Tuesday, September 25, 2007

Memberi makna lebih RAMADHAN

Ramadan dalam Alquran
Oleh HM Muchoyyar HS



RAMADAN terpilih sebagai bulan puasa yang diwajibkan kepada orang-orang beriman (QS 2: 183, 185). ''(Beberapa hari yang ditentukan itu) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil). Karena itu barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu....''

Para ulama banyak memberikan uraian tentang hikmah puasa Ramadan, misalnya untuk mempertinggi budi pekerti, menimbulkan kesadaran dan kasih sayang terhadap orang-orang miskin, orang-orang lemah yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, melatih jiwa dan jasmani, menambah kesehatan dan lain sebagainya. Uraian seperti itu tentu ada benarnya, walaupun sulit dirasakan oleh setiap muslim yang berpuasa. Karena lapar, haus dan lain-lainnya akibat berpuasa tidak secara otomatis mengingatkan kepada penderitaan orang lain.

Malah mendorongnya untuk mencari dan mempersiapkan makanan dan minuman yang bervariasi pada siang hari untuk melepaskan lapar dan dahaganya di kala berbuka puasa pada malam harinya. Begitu pula tidak akan mudah dirasakan oleh orang berpuasa bahwa puasa itu akan membantu kesehatan. Maka orang berimanlah akan patuh melaksanakan perintah berpuasa sepenuh hati, karena ia merasa kebutuhan jasmaniah dan rohaniah adalah dua unsur pokok bagi kehidupan manusia yang harus dikembangkan dengan bermacam-macam latihan agar tenteram hidup di dunia dan bahagia dan alam baqa.

Bulan Ramadan sebagai salah satu jenis puasa wajib merupakan puasa pokok yang paling utama dibandingkan dengan puasa-puasa wajib lainnya. Puasa kafarat adalah puasa wajib karena pelanggaran suatu tata aturan. Puasa nadzar juga puasa wajib untuk membayar nadzar yang telah diikrarkan berpuasa oleh seseorang hamba Allah. Demikian pula, puasa qadha merupakan pembayaran (ganti) hari-hari puasa Ramadan yang tidak dikerjakan karena halangan.

Ramadan dipilih Allah SWT sebagai bulan diwajibkan puasa, karena bulan itu lebih baik atau istimewa dan lebih tinggi statusnya dari bulan-bulan qamariyah lainnya.

Bila diperhatikan, Ramadan adalah bulan yang paling panas karena terik matahari dan kurang layak bila dijadikan bulan untuk melaksanakan puasa sebulan penuh. Ramadan dipilih Allah SWT, karena terdapat banyak peristiwa dan kejadian-kejadian penting yang berpengaruh besar terhadap pembinaan kehidupan umat manusia.

Wahyu Allah pertama yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. Melalui Malaikat Jibril pada bulan Ramadan (QS Al Baqarah: 185). Wahyu pertama ini merupakan titik tolak yang mendasar dalam menggerakkan perkembangan rohaniyah terbesar serta melahirkan suatu umat baru (umat Islam). Alquranlah yang telah mengangkat kembali derajat manusia dari lembah kenistaan dan kejumudan dengan anjurannya untuk menggunakan akal pikiran dalam menghadapi dan mengamati alam semesta ini. Alquran mengumandangkan ajaran tauhid dan memerintahkan manusia untuk melepaskan diri dari belenggu berhala atau sesembahan lainnya. Alquran juga mencantumkan secara jelas asas persamaan status yang tidak membedakan manusia dalam derajat, pangkat dan kelas tertentu.

Lailatul Qadar sebagai suatu malam yang penuh dengan kemuliaan dan keutamaan, jatuhnya pada bulan Ramadan. Dalam beberapa hadis dijelaskan bahwa Lailatul Qadar itu terdapat pada salah satu malam dari sepuluh terakhir bulan Ramadan.

Lailatul Qadar dengan keutamaannya lebih baik dari seribu bulan, merupakan tumpuan keinginan bagi umat Islam untuk dapat menikmatinya. Firman Allah dalam surat Al-Qadar 1-3 yang artinya: ''Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran) pada malam kemuliaan (Lailatul Qadar). Dan tahukah kamu kemuliaan itu, lebih baik dari seribu bulan''.

Bulan Ramadan merupakan pula bulan kemenangan Rasulullah SAW beserta pengikutnya terhadap kaum kafir Quraisy, seperti: Pertama, Kemenangan dalam Perang Badar yang dikenal sebagai Hari Furqan atau hari pemisah antara yang benar (Islam) dan yang batil (kafir Quraisy) seperti firman Allah SWT dalam surat Al-Anfal 41, yang artinya: ''Dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad) di hari furqan yaitu di hari bertemunya dua pasukan....'' Hari furqan tersebut jatuhnya pada 17 Ramadan (Jumat) tahun kedua Hijriah. Kedua, jatuhnya kota Makkah dari tangan kafir Quraisy kepada umat Islam juga pada bulan Ramadan.(41)

-Prof Dr Muchoyyar HS MA, adalah guru besar IAIN Walisongo Semarang.


Suaramerdeka.com



Selasa, 25 September 2007 WACANA


Memberi Makna Lebih saat Berpuasa


Setiap bulan Ramadhan tiba ummat Islam merasakannya sebagai bulan yang penuh dengan berkah. Bulan di mana Allah menjanjikan begitu banyak pahala yang tidak dimiliki bulan lain. Malam hari, masjid dan mushola yang biasanya sepi terasa lebih sumringah karena gema tadarus dan pengajian. Kesyahduan dan kekusyukan terasa hadir di mana-mana. Di sisi yang lain, kita juga menyaksikan begitu riuhnya siaran televisi pada saat-saat menemani sahur. ''Kehidupan malam'' kaum muslimin menjadi lebih panjang karena berangkat tidur terlambat dan selesai sahur biasanya diteruskan ke subuh. Jam tidur menjadi lebih pendek, sehingga puasa benar-benar menampakkan sebagai bulan penuh tirakat.

Bagi sebagian orang Jawa, puasa sebenarnya bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupannya. Hal ini ditandai dengan begitu banyaknya ragam puasa seperti puasa mutih, ngrowot, ngalong, pati geni dan lain sebagainya. Semakin tinggi kawruh yang ingin digapai, maka puasanya menjadi semakin berat dan rumit. Di samping laku puasa yang tidak umum misalnya pasa ngendikan (puasa bicara). Setiap mereka yang ingin laku biasanya akan mengawali ritual puasa tiga hari, untuk selanjutnya meningkat sesuai dengan kemampuan dan kemauan. Inti dari semua laku itu sebenarnya sama, yakni dalam kerangka nggulawentah agar menjadi manusia yang mendekati sempurna.

Orang Jawa menafsirkan puasa sebagai mepes hawa kalawan nepsu sajroning urip kangge urip sajroning pati. Maknanya, puasa itu berguna untuk mengendalikan hawa nafsu ketika masih hidup untuk bekal hidup di sepanjang kematiannya. Artinya pula, puasa itu selain untuk memperbaiki seluruh sistem tubuh dan seisinya atau ngresiki raga juga sangat penting sebagai sangu ketika manusia wangsul dateng ngarsanipun Gusti Allah. Dengan demikian, puasa bukanlah sekadar mengendalikan nafsu,lebih jauh dari itu yakni memberi makna lebih setelah kematiannya. Dengan demikian, manusia yang berpuasa akan lebih dekat dengan Allah karena telah tertata jiwa dan raganya.

Dengan berpuasa maka manusia mengendalikan nafsu-nafsunya seperti nafsu mencuri, wanita, minum, main, madat, maido (mencela) dan mateni (membunuh). Di samping mengendalikan nafsu merasa benar sendiri, merasa besar sendiri, dan nafsu ego lainnya. Dengan mengendalikan nafsu di saat puasa, dan syukur di bulan lainnya secara niscaya manusia tersebut masuk kategori berakhlaq mulia karena mampu mengimplementasikan ajaran Allah dalam kehidupan kesehariannya. Nah, di sinilah sebenarnya esensi dari ajaran manunggaling kawula Gusti, yakni bertemunya perintah Tuhan dengan pelaksanaan oleh ummat-Nya. Maka, nilai puasa menjadi begitu sangat bermakna bagi yang mengetahuinya.

Tetapi, jika yang terjadi justru gemerlap konsumerisme di saat Ramadhan tiba, maka rasanya perlu direnungi kembali makna dan esensi puasa itu. Kenapa ? Bukankah Ramadhan dimaknai sebagai bulan di mana manusia berusaha mengembangkan diri secara spiritual dengan titik berat pada pengendalian hawa nafsu. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya nafsu untuk belanja, makan, minum, dan berpakaian menjadi lebih semarak. Nah, ketika nafsu kasar seperti ini menjadi lebih dominan, maka tentu akan mengurangi nilai-nilai yang seharusnya ada selama puasa. Puasa menjadi kurang bermakna, ketika ia hanya berfungsi sebagai penunda waktu makan saja.

Rasanya kita perlu terus mengasah hati nurani, dan bertanya tentang makna puasa kepada diri sendiri. Apakah saat puasa harus menebar marah kepada orang-orang yang tidak perlu dimarahi ? Apakah puasa harus makan lebih enak dan banyak ketika di sebelah masih banyak yang harus disantuni ? Apakah harus pula lebih banyak mencela, ketika diri sendiri belum juga sempurna ? Apakah rumangsa resik, sehingga harus menebar ancaman kepada mereka yang dianggap kotor. Puasa yang masih diselimuti dengan kenyang, marah, mencela, dan lain-lain tentu bukan itu makna ajaran-Nya. Sebaliknya, puasa harus membuat diri lebih tentram, dan orang lain tetap nyaman.

No comments: