor, lalu pada malam harinya diikuti banyak zikir, shalat tarawih, dan membaca Al Quran, semua menjadi bagian upaya membangun kesadaran tentang takwa yang benar, yaitu pencerahan untuk membangun kesalihan sosial.

Konsep takwa yang hendak dituju oleh puasa pada hakikatnya adalah munculnya perilaku kesalihan sosial yang makin kuat untuk memperbaiki kehidupan bersama yang lebih baik. Kesalihan sosial inilah yang pada hakikatnya menjadi ukuran utama melihat posisi manusia di hadapan Tuhan. Tuhan tidak melihat manusia dari pakaian, rupa tubuh, jabatan, kedudukan, dan pangkat duniawi yang disandangnya, tetapi amal kesalihannya.

Penajaman mata hati

Dalam perkembangannya, kesalihan sosial dapat dilakukan jika puasa yang dijalankan dapat menajamkan mata hatinya untuk melihat realitas yang benar. Latihan puasa adalah penajaman mata hati. Ketajaman mata hati tidak datang begitu saja, tetapi memerlukan terus proses latihan, untuk membuang semua hal yang menutupi mata hatinya selama ini, seperti kesenangan berlebihan terhadap duniawi, pemujaan terhadap kekuasaan, pamer, bermewah-mewah dengan kekayaan yang tidak ada batasnya.

Di tengah kehidupan bangsa yang dililit berbagai masalah, seperti kemiskinan, pengangguran, konflik kekerasan dan penderitaan di mana-mana, puasa kali ini menjadi amat penting untuk melakukan penajaman mata hati para pemimpin bangsa, sehingga mereka bisa membawa bangsa ini keluar dari kemelut krisis bangsa yang berputar-putar tanpa ujung. Penajaman mata hati membuat kekuasaan punya nyali dan hati nurani. Nyali untuk mengubah secara fundamental kehidupan bangsa dengan kekuatan hati nurani yang dapat melihat realitas dengan benar, tanpa bungkus dan kemasan artifisial.

Jika pada bulan suci ini para pejabat dan pemimpin bangsa melakukan ibadah puasa bersama rakyat di berbagai daerah dengan menggelar berbagai upacara keagamaan dan tradisi, ada baiknya dilepaskan ikatan protokoler yang lebih longgar, sehingga realitas kehidupan masyarakat bisa ditangkap dengan benar untuk mendorong para pejabat dan pemimpin bangsa mempunyai nyali dan hati nurani untuk mengubah kebijakan yang tidak prorakyat.

Jika puasa dapat dilakukan bangsa ini secara benar, untuk meningkatkan ketakwaan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagaimana dipersyaratkan bagi pemilihan para pemimpin dan pejabat negara yang diharuskan beriman dan bertakwa, maka puasa yang dilakukan pasti berbuah peningkatan kesalihan sosial yang makin nyata. Jika tidak, puasa tak akan mengubah apa-apa, bahkan kita hanya mendapat haus dan lapar, tidak ada perubahan dalam kualitas hidup kita bersama.

Jebakan seremonial puasa yang kelihatan marak di mana-mana seharusnya dihindari agar jangan sampai menjadi kemubaziran yang besar, karena berhenti hanya di seremonial terlalu besar ongkosnya, dan tidak ada kaitannya dengan perubahan kualitas hidup bangsa menjadi lebih baik, dan juga bagi usaha peningkatan kesalihan sosial yang amat diperlukan bagi usaha untuk keluar dari krisis bangsa. Kemiskinan, pengangguran, kebodohan, dan juga konflik kekerasan hanya bisa diatasi dengan peningkatan kesalihan sosial masyarakat.

Puasa bukan untuk memuaskan dorongan egoisme spiritual seseorang semata, karena egoisme spiritual yang bersifat pribadi tak akan pernah dapat memonopoli rahmat, berkat, dan ampunan Tuhan yang dijanjikan akan dilimpahkan secara besar-besaran pada bulan suci Ramadhan ini. Puasa sesungguhnya akan bermakna jika kesalihan sosial yang dilahirkannya dapat memperbaiki kualitas berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi penuh rahmat, damai, dan sejahtera. Puasa adalah bagian dari tugas fundamental Islam untuk menjadi rahmatan lil’alamin. Selamat berpuasa!

Musa Asy’arie Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
( Opini Kompas. Sept.11.2007 )



Puasa, Tanda Penyelamatan

Yudi Latif

Apa artinya berpuasa bagi komunitas bangsa dengan mentalitas pecundang? Bukankah sejak awal puasa merupakan tanda kemenangan/keselamatan yang menarik garis pemisah antara yang adil dan yang batil (furqan)?

Ketika Nabi Muhammad berhijrah ke Madinah, Nabi menemukan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Belakangan ia tahu, puasa Yom Kippur itu merupakan cara orang Yahudi memperingati furqan-nya. Nabi pun lantas mengajak para pengikutnya untuk berpuasa pada hari itu.

Beberapa hari setelah kemenangan pasukan Muslim (yang kecil) atas pasukan Quraisy (yang besar) pada perang Badar (9 Ramadhan 624 M), Nabi mewajibkan kaum Muslim berpuasa pada bulan Ramadhan, yang berlaku efektif setahun kemudian. Hal ini bisa diartikan sebagai tanda kaum Muslim memperingati furqan Badar yang monumental.

Penyelamatan dan kemenangan

Jika tradisi berpuasa merupakan tanda furqan, penyelamatan dan kemenangan apakah yang telah dicapai selama ini yang membuat ibadah puasa itu punya kesan dan relevansi kuat dalam kehidupan sekarang dan di sini? Inilah pertanyaan yang selama Ramadhan patut direnungkan. Agar setiap Ramadhan tiba, kita tidak terus dipermalukan defisit amal dan pencapaian, yang membuat ibadah puasa sekadar ritual peringatan (commemorative) yang hampa makna.

"Pandanglah wajahmu setiap waktu di cermin," ujar Imam Ali. "Jika wajahmu bagus, anggaplah ia buruk karena engkau mencorengnya dengan perbuatan buruk. Jika wajahmu buruk, anggaplah memang buruk karena engkau menggabungkan kedua keburukan (buruk rupa dan amal)."

Namun, dalam konteks kehidupan kebangsaan kita hari ini, ada tanda-tanda bahwa orang-orang yang penampilan lahiriahnya tampak buruk justru lebih bisa dibanggakan karena kemampuannya menutupi keburukan dengan amalnya.

Penyelamatan paling heroik dari komponen bangsa selama ini adalah perjuangan kaum papa (mustadhafin) untuk tetap tabah, tolong-menolong, dan giat bekerja di tengah impitan krisis dan ketidakpedulian elite pemimpin. Mereka bertahan hidup dengan menjalankan salah satu prinsip ber-zuhud: Merekalah yang pantas menyambut bulan suci Ramadhan sebagai tanda kemenangan.

Atas kaum elite yang berpesta pora di atas penderitaan rakyat, yang tak mampu menarik batas antara yang adil dan yang batil, bermentalitas pecundang dengan menjual kehormatan negeri secara murah, puasa merupakan momen "bunuh diri". Puasa harus menjadi momen pembakaran egosentrisme dengan jalan ber-zuhud menurut caranya sendiri.

Bagi kedua golongan itu, Al Quran mengajarkan teologi kemenangan lewat furqan Badar yang dirayakan oleh ibadah puasa. Pertama, diizinkan bela diri bagi orang-orang yang terusir dan teraniaya (QS 22: 39). Itu karena sekiranya kejahatan sebagian manusia tidak dicegah oleh sebagian yang lain, "tentulah telah dirobohkan biara-biara, gereja-gereja, sinagoge, dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Tuhan" (QS 22: 40).

Kedua, Tuhan hanya memberi kemenangan sekiranya orang-orang yang diberi kedudukan di muka bumi mau "bershalat" (bertakwa kepada Allah) dan "berzakat" (memajukan kesejahteraan umum), mengembangkan perbuatan baik, dan mencegah perbuatan buruk dengan menegakkan hukum yang adil (QS 22: 41).

Hindari kekerasan

Al Quran juga mengajarkan, kekerasan tidaklah dikehendaki dan jika terpaksa digunakan untuk kepentingan bela diri, hal itu haruslah diakhiri secara segera. Tujuan bela diri tak lain untuk mengembalikan harmoni dan rekonsiliasi, bukan untuk melanggengkan permusuhan. Idealnya, tak perlu bertempur untuk mempertahankan hal-hal luhur.

Perjanjian damai Hudaibiyah (628 M)—dalam situasi ketika kaum Muslim berposisi kuat—mengajarkan, nilai-nilai luhur bisa diaktualisasikan secara lebih produktif dalam situasi damai. Seperti dikatakan Karen Armstong (dengan mengutip Ibnu Ishaq), dalam mengomentari "wujud kemenangan" dari perjanjian Hudaibiyah, "Situai damai menciptakan atmosfer lebih dingin, yang mendorong diskusi antara Muslim dan non-Muslim secara lebih terbuka dan produktif. Dalam situasi demikian, kemenangan bisa dirayakan bersama".

Dengan demikian, kemenangan bisa dicapai jika keadilan ditegakkan, kesejahteraan dikembangkan, ketakwaan dihidupkan, dan kedamaian disuburkan. Ibadah puasa, selain merupakan peringatan atas momen kemenangan, harus juga menjadi momen refleksi dan pelatihan diri untuk meraih kemenangan sejati.

Setiap Ramadhan tiba, kaum Muslim kembali berpuasa. Namun, setiap kali tiba, nyaris tak ada kemenangan dan penyelamatan monumental yang membuat kita bangga merayakannya. Kelihatannya, puasa kita memang sekadar berhenti pada menahan haus dan dahaga. Meski puasa demikian mungkin juga ada manfaatnya, ritus puasa menghendaki lebih dari itu. Ia menghendaki diakhirinya mentalitas pecundang dengan menumbuhkan kembali etos kejuangan. Bahwa agama tidak hanya menjanjikan nirwana di akhirat, tetapi juga harus mewujudkan kebahagiaan di dunia. Barangsiapa tak mampu menghargai dirinya di dunia, tak ada kehormatan baginya di surga!

Yudi Latif Pemikir Kenegaraan dan Keagamaan

Sumber : Opini Kompas Sept.11.2007





Selasa, 11 September 2007, Koran Republika

Puasa dan Solidaritas Sosial


Ian Suherlan
Peneliti Center for Moderate Muslim (CMM)

Kewajiban esensial dalam bulan Ramadhan adalah ibadah puasa. Karena itu, bulan Ramadhan sering disebut bulan puasa. Ibadah puasa ini tidak hanya dibebankan kepada kita, umat Nabi Muhammad SAW, tetapi juga kepada umat-umat terdahulu (QS Al Baqarah [2]: 183). Meski tata cara pelaksanaannya antara satu umat dengan umat Nabi Muhammad SAW mungkin berbeda, namun tujuannya sama, yaitu takwa. Selama ini yang kita rasakan dari puasa hanya lapar dan dahaga (serta menahan hubungan suami istri). Benarkah dari menahan makan dan minum hanya menghasilkan lapar dan dahaga? Tentu saja tidak bermakna jika puasa hanya mendapat lapar dan dahaga.

Puasa disyariatkan dengan target terbinanya insan muttaqien (pribadi takwa). Seruan-seruan kepada takwa ini tidak hanya dalam ibadah puasa, tetapi juga dalam ibadah-ibadah lain bahkan dalam segala aspek muamalah. Pribadi takwa ini memiliki dua dimensi, yakni dimensi internal untuk membentuk pribadi yang saleh (kesalehan individual) dan dimensi eksternal untuk kemaslahatan sesama manusia (kesalehan sosial).

Kesalehan individual
Kesalehan individu merupakan target utama puasa. Seseorang yang berpuasa berarti secara lahir ia telah bertakwa (patuh pada perintah Ilahi). Pelaksanaan ibadah puasa secara langsung mencerminkan ketakwaan. Secara tidak langsung, puasa juga menuntut pelakunya agar senantiasa mengarahkan diri pada nilai-nilai ketakwaan. Dengan demikian, selain pelaksanaan puasa itu sendiri sebagai salah satu bentuk ketakwaan, juga menuntut pelakunya agar mengimplementasikan pesan-pesan yang terkandung dalam puasa, yaitu terjaganya diri dari segala sikap dan tindakan tercela.

Disadari atau tidak, suasana Ramadhan mengondisikan kita untuk meningkatkan pengamalan ajaran agama. Dari bangun tidur hingga tidur lagi, kita disibukkan dengan berbagai ibadah. Tak heran bila setiap kali memasuki bulan Ramadhan, serta-merta kita merasakan adanya perubahan nuansa religius. Berbagai kegiatan keagamaan, seperti pengajian sore menjelang berbuka puasa, kuliah subuh, serta diskusi-diskusi keagamaan lainnya digelar di berbagai tempat.

Media massa elektronika, baik televisi maupun radio tak ketinggalan menyiarkan acara-acara yang tidak hanya berupa 'tontonan' yang hanya enak didengar dan dipandang mata, tetapi juga sekaligus memiliki muatan 'tuntunan'. Begitu pula media cetak, sedikit banyak berubah haluan dengan menyajikan rubrik-rubrik yang sarat nilai religius, khususnya hal-hal yang berkaitan dengan keutamaan ibadah Ramadhan. Kondisi demikian tentu saja mendorong dan mengarahkan kita pada peningkatan ketakwaan.

Nilai yang paling luhur dalam puasa adalah adanya motivasi yang dapat membangkitkan kesadaran keagamaan, sehingga puasa yang dapat membentuk insan muttaqien adalah puasa yang dapat menerapkan nilai-nilai ketakwaan dalam dimensi hidup lainnya. Rasulullah SAW mensinyalir akan banyaknya orang-orang yang berpuasa, tetapi puasanya tidak memiliki nilai apa-apa karena tidak mampu menahan diri dari segala perbuatan tercela. "Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan tindakan jahat, maka Allah tidak membutuhkan dia meninggalkan makan dan minum," (HR Ahmad).

Karena itu, terjaganya kualitas puasa tiada lain adalah menahan diri dari segala ucapan dusta (juga kotor) dan tindakan jahat, termasuk korupsi dan kolusi yang kini tengah menjadi penyakit sosial negeri ini. Begitu pentingnya menjaga kualitas puasa dari segala hal yang mengurangi nilainya, sampai-sampai kita diperintah untuk mengatakan ana shaimun (saya sedang berpuasa) sekalipun kepada orang yang mencaci, menyerang, dan mengajak bertengkar. Penegasan ini tidak berarti harus menyerah dan pasrah atas segala tindakan yang membahayakan diri, tetapi ini menunjukan betapa puasa mengharuskan kita menahan diri dari sikap dan tindakan tercela.

Kesalehan sosial Selain memberikan dorongan pada diri untuk hidup lebih selektif dan hati-hati, puasa juga menuntut pelakunya agar meningkatkan kesalehan sosial sebagai dimensi eksternal puasa. Hal ini dapat diwujudkan dalam bentuk solidaritas sosial kepada mereka yang terbiasa dengan 'lapar dan dahaga' karena kekurangan bahan pangan. Jika sehari-hari kita terbiasa makan dan minum sekenyangnya, dengan menu yang serba mewah, maka ketika merasakan lapar dan dahaga karena puasa, hati harus tergerak untuk lebih peduli kepada fakir miskin yang setiap hari kekurangan. Pengalaman 'lapar dan dahaga' itu harus mendorong kepedulian sosial kepada sesama.

Pembagian sembako yang secara instan dapat dinikmati oleh fakir miskin merupakan salah satu bentuk konkret solidaritas sosial. Acara sahur dan buka bersama yang diselenggarakan setiap Ramadhan, baik oleh para konglomerat atau para selebritis, di mana anak-anak yatim piatu dari panti asuhan atau anak-anak jalanan dikumpulkan untuk makan bersama, merupakan tradisi yang harus dilestarikan. Jika orang-orang yang berkecukupan bahkan berkelebihan sandang, pangan, dan papan kurang peduli terhadap nasib mereka yang serba kurang bahkan tidak punya, tentu saja kehidupan mereka akan semakin sulit.

Kesalehan sosial dalam bentuk solidaritas sosial erat kaitannya dengan kesalehan individual. Apabila secara spiritual puasa telah memberikan pengaruh positif bagi pengamalan ajaran keagamaan, maka rasa kemanusiaannya pun akan besar. Begitu pula sebaliknya, puasa yang tidak memberikan pengaruh apa-apa pada aspek spiritual, maka kepedulian sosialnya pun kecil.

Dalam kondisi masyarakat yang tengah dihimpit berbagai kesulitan ekonomi, puasa memiliki pesan sosial yang sangat luhur. Oleh sebab itu, kini puasa jangan hanya dimaknai sebagai sarana untuk meningkatkan kesalehan diri, tetapi juga sarana untuk meningkatkan kesalehan sosial. Artinya, kesalehan diri dapat mendorong kita untuk membantu sesama. Kini saatnya kita 'mengalihkan' pengaruh puasa: yang semula hanya membimbing kesalehan individual ke peningkatan kesalehan sosial.


Selasa, 11 September 2007 ( Dikutip dari Koran Repubika )

Penetapan Awal Ramadhan Oleh :


Moersjied Qorie Indra
Pengajar Institut Ilmu Alquran (IIQ) Jakarta

Salah satu fenomena sosial-keagamaan yang muncul dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah perbedaan cara dan hasil penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Perbedaan yang terjadi bukan hanya menyangkut persoalan kapan harus meramaikan, memeriahkan, dan mensyukurinya, namun lebih dari itu juga terkait dengan absah-tidaknya suatu peribadatan yang dijalankan seorang Muslim. Oleh karena itulah, persoalan perbedaan penetapan bulan qamariyah dari berbagai segi menjadi problematika, terutama bagi kalangan komunitas Muslim awam.

Lebih jauh, karena perbedaan yang terjadi kerap bersumber dari kelompok/paham keagamaan tertentu, maka perbedaan penetapan penanggalan hijriah juga bisa menjadi faktor pengental proses segmentasi kelompok keagamaan. Keadaan seperti ini tentu saja sangat merugikan umat Islam yang notabene ingin membangun solidaritas dan ukhuwah Islamiyah yang kuat dan mantap.

Dalam diskursus tentang kalender hijriah dikenal istilah hisab urfi dan hisab hakiki. Hisab urfi adalah sistem perhitungan kalender yang didasarkan pada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan secara konvensional. Sistem hisab ini dimulai sejak ditetapkan oleh Khalifah Umar bin Khattab RA (17 H) sebagai acuan untuk menyusun kalender Islam abadi.

Sistem hisab urfi tak ubahnya kalender syamsiyah (miladiyah), bilangan hari pada tiap bulan berjumlah tetap kecuali bulan tertentu pada tahun tertentu jumlahnya lebih panjang satu hari. Oleh karena itu, sistem hisab ini tidak dapat dipergunakan dalam menentukan awal bulan qamariyah untuk pelaksanaan ibadah karena menurut sistem ini umur bulan Sya’ban dan Ramadhan adalah tetap, yaitu 29 hari untuk Sya’ban dan 30 hari untuk Ramadhan. Di antara karya-karya hisab yang menganut teori hisab urfi adalah The Muslim and Christian Calendars karya GSP Freeman Grenvile, Takwim Istilah Hijarah-Masehi 1401-1500 H/1980-2077 M Karya M Khair, dan Almanak Masehi Hijri 1364 H/1945 M – 1429 H/2010 M karya KH Salamun Ibrahim.

Sementara hisab hakiki adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya. Menurut sistem ini untuk tiap bulan tidaklah konstan dan juga tidak beraturan, melainkan tergantung posisi hilal setiap awal bulan. Artinya boleh jadi dua bulan berturut-turut umurnya 29 hari atau 30 hari. Bahkan boleh jadi bergantian seperti menurut hisab urfi. Di Indonesia hisab hakiki dikelompokkan menjadi tiga generasi yaitu, hisab hakiki taqribi, hisab hakiki tahqiqi, dan hakiki kontemporer.

Perbedaan di kalangan ahli hisab pada dasarnya terjadi karena dua hal, yaitu karena bermacam-macamnya sistem dan referensi hisab, dan karena berbeda-bedanya kriteria hasil hisab yang dijadikan pedoman. Para ahli hisab, selain berbeda-beda dalam menggunakan sistem hisab, juga berbeda-beda dalam menggunakan kriteria hasil hisab dalam menetapkan awal bulan qamariyah. Sebagian berpedoman kepada ijtima’ qobla al ghurub, sebagian berpegang pada posisi hilal di atas ufuk.

Sistem rukyah
Untuk menetapkan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, Nahdlatul Ulama berpegang pada tuntunan hadis yang jumlahnya tidak kurang dari 100 hadis. Di antara hadis yang dimaksud adalah, “Janganlah kalian berpuasa sebelum melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka sebelum melihatnya. Maka jika ia tertutup awan bagimu, maka perkirakanlah” (HR Al Bukhari dan Muslim).

Atas dasar hadis-hadis itu, dalam menetapkan awal-awal bulan qamariyah, khususnya awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, NU menggunakan rukyatul hilal fi’li yaitu melihat hilal langsung di lapangan segera setelah matahari terbenam pada hari ke-29 (malam ke-30). Manakala hilal tak berhasil dirukyah, NU menggunakan dasar istikmal yakni menyempurnakan umur bulan menjadi 30 hari.

Penerapan awal bulan qamariyah dengan dasar rukyah ini diambil adalah sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama, diantaranya Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan lain-lain. Di samping itu NU memiliki paradigma bahwa selama dhahir nash itu dapat dilaksanakan, maka tidak perlu ditakwilkan. As-Syafi’i berpendapat bahwa apabila suatu nash memiliki makna dhahir dan batin (takwil), maka pengamalan yang dhahir itu lebih utama

Tidak seluruh kalangan ahli rukyah di Indonesia keadaannya sama seperti masa Rasulullah SAW di mana laporan rukyah dari seorang Muslim diterima tanpa syarat. Kini sebagian ahli rukyah mensyaratkan bahwa hasil rukyah harus selalu sesuai atau didukung oleh hasil hisab. Jika hasil rukyah bertentangan dengan hasil hisab maka hasil rukyah tidak dapat diterima. Di samping itu, para ahli rukyah belum sepakat bulat tentang mathla.

Sejauhmana jangkauan berlakunya hasil rukyah suatu tempat masih menjadi perdebatan. Ada yang menganggap hasil rukyah suatu tempat hanya berlaku untuk satu wilayah hukum (negara) itu sendiri, namun ada juga yang berpendapat bahwa rukyah suatu tempat berlaku untuk seluruh dunia. Untuk kasus hisab dan rukyah Indonesia, dalam keputusan Fatwa MUI No 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah, disebutkan bahwa hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar Indonesia yang mathla’-nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh menteri agama RI.

Pintu ijtihad
Untuk memecahkan masalah-masalah baru di bidang hukum Islam, agama Islam telah memberikan legalitas ijtihad kepada yang memenuhi persyaratannya. Dalam hal ini, Islam memberi toleransi adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad tersebut. Bahkan adanya perbedaan itu, akan membawa rahmat dan kelapangan bagi umat. Prinsip ini selalu dipegang secara konsisten oleh setiap imam mujtahid.

Sebagai produk ijtihad, fikih bersifat swasta (tidak mengikat). Setiap Muslim bebas memilih pendapat mana yang sesuai dengan kondisi dan kemaslahatannya. Hanya, dalam rangka mewujudkan keseragaman dalam amaliah watak, diperlukan campur tangan pemerintah (penguasa) sebagai unifying force. Hal ini untuk menghindari timbulnya percekcokan dan kesimpangsiuran. Sungguh pun demikian, umat Islam tidak wajib patuh manakala pendapat atau ketetapan pemerintah itu membawa pada jalan maksiat atau kekufuran yang nyata. Nabi menegaskan, "Tidak ada kewajiban taat kepada makhluk dalam rangka durhaka (maksiat) kepada Khalik" (HR Ahmad dan Hakim).

Perbedaan yang terjadi dalam penetapan penanggalan hijriah, terutama penetapan awal bulan puasa, Idul Fitri, dan Idul Adha seringkali berdampak sosiologis cukup meresahkan kehidupan beragama masyarakat. Bagi kalangan masyarakat luas, yang sebagian awam tentang masalah hisab dan rukyah, perbedaan menjadi faktor penyebab keraguan akan keabsahan ibadah yang mereka laksanakan. Perbedaan, perselisihan, maupun pertikaian berbasis keagamaan dalam dimensi apapun dapat menjadi faktor peresah masyarakat yang membahayakan integritas bangsa.

Ikhtisar
- Perbedaan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha masih mewarnai dinamika Islam di Indonesia.
- Di antara ahli hisab maupun ahli rukyah sendiri masih terdapat banyak perbedaan.
- Untuk mewadahi adanya perbedaan itu, Islam telah membuka pintu ijtihad.
- Peran pemerintah sangat diperluka agar perbedaan tidak sampai berdampak negatif bagi kehidupan beragama




Selasa, 11 September 2007 ( Suaramerdeka.com ) WACANA

Wasiat Nabi Menjelang RamadanOleh Rozihan

KEHADIRAN Ramadan yang hanya setahun sekali itu disambut gembira oleh umat Islam seluruh dunia. Bulan yang disebut oleh Alquran Surah al Baqarah ayat 185 sebagai bulan petunjuk, bulan yang mengarahkan kehidupan kemanusiaan, bulan yang membedakan antara kebenaran dan kerusakan. Kesemuanya itu direkam dalam Alquran sebagai pesan moral universal yang diturunkan dalam bulan Ramadan.

Ramadan sebagai penghulu segala bulan, dia menyebut dirinya sebagai bulan berkah, bulan yang menjadikan manusia ringan untuk melakukan ibadah, bulan yang tidak hanya meningkatkan produktivitas ibadah,tetapi juga beribadah secara efektif dan cerdas.Keduanya memacu manusia untuk berinvestasi secara sungguh - sungguh dan cerdas dalam beribadah karena berlipat gandanya nilai ibadah pada bulan tersebut.

Konsep pelipatgandaan ibadah pada bulan Ramadan tersebut diperlukan sebuah doktrin yang akurasinya berdimensi spiritual dan mondial. Maka setiap kali mengakhiri bulan Syakban, Rasulullah selalu mengumpulkan para sahabat untuk memberikan ceramah pencerahan. Tradisi Rasulullah itu selayaknya menjadi budaya umat Islam Indonesia melaksanakan pencerahan menjelang Ramadan, atau mengakhiri bulan Syakban.

Dokumen ceramah nabi dalam mengakhiri bulan Syakban dan menjelang Ramadan itu terekam dalam sebuah hadis riwayat Ibnu Khuzaimah yang secara tekstual berbunyi :

"Rasulullah saw pada hari akhir bulan Syakban berceramah di hadapan kami, Maka beliau bersabda;'Wahai manusia kamu akan dinaungi oleh bulan yang besar lagi penuh keberkatan, yaitu bulan yang di dalamya ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan; bulan yang Allah menjadikan bulan untuk berpuasa penuh dan malamnya untuk beribadah sunah. Barang siapa mengerjakan fardlu pada bulan ini pahalanya sama dengan tujuh puluh pada bulan lain. Siapa yang memberi makanan untuk berbuka puasa sekalipun dengan sebutir kurma, pahalanya sama dengan orang yang berpuasa. Dia lah bulan yang permulaannya penuh kasih sayang, pertengahannya ampunan dan berakhir dengan pembebasan dosa.Karena itu perbanyak dengan empat perkara. Dua hal untuk menyenangkan Allah dan dua hal untuk kebutuhan kita sendiri.Dua ucapan untuk Allah itu Asyhadu an laa ilaaha illallah, Astaghfirullah.Dua ucapan untuk kita sendiri yaitu As-alukal jannah, wa'audzubika minan naar.' Barang siapa memberi minum kepada orang yang berpuasa, Allah memberi minum kepadanya yang tidak pernah haus sampai dia masuk surga."( At Targhib II, 217 - 218 )

Memaknai Doa Cerdas

Ibadah efektif dan cerdas (smart pray ) yang ditawarkan pada bulan Ramadan tidak jauh berbeda dengan konsep umur panjang berkaitan dengan hard work dan smart work. Rentang hidup manusia dihitung dengan "umur". Produktivitas manusia bertalian dengan makna positif umur manusia. Orang yang berumur panjang adalah mereka yang berhasil meraih kemakmuran hidup dalam hal harta ,ilmu dan amal. Jadi sekalipun umur manusia panjang, tetapi kalau hidupnya tidak produktif, maka sama halnya dengan umur yang bangkrut atau umur yang pendek.

Jalan berpikir yang demikian ini sejalan dengan konsep "amal jariah" dalam Islam, yaitu amal yang selalu produktif, sekalipun pelakunya telah meninggal dunia, karena mewariskan keturunan yang saleh, harta yang bernilai guna bagi agama dan masyarakat, serta warisan ilmu yang bermanfaat bagi kemanusiaan

Doa cerdas dalam arti ibadah yang efektif dan cerdas jika dihubungkan dengan teori piramida kebutuhan manusia Abraham Maslow, maka semakin tinggi kebutuhan manusia semakin abstrak pula kebutuhannya. Pada tingkat paling bawah , manusia butuh makan dan minum sebagai kebutuhan biologisnya.

Di atas kebutuhan biologis adalah kebutuhan kasih sayang, ketenteraman dan rasa aman. Lebih atas lagi adalah kebutuhan akan perhatian dan pengakuan.Yang tertinggi adalah kebutuhan akan aktualisasi diri yang dalam Islam disebut at takamul al ruhani, yaitu kesempurnaan jiwa manusia.

Doktrin nabi tentang Ramadan sebagai bulan surprise ditawarkan kepada siapa saja, baik dia yang berlumur dosa atau orang - orang yang saleh sekalipun. Ramadan bagaikan jalan tol bagi pengendara mobil, yang dalam waktu relatif singkat dapat memperpendek waktu dan jarak tempuh dibandingkan pengendara di luar jalan tol.

Karena itu nabi berwasiat, ibadah wajib yang dilakukan pada bulan Ramadan nilainya sama dengan tujuh puluh kali pada bulan yang lain. Kita bisa membuat kalkulasi, kalau salat wajib yang kita kerjakan lima kali dalam satu hari di bulan Ramadan, maka nilainya sama salat wajib, maka salat wajib yang kita kerjakan dalam satu bulan Ramadan sama dengan tiga puluh tahun.

Betapa luar biasanya jika kita ber- Ramadan secara benar selama 40 tahun, 1200 tahun, kita berinvestasi di sisi Allah.Tidak berbeda dengan para pendosa, Allah berjanji pada surah az Zumar ayat 53,bahwa Dia akan mengampuni dosa hambanya sekalipun dosa yang dilakukan telah melampaui batas. Maka tidak heran ketika para sahabat itu mengkhayal, andaikata seluruh bulan itu dijadikan Ramadan semuanya.

Melayani Tuhan atau Manusia

Jika seorang yang melayani Tuhan dan kemudian tidak melayani manusia, dia salat sunah, dia bertadarus Alquran di bulan Ramadan, dan i'tikaf, tetapi dia biarkan orang - orang itu menjadi tertindas dan kelaparan, Tuhan pun bertanya kepadanya ; "kamu telah melayani Aku dengan baik, tetapi apa yang kamu bawa untuk Ku ?"

Melayani manusia adalah berkhidmat kepada manusia, dan pengkhidmatan itulah oleh-oleh untuk kekasih kita, Allah yang maha kasih. Cara berkhidmat kepada manusia adalah mencintai manusia.

Belajar untuk mencintai manusia dan melayani manusia. Itulah sebabnya Allah berfirman dalam hadis kudsi "bahwa manusia yang dicintai oleh Allah adalah manusia yang paling banyak melayani manusia" Ramadan menjadi bulan mulia karena banyak manusia yang melayani manusia, sekalipun melayani orang yang berbuka puasa dengan sebutir kurma. (11)

- Drs H Rozihan,S.H,M.Ag, dosen Fakultas Agama Islam Unissula Semarang, peserta Program Doktor Ilmu Hukum Undip Semarang.




> OPINI Pikiran Rakyat Sept.11.2007

Puasa Berdampak pada Kesehatan

Oleh HUSEIN FAUZAN PUTUAMAR

SELAMAT datang Bulan Suci Ramadan. Tidak terasa, rasanya baru kemarin dulu kita berpuasa, salat tarawih, sahur, tadarus, kultumi, pesantren kilat, dan kegiatan spiritual lain. Bahkan ngabuburit, dalam bahasa Cirebon, luru sore, yang biasa dilakukan menjelang magrib pun rasanya baru berlalu, masih segar dan belum lupa dalam ingatan kita.

Padahal, usia kita tidak terasa telah bertambah satu tahun dari Bulan Ramadan tahun kemarin. Walaupun hakikatnya, usia kita telah berkurang satu tahun. Kini, kita bertemu lagi dengan bulan yang penuh berkah, penuh keunggulan, keistimewaan, dan penuh dengan ampunan. Bulan yang di dalamnya terdapat satu malam kemuliaan, Lailatulqodar. Malam itu lebih baik dari seribu bulan (khoerun min alfisyahrin). Seperti ungkapan syair dalam bahasa Cirebon yang berbunyi, "kejemaken ati badan lan fikiran, luwih onjo tikel sewu ning ganjaran".

Saking unggul dan istimewanya Bulan Suci Ramadan, seseorang yang berpuasa pada bulan itu karena iman dan berserah diri hanya kepada Allah SWT, niscaya akan mendapat ampunan terhadap dosa-dosa yang telah lalu. Sungguh luar biasa !

Secara etimologis, puasa atau saum artinya menahan diri dari sesuatu hal atau perkara. Sedangkan pengertian sederhana puasa menurut istilah Agama Islam adalah menahan diri dari kegiatan makan minum dan bercampur suami istri, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Diawali dengan niat yang ikhlas, taat, taqarrub kepada Allah SWT., dan hanya ingin mendapat ridaNya. Yang dalam syair Bahasa Cirebon disebutkan bahwa "hake siam ajar eling awit fajar, teka surup serngenge ya diganjar".

Apabila puasa dilaksanakan dengan penuh kesungguhan, ikhlas, dan hanya ihtisab atau memasrahkan imbalannya hanya kepada Allah, ikhlas, niscaya akan berdampak pada kesehatan jasmani dan rohani yang mengamalkannya.

Sebagai ilustrasi, hikmah puasa terhadap kesehatan jasmani, antara lain dapat mengistirahatkan organ-organ pencernaan manusia. Pada hari-hari biasa atau ketika sedang tidak berpuasa, alat-alat pencernaan bekerja sesuai siklusnya dengan istirahat yang sangat sedikit, bahkan mungkin tidak sama sekali. Padahal sudah selayaknya alat-alat pencernaan itu diistirahatkan.

Ibarat sebuah pabrik, makanan yang kita makan diproses secara kimiawi dan mekanis. Dengan organ tubuh yang serba ajaib mampu melumatkan makanan menjadi suatu sajian yang siap diserap oleh tubuh. Bagaimana makanan diubah menjadi sebuah sajian seperti bubur nan halus, dengan tingkat keasaman tertentu. Selanjutnya, makanan yang telah halus, pada usus kecil diproses, disaring dan diserap menjadi darah, untuk selanjutnya siap diedarkan ke seluruh tubuh.

Menurut para pakar kesehatan, mengolah makanan yang masuk sampai siap untuk diedarkan ke seluruh tubuh, memakan waktu sekitar delapan jam. Empat jam diproses di dalam lambung, dan empat jam lagi di usus kecil. Luar biasa! Bukan waktu yang singkat! Dan itu terjadi terus menerus tiada henti.

Analisis sederhana dapat digambarkan bahwa dalam kondisi di luar Bulan Ramadan atau tidak puasa, sebut saja seseorang makan pagi (sarapan) pada sekitar pukul 06.30 WIB. Itu berarti, makanan akan lumat dan siap diedarkan ke seluruh tubuh delapan jam kemudian, atau persis pada sekitar pukul 14.30. Baru saja selesai memproses makanan sarapan pagi, telah datang makan siang yang biasanya pada sekitar pukul 12.00 atau 13.00. Belum lagi pada rentang waktu antara sarapan pagi sampai makan siang tersebut ada makanan cemilan (snack) yang perlu diproses. Maka sangat boleh jadi pelumatan makanan akan melebihi pukul 14.30. Makanan yang kita santap pada pukul 13.00, akan berakhir dicerna pada pukul 21.00 atau pukul sembilan malam. Maka, makanan yang disantap pada makan malam baru akan berakhir diproses pada pukul empat atau lima subuh. Belum lagi antara makan siang sampai makan malam, masuk makanan kecil (ngemil). Ketika kita bangun pada saat akan melaksanakan salat Subuh, kadang kita langsung minum. Maka proses pun menjadi tanpa putus selama sekitar 24 jam. Begitulah sibuknya alat-alat pencernaan kita. Dan, ini berjalan terus menerus sepanjang hayat.

Namun, lain lagi ceritanya ketika kita melaksanakan ibadah saum. Katakanlah makan Sahur seseorang selesai dilakukan pada sekitar pukul 04.00 menjelang terbit fajar, berarti delapan jam kemudian atau sekitar pukul 12.00, saat salat Duhur tiba, alat pencernaan telah selesai bekerja. Sejak saat itu, atau sekitar enam jam sampai menunggu datangnya makanan yang masuk pada saat berbuka puasa, alat-alat pencernaan mengalami istirahat. Ini berlangsung selama satu bulan dalam Bulan Ramadan.

Sama halnya dengan mesin pabrik, alat pencernaan pun perlu istirahat. Dapat dibayangkan betapa cepat aus dan rusaknya, manakala mesin pada sebuah pabrik setiap waktu berjalan terus menerus tanpa mengenal istirahat. Karena kita yakin, ciptaan Tuhan Allah di muka bumi ini (makhluk) memiliki keterbatasan kemampuan. Fana!

Dengan beristirahat, alat-alat pencernaan menjadi lebih giat dalam mereduksi dan menyerap makanan yang dikonsumsi. Dengan demikian, maka daya serap tubuh terhadap gizi akan semakin menguat. Hal itu sejalan dengan ilmu gizi, yang mengungkapkan bahwa konon pada umumnya orang hanya menyerap gizi sebanyak 35 persen dari gizi makanan yang dikonsumsi. Dengan berpuasa penyerapan gizi dapat mencapai 85 persen. Karena pelumatan makanan dapat berjalan dengan sempurna dari padat menjadi komponen yang sangat amat halus sekali.

Hikmah saum, selain berdampak terhadap kesehatan jasmani, juga sangat bermanfaat bagi kesehatan rohani. Dalam majalah Percikan Iman edisi Oktober 2003 terdapat sebuah tulisan berjudul "Shaum dan Kecerdasan", tulisan itu menyebutkan bahwa sewaktu perut kenyang, banyak darah disalurkan untuk melakukan proses pencernaan. Sehingga mudah terserang kantuk, malas, letih, lesu, dan susah konsentrasi. Dengan demikian, kemampuan berpikir menjadi lemah ! Ketika seseorang menjalankan puasa, volume darah yang digunakan untuk pencernaan dikurangi, dan dipakai untuk kegiatan lain, terutama untuk melayani otak.

Kemasyhuran para ulama, cendekiawan atau para pengarang yang melahirkan karya-karya besar dan bermutu, justru pada Bulan Ramadan. Demikian juga halnya dengan tokoh politik yang berpuasa dalam tahanan sering membuahkan tulisan-tulisan yang sangat berharga seperti yang mulia tokoh spiritual yang juga Pemimpin Revolusi Iran Imam Ayatullah Rohullah Khomeini (almarhum), Buya Hamka (almarhum), dan masih banyak lagi yang lainnya.

Perkembangan terakhir dunia kedokteran jiwa mengungkapkan bahwa saum dapat meningkatkan derajat perasaan atau kecerdasan emosi seseorang, yang biasa disebut dengan istilah Emotional Quotient (EQ). Secara psikologis, manusia tidak cukup hanya diukur atau dinilai dari derajat kecerdasan otak atau Intelligent Quotient (IQ) saja, tetapi perlu diukur juga dari EQ-nya. EQ inilah yang sangat berpengaruh dalam pembentukan sifat-sifat atau kepribadian seseorang, seperti sifat santun, dermawan, sabar, rela berkorban, kasih sayang, kepedulian, dan sebangsanya. Sedangkan IQ berpengaruh pada percaya diri (self confident) dan meningkatnya daya ingat dan daya nalar seseorang.

Kemampuan seseorang dalam mengendalikan diri ketika berpuasa , sangat erat kaitannya dengan meningkatnya EQ seseorang. Misalnya, pada siang bolong, panas terik matahari dan keringnya tenggorokan, serta perut keroncongan, mengapa air yang telah masuk ke mulut ketika kita berwudu untuk melakukan salat tidak diteguk ? Padahal tidak ada seorang pun yang mengetahui bila sepersekian dari air kumur itu ditelan untuk sekadar membasahi keringnya tenggorokan. Begitu juga terhadap makanan dan minuman serta istri yang tersedia di rumah. Mengapa kita tidak makan atau minum atau melakukan hubungan badani dengan istri walaupun itu halal ? Semua itu intinya adalah iman, yang berdampak pada kemampuan pengendalian diri seseorang. Itu merupakan arena pendidikan dan arena pelatihan untuk sabar, disiplin, empati, dermawan dan sebangsanya. Dan itu adalah EQ, yang dalam ungkapan syair Bahasa Cirebon dilukiskan bahwa "sareate siam nutup anggotane, wajib ngeker aja lali pangerane".

Otak adalah titik sentral dalam tubuh untuk berpikir, belajar dan bekerja. Sesuatu yang dihasilkan oleh kecerdasan otak, secara empirik belum dapat dikatakan benar, sebelum dilengkapi dengan kecerdasan rohani atau budi pekerti. Kecakapan otak hanyalah sebatas objek yang nyata, yang dapat diraba dan disaksikan oleh panca indera lahir yang riil dan logis.

Itulah sebabnya, hikmah saum mengajarkan kepada kita bahwa saum dapat menyehatkan jasmani, membangun kepercayaan diri, dan menajamkan mata batin dan intuisi. Dan itu pulalah kiranya apa yang ditulis dalam firmanNya, tujuan perintah puasa atau saum itu adalah menjadi orang yang memiliki derajat takwa (la'allakum tattaquun).

Sebaliknya bila perut selalu penuh, maka seperti dikatakan Luqman Al-Hakim seorang ayah yang namanya diabadikan dalam Alquran pernah memberikan nasihat kepada putranya, "Wahai putraku, bila perutmu penuh, maka pikiranmu akan tidur, kebijaksanaanmu akan kelu, dan anggota tubuh akan malas menjalankan ibadah."

Mungkin ada baiknya, bila menyambut datangnya Bulan Suci Ramadan tahun ini, mari kita luruskan niat, perbanyak amal, hindari hal-hal yang dapat mengurangi keutamaan ibadah saum. Semoga kita dapat menjalankan ibadah saum sebulan penuh, tanpa cela, cacat, dan sebangsanya. Ibadah saum senantiasa kita niati karena Allah. Bukan karena yang lain selain Allah. Sehingga tujuan luhur dan agung sebagai hamba yang muttaqin, yang dicita-citakan, dapat kita raih di kemudian hari. ***

Penulis, staf pengajar pada Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Cirebon, peminat masalah sosial kemasyarakatan, tinggal di Cirebon.