Tuesday, September 30, 2008

Refleksi Idul Fitri 1429 H

Idul Fitri, Penyegaran Nilai Kemanusiaan

Puasa selama satu bulan penuh pada Ramadan 1429 Hijriah yang kita tutup hari ini, kita lanjutkan dengan lembaran baru: Idul Fitri pada esok pagi. Hanya kita masing-masinglah yang dapat memberikan penilaian, sukseskah pengabdian kita sepanjang sebulan? Juga hanya kita sendiri yang dapat menilai, sentuhan apakah yang telah terusap dan tertanamkan oleh ibadah puasa bagi perubahan hati, lalu perilaku kita? Apakah keikhlasan menjalani laku menahan diri dari ragam peluang dan kemungkinan sehari-hari itu bakal mampu menciptakan pola hidup baru? Hanya kitalah yang mampu menjawabnya.

Puasa hakikatnya adalah lelabet, yang oleh firman Allah digambarkan sebagai titian menuju predikat idaman sebagai muttaqin, orang-orang yang bertakwa. Indikator kesuksesan atau ketakwaan itu bukanlah sedangkal kemampuan menyelesaikan syarat syar’i-nya, tetapi pengaruh seperti apa yang kemudian mempolakan sikap ”menahan diri” dalam langgam kehidupan sehari-hari seseorang. ”Diklat” selama sebulan itu hanya pemolaan, selebihnya tergantung kita apakah mampu mempolakan sikap dan perbuatan berdasarkan ”bahasa hati” itu dalam kehidupan nyata selama 11 bulan berikut.

Idul Fitri adalah momentum pencerahan ketika manusia memasuki sebuah fase putih bersih produk Ramadan. Terdapat sinergi spiritualitas antara penghambaan vertikal kepada Allah dengan interaksi sosial kita dengan sesama hamba Allah. Kita di Indonesia melengkapinya dengan tradisi halalbihalal yang adiluhung itu, sebuah momentum saling membuka hati, kesempatan untuk saling bermaafan. Pada hari-hari itu tidak berlaku sekat sosial, yang dalam ritme hidup sehari-hari sering diberi rambu-rambu sosial-ekonomi-politik. Keindahan interaksi mana lagi yang dapat diperbandingkan dengan keagungan hari fitri itu?

Masalahnya, kita terlalu sering terjebak oleh simbol, berhenti hanya pada momentum, dan gagal mengembangkannya sebagai terapi hati dan terapi sosial. Ramadan dan Idul Fitri yang mencerahkan pada harinya, tidak dielaborasi sebagai internalisasi sikap dan akhlak. Yang biasa korupsi akan kembali asyik dengan penyelewengan-penyelewengannya, yang menzalimi rakyat hanya memperlihatkan muka manis sebatas menyelesaikan formalitas Lebarannya. Tentu bukan kemudahan melepas momentum semacam itu yang seharusnya dimaksimalkan dari pengalaman-pengalaman spiritual selama masa pendadaran.

Sebrutal-brutalnya sikap manusia, apakah hatinya tidak tersentuh oleh alunan takbir? Pertanyaan itu mungkin akan memeroleh jawaban yang bersifat relatif, tetapi pembelajaran yang sedemikian sistematis melalui Ramadan dan Idul Fitri mestinya memang merupakan siklus yang akan selalu memberi pencerahan bagi tiap hati yang menerimanya sebagai kebutuhan spiritual. Ajaran membiasakan diri untuk menahan diri dari berbagai kemungkinan yang ada di depan mata itu sangatlah luar biasa dalam membangun sikap hidup yang amanah. Kita maksimalkan yang menjadi hak, dan kita lupakan yang bukan menjadi hak.

Bergembiralah pada hari suci ini, sebagai ungkapan berjeda dari kehirukpikukan kompetisi duniawi. Berbagilah kegembiraan kepada mereka yang sesungguhnya membutuhkan perhatian dan penyantunan kita yang mampu. Zakat fitrah pada penghujung Ramadan jangan diartikan berhenti pada pengertian formal-ritualnya, tetapi yang lebih penting diserap sebagai sikap bahwa pada sebagian milik kita melekat milik para fakir miskin. Pada ruang yang lebih luas, menjadi tugas spiritual kita untuk memberdayakan agar kehidupan mereka beranjak dari stagnasi posisi ”menerima”. Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir batin.


Sumber : Tajuk Rencana Suaramerdeka.com edisi 30 Sept. 2008


30 September 2008
Hari Kemenangan
Oleh A Mustofa Bisri

DALAM Islam ada satu hari raya dalam seminggu, yaitu hari Jumat. Ada dua hari raya dalam setahun, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Idul Fitri merupakan hari raya umat Islam sebagai ungkapan rasa syukur mereka atas anugerah Allah berupa Ramadan dengan segala fasilitas spritualnya dan atas keberhasilan mereka melaksanakan fardhu puasa sebulan penuh.

Bagi muslim yang cerdas, Ramadan benar-benar merupakan momentum anugerah Allah yang luar biasa yang pasti tidak akan disia-siakannya. Pada bulan suci itu, Allah tidak hanya menjanjikan rahmat, ampunan, dan pahala berlipat, namun juga memberikan suasana khas di mana kaum muslimin--yang cerdas--dapat memanfaatkannya untuk meningkatkan kualitas dirinya sebagai manusia hamba Allah dan sebagai muslim.

Suasana khas Ramadan bagi mereka yang menghayatinya, akan sangat terasa. Suasana di mana kaum muslimin dapat dengan lebih khusyuk beribadah, lebih teliti mengoreksi diri, lebih intens berlatih menahan diri dan melawan godaan setan, untuk menjadi hamba Allah yang benar-benar bertakwa.

Pengampunan yang dijanjikan Allah bagi mereka yang berpuasa dan beribadah pada malam-malam hari bulan Ramadan--hanya karena Allah dan mengharap pahala-Nya--tidak tanggung-tanggung. Mereka akan diampuni dosa-dosa mereka yang sudah-sudah. Subhanallah. Ini saja sudah lebih pantas untuk disyukuri.

Pengampunan ini--mudah-mudahan kita semua mendapatkannya--adalah bekal untuk melanjutkan kehidupan kita selanjutnya dengan lebih ringan. Dengan pelaksanaan ibadah di bulan Ramadan, kita berbaik sangka kepada Allah: dosa-dosa kita yang selama ini membebani diri kita, sudah diampuni-Nya. Ini adalah dosa-dosa kita yang langsung berhubungan dengan hak Allah. Tinggal satu macam dosa lagi yang benar-benar perlu kita perhatikan. Sebab kalau tidak, akan dapat menyebabkan amal-amal ibadah kita menjadi sia-sia. Dosa apa itu? Dosa yang berkaitan dengan hak sesama.

Ya, dosa yang berkaitan dengan sesama hamba Allah ini jauh lebih gawat dan perlu benar-benar kita perhatikan. Soalnya, tidak sebagaimana Allah yang Pengampun Pemurah dan mempunyai ’’hobi’’ mengampuni, manusia tabiatnya mudah berbuat kesalahan dan sangat sulit memaafkan. Padahal menurut beberapa hadis sahih, kesalahan-kesalahan kita kepada sesama--bila tidak dimintakan maaf--dapat menjadi ganjalan kelak di akhirat. Kesalahan-kesalahan itu dapat menggerogoti amal-amal ibadah kita seperti shalat, puasa, dan sebagainya.

Maka sungguh arif para pendahulu kita yang mentradisikan adanya acara silaturahmi dan halalbihalal, saling memaafkan di antara sesama pada saat Idul Fitri. Kiranya kita perlu melakukan revitalisasi terhadap tradisi mulia itu--termasuk tradisi ’’baru’’ dalam bentuk ’’ritual mudik’’--dalam pengertian mengambil dan melestarikan intinya, yakni: menjaga hubungan baik antara kita, di samping menjaga hubungan baik dengan Allah. Dengan demikian, Idul Fitri benar-benar merupakan hari kemenangan bagi kita.

Nah, dalam Hari Raya Fitri ini, saya sampaikan Selamat Idul Fitri kepada Anda sekalian dengan permohonan maaf atas segala kesalahan saya lahir batin. Kesalahan-kesalahan Anda--kalau ada--juga sudah saya maafkan. Kullu ’aamin wa antum bikhair!(62)
Dikutip dari suaramerdeka.com edisi Sept.30. 2008

TAJUK RENCANA harian KOMPAS
Selasa, 30 September 2008 |
Fitri dan Rahmatan Lil'Alamin

Ketika Surya tenggelam di ufuk barat petang nanti, maka ber- akhir pulalah Bulan Ramadan 1429 Hijriah. Akan berlalu pula satu bulan suci.

Yakni bulan yang penuh magfirah, berkah dan tuntunan. Kepergiannya kita yakin akan meninggalkan kesan mendalam, khususnya bagi umat Islam yang selama sebulan penuh kemarin menghayati momen pendidikan spiritual dan tempaan jiwa raga ini.

Berikutnya, datanglah hari kemenangan, yang patut dirayakan. Namun sesudahnya, tibalah saat pembuktian, bahwa kita memang sudah jadi insan yang lebih baik dibandingkan sebelum Ramadhan. Selama sebulan penuh kita mendengar siraman rohani dari para ustadz dalam acara buka bersama, dan menjelang shalat tarawih. Juga yang kita peroleh sendiri dari tafakur pada malam hari.

Besar harapan kita, selain dosa hari kemarin diampuni, kita juga menjadi lebih tercerahkan, yang lebih penting lagi setelah ibadah Ramadhan, kita bisa kembali ke kondisi fitrah, sebagaimana hakikat Idul Fitri.

Dari ceramah para khatib, antara lain, kita diingatkan kembali akan kondisi fitri yang digambarkan seusai Ramadhan, yakni yang mengingatkan kita pada sifat bayi. Pada bayi terdapat sifat jujur karena ia tidak berpura-pura menangis minta susu kalau ia kenyang. Bayi juga juga tidak serakah karena ia hanya akan menyusu sampai ia merasa cukup, bukan menyedot habis saat sang ibu akan berangkat bekerja. Bayi juga memancarkan aroma wangi khas, yang membuat siapa pun ingin menciumnya dan tak keberatan bila diompoli.

Ya, kita memang merindukan sifat-sifat ideal seperti yang ada pada bayi justru ketika semakin terperangkap dalam berbagai hasrat duniawi yang sering membuat kita menjadi tidak jujur dan serakah.

Dimensi lain yang kita dambakan selain fitri atau suci adalah berkah atau menebarkan kebaikan. Berkah tidak saja bagi diri sendiri, tetapi juga bagi orang lain, bahkan bagi seluruh kehidupan di muka bumi.

Inilah kiranya yang diajarkan agama. Melalui ibadah puasa, yang dilaksanakan secara massal, tersirat makna ibadah ini untuk membangun kebersamaan. Seperti kita baca dari kolom Musa Asy’arie di harian ini kemarin, agama mengajarkan perlunya manusia membangun rasa kebersamaan dan kesatunasiban masa depan.

Seiring dengan itu pula, agama menegaskan agar manusia satu sama lain saling menghargai, saling belajar atas kekurangan dan kelebihan untuk mewujudkan kehidupan bersama yang lebih sejahtera dan beradab.

Ketika kita usai menjalankan perintah agama pada bulan Ramadhan, semestinyalah wawasan kesadaran di atas semakin kita resapi. Kita semakin jauh dari laku yang kurang beradab, yang keluar dari kalbu yang tidak mulia. Sebaliknya, yang lalu sering kita perlihatkan adalah perilaku luhur, yang memancar dari hati yang suci.

Semoga berkah itulah yang kita dapatkan setelah kita berpuasa Ramadan.

Selamat Idul Fitri 1429 H, mohon maaf lahir batin.

Selamat IDUL FITRI 1429 H


""Jalaluddin Rakhmat dalam buku larisnya, Islam Aktual (1992), dia menyebut mudik, silaturahmi halalbihalal Idul Fitri, sebagai kreasi bangsa yang menakjubkan, yang berfungsi sebagai terapi untuk manusia moderen. Mudik memuat nilai untuk ”kembali menjadi manusia”. Dengan mengutip Lewis Yablonsky, manusia-manusia moderen telah menjadi robopaths, kehilangan spontanitas dan kreativitasnya, menjadi seperti mesin yang secara ritual terikat pada kegiatan yang monoton.
Benarkah kita telah kehilangan rasa kemanusiaan untuk menjadi moderen? Beberapa indikator disampaikan: kita sibuk dengan kegiatan sehari-hari sehingga hampir tak sempat lagi memerhatikan keluarga. Kita kehilangan rasa sayang, bahkan semua emosi manusiawi. Kita justru mengembangkan sikap kasar, egois dan agresif. Penyakit-penyakit itu mewujud ke dalam berbagai perilaku dilingkungan masayrakat kita yang jauh dari ”bahasa hati” manusia, misalnya free fight yang berlebihan dalam mengembangkan survivalitas ekonomi, ketidakjujuran , serta pemancaran kekuasaan tanpa bekal nilai keamanahan.

Mobilitas manusia untuk satu momentum itu memang memadukan beragam variabel, misalnya pengalaman ruhaniah dengan merasa terpanggil mengunjungi kerabat untuk bersilaturahmi dan saling meminta maaf; variabel ekonomi lewat ungkapan pengumpulan uang selama setahun penuh untuk dibawa pulang ke daerahnya; serta variabel sosial berwujud ”panggilan kampung halaman” antara lain untuk berziarah ke makam leluhur. Kuat memancar sentuhan kemanusiaan dalam kegiatan massal itu, sehingga ”panggilan hati” atau ”bahasa nurani” jelas tidak bisa diukur dari rasionalitas berbasis efektif-efisien""
Tak selamanya mata memandang dengan ramah,

hati menilai dengan jernih,

dan mulut bicara dengan santun.

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI, MOHON MAAF LAHIR BATIN.

Friday, September 26, 2008

Info : Bahaya Melamin di Produk Susu

Jumat, 26 September 2008 | 05:51 WIB
KARENA ingin menjadikan seolah kandungan proteinnya tinggi, produk susu di China dicampuri melamin. Tidak tanggung-tanggung, sekurangnya empat bayi meninggal dunia dan sampai hari ini sudah lebih dari 13.000 bayi harus dirawat.

Sebenarnya kasus yang mirip pernah terjadi secara luas tahun lalu akibat pengoplosan melamin ke dalam makanan hewan dari China. Akibatnya, ratusan anjing dan kucing mati serta ribuan lainnya menderita gagal ginjal.

Apakah melamin itu? Samakah dengan melamin yang dipakai untuk peralatan makan kita? Apakah bahayanya? Pelajaran apa yang dapat ditarik dari kasus ini? Tulisan singkat berikut akan mencoba memberikan jawaban atas hal-hal itu.

Beda dengan perkakas

Melamin yang dipermasalahkan adalah senyawa organik bersifat basa dengan rumus C3H6N6, kandungan nitrogennya sampai 66 persen, biasa didapat sebagai kristal putih. Melamin biasanya digunakan untuk membuat plastik, lem, dan pupuk.

Plastik dari melamin, karena sifat tahan panasnya, digunakan luas untuk perkakas dapur. Jadi, melamin yang kini diributkan berbeda dengan melamin plastik perkakas. Melamin yang diributkan ini adalah bahan dasar plastik melamin.

Berdasarkan informasi di situs WHO, pencampuran melamin pada susu berawal dari tindakan pengoplosan susu dengan air. Akibat pengenceran ini, kandungan protein susu turun. Karena pabrik berbahan baku susu biasanya mengecek kandungan protein melalui penentuan kandungan nitrogen, penambahan melamin dimaksudkan untuk mengelabui pengecekan agar susu encer tadi dikategorikan normal kandungan proteinnya.

Data keamanan melamin

Penambahan melamin ke makanan tidak diperbolehkan oleh otoritas pengawas makanan negara mana pun. Walaupun seperti diberitakan Kompas, studi tentang efek konsumsi melamin pada manusia belum ada, hasil ekstrapolasi dari studi pada hewan dapat digunakan untuk memperkirakan efek pada manusia.

Hal itu telah tampak bila melamin bergabung dengan asam sianurat (yang biasa juga terdapat sebagai pengotor melamin) akan terbentuk kristal yang dapat menjadi batu ginjal. Batu ginjal ini telah tampak pada hewan-hewan korban kasus pengoplosan melamin tahun lalu. Batu ginjal inilah yang dapat menyumbat saluran kecil di ginjal yang kemudian dapat menghentikan produksi urine, gagal ginjal, bahkan kematian.

Telah diketahui juga bahwa melamin bersifat karsinogen pada hewan. Gejala yang diamati akibat kontaminasi melamin terdapat pada darah di urine, produksi urine yang sedikit, atau sama sekali tidak dihasilkan, tanda-tanda infeksi ginjal, dan tekanan darah tinggi.

Melamin memang tidak dapat dimetabolisme oleh tubuh. Data keselamatan menyatakan, senyawa ini memiliki toksisitas akut rendah LD50 di tikus, yaitu 3.161 mg per kg berat badan. Pada studi dengan menggunakan hewan memang dikonfirmasi, asupan melamin murni yang tinggi mengakibatkan inflamasi kandung kemih dan pembentukan batu kandung kemih.

Food and Drugs Administration (Badan Makanan dan Obat) Amerika Serikat menyatakan, asupan harian yang dapat ditoleransi (tolerable daily intake/TDI) melamin adalah 0,63 mg per kg berat badan. Pada masyarakat Eropa, otoritas pengawas makanannya mengeset standar yang lebih rendah, yaitu 0,5 mg per kg berat badan.

Seberapa parah kontaminasi yang terjadi? Dari inspeksi yang dilakukan di China, dari 491 batch (kelompok) yang dites, 69 di antaranya positif mengandung melamin, berkisar dari 0,09 mg per kg susu sampai 619 mg per kg susu. Bahkan ada yang mencapai 2.563 mg per kg.

Dengan konsumsi susu formula per kg berat badan bayi sekitar 140 g sehari, kalau bayi mengonsumsi susu yang terkontaminasi akan menerima asupan melamin 0,013-86,7 mg per kg berat badannya. Bahkan, kalau mengonsumsi susu yang terkontaminasi 2.563 mg melamin per kg susu, dapat mencapai asupan 358,8 mg per kg berat badannya. Jauh melampaui batas toleransinya!

Pelajaran

Kasus ini memberi kita berbagai pelajaran. Pertama, analisis protein dalam makanan dengan metode penentuan nitrogen dalam kasus ini ternyata dapat dikelabui dengan bahan lain yang kandungan nitrogennya tinggi. Padahal, terdapat cara-cara lain untuk analisis protein selain dengan penentuan kandungan nitrogen, yang dalam kasus seperti ini perlu dilakukan.

Kedua, pengetahuan tentang bahaya penggunaan bahan aditif makanan harus diberikan ke semua lini, terlebih yang terlibat dalam produksi makanan. Keinginan mendapat keuntungan lebih besar, yang mungkin dipadukan dengan ketidaktahuan, ternyata berdampak amat besar.

Dalam skala yang berbeda dan melibatkan bahan yang berbeda, di sekitar kita banyak kasus seperti ini, misalnya kasus boraks, formalin, dan sebagainya. Saya yakin ”keuntungan” yang didapat dari tindak seperti ini tidak akan dapat membayar kerugian yang diakibatkannya, apalagi sampai hilangnya nyawa bayi-bayi tak berdosa.

*ISMUNANDAR, Guru Besar Kimia di FMIPA ITB


Sumber : Kompas Cetak

Tuesday, September 23, 2008

Inspirasi : Akhirnya . . . .

Akhirnya...


by: GIGI





Kusadari akhirnya
Kerapuhan imanku
Telah membawa jiwa dan ragaku
Ke dalam dunia yang tak tentu arah


.


Kusadari akhirnya
Kau tiada duanya
Tempat memohon beraneka pinta
Tempat berlindung dari segala mara bahaya





Oh Tuhan, mohon ampun
Atas dosa dan dosa selama ini
Aku tak menjalankan perintah-Mu
Tak perdulikan nama-Mu
Tenggelam melupakan diri-Mu





Oh Tuhan mohon ampun
Atas dosa dan dosa
Sempatkanlah aku bertobat
Hidup di jalan-Mu
Tuk penuhi kewajibanku
Sebelum tutup usia
Kembali pada-Mu





* * *

Saturday, September 20, 2008

News : Ganti berlangganan Indovision

Setelah 1 tahun berlangganan Astro TV, mulai September kemarin terpaksa saya berhenti untuk berlangganan Astro TV, karena selama 1 tahun ini kelihatannya janji-janjinya nggak ditepati ( antara lain : Liga Inggris sudah tidak ada lagi, tambah channel juga tidak ada, migrasi ke measat 3 juga bohong belaka, malah terakhir aku dengar AORA TV pakai measat 3 ).
Untuk tidak mengurangi kegemaran anak-anak terhadap program disney, playhouse maka saya mencoba berlangganan INDOVISION, channel lebih variatif dan ada beberapa channel Radio FM yang cukup bagus.

Monday, September 08, 2008

Religi : Mengapa Wajib Puasa .... ????

Mengapa Harus Puasa


MARHABAN YA RAMADHAN.... :)
Pada bulan Ramadhan, ibadah yang khas dan harus dilakukan adalah puasa (Shaum) sebulan penuh. Puasa Ramadhan adalah menahan diri dari makan, minum, dan segala yang membatalkannya dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari, dengan niat puasa semata-mata karena Allah. Puasa Ramadhan juga masuk dalam rukun Islam, oleh karena itu semua orang yang mengaku Islam harus berpuasa. Tetapi, seringkali kita lihat tidak sedikit juga orang Islam tidak melakukan puasa. Salah satu yang menyebabkannya adalah pemahaman yang kurang terhadap ajaran Islam termasuk juga kurang mengetahui manfaat yang bisa didapat jika berpuasa. Masih banyak orang-orang termasuk orang muslim bertanya mengapa kita harus puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan.



Ditinjau dari segi Agama atau Religi, kita melakukan puasa sebagai bukti kecintaan dan ketaatan kita kepada Allah sang Maha Pencipta karena puasa itu sendiri merupakan perintah-Nya. Sebagaimana firman-Nya:



"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa " (Al-Baqarah: 183).



Jadi jelas puasa merupakan ibadah yang wajib dilakukan oleh orang-orang yang beriman (Islam). Tujuannya pun jelas yaitu untuk mendapatkan derajat takwa di sisi Allah.

Dilihat dari aspek sosial, puasa dapat menumbuhkan rasa simpati dan empati kepada orang lain yang selama ini kekurangan. Juga sebagai bukti adanya persamaan derajat di sisi Allah. Orang-orang yang berkecukupan, yang selama ini makan 3-4 kali sehari dapat merasakan penderitaan sebagian orang yang kurang mampu yang biasa hanya makan 1-2 kali sehari bahkan kadang tidak makan. Sehingga diharapkan akan timbul perasaan dan keinginan untuk menolong yang kurang mampu. Allah juga tidak membedakan puasanya orang kaya dan orang miskin. Dihapan Allah syarat sahnya puasa sama.

Ditinjau dari aspek pribadi dapat dilihat dari segi fisik dan psikologis. Dari aspek psikologis, puasa merupakan latihan bagi kita untuk bisa menahan nafsu-nafsu jelek yang muncul dari dalam diri kita. Nafsu yang paling kuat yang ada dalam diri manusia dan termasuk hal yang membatalkan puasa adalah nafsu yang sumbernya perut dan kemaluan. Nafsu tersebut juga sering menjadi biang kejahatan. Dengan latihan di bulan Ramadhan diharapkan setelah Ramadhan kita bisa menahan dan mengatur nafsu tersebut dengan baik.



"Barang siapa menjamin kepadaku apa yang berada di antara kumis dan janggutnya, serta apa yang berada diantara kedua pahanya, maka aku akan menjamin kepadanya surga " (h.r. Bukhari)



Dari aspek fisik, dengan puasa kita dapat hidup lebih sehat. Organ tubuh, terutama pencernaan yang selama ini terus bekerja keras, dapat beristirahat pada siang harinya. Dengan kondisi seperti ini organ tubuh yang mengalami kerusakan dapat melakukan recovery atau perbaikan selagi tidak bekerja. Sehingga ketika bekerja kembali dapat bekerja secara maksimal dan tubuh dapat memperoleh hasil yang lebih baik. Puasa juga dapat mengurangi resiko terkena berbagai macam penyakit. Ketika kita berpuasa terjadi penurunan laju metabolisme dalam tubuh. Buktinya, tubuh menjadi dingin. Hal ini menunjukkan terjadinya pengurangan asupan dan konsumsi oksigen secara total oleh tubuh. Dengan adanya pengurangan konsumsi oksigen, maka produksi radikal bebas oksigen yang bersifat racun akan turun. Kelebihan radikal bebas oksigen dapat menyebabkan menurunnya aktifitas enzim dan dapat merusak sel-sel tubuh secara umum. Sehingga bisa menyebabkan timbulnya penyakit. Dengan berpuasa, produksi radikal bebas oksigen dapat ditekan sampai 90% dan meningkatkan produksi antioksidan sampai 12%.


Saat kita puasa, secara tidak langsung kita telah mengurangi masuknya makanan dan zat-zat yang tidak diperlukan oleh tubuh termasuk racun. Pada saat puasa juga, usus tidak terisi secara penuh, sehingga dapat menyebabkan absorbsi zat-zat makanan termasuk racun tidak maksimal. Hal ini dapat mengakibatkan kecilnya resiko terkena penyakit. Kalaupun racun terabsorsi bersama makanan, maka Hati sebagai organ yang menetralkan racun dapat bekerja baik karena racunnya sedikit. Pada kondisi tidak puasa, dengan makanan yang berlebihan, produksi racun dan racun yang terserap sangat banyak. Sehingga hati tidak bisa menetralkan racun seluruhnya. Racun yang tidak bisa dinetralkan oleh Hati akan terbawa oleh aliran darah ke organ-organ. Hal inilah yang bisa menyebabkan timbulnya penyakit.

Dengan kondisi-kondisi seperti diatas dan manfaat yang didapat dan akan dirasakan, maka beruntunglah kita yang berpuasa. Maha Besar Allah yang menciptakan dan memerintahkan sesuatu selain dapat dirasakan manfaatnya juga untuk kebaikan mahluknya yang taat.

( dari milis atpugm.)

Monday, September 01, 2008

Hikmah : Selamat menunaikan ibadah puasa 1429 H

Tantangan Ibadah Puasa Wujudkan Semangat Menyantuni

Hari ini umat Islam mulai menjalankan ibadah puasa Ramadan. Selama sebulan muslim dan muslimat di negeri ini harus berpuasa dengan tantangan baru. Tantangan yang barangkali sangat mungkin lebih berat dibanding ibadah puasa tahun silam.

Pertama, ibadah puasa tahun ini tepat jatuh -dimulai- pada saat puncak musim kemarau. Ini berarti ibadah puasa Ramadan tahun ini membutuhkan ketahanan fisik yang harus luar biasa bagus.

Agar fisik tetap bagus, dibutuhkan makanan dan minuman yang kaya gizi, kaya vitamin dan mineral. Dengan kata lain, karena fisik harus bagus, kebutuhan fisik minimun (KFM) harus di atas rata-rata.

Kedua, ibadah puasa tahun ini memiliki tantangan lebih berat dibanding tahun sebelumnya lantaran dampak kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak) terhadap harga barang kebutuhan pokok masih sangat terasa.

Harga-harga kebutuhan pokok sejak kenaikan harga BBM mencapai 30 persen. Efek itu bukan hanya secara psikologis belum lenyap, melainkan proses recovery dalam anggaran rumah tangga keluarga belum sepenuhnya dapat dilakukan.

Kenaikan harga kebutuhan pokok belum bisa di-recovery, dengan, misalnya, belum ada kenaikan gaji pegawai. Akibatnya, pegawai golongan menengah ke bawah masih sulit mereposisi atau menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran dalam anggaran rumah tangga yang masih defisit.

Ketiga, di tengah masa recovery pasca kenaikan harga BBM belum bisa dilakukan dan anggaran rumah tangga belum balance, menjelang ibadah puasa -sejak dua minggu ini- ini harga kebutuhan pokok naik tajam lagi.

Contoh kecil, separo belah kelapa yang sebelumnya hanya Rp 5 ribu, menjelang Ramadan dikeluhkan banyak ibu rumah tangga karena melonjak menjadi Rp 9 ribu. Harga lombok yang sebelumnya hanya Rp 25 ribu per kg kini menjadi Rp 65 ribu per kg.

Dengan kondisi seperti itu, ibadah puasa tahun ini betul-betul membutuhkan perjuangan amat berat. Yakni, berat di psikologis. Juga berat di anggaran rumah tangga bagi golongan ekonomi menengah ke bawah.

Tantangan ini akan menjadi kian berat kalau rumah tangga muslim menjadikan Idul Fitri kelak -di akhir Ramadan- sebagai hari yang amat istimewa. Harus ditransformasikan menjadi suasana "serbabaru." Barang baru rumah tangga, pakaian baru, dan terbiasa dengan makan dan minuman yang serba industrialistik yang berharga mahal.

Oleh sebab itu, ada baiknya atau bahkan menjadi amat bijaksana jika tantangan berat beribadah puasa Ramadan tahun ini dijadikan kesadaran moral dan spiritual baru. Menjadi momentum untuk introspeksi. Menata diri menjadi lebih bersadar. Lebih telaten dan tekun. Menaikkan nalar guna menelurkan perbuatan yang lebih bijak dan realistis.

Dalam hal ini nilai spiritualitas dan kesucian Ramadan diwujudkan dengan menahan diri untuk mengekang nafsu dan ego konsumtif yang jauh dari semangat muamalat.

Makin beratnya tantangan beribadah puasa hendaknya dijadikan dorongan untuk lebih berempati dan bersimpati pada sesama muslim yang secara ekonomi jauh kurang beruntung. Kekanglah sifat pamer kemewahan. Perteballah spirit silaturahmi dengan sesama muslim yang wajib kita santuni.

Dengan demikian, diharapkan nilai moral dan spiritual ibadah puasa itu dapat mendongkrak semangat untuk meningkatkan pengeluaran zakat, infak, dan sedekah

Selamat memulai ibadah puasa, 1 Ramadan 1429H.
( Dikutip dari editorial Jawapos. 01 Sept.1928 )


01 September 2008
Ramadan yang Istimewa
Oleh A Mustofa Bisri

TIDAK terasa Ramadan, bulan istimewa dengan situasi dan suasananya yang istimewa, sudah kembali tiba. Di antara bulan-bulan setahun, bulan Ramadan memang merupakan bulan istimewa. Keistimewaannya bisa dilihat dari berbagai sudut; di antaranya bulan ini kitab suci Alquran diturunkan (Q.2: 185).

Bahkan menurut sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Shuhuf-nya Nabi Ibrahim, Tauratnya Nabi Musa, Injilnya Nabi Isa, dan Zaburnya Nabi Daud, semuanya juga turun di bulan Ramadan.

Pada bulan ini kita, kaum muslimin, diwajibkan berpuasa (Q. 2: 183). Pada bulan ini pintu sorga dibuka (HR imam Bukhori dan imam Muslim dari shahabat Abu Hurairah).

Istimewanya lagi, setiap keistimewaan Ramadan justru bermuara kepada keistimewaan kita. Turunnya Alquran adalah istimewa, karena, sebagaimana kitab-kitab suci lainnya, Alquran adalah firman Allah kepada hamba-hambaNya. Dan ini berarti istimewa bagi kita, hamba-hamba-Nya.

Bayangkan Allah Yang Maha Besar yang tak terhingga kebesarannya, Pencipta alam semesta , berkenan berfirman kepada kita yang sungguh amat sangat kecil di planet yang hanya sebesar debu di alam semesta ini.

Pada bulan Ramadan kita, kaum beriman, diwajibkan berpuasa. Ini istimewa. Di sebelas bulan yang lain, kita boleh dikata bebas memperlakukan dan mentasarufkan apa saja yang dianugerahkan Allah kepada kita.

Kita, misalnya, bebas menggunakan mulut anugerahNya untuk memasukkan dan mengeluarkan apa saja yang kita kehendaki, kecuali yang berbahaya terhadap diri kita sendiri.

Kita bebas makan, minum, dan berbicara kapan saja kita mau. Begitu bebasnya sehingga terhadap yang berbahaya terhadap diri kita sendiri pun seringkali kita tabrak juga.

Di bulan Ramadan ini lain. Kita tidak lagi bebas. Kita dipaksa mengekang dan menahan diri meski dalam waktu yang terbatas dari hal-hal yang halal yang tidak membahayakan diri kita sekali pun.

Kemudahan

Untuk kepentingan siapa kita mengekang dan menahan diri itu? Tidak untuk kepentingan siapa-siapa? Tapi untuk kepentingan kita sendiri. Di samping di bulan suci ini kita bisa dengan intens melatih diri menjadi mukmin yang kuat yang mampu mengalahkan diri sendiri yang pada akhirnya menjadi orang-orang yang benar-benar bertakwa, di samping itu bulan Ramadan menyediakan berbagai kemudahan bagi kita untuk mendapatkan rahmat dan pahala Allah.

Pada bulan Ramadan, seperti berita yang disampaikan Rasulullah SAW, pintu surga dibuka. Kesempatan mendapatkan sesuatu yang memudahkan kita masuk surga terbuka lebar-lebar.

Tinggal bagaimana kita mempergunakan kesempatan istimewa ini. Sebab ada hadis yang menyatakan banyak orang yang berpuasa dan hanya mendapatkan lapar belaka.

Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang dapat mengambil kesempatan istimewa bulan suci Ramadan ini terutama bagi kebahagiaan kita di akhirat kelak. Sedangkan untuk kebahagiaan dunia kita, sebelas bulan masa sih masih belum cukup?

Selamat menunaikan ibadah puasa bagi kaum muslimin. Selamat mempergunakan kesempatan istimewa bulan Ramadan untuk mengevaluasi diri, menuju keridhaan Allah.(77)

— Penulis adalah pemimpin Pondok Pesantren Roudhotut Thalibin, Rembang.

( Dikutip dari suaramerdeka.com, edisi 01 September 2008 )

Tajuk Rencana harian Suara merdeka edisi 01 September 2008
Puasa dan Altruisme yang Makin Langka
Visi Rasulullah Muhammad tentang ”banyaknya orang berpuasa yang hanya mendapat lapar dan dahaga” menemukan pembenaran pada masa-masa yang jauh melompat menembus waktu. Pesan ibadah shaum, seperti pada Ramadan 1429 Hijriah ini, mendapat aktualisasi moral sangat telak jika formalisme lebih menonjol ketimbang internalisasi substansialnya. Penghayatan, penjiwaan, dan serapan sikap menahan dirilah yang mestinya dilatih untuk dijadikan pilihan cara hidup. Bukan sekadar penuntasan aspek syariat berupa kemampuan menahan lapar, dahaga, dan larangan tertentu dalam periode waktu tertentu.

Pesan moral puasa Ramadan adalah pemuliaan para pelakunya untuk menjadi manusia yang memiliki keseimbangan laku, yakni budi penghambaan dan budi sosial. Dan, itulah sesungguhnya singkapan makna spiritualitas dalam jenis ibadah apa pun. Bukankah kita acap menangkap ironi: ketidaksambungan antara budi penghambaan dengan budi sosial? Secara fisik terlihat sebagai seorang yang saleh, tetapi kesalehannya tidak terpancar dalam sikap kesehariannya? Muhammad mencontohkannya lewat pernyataan hikmah yang sederhana, ”Mana mungkin kamu berpuasa tetapi kamu menyakiti hati orang lain?”

Menahan diri di tengah gemuruh kemungkinan. Tepatlah kalimat itu merumuskan ”sikap puasa” yang harus diserap dari pelatihan selama sebulan pada tiap Ramadan. Punya kesempatan untuk mengambil sesuatu, tetapi kita tahan tangan kita untuk tidak mengambilnya karena sadar itu bukan hak kita. Kita tenang mengelola kekuasaan yang sedang berada di tangan. Kita tidak berpamrih atas peluang-peluang yang cenderung ke arah pengayaan diri secara bias. Mohamad Sobary dalam buku Moralitas Orang Pinggiran menyebutnya sebagai bahasa hati yang merupakan hikmah dari latihan tidak makan itu.
Altruisme dalam sikap hidup sosial, benarkah menjadi sesuatu yang makin langka di tengah kita? Selama beberapa tahun terakhir ini, betapa banyak kita mendapat suguhan berita mengenai orang-orang di dalam lingkar kekuasaan yang tidak mampu menghindar dari pemanfaatan tiap peluang. Kekuasaan justru dijadikan kekuatan untuk menekan pihak lain dengan imbalan materi: agar memilih seseorang sebagai pejabat publik, agar bersikap tertentu dalam perumusan kebijakan, agar mempermulus pengalihan fungsi lahan, serta sederet keputusan penting lainnya. Bagaimana kita membaca fenomena kekuasaan macam itu?

Puasa Ramadan disambut dengan ghirrah ibadah, dan spirit performa. Kita menyaksikan pemandangan rutin mereka yang mlungsungi dalam tampilan fisik. Tentulah tidak kita harapkan performa yang ”seolah-olah”, karena perilaku individu hanya akan dirasakan manakala sudah menjangkau perilaku sosial. Yang kita inginkan tentulah pancaran altruisme yang memberi makna bagi kemaslahatan masyarakat. Menahan diri untuk tidak pamer di tengah kemiskinan sebenarnya sudah merupakan ungkapan altruisme, termasuk ketidaklarutan ke pemanfaatan kepentingan ketika berada di pusaran kekuasaan.

Salah besar jika Ramadan dilewatkan dengan formalisme dan sekadar ritus reguler. Selalu kita temukan spirit baru untuk memperbaiki hati. Kita tangkap pesan moralnya. Kealtruisan, me-muraqabah-an (selalu merasa ”diintip” oleh Yang Maha Agung), dan iktikad untuk memberi makna bagi sesama merupakan sebagian dari nilai-nilai yang kita serap sebagai sikap hidup, karena puasa bukan terminal mobilitas atau sekadar jeda selama sebulan. Kesuksesan budi penghambaan akan menemukan muaranya yang sejati sebagai budi sosial manakala tiap ibadah selalu diorientasikan untuk memayu hayuning bawana.


" Selamat menjalankan ibadah PUASA, semoga menjadi manusia TAQWA"