Tuesday, September 30, 2008

Refleksi Idul Fitri 1429 H

Idul Fitri, Penyegaran Nilai Kemanusiaan

Puasa selama satu bulan penuh pada Ramadan 1429 Hijriah yang kita tutup hari ini, kita lanjutkan dengan lembaran baru: Idul Fitri pada esok pagi. Hanya kita masing-masinglah yang dapat memberikan penilaian, sukseskah pengabdian kita sepanjang sebulan? Juga hanya kita sendiri yang dapat menilai, sentuhan apakah yang telah terusap dan tertanamkan oleh ibadah puasa bagi perubahan hati, lalu perilaku kita? Apakah keikhlasan menjalani laku menahan diri dari ragam peluang dan kemungkinan sehari-hari itu bakal mampu menciptakan pola hidup baru? Hanya kitalah yang mampu menjawabnya.

Puasa hakikatnya adalah lelabet, yang oleh firman Allah digambarkan sebagai titian menuju predikat idaman sebagai muttaqin, orang-orang yang bertakwa. Indikator kesuksesan atau ketakwaan itu bukanlah sedangkal kemampuan menyelesaikan syarat syar’i-nya, tetapi pengaruh seperti apa yang kemudian mempolakan sikap ”menahan diri” dalam langgam kehidupan sehari-hari seseorang. ”Diklat” selama sebulan itu hanya pemolaan, selebihnya tergantung kita apakah mampu mempolakan sikap dan perbuatan berdasarkan ”bahasa hati” itu dalam kehidupan nyata selama 11 bulan berikut.

Idul Fitri adalah momentum pencerahan ketika manusia memasuki sebuah fase putih bersih produk Ramadan. Terdapat sinergi spiritualitas antara penghambaan vertikal kepada Allah dengan interaksi sosial kita dengan sesama hamba Allah. Kita di Indonesia melengkapinya dengan tradisi halalbihalal yang adiluhung itu, sebuah momentum saling membuka hati, kesempatan untuk saling bermaafan. Pada hari-hari itu tidak berlaku sekat sosial, yang dalam ritme hidup sehari-hari sering diberi rambu-rambu sosial-ekonomi-politik. Keindahan interaksi mana lagi yang dapat diperbandingkan dengan keagungan hari fitri itu?

Masalahnya, kita terlalu sering terjebak oleh simbol, berhenti hanya pada momentum, dan gagal mengembangkannya sebagai terapi hati dan terapi sosial. Ramadan dan Idul Fitri yang mencerahkan pada harinya, tidak dielaborasi sebagai internalisasi sikap dan akhlak. Yang biasa korupsi akan kembali asyik dengan penyelewengan-penyelewengannya, yang menzalimi rakyat hanya memperlihatkan muka manis sebatas menyelesaikan formalitas Lebarannya. Tentu bukan kemudahan melepas momentum semacam itu yang seharusnya dimaksimalkan dari pengalaman-pengalaman spiritual selama masa pendadaran.

Sebrutal-brutalnya sikap manusia, apakah hatinya tidak tersentuh oleh alunan takbir? Pertanyaan itu mungkin akan memeroleh jawaban yang bersifat relatif, tetapi pembelajaran yang sedemikian sistematis melalui Ramadan dan Idul Fitri mestinya memang merupakan siklus yang akan selalu memberi pencerahan bagi tiap hati yang menerimanya sebagai kebutuhan spiritual. Ajaran membiasakan diri untuk menahan diri dari berbagai kemungkinan yang ada di depan mata itu sangatlah luar biasa dalam membangun sikap hidup yang amanah. Kita maksimalkan yang menjadi hak, dan kita lupakan yang bukan menjadi hak.

Bergembiralah pada hari suci ini, sebagai ungkapan berjeda dari kehirukpikukan kompetisi duniawi. Berbagilah kegembiraan kepada mereka yang sesungguhnya membutuhkan perhatian dan penyantunan kita yang mampu. Zakat fitrah pada penghujung Ramadan jangan diartikan berhenti pada pengertian formal-ritualnya, tetapi yang lebih penting diserap sebagai sikap bahwa pada sebagian milik kita melekat milik para fakir miskin. Pada ruang yang lebih luas, menjadi tugas spiritual kita untuk memberdayakan agar kehidupan mereka beranjak dari stagnasi posisi ”menerima”. Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir batin.


Sumber : Tajuk Rencana Suaramerdeka.com edisi 30 Sept. 2008


30 September 2008
Hari Kemenangan
Oleh A Mustofa Bisri

DALAM Islam ada satu hari raya dalam seminggu, yaitu hari Jumat. Ada dua hari raya dalam setahun, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Idul Fitri merupakan hari raya umat Islam sebagai ungkapan rasa syukur mereka atas anugerah Allah berupa Ramadan dengan segala fasilitas spritualnya dan atas keberhasilan mereka melaksanakan fardhu puasa sebulan penuh.

Bagi muslim yang cerdas, Ramadan benar-benar merupakan momentum anugerah Allah yang luar biasa yang pasti tidak akan disia-siakannya. Pada bulan suci itu, Allah tidak hanya menjanjikan rahmat, ampunan, dan pahala berlipat, namun juga memberikan suasana khas di mana kaum muslimin--yang cerdas--dapat memanfaatkannya untuk meningkatkan kualitas dirinya sebagai manusia hamba Allah dan sebagai muslim.

Suasana khas Ramadan bagi mereka yang menghayatinya, akan sangat terasa. Suasana di mana kaum muslimin dapat dengan lebih khusyuk beribadah, lebih teliti mengoreksi diri, lebih intens berlatih menahan diri dan melawan godaan setan, untuk menjadi hamba Allah yang benar-benar bertakwa.

Pengampunan yang dijanjikan Allah bagi mereka yang berpuasa dan beribadah pada malam-malam hari bulan Ramadan--hanya karena Allah dan mengharap pahala-Nya--tidak tanggung-tanggung. Mereka akan diampuni dosa-dosa mereka yang sudah-sudah. Subhanallah. Ini saja sudah lebih pantas untuk disyukuri.

Pengampunan ini--mudah-mudahan kita semua mendapatkannya--adalah bekal untuk melanjutkan kehidupan kita selanjutnya dengan lebih ringan. Dengan pelaksanaan ibadah di bulan Ramadan, kita berbaik sangka kepada Allah: dosa-dosa kita yang selama ini membebani diri kita, sudah diampuni-Nya. Ini adalah dosa-dosa kita yang langsung berhubungan dengan hak Allah. Tinggal satu macam dosa lagi yang benar-benar perlu kita perhatikan. Sebab kalau tidak, akan dapat menyebabkan amal-amal ibadah kita menjadi sia-sia. Dosa apa itu? Dosa yang berkaitan dengan hak sesama.

Ya, dosa yang berkaitan dengan sesama hamba Allah ini jauh lebih gawat dan perlu benar-benar kita perhatikan. Soalnya, tidak sebagaimana Allah yang Pengampun Pemurah dan mempunyai ’’hobi’’ mengampuni, manusia tabiatnya mudah berbuat kesalahan dan sangat sulit memaafkan. Padahal menurut beberapa hadis sahih, kesalahan-kesalahan kita kepada sesama--bila tidak dimintakan maaf--dapat menjadi ganjalan kelak di akhirat. Kesalahan-kesalahan itu dapat menggerogoti amal-amal ibadah kita seperti shalat, puasa, dan sebagainya.

Maka sungguh arif para pendahulu kita yang mentradisikan adanya acara silaturahmi dan halalbihalal, saling memaafkan di antara sesama pada saat Idul Fitri. Kiranya kita perlu melakukan revitalisasi terhadap tradisi mulia itu--termasuk tradisi ’’baru’’ dalam bentuk ’’ritual mudik’’--dalam pengertian mengambil dan melestarikan intinya, yakni: menjaga hubungan baik antara kita, di samping menjaga hubungan baik dengan Allah. Dengan demikian, Idul Fitri benar-benar merupakan hari kemenangan bagi kita.

Nah, dalam Hari Raya Fitri ini, saya sampaikan Selamat Idul Fitri kepada Anda sekalian dengan permohonan maaf atas segala kesalahan saya lahir batin. Kesalahan-kesalahan Anda--kalau ada--juga sudah saya maafkan. Kullu ’aamin wa antum bikhair!(62)
Dikutip dari suaramerdeka.com edisi Sept.30. 2008

TAJUK RENCANA harian KOMPAS
Selasa, 30 September 2008 |
Fitri dan Rahmatan Lil'Alamin

Ketika Surya tenggelam di ufuk barat petang nanti, maka ber- akhir pulalah Bulan Ramadan 1429 Hijriah. Akan berlalu pula satu bulan suci.

Yakni bulan yang penuh magfirah, berkah dan tuntunan. Kepergiannya kita yakin akan meninggalkan kesan mendalam, khususnya bagi umat Islam yang selama sebulan penuh kemarin menghayati momen pendidikan spiritual dan tempaan jiwa raga ini.

Berikutnya, datanglah hari kemenangan, yang patut dirayakan. Namun sesudahnya, tibalah saat pembuktian, bahwa kita memang sudah jadi insan yang lebih baik dibandingkan sebelum Ramadhan. Selama sebulan penuh kita mendengar siraman rohani dari para ustadz dalam acara buka bersama, dan menjelang shalat tarawih. Juga yang kita peroleh sendiri dari tafakur pada malam hari.

Besar harapan kita, selain dosa hari kemarin diampuni, kita juga menjadi lebih tercerahkan, yang lebih penting lagi setelah ibadah Ramadhan, kita bisa kembali ke kondisi fitrah, sebagaimana hakikat Idul Fitri.

Dari ceramah para khatib, antara lain, kita diingatkan kembali akan kondisi fitri yang digambarkan seusai Ramadhan, yakni yang mengingatkan kita pada sifat bayi. Pada bayi terdapat sifat jujur karena ia tidak berpura-pura menangis minta susu kalau ia kenyang. Bayi juga juga tidak serakah karena ia hanya akan menyusu sampai ia merasa cukup, bukan menyedot habis saat sang ibu akan berangkat bekerja. Bayi juga memancarkan aroma wangi khas, yang membuat siapa pun ingin menciumnya dan tak keberatan bila diompoli.

Ya, kita memang merindukan sifat-sifat ideal seperti yang ada pada bayi justru ketika semakin terperangkap dalam berbagai hasrat duniawi yang sering membuat kita menjadi tidak jujur dan serakah.

Dimensi lain yang kita dambakan selain fitri atau suci adalah berkah atau menebarkan kebaikan. Berkah tidak saja bagi diri sendiri, tetapi juga bagi orang lain, bahkan bagi seluruh kehidupan di muka bumi.

Inilah kiranya yang diajarkan agama. Melalui ibadah puasa, yang dilaksanakan secara massal, tersirat makna ibadah ini untuk membangun kebersamaan. Seperti kita baca dari kolom Musa Asy’arie di harian ini kemarin, agama mengajarkan perlunya manusia membangun rasa kebersamaan dan kesatunasiban masa depan.

Seiring dengan itu pula, agama menegaskan agar manusia satu sama lain saling menghargai, saling belajar atas kekurangan dan kelebihan untuk mewujudkan kehidupan bersama yang lebih sejahtera dan beradab.

Ketika kita usai menjalankan perintah agama pada bulan Ramadhan, semestinyalah wawasan kesadaran di atas semakin kita resapi. Kita semakin jauh dari laku yang kurang beradab, yang keluar dari kalbu yang tidak mulia. Sebaliknya, yang lalu sering kita perlihatkan adalah perilaku luhur, yang memancar dari hati yang suci.

Semoga berkah itulah yang kita dapatkan setelah kita berpuasa Ramadan.

Selamat Idul Fitri 1429 H, mohon maaf lahir batin.

No comments: