Tuesday, November 27, 2007

Arti Kebahagiaan

[ JALAN MENUJU KEBAHAGIAAN HIDUP ]


[] BEBASKAN HATIMU DARI KEBENCIAN - keep your heart free from hate ]

[] BEBASKAN PIKIRANMU UNTUK KEKHAWATIRAN - free your mind from worry ]

[] HIDUPLAH SEDERHANA - live simply ]

[] BANYAKLAH MEMBERI - give much ]

[] ISILAH HIDUPMU DENGAN CINTA - fill your live with love ]

[] LAKUKAN SESUATU SEPERTI KAMU MENGHARAPKAN ORANG LAIN MELAKUKAN UNTUKMU - do as you would be done by ]




Bilik Sidomulyo 62 - Nop 27.2007

Sunday, November 25, 2007

Halo...halo

Lama nggak ngisi nih....

Alhamdulillah bisa online lagi...

[ Dari bilik kamar sidomulyo 62 ]

Friday, October 12, 2007

Sepercik Rindu untuk Ayah dan Ibu di Akhir Ramadhan

AYAH

Lebaran sudah di depan mata. Terbayang sudah keindahannya. Sholat Ied berjamaah di lapangan dan berkumpul bersama seluruh keluarga adalah moment yang sangat dinantikan.

Kemarin saya pergi ke sebuah mall di Surabaya. Tak seperti hari – hari biasanya. Hari menjelang Lebaran memang selalu penuh sesak dengan manusia. Stand – stand baju, sepatu, sampai stand kue kering berlomba menawarkan ragam diskon untuk menarik pembeli. Mungkin karena terbiasa tinggal di kota kecil yang lowong seperti Sengata, rasanya saya tak betah berlama – lama dalam suasana sesaknya.

Ketika saya terpaksa harus mengantri di kasir, tak sengaja mata saya terpaku pada seorang bapak yang di kelilingi tiga orang anaknya. Di stand sepatu persis di seberang meja kasir tak jauh dari tempat saya berdiri. Tampak si anak merengek – rengek ingin di belikan sesuatu. Seorang menarik bajunya, seorang menarik – narik tangannya, bahkan anaknya yang paling kecil sudah menangis bahkan sampai duduk di lantai. Suara tangisnya yang nyaring, membuat beberapa pasang mata melotot tidak suka. Sadar akan hal itu, segera di rengkuhnya si anak yang menangis di lantai lalu di dekapnya di gendongan. Si bapak nampak sabar menjelaskan kepada anak – anaknya, agar dapat lebih tenang. Mungkin isi kantongnya tak mampu membayar semua permintaan sang anak.

Tiba – tiba saya teringat kenangan masa kanak – kanak dulu. Ketika, saya dan adik – adik yang selalu egois menuntut sesuatu di setiap Lebaran. Bahkan kadang di sertai dengan ancaman dan merajuk tak mau ikut lebaran kalau sampai keinginan beli baju dan sepatu baru tidak di turuti. Astaghfirullah…, ada rasa bersalah yang sangat menyeruak kalbu …

Saya mencoba merasakan apa yang berkecamuk dalam kepala dan hati si Bapak itu. Pastilah ada keinginan untuk meluluskan keinginan sang anak. Membelikan apa yang mereka minta, walaupun harus menepiskan keinginannya sendiri.

Pastilah, perasaan itu pula yang di rasakan oleh Ayah. Beliau rela memakai baju koko yang itu – itu saja bila lebaran tiba. Hanya agar keinginan kami terbayarkan. Menenggelamkan keinginan hatinya hanya demi melihat senyum – senyum lebar kami saat memakai baju dan sepatu baru di hari Lebaran.

Lamunan saya terhenti ketika tiba giliran untuk membayar di kasir. Saya lalu membereskan barang yang saya beli lalu bergegas meninggalkan mall yang penuh sesak tersebut.

Sepanjang perjalanan pulang, rekaman kejadian di mall tadi kembali berputar – putar di kepala. Membuat kerinduan pada papa kembali hadir dalam hati.. Dari beliaulah kami belajar, bagaimana cara mengelola diri dalam Ramadhan. Beliaulah yang membuka mata dan hati kami dengan kunci kesederhanaan.

Sekuntum doa saya bacakan untuk sang Ayah. Ya Allah, ampunilah seluruh dosa – dosa papa. Gantikanlah setiap tetes keringatnya dalam mencari rezeki untuk kami dengan butir – butir pahalaMu. Sayangilah Ayahku, sebagaimana beliau selama ini menyayangi kami anak – anaknya. Rasa rindu yang membuncah membuat butiran airmata deras mengalir di pipi.

Lebaran sebentar lagi. Itu artinya pertemuan dengan Ramadhan penuh berkah tinggal dalam hitungan hari. Tak ada lagi tarawih bersama, tak ada lagi serunya makan sahur dan tak ada lagi nikmatnya berbuka puasa bersama.

Ya Rabb, Semoga sepercik rindu saya pada psang Ayah, sama seperti kerinduan hati untuk dapat kembali lagi bertemu dengan RamadhanMu yang indah dan bersiap diri menyambut hari Kemenangan …

Selamat Idul Fitri, maaf lahir batin Ayahku...


IBU



Seperti tersihir, kita sudah berada pada hari-hari menjelang berakhirnya ramadhan. Shaf-shaf di dalam masjid mulai kelihatan longgar, tidak sepenuh ketika awal ramadhan, kajian-kajian Islam pun hanya dihadiri oleh segelintir orang. Seakan-akan banyak duri tajam yang tersebar sepanjang jalan kemasjid, sedangkan karpet merah nan lembut ketika dipijak membentang sepanjang arah pusat perbelanjaan. Miris!

Namun, ada satu suasana lain ketika memasuki masa-masa berakhirnya ramadhan dengan dijelangnya hari nan bersih, penuh kemenangan bagi mereka yang lulus dalam ramadhan, yaitu Idul Fitri. Suasana hati mulai merindu, padahal ramadhan belum berlalu, berat hati melepaskan dan begitu ingin direngkuh selamanya. Seperti halnya suasana rindu serta membayangkan segala keindahan pada waktu ketika masih kanak-kanak. Rindu pada satu sosok yang selalu setia menemani, memberikan sentuhan sayang, penuh kasih menuntun. Sosok yang selalu tidak bisa lepas dari segala bayangan keindahan mana pun, menyeruak membayangi pelupuk mata. Ibu. Ya, sosok seorang ibu.

Ketika kecil, saya masih mempunyai rekaman, betapa ibu bagaikan seorang yang tiada lelah. Mempersiapkan rumah, menyajikan segala hidangan, menyisihkan sedikit uangnya untuk membelikan pakaian layak pakai pada hari Idul Fitri. Tergopoh-gopoh melayani kerabat dekat maupun yang jauh, yang berdatangan pada hari itu. Dan senyum selalu mengembang di sudut bibirnya, walaupun jelas kelelahan tampak diwajahnya. Indah, mengenang ibu seperti mengenang taman surga yang pernah kita miliki sewaktu kecil. Surga yang ia ciptakan memang penuh pesona. Ibu, tidak hanya berarti bagi kita pada masa kecil, tapi tetap agung, walaupun kita bukanlah lagi anak kecil.

Saya memang sedang membayangkan sosok ibu. Sosok yang sekarang jauh dari tempat keberadaan saya. Sosok yang semakin menua, semakin mengguratkan rasa letih. Saya dan ibu memang semakin dekat ketika masa-masa saya mulai melepaskan diri dari keluarga. Jauh dari ibu dimulai ketika saya mengambil pekerjaan di tempat yang jauh, menikah hingga mempunyai anak pun saya tetap jauh dari keberadaan ibu. Hingga jika lebaran tiba, saya selalu mengusahakan untuk bisa berada di sampingnya. Melebur segala kerinduan kami, melebur segala kisah manis dan indah, hasil kenangan saya dan ibu pada masa kami masih tinggal bersama.


Lalu, saya pun membayangkan banyak sosok anak-anak yang kini berada di panti-panti asuhan. Mata mereka kian basah ketika memasuki akhir ramadhan dan menjelang datangnya Idul Fitri. Dekapan dan ciuman dari ibu yang melahirkan mereka tidak dapat mereka rasakan. Meluapnya kegembiraan sebagian orang dalam menyambut hari kemenangan itu, hanya bisa membuat mereka menerawang, merindukan ibu, yang kedua telapak tangannya tidak dapat mereka cium mesra.

Pada hari-hari terakhir ramadhan ini, banyak hal yang ingin kita tarik ulang. Tetap bisa bertemu pada bulan suci ini, menjadi orang yang istiqomah, bertaqwa dengan selalu berbakti kepada orang tua, terutama pada sosok seorang ibu. Pada setiap akhir ramadhan, banyak hal yang harus bisa kita jadikan hikmah dan pembelajaran, dengan semakin bisa membuat kita menjadi umat yang ikhlas. Ikhlas dalam menjalani hidup, ikhlas menyayangi ibu, ikhlas dalam mengayomi ibu yang semakin tua, ikhlas pada kepergian sosok ibu jika kelak tiba masanya.

Semoga, kita bisa menjadikan akhir-akhir ramadhan ini sebuah prestasi yang kelak akan dapat mengangkat derajat kita di mata Sang Pemilik Kehidupan. Insya Allah.

Ibu, …
Pada akhir-akhir ramadhan Rindu membuncah akan indahnya bulan ini ingin selalu khidmat didalamnya Seperti rindu pada dirimu Ingin selalu dekat di sampingmu

Selamat Idul Fitri Ibu, Mohon maaf lahir dan batin

Sumber : artikel eramuslis.com dengan perubahan disana-sini

Ketupat Lebaran , Menjalin Persaudaraan

Tanpa ketupat, lebaran terasa kurang afdhol. Mungkin itu yang dirasakan oleh sebagian orang di kampung saya. Ketupat memang sudah menjadi salah satu ciri khas lebaran.

Satu atau dua hari menjelang lebaran, para keluarga sudah banyak yang mulai mempersiapkan masakan yang satu ini. Mulai dari membeli atau menganyam kulit ketupat sendiri, memasukan beras ke dalamnya, tak ketinggalan sayur dan semur daging sebagai lauk yang menemani ketupat tat kala disantap. Hari puasa terakhir, kami berbuka dengan ketupat buatan ibu di rumah.

Beberapa hari menjelang lebaran, saya melihat beberapa orang membawa satu ikat daun kelapa muda. Daun kelapa yang berwarna kuning itu kemungkinan besar akan dianyam menjadi kulit ketupat, untuk selanjutnya digunakan sendiri atau dijual kembali. Hasilnya mungkin lumayan untuk menambah pemasukan.

Dalam perjalanan ke kantor, saya melihat seorang ibu sedang asyik menganyam daun kelapa menjadi kulit ketupat ditemani anaknya yang masih balita yang juga asyik bermain dengan daun kelapa maupun dengan kulit ketupat yang sudah jadi. Di samping ibu tersebut, terlihat sang suami yang sedang menunggui usahanya, tambal ban, menanti kedatangan pelanggan. Di hadapan ibu tadi, ada sebuah meja kecil. Di atasnya terlihat beberapa puluh kulit ketupat yang sudah jadi dan siap untuk dijual.

Membuat kulit ketupat dengan menganyam daun kelapa bukanlah keahlian saya. Ketika pernah diajari membuatnya, jari-jari tangan saya terasa kaku. Di rumah, ibu juga tak pernah membuatnya sendiri. Mungkin lebih praktis bila membeli yang memang sudah jadi. Tinggal mengencangkan kulit yang masih longgar, lalu diisi beras, kemudian direbus, dan ditunggu hingga matang.

Di setiap lebaran, tali silaturahmi kembali dirajut bak anyaman daun kelapa membentuk ketupat. Bagian-bagian yang masih longgar dikuatkan agar menjadi rapat, sehingga beras yang dimasukkan tidak keluar. Hubungan antar kerabat, tetangga, atau pun sahabat yang mungkin agak longgar, di hari lebaran kembali disambung. Satu sama lain saling mengunjungi dan bertandang ke rumah secara bergantian untuk menyambung rasa. Limpahan rahmat pun berkumpul di dalamnya. Semoga.

Menebar senyuman saat berpapasan. Saling bersalam-salaman saat berjumpa. Memohon maaf atas segala kesalahan yang terjadi. Memperbaiki keadaan di masa lalu. Dan memuainya dari hari ini yang fitri.

Bagi kerabat, tetangga, atau sahabat yang rumahnya tidak berjauhan, sangat mudah untuk mengunjungi mereka. Sedangkan untuk bersilaturhami ke kampung halaman, ke kediaman kawan serta sahabat yang cukup jauh dan membutuhkan biaya yang cukup besar, tidak semua orang bisa melakukannya. Alternatif lain pun menjadi pilihan. Menggunakan teelpon, mengirim bingkisan, kartu ucapan, email, atau sms, kiranya bisa dilakukan. Yang terpenting, di balik semua itu, hati masih terjalin, meski raga berpisah jauh.

Sebuah SMS saya terima dari seorang kawan...

Jika hati sejernih air jangan biarkan ia keruh
jika hati seputih awan jangan biarkan ia mendung
jika hati seindah bulan hiasi ia dengan iman
selamat hari raya idul fitri, mohon maaf lahir batin

Taqobbalallaahu minnaa wa minkum.

Ditulis oleh Rifki dari Eramuslim.com

Thursday, October 11, 2007




Rabu, 10 Oktober 2007 harian Republika

Makna Idul Fitri

Oleh :


Nur Faizin Muhith
Mahasiswa Pascasarjana Departemen Tafsir dan Ilmu-ilmu Alquran Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir

Lepas dari kemungkinan adanya perbedaan dalam menentukan Hari Raya Idul Fitri, yang jelas, seluruh umat Islam di dunia ini akan segera merayakan hari yang biasa dianggap 'kemenangan' tersebut. Perayaan rutin setiap tahun ini menjadi momen sangat penting setelah berpuasa selama sebulan pada bulan Ramadhan. Seluruh umat Islam merayakannya dengan suka dan cita, tak berbeda yang rajin puasa maupun yang hanya alakadarnya.

Sebagaimana sudah maklum, selain Hari Raya Idul Fitri, umat Islam juga punya Hari Raya Idul Adha pada 10 Dzulhijjah. Dalam literatur-literatur Islam klasik, hari raya ini disebut Idul Akbar (hari raya besar), sementara Idul Fitri hanya disebut sebagai Idul Ashgar (hari raya kecil).. Sebagaimana hari-hari besar lain, Idul Fitri tentu memiliki makna umum sebagai hari libur nasional sekaligus makna khusus yang dirasakan umat Islam. Paling tidak, Idul Fitri dianggap sebagai hari kemenangan mengalahkan hawa nafsu dengan berpuasa sebulan penuh.

Erat kaitannya dengan Hari Raya Idul Fitri adalah zakat fitrah yang wajib dikeluarkan setiap individu Muslim. Kalimat kedua dari dua terma ini (Idul Fitri dan zakat fitrah) adalah kalimat yang berasal dari bahasa Arab fithrah yang berarti natural atau dalam bahasa Indonesianya biasa diterjemahkan sebagai segala sesuatu yang suci, bersifat asal, atau pembawaan (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 1997)..

Sisi etimologis
Idul Fitri terdiri dari dua kata. Pertama, kata 'id yang dalam bahasa Arab bermakna `kembali', dari asal kata 'ada. Ini menunjukkan bahwa Hari Raya Idul Fitri ini selalu berulang dan kembali datang setiap tahun. Ada juga yang mengatakan diambil dari kata 'adah yang berarti kebiasaan, yang bermakna bahwa umat Islam sudah biasa pada tanggal 1 Syawal selalu merayakannya (Ibnu Mandlur, Lisaanul Arab).

Dalam Alquran diceritakan, ketika para pengikut Nabi Isa tersesat, mereka pernah berniat mengadakan 'id (hari raya atau pesta) dan meminta kepada Nabi Isa agar Allah SWT menurunkan hidangan mewah dari langit (lihat QS Al Maidah 112-114). Mungkin sejak masa itulah budaya hari raya sangat identik dengan makan-makan dan minum-minum yang serba mewah. Dan ternyata Allah SWT pun mengkabulkan permintaan mereka lalu menurunkan makanan.(QS Al-Maidah: 115).

Jadi, tidak salah dalam pesta Hari Raya Idul Fitri masa sekarang juga dirayakan dengan menghidangkan makanan dan minuman mewah yang lain dari hari-hari biasa. Dalam hari raya tak ada larangan menyediakan makanan, minuman, dan pakaian baru selama tidak berlebihan dan tidak melanggar larangan. Apalagi bila disediakan untuk yang membutuhkan.

Abdur Rahman Al Midani dalam bukunya Ash-Shiyam Wa Ramadhân Fil Kitab Was Sunnah (Damaskus), menjelaskan beberapa etika merayakan Idul Fitri. Di antaranya di situ tertulis bahwa untuk merayakan Idul Fitri umat Islam perlu makan secukupnya sebelum berangka ke tempat shalat Id, memakai pakaian yang paling bagus, saling mengucapkan selamat dan doa semoga Allah SWT menerima puasanya, dan memperbanyak bacaan takbir. Kata yang kedua adalah Fitri. Fitri atau fitrah dalam bahasa Arab berasal dari kata fathara yang berarti membedah atau membelah, bila dihubungkan dengan puasa maka ia mengandung makna `berbuka puasa'

(ifthaar). Kembali kepada fitrah ada kalanya ditafsirkan kembali kepada keadaan normal, kehidupan manusia yang memenuhi kehidupan jasmani dan ruhaninya secara seimbang. Sementara kata fithrah sendiri bermakna `yang mula-mula diciptakan Allah SWT` (Dawam Raharjo, Ensiklopedi Alquran: hlm 40, 2002). Berkaitan dengan fitrah manusia, Allah SWT berfirman dalam Alquran: "Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu?.

Mereka menjawab:"Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. (QS. Al A`râf: 172)." Ayat ini menjelaskan bahwa seluruh manusia pada firtahnya mempunya ikatan primordial yang berupa pengakuan terhadap ketuhanan Allah SWT. Dalam hadis, Rasulallah SAW juga mempertegas dengan sabdanya: "Setiap anak Adam dilahirkan dalam keadaan fitrah: kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi (HR. Bukhari)." Hadits ini memperjelas kesaksian atau pengakuan seluruh manusia yang disebutkan Alquran di atas.

Sisi terminologi
Kendati dalam literatur-literatur Islam klasik, Idul Fitri disebut sebagai Idul Ashgar (hari raya yang kecil) sementara Idul Adhha adalah Idul Akbar (hari raya yang besar), umat Islam di Tanah Air selalu terlihat lebih semarak merayakan Idul Fitri dibandingkan hari-hari besar lainnya, bahkan hari raya Idul Adha sekalipun. Momen Idul Fitri dirayakan dengan aneka ragam acara, dimulai dengan shalat Id berjamaah di lapangan terbuka hingga halal bi halal antarkeluarga yang kadang memanjang hingga akhir bulan Syawal.

Dalam terminologi Islam, Idul Fitri secara sederhana adalah hari raya yang datang berulang kali setiap tanggal 1 Syawal yang menandai puasa telah selesai dan kembali diperbolehkan makan minum di siang hari. Artinya, kata fitri disitu diartikan `berbuka atau berhenti puasa` yang identik dengan makan-makan dan minum-minum. Maka tidak salah apabila Idul Fitri pun disambut dengan pesta makan-makan dan minum-minum mewah yang tak jarang terkesan diada-adakan oleh sebagian keluarga.

Terminologi Idul Fitri seperti ini harus dijauhi dan dibenahi, sebab selain kurang mengekspresikan makna Idul Fitri sendiri, juga terdapat makna yang lebih mendalam lagi. Idul Fitri seharusnya dimaknai sebagai `kepulangan seseorang kepada fitrah asalnya yang suci` sebagaimana ia baru saja dilahirkan dari rahim ibu. Secara metafor, kelahiran kembali ini berarti seorang Muslim yang selama sebulan melewati Ramadhan dengan puasa, qiyam, dan segala ragam ibadahnya harus mampu kembali berislam, tanpa benci, iri, dengki, serta bersih dari segala dosa dan kemaksiatan.

Idul Fitri berarti kembali pada naluri kemanusian yang murni, kembali pada keberagamaan yang lurus, dan kembali dari seluruh praktik busuk yang bertentangan dengan jiwa manusia yang masih suci. Kembali dari segala kepentingan duniawi yang tidak islami. Inilah makna Idul Fitri yang asli.

Adalah kesalahan besar apabila Idul Fitri dimaknai dengan `perayaan kembalinya kebebasan makan dan minum` sehingga yang tadinya dilarang makan siang, setelah hadirnya Idul Fitri akan balas dendam., atau dimaknai sebagai kembalinya kebebasan berbuat maksiat yang tadinya dilarang dan ditinggalkan. Kemudian, karena Ramadhan sudah usai maka kemaksiatan kembali ramai-ramai digalakkan. Ringkasnya, kesalahan itu pada akhirnya menimbulkan sebuah fenomena umat yang saleh musiman, bukan umat yang berupaya mempertahankan kefitrian dan nilai ketakwaan.

Ikhtisar
- Idul fitri merupakan momentum terbaik bagi setiap manusia untuk kembali ke fitrahnya sebagai makhluk yang suci dan terampuni dosanya.
- Cuma, saat ini masih banyak kalangan yang mengartikan Idul Fitri hanya sebagai hari terbebasnya manusia dari kewajiban berpuasa.
- Ada juga kalangan yang menjadikan Idul Fitri sebagai hari pamer kemewahan.
- Mereka yang keliru memaknai Idul Fitri hanya akan menjadi manusia yang saleh secara musiman.



Rabu, 10 Oktober 2007 harian Republika

Ramadhan, Mudik, dan Jati Diri
Oleh :


Deni Al Asy'ari
Ketua Bidang Hikmah Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Mahasiswa Program Pascasarjana UGM

Menjelang perayaan Hari Raya Idul Fitri, sudut-sudut terminal, bandara, stasiun, dan pelabuhan sudah mulai disesaki pemudik. Suasana yang begitu sesak dan padat seakan-akan tidak menjadi soal bagi mereka yang betul-betul ingin kembali ke kampung halamannya. Barangkali sudah setahun bahkan bertahun-tahun mereka meninggalkan tanah kelahirannya dan berjuang di tengah kompleksitas persoalan yang ada di kota-kota besar. Seakan-akan dalam konteks ini mudik menjadi obat bagi kepenatan selama mereka berjuang di perantauan. Oleh karenanya istilah mudik, menjadi amat ppuler menjelang Idul Ftri seperti sekarang ini.

Mudik sebagai perilaku sosial, sekilas tampak sebagai sebuah euforia publik dalam mencapai keberhasilan ekonomi di perantauan. Sehingga pulang kampung menjadi pertanda bagi dirinya akan sebuah kesuksesan. Begitu pula halnya bagi penilaian masyarakat di kampung halaman, mereka yang pulang dari tanah rantau, cenderung dinilai sebagai seseorang yang sukses dalam mencari rezeki. Akan berbeda dengan sebaliknya, mereka yang tidak mudik atau tidak pulang ke kampung halaman di Hari Raya Idul Fitri akan dianggap gagal dalam merantau.

Penilaian umum masyarakat yang demikian tentunya tidak sepenuhnya betul, sebab mudik bukan saja semata-mata persoalan ekonomi, melainkan jauh dari itu adalah juga menyangkut persoalaan spiritual. Banyak dari mereka yang kadangkala pulang ke kampung halaman tanpa bekal, bahkan jikalau membawa sesuatu yang bersifat finansial, mereka lazimnya berupaya dengan cara menggadaikan barang-barang berharga mereka atau membuat pinjaman di perantauan. Maka sangat kurang tepat jika mudik dimaknai semata-mata sebagai bentuk keberhasilan seseorang dalam memperoleh ekonomi.

Apalagi sebagaimana yang kita sadari saat ini, merantau bukanlah sesuatu yang gampang dan mudah, sebab di tengah merosotnya ekonomi bangsa dan kecilnya kesempatan kerja, banyak masyarakat yang melakukan proses urbanisasi atau berpindah ke kota-kota besar demi mempertahankan kehidupan mereka. Jika kita melihat di kota-kota besar, tidak jarang terlihat mereka yang berasal dari kampung halaman untuk mencari nafkah tanpa memiliki pekerjaan tetap. Mereka harus rela diusir dan dipukuli oleh aparat pemerintahan setempat lantaran dianggap mengotori atau merusak keindahan kota.

Keberadaan mereka di kota-kota besar tidak ubahnya sebagai problem sosial yang selalu 'dipingpong' oleh kekuasaan yang ada. Mereka yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga misalnya, harus rela bertahan hidup dengan gaji pas-pasan serta risiko kerja yang kadang kala kurang memanusiakan. Begitu pula bagi mereka yang bekerja di sektor informal seperti pedagang kaki lima, juga harus berjuang mati-matian melawan buasnya pusat-pusat perbelanjaan besar dan supermaket yang secara perlahan-lahan cenderung mematikan usaha kecil mereka. Oleh karena demikian, merantau sebagaimana yang dimaknai oleh masyarakat selama ini tidaklah tepat jika diartikan selalu dengan kesuksesan.

Maka ketika banyak masyarakat di Hari Raya Idul Fitri pulang ke kampung halamannya, sebenarya lebih sebagai bentuk upaya pencarian jati diri mereka yang sesungguhnya. Sebab ketika berada di kota-kota besar, eksistensi mereka sebagai seorang manusia tidak ubahnya seperti sekrup dalam mesin yang tidak diperhitungkan. Sementara di kampung halaman, mereka biasanya adalah orang-orang yang diperhitungkan, dibutuhkan, dan dimanusiakan layaknya bagian dari komunitas sosial tertentu.

Kekejaman tanah rantau inilah yang menghilangkan jati diri mereka sebagaimana manusia seutuhnya. Maka ketika banyak orang untuk mudik ke ke kampung halaman, mereka tidak lepas dari keinginan untuk menemukan kembali kedirian mereka yang hakiki. Kerinduan terhadap kedirian hakiki inilah yang dalam Islam disebut sebagai sebuah sunnatulah.

Di kampung halaman tentunya mereka akan bisa merasakan dan tahu tentang dirinya, walaupun mereka di kampung halaman hanya makan dengan lauk seadannya, dan fasilitas publik yang minim. Dengan berkumpul bersama keluarga, saudara dan sanak famili, mereka akan bisa menyadari dan merasakan bahwa dirinya memang ada dan fungsional. Jadi sangat gagal bagi seseorang yang mudik, jika mereka lupa akan hakikat kediriannya selama ini.

Hakikat Ramadhan
Begitu pula halnya dengan bulan Ramadhan yang datang satu kali dalam satu tahun, kehadirannya merupakan sarana bagi manusia untuk menemukan hakikat kedirian sebagai seorang hamba Allah. Sebab selama 11 bulan penuh, manusia disibukkan dengan berbagai aktivitas sosial. Kadangkala manusia lupa akan hakikat kediriannya sebagai seorang hamba Allah. Seakan-akan manusia hidup dengan kemampuannya semata, prilaku sombong, takabur begitu mudah muncul di antara sesama kita. Bahkan solidraitas sosial demi sebuah kepentingan tertentu menjadi terabaikan. Secara diam-diam kita dengan mudah melupakan Sang Pencipta yang mengatur alam dan segala isinya.

Keserakahan, kesombongan, dan sikap saling menjatuhkan sesama manusia inilah yang menghilangkan kedirian kita sesuangguhnya, sehingga hubungan kita dengan Tuhan semakin minim. Jadi melalui ibadah Ramdhan inilah manusia bisa kembali untuk merenungkan dan menemukan kembali hakikat kediriannya yang hakiki. Di tengah kompelskitas persoalan yang dihadapi, Ramdhan membawa manusia untuk lebih tenang, sejuk, dan teduh untuk berikipir tentang eksistensi diri kita sesungguhnya.

Maka ketika Ramadhan menjadi sarana bagi pencarian hakikat kedirian kita sesungguhnya, tentu akan rugilah mereka yang diberi kesempatan lebih untuk kembali pada hakikat yang sebenarnya, namun melupakannya. Untuk itu, sebagai kata penutup, mudik dan Ramadhan pada dasarnya merupakan sebuah sarana yang bertujuan sama untuk menemukan hakikat kedirian seorang manusia. Bedanya jika mudik untuk menemukan hakikat kedirian seseorang dalam berhubungan dengan manusia, sedangkan Ramadhan, sebagai sarana untuk menemukan hakikat kedirian manusia dalam berhubunan dengan Tuhannya.


Kamis, 11 Oktober 2007 harian Republika

Kembali ke Fitri

Oleh : KH Ma'ruf Amin


Apa yang sudah kita peroleh dalam bulan Ramadhan ini, harus bisa kita pertahankan. Misalnya, ibadah puasa mengajarkan kepada kita kejujuran. Orang puasa tidak pernah mau minum, walaupun tidak ada orang yang tahu kalau dia tidak berpuasa. Karena mempertahankan kejujuran, maka dia tidak mau melakukan itu.

Puasa juga mengajarkan seseorang menjadi sabar. Orang selalu berusaha untuk menahan diri mulai pagi sampai terbenam matahari. Puasa juga mendidik kita untuk menjadi orang yang patuh. Artinya, tidak mau mencederai apa-apa yang menjadi peraturan. Kepatuhan itu menjadi hal yang penting.

Puasa juga mendidik kita untuk menjadi orang yang dermawan. Karena, orang yang berpuasa ikut merasakan bagaimana sulitnya lapar dan haus. Orang yang merasakan, lebih menghayati daripada sekadar melihat apalagi mendengar. Nah, sikap-sikap terpuji ini --yang sebenarnya sifat-sifat yang fitrah-- harus kita miliki setelah ibadah puasa kita laksanakan selama sebulan penuh. Karena itu, kita kembali ke fitrah, kembali kepada kebaikan, dan memiliki sifat-sifat terpuji.

Karena itu, intinya, akhir dari ibadah puasa adalah al'audah ilal fitrah (kembali kepada fitrah). Kalau tidak kembali ke fitrah, berarti puasa kita tidak berhasil. Sesudah kita kembali kepada fitrah, maka kita harus mampu mempertahankan kefitrahan yaitu sikap istiqamah. Istiqamah ini harus kita jaga. Dan, menjaga istiqamah paling sulit karena memang godaannya cukup besar, pengaruhnya cukup besar. Walaupun di dalam agama boleh kembali --bila seseorang melakukan kesalahan ia boleh kembali-- tapi kita justru harus mempertahankan posisi yang sudah fitri.

Sikap-sikap fitri seperti kejujuran, sabar, derma, dan kebaikan lainnya harus tetap ada pada diri seorang Muslim setelah Ramadhan berakhir. Sikap-sikap itu harus kita pertahankan dan kita jadikan perilaku. Dan, yang terpenting dari itu adalah mempertahankan sikap-sikap baik itu dalam kehidupan sehari-sehari setelah Ramadhan. Ringkasnya, al-'audah wal istiqamah (kembali dan konsisten).


inggu, 07 Oktober 2007 harian Republika

Menjadi Wisudawan Ramadhan

Oleh : KH A Hasyim Muzadi


Setahun sekali Allah SWT menggelar ujian akhir dengan peserta miliaran manusia. Waktunya hanya di bulan Ramadhan. Di luar Ramadhan, tidak masuk kategori ujian wajib. Pesertanya berasal dari semua negara yang ada di bentangan bumi ini dan hanya diikuti oleh mereka yang sudah cukup umur.

Ujian dilangsungkan dengan tingkat fairness sangat tinggi sehingga karenanya seluruh bentuk pertanggungjawaban langsung ada di tangan Allah. Begitu fair-nya ujian ini, maka bagi mereka yang kurang sehat secara fisik, habis melahirkan, melakukan perjalanan jauh atau karena usia senja, diperkenankan menikmati rukhsoh alias kompensasi khusus untuk tidak menjadi peserta ujian kolosal. Bahkan, bagi yang secara fisik sehat tetapi secara psikisnya, kesehatannya kurang memadai, juga tak memiliki kewajiban mengikuti ujian mahadahsyat ini.

Ketatkah proses menjalani ujian ini? Tentu saja. Hatta para malaikat pun serta para bidadari di surga tidak boleh ikut campur, tetapi secara khusus turun ke langit dunia sepanjang ujian ini digelar, untuk menyertai para hamba Allah yang tengah berjuang keras agar bisa lulus dari serangkaian bentuk soal dalam ujian.

Dengan untaian doa para malaikat serta munajat para bidadari serta para anbiya, syuhada, dan shalihin di dunia lain, para peserta ujian seperti tengah berjuang sendiri-sendiri menuju kampung halaman abadi mereka. Sebuah maraton yang teramat panjang dengan tujuan sama; penyucian diri untuk menapak kehidupan masa depan yang jauh lebih berat dan lebih ''kejam''. Manusia para pengikut Baginda Rasul Muhammad, bukanlah yang terkuat di antara umat manusia yang pernah lahir di bumi ini, karena ummat nabi terdahulu secara fisik jauh lebih kuat.

Maka untuk, minimal, menyamai perolehan ''koin'' kesuksesan sebagaimana mungkin dilakukan oleh umat terdauhulu --kepada mereka juga diwajibkan ujian serupa-- maka Allah SWT sebagai Penguji Tunggal menerbitkan bislit khusus dengan memberikan malam laylatul qadr bagi mereka pengikut Baginda Rasul yang sukses menempuh ujian ini. Sekali sukses, maka bagi mereka sebanyak poin seribu bulan berada di genggaman. Bahkan, soal-soal yang berstatus sunah, poinnya disamakan dengan poin-poin soal fardhu. Sedangkan yang sukses menjalankan soal-soal fardhu, poinnya malah dilipat-lipat sampai tak mampu kita menghitungnya. Inilah kemudahan yang bisa diperoleh umat Muhammad.

Maka sungguh beruntung, karena para malaikat, bidadari, anbiya, syuhada dan shalihin selalu mengaminkan semua yang para peserta ujian mohonkan kepada Allah SWT. Adakah kita di antara para peserta ujian tersebut? Benar. Kita semua sebagai umat Muhammad. Begitu beratnya ujian ini, sampai-sampai Baginda Rasul meninggalkan jejak khusus agar umatnya menyelesaikan soal-soal ujian ini sebagaimana pernah Baginda Rasul sendiri menjalankannya dulu. Diikuti para sahabat terdekat Rasul yang dengan mudah melakukan itu semua karena faktor kedetakan mereka secara ruang dan waktu kepada era keemasan Baginda Rasul. Lantas, bisakah kita sukses sebagaimana para sahabat menangguk poin-poin sukses di ujian ini?

Sesuai dengan janji-Nya dan janji Baginda Rasul, bila kita mengikuti jejak-jejak Sang Rasul, maka kita bukan saja disebut sebagai para sahabat Rasul tetapi status kita mungkin lebih ''wah''. Kita akan disebut sebagai para ''saudara'' Baginda. Bukankah sebutan ini lebih menyentuh hati dibanding sebutan sebagai sahabat? Tentu kalau kita sukses mengantongi poin-poin ujian ini. Apakah semata ini ujian bagi kita?

Tantu tidak. Hidup dan mati pun adalah ujian. Innal Hayaata Wal Mawta Liyabluwakum Ayyukum Ahsanu 'Amala (Sesugguhnya hidup dan mati adalah ujian untuk mengetahui siapa yang paling baik amalannya). Tetapi ujian di bulan Ramadhan mengandung pesan sosial teramat kental. Ujian kali ini memiliki keterikatakan sangat kuat dengan kehidupan bermasyarakat. Dia bukan semata ujian mahdah yang individual tetapi ujian mahdah yang lebih dekat kepada social message.

Bagaimana dampaknya bagi kita? Tentu sangat besar, karena begitu kita lulus ujian Ramadhan, maka bulan Syawal bukan lagi sebagai pijakan awal tetapi sudah merupakan bulan pembuktian. Mereka yang lulus akan langsung menjadi wisudawan Ramadhan. Bulan Syawal sampai dengan Sya'ban tahun depan, akan begitu berat karena kita harus mengaktualisasikan nilai-nilai keberkahan Ramadhan sebagai seorang wisudawan, bukan lagi sebagai seorang peserta ujian. Kalau sepanjang Ramadhan kita sukses mengendalikan perut kita dari makanan yang haram, maka setelah Ramadhan menjadi sangat ironis kalau kita masukkan yang haram ke dalam perut yang sepanjang Ramadhan sudah disucikan dan diberkahi oleh Allah SWT.

Kalau sepanjang Ramadhan kita sukses membasahi lidah kita dengan munajat, dzikir serta lantunan ayat-ayat suci Alquran, maka menjadi sangat merugi kalau setelah bulan ini kita memenuhi angkasa rumah tangga kita, kantor kita, dan lingkungan kita dengan berkata-kata kotor, sumpah serapah serta menjadi pemicu pertengkaran. Kalau sepanjang Ramadhan pendengaran kita terbiasa menikmati sentuhan Allah, sapaan para malaikat serta panggilan para anbiya, maka sungguh celaka kalau setelah bulan Syawal kita justeru mengisi pendengaran kita dengan bisikan nafsu, rayuan setan serta panggilan silaknat iblis.

Sampai hatikah kita kalau tangan dan kaki yang kita gunakan selama Ramadhan untuk kegiatan amal sosial lalu menjadi sangat individualis dan mementingkan diri sendiri setelah bulan berkah dan bulan berbagi ini berlalu? Nu'udzubillahi Min Dzaalik! Wisudawan Ramadhan secara fisik telah melakukan perawatan serius agar tubuhnya mengalami proses detoksifikasi/penggelontoran racun-racun, lalu tubuh menjadi segar karena terjadinya proses rejuvenasi/peremajaan organ-organ dan akan stabil karena proses pembakaran secara maksimal.

Secara kejiwaan, para wisudawan Ramadhan akan mengalami ketercerahan luar biasa karena selama sebulan penuh benih-benih sifat syaithoni secara bertahap mengalami pengendalian secara gradual. Sifat pelit, suka memeras, mengabaikan sesama manusia, mementingkan diri sendiri serta semua sifat yang berorientasi pada penistaan harkat manusia, akan luruh bersamaan dengan ajaran suka berbagi, kasih sayang serta nilai-nilai positif lainnya yang dikandung Ramadhan. Selamat datang Wisudawan Ramadhan, semoga kita termasuk di antara mereka. Wallahu A'lamu Bishshowaab.


Oct.10.2007 ( Suaramerdeka)

Idul Fitri Kok Berbeda Lagi?


SEPERTI sinetron laris yang diulang, tahun ini hampir pasti kembali terjadi perbedaan penetapan 1 Syawal. PP Muhammadiyah telah mengumumkan akan melaksanakan shalat Id, Jumat (12/10), dengan mendasarkan pada hisab hakiki. Sementara pemerintah yang mendasarkan hisab imkanurrukyat kemungkinan akan melaksanakan shalat Id sehari kemudian.

Bagaimana itu bisa terjadi? Kepada Suara Merdeka, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiyah Jateng Drs H Rozihan SH MAg mengatakan, perbedaan di antara umat merupakan rahmat. Umat Islam mestinya bersikap dewasa dengan memandang perbedaan sebagai sesuatu yang wajar. ''Sebab, Tuhan pun menghargai perbedaan itu,'' kata Rozihan.

Perbedaan antara Muhammadiyah dan kalangan Islam lain dalam menetapkan awal Syawal, terjadi karena perbedaan metode. Persyarikatan yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan itu menggunakan metode hisab hakiki dalam menentukan awal Syawal.

Dikatakannya, dalam hisab, hari Jumat (12/10) memang sudah masuk bulan Syawal. Sebab tinggi hilal saat terbenam matahari di Yogya, +0 derajat 37 menit 31 detik. ''Hilal sudah wujud. Sebab, penetapan awal bulan yang dipedomani Muhammadiyah, hisab hakiki,'' kata dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Unissula tersebut.

Ditambahkannya, kriteria yang dipegang Muhammadiyah sudah terjadi ijtimak sebelum Magrib, Kamis (11/10). Ketika terbenam matahari bulan berada di atas ufuk, bulan belum terbenam.

''Berdasarkan kesatuan wilayah hukum, wilayah yang belum wujudul hilal dapat mengikuti wilayah yang sudah wujudul hilal.''

Yang lebih penting dikedepankan, kata Rozihan, mereka yang merayakan Idul Fitri pada hari Jumat sebaiknya menjaga toleransi terhadap yang masih menjalankan puasa. Begitu juga sebaliknya.

''Ini soal keyakinan. Kalau yakin Jumat sudah masuk Syawal, haram hukumnya berpuasa. Begitu juga, yang meyakini melanjutkan puasa, berlebaran pada hari itu juga haram.''

Ketua Lajnah Falakiyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PW NU) Jateng Ahmad Izzuddin MAg mengatakan, menurut data hisab, tinggi hilal tanggal 29 Ramadan masih 0 derajat 40 menit sehingga sangat sulit dilihat. ''Hal itu menyebabkan ada yang Lebaran Jumat (12/10), atas dasar hisab wujudul hilal dan ada pula yang Sabtu (13/10) atas dasar rukyat dan imkanurrukyat,'' kata pengasuh Pesantren Daarun Najaah Jrakah tersebut.

Dewasa

Sementara itu, ahli falak IAIN Walisongo, Drs H Slamet Hambali MAg memberikan penjelasaan secara ilmiah. Dikatakannya, pada Kamis (11/10) atau 29 Ramadan, posisi hilal (bulan) di Indonesia terbelah. Separuh wilayah Indonesia terbilang positif, matahari terbenam di atas ufuk meski dengan posisi 0 derajat. Tapi separuh lainnya masih negatif, matahari terbenam, hilal sudah terlebih dulu terbenam.

''Di beberapa wilayah Indonesia, seperti Aceh terlihat negatif, Sumatra bagian selatan positif, Jawa positif, Bali positif, dan Sulawesi, Kalimantan, dan Papua negatif,'' katanya.

Itulah sebabnya, pada daerah yang menunjukkan positif 1 Syawal dipastikan hari Jumat (12/10). Sementara landasan rukyat, masih menunggu hasil rukyat Kamis (11/10), yang diprediksi hilal tidak mungkin terlihat dan 1 Syawal jatuh pada Sabtu (13/10). Penetapan ini berlandaskan rukyat dan imkanurrukyat.

''Dihitung positif, jika ketinggian hilal pada 0 derajat 30 menit. Untuk wilayah Jateng dengan tempat melakukan hisab di Menara Alhusna MAJT, posisi hilal baru 0 derajat 10 menit 53 detik. Dengan begitu, diperkirakan hilal tidak akan terlihat,'' katanya.

Menyikapi adanya perbedaan pendapat soal penentuan hari raya Idul Fitri, dia meminta, hendaknya bisa disikapi secara dewasa. Mereka harus bisa saling menghargai dan memberi kesempatan satu sama lain untuk merayakan Idul Fitri dengan waktu sesuai keyakinan masing-masing. Meski berbeda, penentuan waktu tersebut menggunakan prinsip-prinsip penghitungan dengan tetap mendasarkan fikih atau hukum agama.

''Perbedaan penetapan waktu Idul Fitri ini sama halnya dengan perbedaan pendapat soal pelaksanaan doa qunut dalam shalat subuh. Hal-hal tersebut tidak perlu lagi ada pertentangan dan jangan saling memaksakan,'' katanya.

Untuk kaum muslim yang awam, dia menyarankan, lebih baik mereka mengikuti penetapan waktu oleh pemerintah. Pasalnya, tim hisab pemerintah menyertakan sidang itsbat yang mencakup perwakilan ormas Islam, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), hingga astronom. Sore ini (11/10), pemerintah akan melakukan hisab rukyat. Karena itu keputusan penetapannya menunggu hasil rukyat. (Achiar M Permana, Moh Anhar-46)



Kamis, 11 Oktober 2007 WACANA harian Suaramerdeka

Mempererat Silaturahmi

Oleh Muslich Shabir

Sikap atau perbuatan yang sekiranya bisa menyakiti hati orang lain harus dihindari dan dibuang jauh-jauh. Bila ada perbedaan pendapat, perlu disampaikan dengan cara yang bijaksana dan dengan mempergunakan argumentasi yang kuat.

JATUHNYA Idul Fitri atau lebaran tahun 1428 H ini kemungkinan besar akan mengalami perbedaan. Muhammadiyah, ormas Islam terbesar kedua di negeri ini, telah berketetapan hati untuk melaksanannya pada hari Jumat, 12 Oktober 2007. Sementara NU dan Pemerintah masih menunggu rukyatul hilal yang akan dilaksanakan nanti sore, saat matahari terbenam. Bila hilal (bulan sabit) bisa dilihat maka umat Islam bisa berlebaran pada hari yang sama. Akan tetapi bila hilal belum bisa dilihat maka puasa disempurnakan (istikmal) menjadi 30 hari.

Terjadinya perbedaan itu karena adanya metode penentuan awal bulan Qamariyah yang tidak sama. Perbedaan itu itu muncul karena adanya perbedaan dalam memahami nash, dalam hal ini hadis Nabi Muhammad saw. Dalam penentuan awal bulan Ramadan dan Syawal, beliau bersabda yang artinya: "Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah (berlebaranlah) kamu karena melihat hilal. Jika hilal itu tertutup awan maka sempurnakanlah puasa itu (menjadi 30 hari).

Dalam memahami pengertian "melihat" muncul dua pengertian. Pertama, memahaminya bahwa "melihat" itu cukup dengan penglihatan akal melalui perhitungan ilmu astronomi, ilmu falak atau hisab. Kedua, memahaminya bahwa "melihat" itu harus dengan melihat hilal secara langsung dengan mata kepala atau dengan menggunakan alat bantu.

Pemahaman yang pertama membawa implikasi bahwa jika menurut hisab/perhitungan, saat ijtimak (konjungsi) dan ghurub (terbenamnya) matahari tanggal 29 hilal sudah berada di atas ufuk, berapa pun ketinggian derajatnya maka ditetapkan hilal sudah ada . Dengan demikian, malam itu masuk ke bulan Qamariyah berikutnya.

Pemahaman yang kedua berimplikasi bahwa jika hilal tidak bisa dilihat pada saat ghurub (terbenamnya) matahari tanggal 29, maka hitungan bulan Qamariyah itu harus disempurnakan menjadi 30 hari. Perbedaan pendapat di kalangan umat Islam merupakan hal yang biasa, dan Rasulullah saw pernah menyatakan: "Perbedaan di antara umatku merupakan rahmat".

Meskipun kemungkinan besar terjadi perbedaan dalam pelaksanaan Lebaran, jangan sampai perbedaan ini menjadi pemicu retaknya hubungan yang baik antara sesama muslim. Suasana semacam ini perlu diisi dengan upaya yang bisa memperkokoh ukhuwah Islamiyah, tali persaudaraan sesama muslim dengan memperat jalinan silaturahmi yang telah terbina selama ini.

Jalinan silaturahmi itu bisa dengan kunjung mengunjungi, dengan kartu lebaran, melalui telepon atau bahkan cukup dengan mengirim SMS. Silahturahmi merupakan sarana penting dan efektif yang kelihatannya sepele tetapi bisa membawa dampak positif yang terkadang tidak terfikirkan sebelumnya.

Dengan silaturahmi ini kita bisa berbincang-bincang dalam berbagai hal yang tidak hanya bisa mempererat tali persaudaraan saja bahkan bisa juga membawa kepada manfaat duniawi. Rasulullah saw pernah bersabda: "Siapa yang ingin ditambah rezekinya dan dipanjangkan umurnya maka lakukanlah silaturahmi"

Halalbihalal yang sudah menjadi tradisi bangsa kita perlu dilestarikan karena ini merupakan jenis silaturahmi yang sangat baik. Dalam halal bihalal ini kita saling maaf memaafkan atas segala kesalahan dan kekhilafan.

Pintu Maaf

Kita wajib membuka pintu maaf seluas-luasnya kepada siapa pun, buanglah jauh-jauh sifat angkuh, sombong dan egois sehingga tidak mau meminta maaf atau tidak mau memaafkan orang lain. Sehebat apa pun kemampuan manusia, seluas apa pun ilmu pengetahuannya, setingga apa pun jabatan dan kedudukannya pasti tidak akan luput dari kesalahan dan kekhilafan.

Manusia adalah tempat salah dan lupa. Manusia yang tidak mau memaafkan kesalahan orang lain, berarti ia telah berlaku sombong dan congkak. Allah swt., Dzat yang Mahakuasa, Dzat yang Mahamulia, Dzat yang maha dalam segala-galanya, apabila hamba-Nya memohon ampun kepada-Nya, seberapapun besar dosa itu (selain syirik) niscaya Allah akan mengampuninya.

Halalbihalal yang kita lakukan adalah dalam rangka untuk menghapus dosa sesama manusia yang tentunya harus dilakukan dengan niat yang tulus dan ikhlas. Seharusnya, begitu seseorang melakukan kesalahan kepada orang lain, di saat itu pula ia harus meminta maaf.

Akan tetapi pada kenyatannya hal itu sulit dilakukan atau bahkan si pelakunya mungkin tidak sadar bahwa ia melakukan kesalahan, misalnya: ghibah (gunjingan) atau ucapan yang menyakitkan orang lain yang tanpa disengaja. Halalbihalal merupakan sarana yang efektif untuk itu dan bisa menjadikan hubungan kita akan semakin erat.

Hubungan yang erat itu perlu dipelihara dengan sebaik-baiknya. Kita harus mau belajar dari masa lalu. Sikap atau perbuatan yang sekiranya bisa menyakiti hati orang lain harus dihindari dan dibuang jauh-jauh. Bila ada perbedaan pendapat, perlu disampaikan dengan cara yang bijaksana dan dengan mempergunakan argumentasi yang kuat.

Puasa yang telah kita laksanakan selama satu bulan itu harus membawa implikasi yang positif bagi diri kita. Kesalehan pribadi dan kesalehan sosial harus lebih berkualitas daripada sebelum bulan Ramadan. (11)

--- Prof Dr H Muslich Shabir MA, guru besar IAIN Walisongo



Opini harian Kompas Oct. 11.2007

Idul Fitri dan Refleksi Peradaban


M Hilaly Basya

Idul Fitri datang lagi. Inilah hari kemenangan setelah sebulan menjalankan ibadah puasa. Selama ini, Idul Fitri dinilai sebagai hari terlahirnya kembali setiap manusia dalam keadaan suci.

Kepercayaan itu terkait ajaran bulan puasa terdiri tiga fase, rahmah (kasih sayang), maghfirah (ampunan), dan itqu min an-nar (diselamatkan dari api neraka). Puncak pencapaian puasa adalah sucinya manusia. Karena itu, bulan Ramadhan disebut bulan pencucian atau pembakaran.

Arif kepada alam

Keyakinan itu tidak salah, tetapi tema Idul Fitri sebenarnya lebih menggambarkan kerinduan setiap manusia terhadap kebenaran (sesuatu yang bernilai fitriyah). Seperti diungkapkan hadis Rasul SAW, tiap manusia terlahir dalam keadaan fitrah. Fitri dan fitrah berasal dari akar kata yang sama, keduanya menunjukkan kecenderungan alamiah manusia atas kebenaran.

Karena itu, momen Idul Fitri mencakup refleksi yang luas dalam kehidupan manusia. Terkait dengan itu, kearifan terhadap alam, misalnya, merupakan salah satu hal penting yang bisa ditumbuhkan dalam kesadaran berhari raya. Bukankah fungsi keberadaan manusia di alam ini merupakan khalifah (pengatur, pemelihara, pelindung) bagi alam? Artinya eksistensi manusia di Bumi tidak bisa dilepas dari tugas besar yang pernah dititahkan Tuhan kepada Adam, yakni menjadi khalifah fi al-ardh.

Beberapa tahun terakhir ini masyarakat dunia dihadapkan pada ancaman pemanasan global. Bencana alam melanda beberapa negara dan dampaknya amat terasa. Karena itu, peradaban manusia kini sedang mengalami krisis ekologi akibat pembangunan yang tidak disertai kearifan. Kondisi ini menggambarkan, kemajuan ilmu pengetahuan yang diboncengi ketamakan manusia perlahan-lahan menghancurkan peradaban manusia sendiri. Jika masyarakat tidak segera membenahi cara pandangnya terhadap alam dalam proses pembangunan, bisa dipastikan kerusakan ekologi akan kian parah.

Dalam buku A Study of History (1972), Arnold Toynbee menyatakan, pola perkembangan peradaban adalah interaksi antara "tantangan dan tanggapan". Dengan demikian, peradaban masyarakat modern saat ini hanya bisa diselamatkan jika kita berupaya keras untuk mengevaluasi dan melakukan kritik serius atas fondasi peradaban kita.

Bumi, ibu kehidupan

Bumi sebenarnya adalah ibu, sedangkan langit adalah ayah. Tesis ini dikemukakan Ibnu Arabi, filosof Muslim yang hidup beberapa ratus tahun lalu. Dalam bukunya, Arabi menjelaskan, Bumi merupakan tempat produktivitas kehidupan terjadi (1996). Dengan sabar dan telaten Bumi bukan hanya melahirkan kehidupan, tetapi juga memelihara dan mengayomi dengan kesabaran. Karena itu, manusia berutang besar kepada Bumi. Alam yang kini dinikmati manusia merupakan "anak kandung" Bumi. Bahkan kehidupan manusia sendiri sebenarnya berada dalam "pelukan" Bumi. Jadi, Bumi adalah "Ibu kehidupan".

Dalam sejarah kehidupan manusia, kearifan terhadap alam terpancar dari pandangan bahwa Bumi adalah sesuatu yang bernilai suci. Karena itu, masyarakat amat menghormati dan menjaga kelestarian alam. Perusakan alam dipercaya berdampak negatif bagi masyarakat itu sendiri. Sebaliknya, pemeliharaan alam diyakini sebagai pengabdian kepada Yang Suci.

Pandangan seperti ini adalah sebuah kecenderungan fitriah yang seharusnya dimunculkan dan digali dari perayaan Idul Fitri. Sejatinya, manusia menumbuhkan kembali kearifan-kearifan primordial terkait kehidupannya di dunia dan relasinya dengan alam. Arogansi masyarakat modern dalam memandang alam dapat berakibat buruk bagi kehidupan. Ketamakan mengeksploitasi alam, mencerminkan hilangnya penghormatan dan rasa kasih kepada "ibu kehidupan".

Krisis ekologi belakangan ini seharusnya kian menyadarkan manusia bahwa mereka telah tersesat dari fitrahnya. Perilaku tamak dan eksploitatif atas alam harus segera dihentikan. Semoga kita semua termasuk orang yang kembali kepada fitrah.

M Hilaly Basya Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA)

Kamis, 11 Oktober 2007





Idul Fitri, Memahami Hikmah Berbeda


Syafiq Hasyim

Mungkin sebagian umat Islam di Indonesia merasa tidak kompak karena perbedaan perayaan Idul Fitri. Sebagian yang lain mungkin berpikir mengapa umat Islam susah untuk dipersatukan sekalipun untuk hal yang baik seperti Idul Fitri.

Pemikiran seperti ini wajar, tetapi tidak bisa dibiarkan karena bagi mereka yang kurang memahaminya, perbedaan itu bisa dimaknai sebagai keanehan dalam beragama.

Dalam pandangan umat Islam, perbedaan atau berbeda adalah kosakata yang harus dihindarkan dalam urusan agama. Mungkin umat Islam Indonesia sudah terlalu lama dibayang-bayangi keharusan akan kesatuan dan kesamaan dalam segala hal sehingga ketika ada perbedaan dianggap sebagai sebuah degradasi keagamaan.

Cara pandang demikian tidak selalu benar, tetapi juga tidak selalu salah. Perbedaan dalam kehidupan keagamaan adalah hal biasa. Dalam kehidupan sehari-hari saja, kehidupan manusia tidak akan berjalan dengan normal apabila tidak ada perbedaan. Setiap perbedaan pasti memiliki alasan tersendiri, apalagi apabila perbedaan tersebut menyangkut urusan agama.

Para pendahulu kita mengajarkan perbedaan sebagai bagian dari bentuk kasih sayang Tuhan. Perbedaan juga bukan hal yang tabu di dalam agama. Imam Hanafi berkata, "Ketahuilah bahwa pendapat ini adalah pendapat terbaik yang kita upayakan, barang siapa yang berupaya lain, maka upaya lain itulah baginya, dan bagi kita apa yang kita pikir", (Al-Syihristani, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr, 2002, hal 167).

Tidak semua urusan agama harus disatukan dan disamakan. Terkadang perbedaan justru merupakan keharusan jika memang ada alasan yang kuat untuk berbeda. Terlalu obsesif menyamakan semua urusan agama akan menjatuhkan kita ke dalam jurang perpecahan.

Perbedaan perayaan hari raya yang sedang kita rayakan bersama-sama ini tidak ada kaitannya dengan kekompakan umat Islam. Kompak tidak harus sama, apalagi menyangkut keyakinan.

Peran negara

Salah satu penyebab perbedaan perayaan hari raya itu membesar di kalangan umat Islam adalah karena keikutsertaan negara. Dalam era reformasi, negara harus bersifat netral, tidak memihak salah satu kelompok umat Islam. Jika memungkinkan, negara cukup menetapkan dua hari libur, tidak menetapkan hari raya. Biarlah penetapan hari raya dilakukan berdasarkan konsensus umat Islam.

Rezim sekarang seharusnya belajar banyak dari rezim masa lalu yang lebih mengutamakan kesatuan simbolis daripada makna hakiki Lebaran. Semula perbedaan dalam hari raya adalah biasa, tetapi karena keinginan pemerintah untuk menyatukan hari raya terus diulang-ulang, umat Islam menjadi terbebani dan terpecah.

Peran pemerintah yang demikian ini justru menimbulkan skisma tersendiri di dalam umat Islam karena pemerintah menciptakan perasaan bersalah atas umat Islam lain yang merayakan Idul Fitri berbeda dengan pemerintah.

Karena itu, pemerintah harus mulai berpikir untuk berhenti dari ikut campur menentukan hari raya. Ini pertanda buruk bagi pluralisme keagamaan di Indonesia. Personalisasi hari raya oleh negara sebaiknya dihentikan karena akan mengarah kepada otoritarianisme baru pada umat Islam.

Tidak ada larangan apa pun bagi negara untuk memfasilitasi umat Islam mencari titik temu. Namun, negara tidak boleh memaksakan bahwa umat Islam harus bersatu mencapai titik temu itu.

Dalam konteks ini, negara sebaiknya memandang perbedaan Idul Fitri bukan dalam kacamata kepentingan politik citra, melainkan kepentingan keyakinan dan juga kekayaan akan perbedaan umat Islam itu sendiri.

Idul Fitri bukan milik negara, melainkan milik umat Islam yang menjadi warga negara. Cukup pemerintah menetapkan dua hari libur saja untuk memberi kesempatan bagi setiap umat Islam merayakan hari raya menurut ijtihad mereka masing-masing.

Pelajaran besar kemajemukan

Perbedaan Idul Fitri kali ini mengajarkan kemajemukan (pluralisme) yang luar biasa, tidak hanya bagi umat Islam, tetapi juga umat beragama lain di Indonesia. Selain sebagai kemenangan kita, Idul Fitri kali ini juga merupakan simbol perayaan perbedaan dan keragaman.

Umat Islam dan umat beragama lain sebaiknya tidak takut untuk berbeda selama tidak asal beda. Pengakuan dan penerimaan akan perbedaan justru berdampak positif bagi kehidupan keagamaan kita.

Pertama, dengan mengakui dan menerima perbedaan, kita tidak hanya mendapatkan kemenangan sejati, tetapi turut menciptakan keharmonisan.

Kedua, mengakui dan menerima perbedaan tidak hanya membawa kita kepada toleransi, tetapi juga pemahaman yang mendalam satu sama lain.

Ketiga, mengakui dan menerima perbedaan tidak berarti menghilangkan komitmen keyakinan kita sendiri dan menjadi seorang relatifis. Justru, mengakui dan menerima perbedaan adalah puncak perjumpaan dari pelbagai komitmen keyakinan yang ada. (Diana L Eck, New Religious America, hal 69).

Syed Hashim Ali menyatakan hampir dipastikan tidak ada satu sistem pemahaman akan realitas yang cukup dengan sendirinya menerangkan fenomena hidup yang sangat kaya (Syed Hashim Ali, Islam and Pluralism, 2005, hal 21).

Marilah kita jadikan hari raya kali ini sebagai cara kita menghargai perbedaan. Perbedaan untuk memupuk persaudaraan sesama umat Islam dan persaudaraan sesama umat manusia.

Syafiq Hasyim Deputi Direktur International Center for Islam and Pluralism (ICIP)

Monday, October 08, 2007

Refleksi : Menyambut Idul Fitri 1428 H

Senin, 08 Oktober 2007 WACANA Suaramerdeka.com

Menuju Satu Idul Fitri

Oleh Ahmad Zaini Bisri
BULAN Ramadan tahun ini ditandai oleh penetapan awal puasa yang sama tetapi diakhiri dengan 1 Syawal yang (kemungkinan) berbeda antara dua organisasi besar keagamaan, NU dan Muhammadiyah. PP Muhammadiyah sudah menetapkan 1 Syawal jatuh pada hari Jumat, 12 Oktober. PBNU mengisyaratkan, hasil ru'yat al-hilal (melihat hilal) pada 11 Oktober nanti kemungkinan berbeda dengan ketetapan Muhammadiyah.

Di lain pihak, pemerintah tampak berusaha keras untuk menyatukan dua pandangan yang berbeda soal penetapan 1 Syawal itu. Upaya persuasi lewat media lain sudah dilakukan dengan menggelar pertandingan sepak bola persahabatan antara tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah, yang dimenangkan Muhammadiyah dengan skor 4-2. Waktu itu sang wasit, Wapres Jusuf Kalla, dengan berseloroh mengatakan, karena sudah main sepak bola bareng maka diharapkan Idul Fitrinya juga sama.

Dalam berbagai kesempatan, Menteri Agama Maftuh Basyuni juga mengulang-ulang imbauannya berkenaan perbedaan penetapan hari Lebaran itu. Ia antara lain mengajak pimpinan dua ormas keagamaan itu untuk mengindahkan perintah mematuhi Allah, Rasul-Nya, dan Ulil Amri (pemerintah) sebagaimana yang tersebut dalam Alquran agar tidak ada lagi perbedaan dalam penetapan awal puasa, 1 Syawal, dan Idul Adha.

Sindiran Menag juga diungkapkan dengan nada guyon. Misalnya, ia mengatakan, "Orang lain sudah sampai ke bulan, kita masih berdebat soal bagaimana mengintip bulan." Banyak pihak menyambut baik upaya pemerintah mendorong tercapainya titik temu dalam masalah ini, termasuk memfasilitasi pertemuan-pertemuan antara pimpinan dua ormas tersebut dan kajian atau pembelajaran bersama dalam ilmu falak (astronomi).

Dari kalangan masyarakat juga makin marak desakan agar pemerintah bertindak nyata menyikapi perbedaan itu. Misalnya, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) DIY KH Thoha Abdurrahman yang mendesak pemerintah mengambil sikap tegas menengahi perbedaan penentuan 1 Syawal, yang selalu terjadi hampir setiap tahun. Menurut dia, penentuan 1 Syawal baik dengan cara hisab maupun rukyat adalah bentuk ijtihad. Keduanya bisa dipertanggungjawabkan.

Karena itu, katanya, "Kalangan NU ataupun Muhammadiyah jangan memaksakan kehendak. Saya yakin umat Islam Indonesia lebih memilih 1 Syawal yang sama,"katanya (SM, 27 September).

Benarkah sinyalemen Kiai Thoha itu? Tampaknya memang demikian. Seorang aktivis Muhammadiyah mengatakan kepada penulis, dia merasa risih setiap kali merayakan Idul Fitri atau Idul Adha yang berbeda dengan komunitas muslim lainnya.

Khidmat kepada Umat

Ketika menggelar shalat id, dia mesti menyampaikan permohonan maaf karena harus mengumandangkan takbir lebih dulu. Katanya juga, "Makan juga tidak enak ketika saudara kita yang lain masih berpuasa."

Jeritan hati umat yang di bawah itu patutlah didengar oleh para elite ormas-ormas Islam di Indonesia. Sudah menjadi kewajiban pimpinan untuk memperhatikan aspirasi umatnya. Toh mereka dipilih untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya baik lahir maupun batin. Selama aspirasi itu positif dan tidak bertentangan dengan syariat, wajib hukumnya bagi pimpinan untuk memperhatikannya.

Paradigma itu sekaligus perlu dijadikan etos baru kepemimpinan ormas di Indonesia yang berkhidmat kepada umat; bahwa demokrasi bukan hanya berlaku bagi kaum elite saja tetapi juga bagi masyarakat yang dipimpinnya.

Penetapan hari raya memang merupakan bagian dari ibadah yang berdimensi individu. Namun, sebagaimana dikatakan Kiai Thoha, ibadah yang mengikat banyak pihak seperti penentuan 1 Ramadan dan 1 Syawal sebaiknya dilaksanakan

secara bersama.

Jika selama ini umat diminta bisa menghargai perbedaan penetapan hari raya, janganlah itu dilembagakan sebagai alasan untuk mengagungkan perbedaan. Toleransi umat perlu diimbangi oleh iktikad baik dan kesediaan elite untuk menyikapi perbedaan dengan hati terbuka..

Retorika bahwa perbedaan pendapat adalah rahmat seringkali disalahtafsirkan. Dalam praktiknya, perbedaan pendapat di kalangan muslim di Indonesia kerap muncul akibat ambisi-ambisi pribadi maupun alasan-alasan politis yang menunjukkan kelemahan dalam kepemimpinan umat.

Kalau perbedaan itu rahmat tentulah umat kita akan makin sejahtera, dewasa, disiplin, kompeten, berkarakter, mentalitas bagus, santun, dan terhindar dari berbagai malapetaka. Realitasnya, krisis multidimensi yang sudah berumur satu dasawarsa belum juga berakhir. Bahkan makin banyak saja umat yang menderita. Tidak kurang 11 juta orang menganggur dan terdapat sekitar 40 juta fakir miskin.

Tatanan kehidupan beragama yang rusak oleh ambisi adalah sebuah keniscayaan. Tuhan memberitahukan kepada kita betapa setan mampu mempermainkan pikiran para elite. "Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu. Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."(QS Al-Hajj: 52).

Titik temu antara metode ru'yat al-hilal dan wujud al-hilal harus menempuh perjalanan panjang, karena satu sama lain tidak mau melepaskan bayangan yang membingkai pikiran. Bila bayangan itu dilepas maka insya Allah cahaya akan masuk dengan terang.

Cahaya itu adalah pandangan dan sikap yang dilukiskan oleh Jalaluddin Rachmat sebagai "mendahulukan akhlak di atas fikih"(Rachmat, 2007). Suatu kearifan dan kebesaran jiwa yang diwariskan oleh para imam pendiri mazhab, sehingga seorang ulama besar fikih Syafi'iyyah, Ibnu Hajar al-Haitami pernah berkata, "Mazhab kami benar tetapi mengandung kekeliruan, sedangkan mazhab selain kami keliru tetapi mengandung kebenaran."

Pengumuman Pemerintah

Perbedaan persepsi dan kriteria tentang posisi hilal niscaya akan bisa dieliminir, bila kearifan Ibnu Hajar itu melandasi pandangan para ahli falak dan pimpinan NU serta Muhammadiyah. Toh pegangan mereka saat ini tentang kriteria hilal merupakan buah dari evolusi pemahaman. Dengan kata lain, mereka dulunya pernah "keliru"dalam menerapkan kriteria hilal.

Pada tahap awal, Muhammadiyah menggunakan rukyat dengan standar imkan al-ru'yat 3 derajat. Namun setelah tahun 1938, Muhammadiyah memakai patokan wujud al-hilal. Artinya, dulu posisi hilal 3 derajat di bawah ufuk belum menjadi pegangan bagi Muhammadiyah untuk menetapkan 1 Syawal besok harinya. Sekarang kalau posisi bulan sabit pertama sudah di atas ufuk, berapa pun tingginya, meski tidak merata di seluruh Tanah Air maka besoknya adalah Idul Fitri.

Apa pun metodenya, objek pemberlakuan penetapan 1 Syawal adalah wilayah teritorial Indonesia. Meski NU dan Muhammadiyah mempersilakan umatnya untuk memilih itsbat mana yang diyakininya, penetapan itu secara psikologis mengikat anggotanya di seluruh Indonesia.

Karena itu, bukankah lebih tepat jika ikhbar (pengumuman) datangnya 1 Syawal diserahkan kepada pemerintah yang memangku wilayah teritorial negara, apalagi toh pemerintah sudah dipilih langsung secara demokratis oleh rakyat? Atau, kita masih ingin berdebat soal negara agama dan negara sekuler?

Penetapan hari raya memang merupakan bagian dari ibadah yang berdimensi individu. Namun, sebagaimana dikatakan Kiai Thoha, ibadah yang mengikat banyak pihak seperti penentuan 1 Ramadan dan 1 Syawal sebaiknya dilaksanakan secara bersama.

Ulama besar zaman ini, Yusuf Qardhawi, dalam Fiqh al-Shiyam (1991) menulis, "Sesungguhnya upaya untuk mewujudkan persatuan antarumat Islam dalam puasa mereka dan seluruh syiar serta syariatnya merupakan perintah yang senantiasa akan dituntut. Tidak boleh berputus asa untuk mencapai ke arah itu dan tidak perlu menghindari rintangan yang mengadang. Bahkan wajib menguatkannya dan tidak mengendurkannya. Jika kita tidak berhasil menyepakati bersama di antara negara-negara Islam di seluruh dunia, maka paling tidak wajib bagi kita untuk mewujudkan persatuan masyarakat muslim dalam satu negara."

Bila kita sudah berupaya keras menyatukan pandangan tetapi kompromi yang dihasilkan keliru, menurut Qardhawi besar kemungkinan Tuhan akan mengampuni kita. Ampunan Tuhan akan menjadi rahmat bagi seluruh umat. Kita pun akan munajat dengan doa yang diajarkan oleh Allah Swt ini dengan lebih nikmat: Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. (QS Al-Baqarah: 286). Allahu a'lam bi al-shawab.

- H Ahmad Zaini Bisri, ketua umum Pengurus Wilayah Perhimpunan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KB PII) Jawa Tengah masa bakti 2007- 2010, mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik Undip.



Senin, 08 Oktober 2007 WACANA Suaramerdeka.com

Mulih

Oleh Adi Ekopriyono
SEMUA yang pergi pasti akan pulang. Sejauh bangau terbang akan kembali pula ke sarangnya. Masa kini dan masa depan sekadar muara dari masa lalu. Maka, masa lalu itu penting meskipun tidak harus menjerat langkah.

Jalinan masa lalu, masa kini, dan masa depan itu perlu agar hidup lebih bermakna. Silaturahmi tidak hanya terjadi dalam relasi antara manusia yang satu dan manusia yang lain, melainkan juga antara waktu yang satu dan waktu yang lain dalam bingkai kehidupan manusia. Kata WS Rendra, "kemarin dan esok adalah hari ini."

Bagi orang Jawa, pulang penuh makna, karena landasan filosofinya inward looking, bukan outward looking seperti filosofi Barat. Inward looking itu selalu menarik ke dalam diri sendiri segala realitas yang dihadapi. Implikasinya, menekan perasaan, rendah hati, low profile. Sebaliknya, outward looking melihat keluar ketika menghadapi suatu realitas. Implikasinya, pengungkapan perasaan dan pikiran apa adanya (assertive), high profile.

***

PULANG atau mulih dalam Bahasa Jawa, mencerminkan sikap rendah hati, bahwa sesukses apa pun, sehebat apa pun, manusia harus selalu ingat pada asal usulnya. Pesannya, manusia jangan lupa diri, harus ingat pada akar kehidupannya. Hal ini antara lain terasa dalam ungkapan khas Jawa, ndhisik apa saiki apa, ndhisik sapa saiki sapa. Dulu jadi apa sekarang jadi apa, dulu menjadi siapa sekarang menjadi siapa.

Lebih dalam lagi, ingat pada sangkan paraning dumadi, yang dalam khasanah budaya Jawa sering disebut sebagai salah satu inti ajaran. Dua inti yang lain adalah manunggaling kawula lan gusti dan sarana untuk mencapai keduanya.

Masyarakat Jawa, yang belum kehilangan jawanya (durung kelangan jawane), melihat bahwa dirinya adalah bagian dari tiga dimensi waktu; masa lalu, sekarang, dan masa depan, yang tidak dapat terpisahkan. Mulih adalah bagian dari ritual untuk menjamah masa lalu, agar tidak kepaten obor dan ngumpulke balung pisah. Agar tidak kehilangan tali silaturahmi dengan sanak saudara dan mengumpulkan saudara-saudara yang sudah jauh terpisah-pisah; agar tidak tercerabut dari akarnya.

Mulih lebih bermakna dari sekadar pulang. Mulih ada kaitan dengan pulih. Dalam Kamus Basa Jawa (Balai Bahasa Yogyakarta, 2006:639) disebutkan: mulihake = mbalekake kaya kaanane sing sakawit. Artinya, memulihkan menjadi seperti keadaan semula. Jadi, mulih itu proses menuju pulih.

Dalam konteks itulah saya melihat tradisi pulang kampung atau mudik, yang pada minggu-minggu ini dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Jawa. Tidak pulang bisa diartikan sebagai "pengkhianatan" terhadap masa lalu, bahkan pemutusan tali silaturahmi pada sanak - saudara.

Itulah sebabnya, sekurang apa pun hidup jauh dari kampung halaman, mereka sekuat tenaga berusaha untuk pulang. Uang bukan segalanya, karena rugi uang atau materi tidak menjadi soal asal bisa menjalin relasi dengan banyak teman, atau tetap memelihara hubungan baik dengan sanak saudara (tuna sathak, bathi sanak).

***

MUDIK itu indah. Maka, berbondong-bondonglah jutaan orang untuk pulang kampung; mulih. Mudik itu kearifan lokal yang tidak harus diratapi sebagai pemborosan, buang-buang waktu, atau konotasi negatif yang lain. Kearifan lokal semacam ini justru perlu dikembangkan untuk mengimbangi arus global yang terlalu kapitalistik dan materialistik. Hidup itu keseimbangan antara yang materialistik dan nonmaterialistik, antara yang fisik dan nonfisik, antara yang tangible dan intangible; yang kasat mata dan tidak kasat mata. Tanpa keseimbangan itu, maka hidup bukanlah hidup.

Mulih mengajari siapa saja untuk mencapai keseimbangan, dengan jalan mengembalikan manusia pada kodratnya sebagai manusia; memanusiakan kembali manusia. Manusia - yang dalam Jangka Joyoboyo sudah diprediksi ulahnya akan seperti gabah diinteri ñ perlu dikembalikan ke kondisi semula sebelum terkontaminasi oleh segala macam bujukan duniawi.

"Reorientasi dari kehidupan duniawi ke ukhrowi," kata tokoh agama. "Kembali ke fitrah," kata Pak Kiai. Mulih, pulih; yang jahat tidak lagi menjadi jahat, yang dengki tidak lagi menjadi pendengki, yang suka iri hati menjadi baik hati, dan seterusnya. Mulih itu penuh dengan introspeksi, mawas diri, bahwa manusia itu lemah, ringkih, sekeng. Karena lemah, maka perlu pemulihan.

Itulah jatuh bangun seseorang dalam proses menjadi (sungguh-sungguh manusia). Perspektif Jawa sangat concern pada proses (management by process), bukan hanya mengejar hasil (management by objective), karena hasil itu akan sangat ditentukan oleh proses. Maka, orang Jawa selalu mengacu pada laku, bukan sekadar tindakan. Laku itu mempunyai dua dimensi sekaligus, fisik dan nonfisik. Itulah sebabnya, jangan melihat mudik hanya dari kacamata fisik, karena di dalamnya ada ritual yang berdimensi nonfisik. Ada pencerahan di balik ritual itu.(11)

-- Adi Ekopriyono, wartawan Suara Merdeka di Semarang.




Senin, 08 Oktober 2007 , KOmpas.com


Mudik Membagi Berkah

Yudi Latif

Dalam kembara, sepanjang tahun kita nikmati berkah langit yang turun bak air hujan. Saat Idul Fitri menjemput, berpulanglah seperti akar meneruskan air hujan ke sungai, lantas mengalirkannya hingga ufuk terjauh.

Demikianlah, Allah memberikan tamsil kehidupan dunia laksana air hujan yang menjadikan tumbuhan gembur-subur di muka bumi, kemudian tumbuhtumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin (QS 18: 45).

Betapapun menyenangkan, harta dan anak-anak hanyalah perhiasan dunia yang mudah muspra. Amal salehlah yang membuatnya kekal, yang mengalirkan berkah bagi kehidupan (QS 18: 46). Al Ghazali mengibaratkan "materi" ibarat kuda yang ditunggangi jiwa dalam pengembaraan jati dirinya. Sang jiwa harus memenuhi kebutuhan tunggangannya agar bisa mencapai tujuan. Namun, jika terlalu banyak menyita waktu memberikan makan dan mengaguminya, sang jiwa akan terempas di perjalanan ketimbang mencapai tujuan.

Tujuan hidup untuk kebahagiaan, dan kebahagiaan tertinggi terengkuh ketika manusia mampu menemukan makna hidupnya. Untuk mengerti makna hidupnya, manusia harus memahami dirinya. Untuk memahami dirinya perlu meraba hatinya. Bukan hati dalam arti organ tubuh, melainkan fakultas batin yang memiliki daya reflektif tentang eksistensi manusia sebagai pengembara yang merindukan kepulangan.

Maka kerinduan mudik Lebaran, dengan segala marabahayanya, adalah kerinduan eksistensial demi meraih kebahagiaan. Momen kebahagiaan ini tercapai ketika manusia bisa serempak pulang ke "kampung" Ilahi dan kampung halaman.

Kepulangan ini terasa lebih nikmat ketika pemudik membawa oleh-oleh bagi kerabat dan tetangga. Setelah setahun menyerap hujan berkah langit, saatnya pengembara merembeskan air kebahagiaan bagi warga bumi.

Kebahagiaan terasa sempurna ketika kesuburan bumi terjaga berkat kerelaan berbagi. Al Quran melukiskan nafkah yang dibagikan ibarat sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, dan setiap bulir berbuah seratus biji (QS 2: 261). Semakin banyak memberi, semakin banyak menerima, sehingga kesuburan dan kesejahteraan negeri bertambah.

Maka jika kita memberi, lakukan dengan senang hati. Jika kita tak punya uang, berikanlah pelayanan. Kita tidak pernah kekurangan dalam apa yang dapat diberikan.

Setelah sebulan berpuasa dan beribadah, marilah kita nikmati kepulangan. Bukankah manusia hanyalah anak-anak sang waktu yang mengalir dari titik ke titik persinggahan sementara. Setiap jejak tidaklah sia-sia. Setiap kata yang disapakan memberikan gairah kepada hidup. Setiap darma yang disumbangkan memberikan tenaga kepada sesama.

Semoga mudik kita merekahkan berkah!

Yudi Latif Dosen Universitas Paramadina Jakarta



Idul Fitri

Bulan padat beribadat telah meninggalkan kita. Bulan penempaan diri telah berlalu. Bulan yang suci telah meninggalkan kita. Bulan Ramadan yang penuh hikmah dan berkah serta ampunan telah berganti. Yang jadi pertanyaan, apa yang kita dapatkan dari pelaksanaan bulan suci tersebut. Apa yang membekas dalam nurani kita dan bagaimana sikap/perilaku setelah bulan tersebut bisa dilalui.

Yang penting yaitu apakah kita telah membentuk diri menjadi insan bertaqwa, seperti tujuan Allah menurunkan bulan Ramadan. Masing-masing dapat bercermin diri sehingga secara hakiki melihat sejauh mana sikap serta perilaku kita setelah sebulan menjalani "training". Diharapkan setelah bulan puasa ini ada perubahan terutama untuk 11 bulan ke depan lagi.

Kita masih memprihatinkan pekonomian, politik dan perkembangan sosial di negeri ini. Bencana masih kerap datang, keributan baik di elite maupun di tingkat bawah selalu muncul. Masing-masing dari persoalan itu mempunyai misi serta tujuan tertentu.

Pada saat masih terlanda situasi yang kurang menguntungkan rasanya semua patut menahan diri menjaga emosi agar tidak terpancing oleh pihak yang akan memanfaatkan. Semua dikembalikan pada Dzat yang maha tinggi. Hanya iman yang kuatlah sebagai benteng untuk mem-protectdiri.

Idul Fitri tidak identik dengan hura-hura dan kesenangan semu. Juga tidak sama dengan penghamburan uang serta pemuasan nafsu duniawi. Idul Fitri merupakan penutup dari seluruh rangkaian kegiatan ibadah bulan Ramadan, sebagai perlambang pada hari itu kaum muslimin telah berhasil memenangkan pertarungan melawan hawa nafsu.

Maka sepantasnya kaum muslimin menyambutnya dengan suka cita untuk merayakannya dengan keinginan kuat untuk selalu memelihara kebersihan fitrahnya di hari-hari selanjutnya. Selamat Idul Fitri 1428 H.

Tuesday, October 02, 2007

Belajar : Inovasi ; Proses & Pengelolaannya

Inovasi sebagai suatu proses digambarkan sebagai proses yang siklus dan berlangsung terus menerus, meliputi fase kesadaran, penghargaan, adopsi, difusi dan implementasi (Damanpour dkk dalam Brazeal, D.V. dan Herbert, T.T. 1997). De Jong & Den Hartog (2003) merinci lebih mendalam proses inovasi dalam 4 tahap sebagai berikut:

[]Melihat Kesempatan
Melihat kesempatan bagi karyawan untuk mengidentifikasi kesempatan-kesempatan. Kesempatan dapat berawal dari ketidakkongruenan dan diskontinuitas yang terjadi karena adanya ketidaksesuaian dengan pola yang diharapkan misalnya timbulnya masalah pada pola kerja yang sudah berlangsung, adanya kebutuhan konsumen yang belum terpenuhi, atau adanya indikasi trends yang sedang berubah.

[]Mengeluarkan Ide
Dalam fase ini, karyawan mengeluarkan konsep baru dengan tujuan menambah peningkatan. Hal ini meliputi mengeluarkan ide sesuatu yang baru atau memperbaharui pelayanan, pertemuan dengan klien dan teknologi pendukung. Kunci dalam mengeluarkan ide adalah mengombinasikan dan mereorganisasikan informasi dan konsep yang telah ada sebelumnya untuk memecahkan masalah dan atau meningkatkan kinerja. Proses inovasi biasanya diawali dengan adanya kesenjangan kinerja yaitu ketidaksesuaian antara kinerja aktual dengan kinerja potensial.

[]Implementasi
Dalam fase ini, ide ditransformasi terhadap hasil yang konkret. Pada tahapan ini sering juga disebut tahapan konvergen. Untuk mengembangkan ide dan mengimplementasikan ide, karyawan harus memiliki perilaku yang mengacu pada hasil. Perilaku Inovasi Konvergen meliputi usaha menjadi juara dan bekerja keras. Seorang yang berperilaku juara mengeluarkan seluruh usahanya pada ide kreatif. Usaha menjadi juara meliputi membujuk dan mempengaruhi karyawan dan juga menekan dan bernegosiasi. Untuk mengimplementasikan inovasi sering dibutuhkan koalisi, mendapatkan kekuatan dengan menjual ide kepada rekan yang berpotensi.

[]Aplikasi
Dalam fase ini meliputi perilaku karyawan yang ditujukan untuk membangun, menguji, dan memasarkan pelayanan baru. Hal ini berkaitan dengan membuat inovasi dalam bentuk proses kerja yang baru ataupun dalam proses rutin yang biasa dilakukan.


Proses inovasi (http:/faculty.babson.edu/gordon/ manuscript/ECIS05.doc) adalah sebagai berikut:

<>Inisiasi yaitu kegiatan yang mencakup keputusan dalam organisasi untuk mengadopsi inovasi

<>pengembangan yaitu kegiatan yang meliputi desain dan pengembangan produk dan perencanaan proses inovasi dalam fase inovasijadi fase ini meliputi mengeluarkan ide dan pemecahan masalah

<>implementasi yaitu kegiatan ini meliputi penerapan desain inovasi yang telah dibuat sebelumnya dalam fase pengembangan

Adair (1996) mengatakan ada 3 fase dalam proses inovasi sebagai berikut:

<>Generating ideas. Keterlibatan individu dan tim dalam menghasilkan ide untuk memperbaiki produk, proses dan layanan yang ada dan menciptkaan sesuatu yang baru.

<>Harvesting ideas. Melibatkan sekumpulan orang untuk mengumpulkan dan mengevaluasi ide-ide.

<>Developing and implementing these ideas. Mengembangkan ide-ide yang tekah terkumpul dan selanjutnya mengimplementasikan ide tersebut.

Hussey (2003) berupaya membentuknya dalam tahapan dan dibuat dengan akronim EASIER yaitu:

<>Envisioning yaitu proses ini meliputi penyamaan pandangan mengenai masa depan untuk membentuk tujuan berinovasi. Visi ini harus meliputi ukuran, inovasi apa yang dilakukan untuk organisasi, ruang lingkup inovasi, dan bagaimana visi tersebut sesuai dengan visi organisasi.

<>Activating yaitu penyampaian visi ke publik agar tercapai sebuah komitmen terhadap visi sehingga strategi akan relevan dengan visi begitupula dengan implementasi visi.

<>Supporting yaitu tahapan ini merupakan upaya seorang pemimpin tidak hanya di dalam memberikan perintah dan instruksi kepada bawahan, namun juga keterampilan di dalam menginspirasi bawahannya untuk bertindak inovatif. Dalam hal ini diperlukan kepekaan pemimpin dalam memahami bawahannya. Oleh karena itu, pemimpin hendaknya bersikap emphatik.

<>Installing yaitu pada tahapan ini merupakan tahapan implementasi. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah kompleksitas strategi yang diperlukan dalam berinovasi dan konsekuensi yang diterima. Berikut ini beberapa hal yang dapat membantu seseorang di dalam memberikan masukan dalam implementasi sebuah inovasi sebagai berikut:

<>meyakinkan bahwa konsekuensi yang terjadi dapat dipahami kemudian,

<>mengidentifikasi apakah tindakan yang dilakukan membawa perubahan,

<>mengalokasikan tanggung jawab dari berbagai tindakan yang diterima,

<>memprioritaskan tindakan yang diterima,

<>memberikan anggaran yang sesuai, mengatur tim kerja dan struktur yang dibutuhkan,

<>mengalokasikan orang-orang yang tepat,

<>dan menentukan kebijakan yang dibutuhkan untuk memperlancar implementasi inovasi.

<>Ensuring yaitu kegiatan yang meliputi monitoring dan evaluasi. Hal ini dilakukan untuk meyakinkan bahwa tindakan yang dilakukan sudah tepat waktu dan sesuai rencana. Apabila tidak sesuai dengan rencana maka rencana alternative apa yang dapat diambil. Selain itu, tahapan ini juga dipergunakan untuk memantau apakah hasil sesuai dengan yang diharapkan sehingga apabila tidak, maka akan dibuat langkah penyesuaian.

<>Recognizing yaitu tahapan ini meliputi segala macam bentuk penghargaan terhadap bentuk inovasi. Hal tidak hanya meliputi reward dalam bentuk finansial tapi dapat juga berbentuk kepercayaan, ucapan terima kasih yang tulus, serta bentuk promosi.

Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa ada beberapa tahap dalam proses inovasi adalah sebagai berikut:

<>Melihat peluang. Peluang muncul ketika ada persoalan yang muncul atau dipersepsikan sebagai suatu kesenjangan antara yang seharusnya dan realitanya. Oleh karenanya, perilaku inovatif dimulai dari ketrampilan melihat peluang.

<>Mengeluarkan ide. Ketika dihadapkan suatu masalah atau dipersepsikan sebagai masalah maka gaya berfikir konvergen yang digunakan yaitu mengeluarkan ide yang sebanyak-banyaknya terhadap masalah yang ada. Dalam tahap ini kreativitas sangat diperlukan.

<>Mengkaji ide. Tidak Semua ide dapat dipakai, maka dilakukan kajian terhadap ide yang muncul. Gaya berfikir divergen atau mengerucut mulai diterapkan. Salah satu dasar pertimbangan adalah seberapa besar ide tersebut mendatangkan kerugian dan keuntungan. Ide yang realistic yang diterima, sementara ide yang kurang realistic dibuang. Kajian dilakukan terus menerus sampai ditemukan alternative yang paling mempunyai probabilitas sukses yang paling besar.

<>Implementasi. Dalam tahap ini, keberanian mengambil resiko sangat diperlukan. Resiko berkaitan dengan probabilitas kesuksesan dan kegagalan, oleh karenanya David Mc Clelland menyarankan pengambilan resiko sebaiknya dalam taraf sedang. Hal ini berakaitan dengan probabilitas untuk sukses yang disebabkan oleh kemampuan pengontrolan perilaku untuk mencapai tujuan atau berinovasi.





4. Pengelolaan Perilaku Inovatif

Bharawaj & Menon pada tahun 2000 melakukan survey lebih dari 600 unit bisnis mendapatkan hasil bahwa yang menentukan inovasi pada level organisasi adalah: (a) mekanisme kreativitas individual, (b) mekanisme kreativitas organisasi, dan (c) ke dua faktor secara bersama-sama (Hyland & Beckett, 2004).

Ulrich (dalam Hyland & Beckett, 2004) mengatakan bahwa ada 3 premis yang berkaitan dengan inovasi yaitu persoalan inovasi, inovasi itu multifaceted, dan inovasi sebuah budaya

Hickman & Raia (dalam Hyland & Beckett, 2004) mengatakan bahwa inovasi dapat terjadi dalam lingkungan yang berfikir divergen, imajinasi, ketidakaturan, uncertainty, dan toleransi terhadap ambigiusitas. Bukan dalam sistem berfikir konvergen yang mempertahankan aturan organisasi.

Strategi apa yang perlu diperhatikan dalam memunculkan inovasi? Pertama, perlu mempertimbangkan pertambahan keuntungan yang akan dicapai. Hal ini dapat dilakukan melalui pengukuran sampai sejauh mana kompetitor akan sulit mengikuti langkah yang diambil. Kedua apakah ada kemungkinan untuk memperluas keuntungan yang akan diperoleh (Hussey, 2003). Dengan demikian, bagian akhir dari sebuah inovasi adalah sejauh mana langkah yang diambil dapat menguntungkan dan tidak diambil keuntungannya oleh pesaing dan mendapatkan keuntungan.

Hussey berupaya membentuknya dalam tahapan yang disebut dengan EASIER yakni:

<>Envisioning. Proses ini meliputi penyamaan pandangan mengenai masa depan untuk membentuk tujuan berinovasi. Visi ini harus meliputi ukuran, inovasi apa yang dilakukan untuk organisasi, ruang lingkup inovasi, dan bagaimana visi tersebut sesuai dengan visi perusahaan.

<>Activating. Tahap ini meliputi penyampaian visi ke publik. Dengan demikian, akan tercapai sebuah komitmen terhadap visi sehingga strategi akan relevan dengan visi begitu pula dengan implementasi visi.

<>Supporting. Dalam tahap ini merupakan upaya seorang pemimpin tidak hanya di dalam memberikan perintahdan instruksi kepada bawahan, namun juga keterampilan di dalam menginspirasi bawahannya untuk bertindak inovatif. Dalam hal ini diperlukan kepekaan pemimpin dalam memahami bawahannya. Oleh karena itu, pemimpin hendaknya bersikap emphatic.

<>Installing. Tahap ini merupakan tahapan implementasi. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah kompleksitas strategi yang diperlukan dalam berinovasi dan konsekuensi yang diterima. Berikut ini beberapa hal yang dapat membantu seseorang di dalam mempertimbangkan implementasi sebuah inovasi: meyakinkan bahwa konsekuensi yang terjadi dapat dipahami kemudian, mengidentifikasi apakah tindakan yang dilakukan membawa perubahan, mengalokasikan tanggung jawab dari berbagai tindakan yang diterima, memprioritaskan tindakan yang diterima, memberikan anggaran yang sesuai, mengatur tim kerja dan struktur yang dibutuhkan, mengalokasikan orang-orang yang tepat, dan menentukan kebijakan yang dibutuhkan untuk memperlancar implementasi inovasi.

<>Ensuring. Dalam tahap ini kegiatannya meliputi pemantauan dan evaluasi. Hal ini dilakukan untuk meyakinkan bahwa tindakan yang dilakukan sudah tepat waktu dan sesuai rencana. Apabila tidak sesuai dengan rencana maka rencana apa yang dapat diambil. Selain itu, tahapan ini juga dipergunakan untuk memantau apakah hasil sesuai dengan yang diharapkan sehingga apabila tidak, maka akan dibuat langkah penyesuaian.

<>Recognizing. Dalam tahap ini meliputi segala macam bentuk penghargaan terhadap bentuk inovasi. Hal tidak hanya meliputi pengukuhan dalam bentuk financial tetapi dapat juga berbentuk kepercayaan, ucapan terima kasih yang tulus, serta bentuk promosi.



Inovasi terjadi dalam setiap fase dalam bisnis, yang merupakan bagian esensial dari strategi bisnis. Namun demikian, inovasi bukan sekedar kreativitas individu (Adair, 1996). Stein & Woodman (Brazeal & Herbert,1997) mengatakan bahwa inovasi adalah implementasi yang berhasil dari ide-ide kreatif.

Inovasi merupakan proses berfikir mengenai ide yang baru dalam rangka memuaskan pelanggan (Adair, 1996). Oleh karenanya, inovasi yang efektif harus melibatkan tiga dimensi yang saling tumpang tindih yaitu individu – tim – organisasi. Persoalannya organisasi tidak mempunyai ide yang baru, demikian juga dengan tim, tetapi yang mempunyai ide yang baru adalah individu. Oleh karenanya inovasi membutuhkan tim (Adair, 1996).

Budaya atau kepribadian kelompok memainkan peran penting dalam inovasi. Beberapa budaya mendukung inovasi tetapi yang lain tidak. Ketika invididu seorang yang kreatif dan membangun sebuah tim dengan kemampuan pemecahan masalah yang kreatif, kurang optimal jika lingkungan organisasi kurang menghargai pendapat ide-ide baru (Adair, 1996).

Organisasi inovatif dikatakan Bryd & Brown (2003) adalah sebagai berikut:

<>adanya dorongan bagi para anggotanya untuk bekerja secara mandiri

<>memberikan penghargaan kepada para anggota yang memiliki arahan tersendiri (inner-directed) dan mengembangkan ide-ide mereka

<>menilai keunikan dan bakat tiap kontributor

<>menampilkan ketangguhan ketika menghadapi hambatan

<>mengetahui bagaimana cara berkembang di lingkungan yang ambigu/ tidak menentu

<>menciptakan lingkungan yang setiap orang yang berada di dalamnya dihargai dan dinilai karena menjadi dirinya sendiri

<>memperkenalkan perilaku penerimaan yang baik



Daftar Pustaka



Adair, J. 1996. Effective Innovation. How to Stay Ahead of the Competition. London: Pan Books.





De Jong, J & Hartog, D D. 2003. Leadership as a determinant of innovative behaviour. A Conceptual framework. http://www.eim.net/pdf-ez/H200303.pdf. 21 April 2006



Hyland, P.W & Beckett, R.C. 2004. Innovation and enhancement of enterprise capabilities International Journal of Technology Management and Sustainable Development. 3 (1) 35 – 46. Diakses melalui EBSCO Publisher 23 Maret 2005.





Hussey, D.E (eds). 2003. The Innovation Challenge. New York: John Wiley & Sons



http://infomgt.bi.no/euram/material/p-luno.doc



http:/faculty.babson.edu/gordon/ manuscript/ECIS05.doc

Sharing : Inovasi & Perilaku Inovatif

1. Pengertian Inovasi

Istilah inovasi dalam organisasi pertama kali diperkenalkan oleh Schumpeter pada tahun 1934. Inovasi dipandang sebagai kreasi dan implementasi ‘kombinasi baru’. Istilah kombinasi baru ini dapat merujuk pada produk, jasa, proses kerja, pasar, kebijakan dan sistem baru. Dalam inovasi dapat diciptakan nilai tambah, baik pada organisasi, pemegang saham, maupun masyarakat luas. Oleh karenanya sebagian besar definisi dari inovasi meliputi pengembangan dan implementasi sesuatu yang baru (dalam de Jong & den Hartog, 2003) sedangkan istilah ‘baru’ dijelaskan Adair (1996) bukan berarti original tetapi lebih ke newness (kebaruan). Arti kebaruan ini, diperjelas oleh pendapat Schumpeter bahwa inovasi adalah mengkreasikan dan mengimplementasikan sesuatu menjadi satu kombinasi. Dengan inovasi maka seseorang dapat menambahkan nilai dari produk, pelayanan, proses kerja, pemasaran, sistem pengiriman, dan kebijakan, tidak hanya bagi perusahaan tapi juga stakeholder dan masyarakat (dalam de Jong & Den Hartog, 2003).

’Kebaruan’ juga terkait dimensi ruang dan waktu. ’Kebaruan’ terikat dengan dimensi ruang. Artinya, suatu produk atau jasa akan dipandang sebagai sesuatu yang baru di suatu tempat tetapi bukan barang baru lagi di tempat yang lain. Namun demikian, dimensi jarak ini telah dijembatani oleh kemajuan teknologi informasi yang sangat dahsyat sehingga dimensi jarak dipersempit. Implikasinya, ketika suatu penemuan baru diperkenalkan kepada suatu masyarakat tertentu, maka dalam waktu yang singkat, masyarakat dunia akan mengetahuinya. Dengan demikian ’kebaruan’ relatif lebih bersifat universal. ’Kebaruan’ terikat dengan dimensi waktu. Artinya, kebaruan di jamannya. Jika ditengok sejarah peradaban bangsa Indoensia, maka pada jaman tersebut maka bangunan candi Borobudur, pembuatan keris oleh empu, pembuatan batik adalah suatu karya bersifat inovatif di jamannya.


Ruang lingkup inovasi dalam organisasi (Axtell dkk dalam Janssen, 2003), bergerak mulai dari pengembangan dan implementasi ide baru yang mempunyai dampak pada teori, praktek, produk, atau skala yang lebih rendah yaitu perbaikan proses kerja sehari-hari dan desain kerja. Oleh karenanya, penelitian inovasi dalam organisasi dapat dilakukan dalam 3 level yaitu inovasi level individu, kelompok, dan organisasi (Adair, 1996; de Jong & Den Hartog, 2003).

Jika dilihat dari kecepatan perubahan dalam proses inovasi ada dua macam inovasi yaitu inovasi radikal dan inovasi inkremental (Scot & Bruece, 1994). Inovasi radikal dilakukan dengan skala besar, dilakukan oleh para ahli dibidangnya dan biasanya dikelola oleh departemen penelitian dan pengembangan. Inovasi radikal ini sering kali dilakukan di bidang manufaktur dan lembaga jasa keuangan. Sedangkan inovasi inkremental merupakan proses penyesuaian dan mengimplementasikan perbaikan yang berskala kecil. Yang melakukan inovasi ini adalah semua pihak yang terkait sehingga pendekatan pemberdayaan sesuai dengan model inovasi inkremental ini (Bryd & Brown, 2003; Jones, 2004). Lebih lanjut De Jong & Den Hartog, (2003) menguraikan bahwa inovasi inkremental terlihat pada sektor kerja berikut ini :

[]Knowledge-intensive service (KIS) yakni usahanya meliputi pengembangan ekonomi sebagai contoh konsultan akuntansi, administrasi, R&D service, teknik, komputer, dan manajemen. Sumber utama inovasi dari kemampuan mereka untuk memberikan hasil desain yang sesuai untuk pengguna layanan mereka. Inovasi mereka hadirkan setiap kali dan tidak terstruktur.
[]Supplier-dominated services meliputi perdagangan retail, pelayanan pribadi (seperti potong rambut), hotel dan restaurant.

2. Perilaku inovatif

Pengertian perilaku inovatif menurut Wess & Farr (dalam De Jong & Kemp, 2003) adalah semua perilaku individu yang diarahkan untuk menghasilkan, memperkenalkan, dan mengaplikasikan hal-hal ‘baru’, yang bermanfaat dalam berbagai level organisasi. Beberapa peneliti menyebutnya sebagai shop-floor innovation (e.g., Axtell et al., 2000 dalam De Jong & Den Hartog, 2003). Pendapat senada dikemukakan oleh Stein & Woodman (Brazeal & Herbert,1997) mengatakan bahwa inovasi adalah implementasi yang berhasil dari ide-ide kreatif.

Bryd & Bryman (2003) mengatakan bahwa ada dua dimensi yang mendasari perilaku inovatif yaitu kreativitas dan pengambilan resiko. Demikian halnya dengan pendapat Amabile dkk (de Jong & Kamp, 2003) bahwa semua inovasi diawali dari ide yang kreatif. Kreativitas adalah kemampuan untuk mengembangkan ide baru yang terdiri dari 3 aspek yaitu keahilan, kemampuan berfikir fleksibel dan imajinatif, dan motivasi internal (Bryd & Bryman, 2003). Dalam proses inovasi, individu mempunyai ide-ide baru, berdasarkan proses berfikir imajinatif dan didukung oleh motivasi internal yang tinggi. Namun demikian sering kali, proses inovasi berhenti dalam tataran menghasilkan ide kreatif saja dan hal ini tidak dapat dikategorikan dalam perilaku inovatif.

Dalam mengimplementasikan ide diperlukan keberanian mengambil resiko karena memperkenalkan ‘hal baru’ mengandung suatu resiko. Yang dimaksud dengan pengambilan resiko adalah kemampuan untuk mendorong ide baru menghadapi rintangan yang menghadang sehingga pengambilan resiko merupakan cara mewujudkan ide yang kreatif menjadi realitas (Bryd & Brown, 2003). Oleh karenanya, jika tujuan semula melakukan inovasi untuk kemanfaatan organisasi, tetapi jika tidak dikelola dengan baik justru menjadi bumerang. Adapun inovasi yang sesuai dengan perilaku inovatif adalah inovasi inkremental. Dalam hal ini, yang melakukan inovasi bukan hanya para ahli saja tetapi semua karyawan yang terlibat dalam proses inovasi tersebut. Oleh karenanya sistem pemberdayaan karyawan sangat diperlukan dalam perilaku inovatif ini.

Dalam penelitian ini, inovasi difokuskan bukan pada output inovatif. Fokus penelitian ini perilaku inovatif yang merupakan faktor kunci dari inovasi inkremental (Scott & Bruce, 1994; de Jong & Kemp, 2003). Yang dimaksud dengan perilaku inovatif dalam penelitian ini adalah semua perilaku individu yang diarahkan untuk menghasilkan dan mengimplementasikan hal-hal ‘baru’, yang bermanfaat dalam berbagai level organisasi; yang terdiri dari dua dimensi yaitu kreativitas dan pengambilan resiko dan proses inovasinya bersifat inkremental.

Sumber : Materi Kuliah oleh Avin Fadilla H

Daftar Pustaka



Adair, J. 1996. Effective Innovation. How to Stay Ahead of the Competition. London: Pan Books.

Byrd, J & Brown, P.L. 2003. The Innovation Equation. Building Creativity and Risk Taking in Your Organization. San Fransisco: Jossey-Bass/Pfeiffer. A Wiley Imprint. www.pfeiffer.com



De Jong, J & Hartog, D D. 2003. Leadership as a determinant of innovative behaviour. A Conceptual framework. http://www.eim.net/pdf-ez/H200303.pdf. 21 April 2006



De Jong, JPJ & Kemp, R. 2003. Determinants of Co-workers’s Innovative Behaviour: An Investigation into Knowledge Intensive Service. International Journal of Innovation Management. 7 (2) (Juni 2003) 189 - 212. Diakses melalui EBSCO Publisher 22 Maret 2005.



Janssen, O. 2003. Innovative Behaviour and Job Involvement at the Price Conflict and Less Satisfactory Relations with Co-workers. Journal of Occupational and Organizational Psychology. 76. 347 - 364. Diakses melalui EBSCO Publisher 22 Maret 2005.



Scott, S. G & Bruce, R. A. 1994. Determinants of Innovative behavior: A Path Model Of Individual Innovation in the Workplace. Academy of Management Journal.. 37 (3)

580-607. Diakses melalui EBSCO Publisher 22 Maret 2005.

Monday, October 01, 2007

Religi : Memberi makna lebih jauh ibadah kita

Senin, 01 Oktober 2007 harian Republika

Perlunya Kesalehan Sosial



Kalaulah umat Islam Indonesia mempunyai ghirah (gairah) yang sama untuk mengamalkan zakat sebagaimana shalat dan puasa, bisa dipastikan berbagai persoalan bangsa ini dapat terselesaikan. Ini lantaran potensi zakat rakyat kita sangatlah dahsyat, diperkirakan bisa mencapai Rp 17 triliun. Dengan dana sebesar ini tentu akan banyak artinya untuk membantu menyelesaikan berbagai bersoalan umat, terutama yang terkait dengan kemiskinan, ketertinggalan, kebodohan, dan seterusnya. Apalagi jumlah itu belum termasuk potensi dari infak dan sedekah.

Sayangnya, realisasi yang dapat dihimpun dari zakat ini tak sampai 2,5 persen atau hanya Rp 700 miliar per tahun. Dengan kata lain, kesadaran umat Islam untuk berzakat masih sangat rendah. Padahal zakat juga merupakan salah satu dari Rukun Islam (ketiga), bersama Syahadat, Shalat, Puasa Ramadhan, dan Haji. Artinya, setiap orang Islam yang harta kekayaannya mencapai jumlah tertentu (nishab) ia wajib mengeluarkan sekian persen untuk zakat.

Rendahnya kesadaran berzakat barangkali karena kita, umat Islam, cenderung lebih suka pada ibadah-ibadah yang sifatnya pribadi. Ibadah yang bisa langsung dapat dirasakan dan dinikmati secara individu. Ambil contoh, ibadah shalat, puasa, dan haji. Kesadaran untuk melaksanakan tiga jenis ibadah ini begitu tinggi lantaran bisa memberi ketenangan batin secara individual. Sebaliknya, meninggalkan ibadah-ibadah ini membuat sesal secara pribadi pula. Dengan kata lain, kita lebih suka pada kesalehan ritual daripada kesalehan sosial.

Padahal lima jenis ibadah dari Rukun Islam, selain untuk pribadi juga mengandung kepentingan sosial. Ikrar untuk mengucapkan Dua Kalimat Syahadat mengandung arti bahwa yang wajib disembah hanyalah Allah SWT dan pengakuan bahwa Muhammad SAW adalah utusan-Nya. Ini bermakna bahwa semua manusia itu sama dan sederajat di hadapan Allah SWT. Tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang.

Shalat juga bermakna sosial. Yaitu harus bisa mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Begitu juga dengan puasa. Ia mengandung arti agar umat Islam yang menjalankan ibadah puasa dapat merasakan lapar dan haus seperti yang sering dialami oleh para fakir, miskin, dan para dhuafa. Begitu juga dengan haji. Ibadah ini mengandung makna bahwa manusia itu sama di hadapan Allah SWT.

Dengan demikian bisa dikatakan bahwa semua jenis ibadah dari Rukun Islam ini seharusnya bisa berbuah kesalehan sosial. Sebab agama Islam sendiri diturunkan adalah untuk memperbaiki perilaku seluruh manusia. Bukan hanya untuk individu per individu. Bahwa perbaikan perilaku umat harus didahului dengan perbaikan perilaku individu tentu saja benar dan bahkan menjadi keharusan. Namun, yang juga tidak kalah pentingnya adalah bahwa perbaikan perilaku individu (kesalehan ritual) itu juga harus berdampak pada perbaikan perilaku umat secara keseluruhan (kesalehan sosial).

Di antara dampak kesalehan sosial itu adalah kesadaran untuk menjalankan Rukun Islam yang ketiga, yaitu mengeluarkan zakat tadi. Zakat selain untuk kepentingan pribadi, yaitu untuk membersihkan harta kekayaan, juga akan memberi arti penting pada perbaikan sosial bagi masyarakat.

Karena itu, mumpung masih di bulan Ramadhan di mana amal kebaikan akan diganjar berlipat-lipat, mari kesalehan ritual individu ini dapat juga kita tingkatkan menjadi kesalehan sosial. Bukan hanya zakat, tapi juga infak dan sedekah.

Dengan meningkatnya kesadaran kesalehan sosial, kita yakin berbagai persoalan umat yang terkait dengan kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan, akan bisa kita selesaikan.


Senin, 01 Oktober 2007 Hikmah Republika

Dosa Sosial

Oleh : KH A Hasyim Muzadi


Kalau sekiranya maut datang mendadak, lalu kita dipanggil pulang ke kampung paling abadi, cukupkah amal yang kita bawa untuk dijadikan tebusan atas dosa-dosa kita? Kalau dosa kita terjadi akibat maksiat kepada Allah, Dia berjanji mempermudah proses penyuciannya. Asal kita bertobat nashuha, idak kembali ke maksiat serupa sepanjang akhir umur kita. Asal juga kita tidak musyrik kepada-Nya.

Kalau demikian, adakah dosa yang tidak begitu mudah dibersihkan? Ada. Dosa itu adalah dosa sosial alias dosa kepada manusia. Prosesnya agak berbeda, karena Allah sejatinya tengah menunggu pintu maaf dari pihak yang kita sakiti.

Kalau ia maafkan kita, kita harus berjanji kepada Allah untuk tidak lagi berada pada kesalahan yang sama. Dosa sosial adalah kesalahan terbesar yang bisa menjungkalkan kita ke neraka Jahanam dan hanya dosa sosial yang bisa membuat semua amal personal berguguran tanpa kita ketahui. Jadi, jangan pernah kita merasa aman dengan amal kita, kalau kita berangkat ke hadirat-Nya diiringi rintihan anak yatim dan fakir miskin yang kelaparan. Jangan pernah!

Puasa mengingatkan kita agar jangan pernah abai dengan pesan sosial yang dibawanya. Kalau kita mampu menjaga dahaga dan lapar, maka yang kita dapat hanya dimensi fisik puasa. Kalau hanya dimensi fisik yang kita perhatikan, maka kita khawatir dimensi kejiwaan dan spiritualnya kita abaikan. Sebab hanya dengan dimensi kejiwaan dan spiritual akan terpancar makna puasa dalam dimensi sosial. Sehingga dengan demikian, amal yang kita bawa sebagai tebusan atas dosa-dosa kita benar-benar amal sosial yang bermakna pula sebagai amal saleh.

Maka, pernahkah kita tersinggung karena masih banyak saudara kita hidup dalam kekurangan? Pernahkah kita marah kalau ada pengemis datang tetapi pergi dari rumah kita dengan tangan kosong? Pernahkah kita merasa sudah menjadi hamba dengan sebaik-baik keimanan tetapi lupa hak-hak orang lain? Mari buktikan keimanan kita benar-benar kokoh karena dilandasi amal saleh. Wallaahu a'lam.



Jumat, 28 September 2007

Pesan Sosial Puasa

Oleh : KH A Hasyim Muzadi


Pernah terpikirkah oleh kita bahwa sebenarnya dalam banyak ibadah yang sifatnya hampir personal Allah selalu tak lupa menitipkan pesan sosial? Demikianlah sejatinya yang dituntunkan Allah kepada para hamba-Nya. Semua ibadah mahdah seperti shalat, haji, zakat, dan tentu juga puasa di bulan Ramadhan, punya pesan sosial teramat dalam.

Di satu sisi, Ramadhan adalah masa jeda bagi perawatan tubuh kita setelah sebelas bulan mendapatkan tugas operasional amat tinggi. Di sisi lain, puasa sesungguhnya salah satu mizan untuk mengukur kepedulian sosial kita.

Mizan alias timbangan ini bisa digunakan untuk mengukur seberapa besar bentuk keterpanggilan kita begitu menyaksikan ketimpangan hidup. Kalau dengan puasa, perasaan kita tetap tumpul, maka kita merugi. Kalau dengan puasa, kemauan untuk berbagi tidak tampak, maka kita tidak beruntung. Kalau dengan puasa, kita tak jua mampu menjaga tajamnya ujung lidah kita, maka kita benar-benar termasuk golongan yang merugi.

Kalau dengan puasa kita masih kesulitan mendahulukan kehendak Allah sebelum kehendak kita sendiri, maka kita benar-benar tak mampu menangkap pesan puasa yang sejatinya.

Ramadhan mengajarkan soal pentingnya saling memberi dan saling mengasihi. Janganlah merasa aman dari tatapan tajam para penghuni langit, kalau kita dengan sengaja membiarkan tetangga kita kelaparan. Sejatinya kita bukan termasuk orang yang beriman bila hal demikian sampai terjadi! Keimanan menemukan muaranya ketika ia berbuah secara sosial. Teramat sulit untuk mengukur keimanan seseorang kalau keterlibatannya dalam masyarakat, ternyata minus. Jangan pernah menyangka keimanan cuma dapat dibuktikan dengan shalat, puasa, zakat, dan haji!

Bolehlah kita bersujud dan beriktikaf di sudut-sudut masjid dalam keadaan berpuasa. Tapi, ingatlah, kalau pada saat bersamaan kita membiarkan tamu berdiri mematung di depan pintu rumah, membiarkan tetangga kelaparan, tidak menebarkan rasa kasih kepada sesama, maka sedikit demi sedikit konstruksi keimanan kita telah berguguran bersama rasa lapar, dingin, serta kepapaan para tetangga kita.

Seringkali bila menyeru kalangan beriman, Allah tak lupa menyertakan di belakangnya penyifatan ''dan beramal saleh''. Misalnya, Yaa ayyuhal ladziina aamanuu wa 'amilush shaalihat (Hai orang-orang beriman dan beramal saleh). Karena kita beriman, maka kita diwajibkan puasa. Karena kita puasa, maka kita harus beramal saleh kepada masyarakat kita. Wallahu a'lam. Demikian seharusnya.