Monday, March 10, 2008

Antara Gajah, Semut dan diri kita . . .

Artikel bagus dari milis by Dadang K

Apa yang terjadi jika dipelupuk mata anda ditempelkan seekor gajah?
Pasti anda tidak dapat melihat apa-apa, bukan? Oh, tentu saja. Tapi
anehnya, anda masih bisa melihat seekor semut yang ada diseberang
lautan. Begitulah perumpamaan yang disampaikan oleh para bijak
bestari ketika mereka hendak mengingatkan kita yang seringkali dapat
dengan mudah menemukan kelemahan dan kekurangan orang lain.
Sedangkan, terhadap kelemahan dan kesalahan diri sendiri; seolah-
olah tidak dapat melihatnya sama sekali. Maka, semut diseberang
lautan kelihatan, gajah dipelupuk mata tak tampak sosoknya. Banyak
orang yang begitu bersemangatnya mengungkit-ungkit kelemahan orang
lain, tanpa terlebih dahulu berkaca atas dirinya sendiri. Sehingga,
mereka tidak sadar bahwa boleh jadi; hal yang dia kritisi dari orang
lain adalah sesuatu yang sesungguhnya terjadi pada dirinya sendiri.

Teman saya tiba-tiba datang sambil menggerutu. Dia nyerocos kesana-
kemari hingga saya tidak benar-benar mengerti apa maksudnya. Yang
saya dengar dengan jelas adalah perkataannya yang
terakhir; "Mestinya dia itu berkaca dulu, biar tahu bahwa dirinya
sendiri juga begitu...!"

"Ada apa sih?" kata saya, "tidak ada hujan, tiada angin, kok ngomel
kayak begitu...". Kemudian tahulah saya apa masalahnya. Rupanya dia
baru saja mendapatkan kritikan dari rekan sekantornya. Masalahnya,
kritikan itu disampaikan didepan umum, sehingga membuatnya tidak
nyaman. Selain itu, orang yang mengkritiknya – menurut pendapat
teman saya itu – bukanlah orang yang benar-benar layak mengkritik.
Karena, katanya, orang itu juga sama saja dengannya. Bahkan, kalau
orang itu mau berkaca, seharusnya kritikan itu ditujukan kepada
dirinya sendiri. "Bukan pada gue!" dongkolnya.

Pada kesempatan lain, seorang manajer mengkritik temannya yang sama-
sama manajer pula. Orang itu mengkritik si manajer dengan mengatakan
bahwa anak buahnya tidak menyukainya karena dia itu begini dan
begitu. "Kalau kamu mau menjadi atasan yang berhasil, maka kamu
harus bla, bla, bla, bla.....kepada anak buah kamu," begitu katanya.
Kepada saya, orang yang dikritik ini berkata; "Gue heran deh Dang,
kok ada ya orang yang pede begitu. Padahal, anak buahnya sendiri
curhat kepada orang lain tentang kepemimpinannya. "

Mendengarkan hal ini, menjadikan saya tersadarkan kepada dua hal.
Pertama, memang, tidak mudah untuk mengetahui kesalahan dan
kekuranga yang ada pada diri sendiri. Seseorang yang pandai
mengkritik orang lain, belum tentu pandai pula mengkritisi dirinya
sendiri. Kedua, saya teringat bahwa sayapun memiliki beberapa orang
yang bekerja dibawah kepemimpinan saya. Boleh jadi, saya tidak
menyadari bahwa sebenarnya mereka, atau beberapa diantara mereka
lebih suka curhat kepada orang lain tentang kelemahan-kelemahan
saya, daripada mengatakannya; sehingga saya mempunyai kesempatan
untuk memperbaiki diri. Seperti yang dialami oleh sahabat saya ini.
Tetapi, jikapun itu terjadi pada kita; tidak perlu heran. Karena,
itu terjadi hampir dimana-mana. Bahkan, saya pernah mendengar sebuah
kelakar; "Sebaik apapun seorang atasan, selalu ada alasan bagi
bawahan untuk mencari-cari bahan gunjingan... ." Saya tidak tahu
pasti, apakah benar demikian. Namun, rasanya masuk akal juga. Sebab,
bukankah tidak ada manusia yang sempurna?

Dua kesadaran itu telah membantu saya melihat sedikit lebih jernih.
Mungkin benar bahwa kritik itu menyakitkan. Tetapi, membicarakan
kesalahan seseorang kepada orang-orang yang tidak berkepentingan
sama sekali tidak memberi solusi. Jadinya, itu tidak lebih dari
sekedar gunjingan yang menjadi komoditas murahan dikantin-kantin
tempat makan siang, atau lorong-lorong tempat para penggunjing
berkongkow-kongkow. Jadi, lebih baik jika kritik itu disampaikan
langsung kepada orangnya. Jika memungkinkan, secara pribadi.

Disisi lain, alangkah eloknya jika sang pemberi kritik itu terlebih
dahulu mengecek; apakah dia sudah terbebas dari hal yang hendak ia
kritisi itu atau tidak. Agak lucu jika seseorang mengkritik orang
lain atas sebuah perilaku, namun dia sendiri berperilaku sama.
Tetapi, seperti yang saya kemukakan tadi; begitu banyak orang yang
seperti itu. Dan jika anda juga begitu, tidak usah tersinggung,
karena mungkin; saya pun begitu. Jadi, kita ini sebelas dua
belaslah. Paling tidak, kita sudah mulai menyadarinya, bukan? Lebih
baik dibandingkan membiarkan kecuekbebekan menjadikan mata hati kita
buta, dan telinga kita pekak dengan diri kita sendiri; sementara
kepada orang lain, kita begitu garangnya menyerang... ..

Mungkin anda pernah mendengar sebuah kisah klasik tentang seorang
raja yang frustrasi dengan istananya yang bau. Semua yang ada
didalamnya berbau busuk. Sampai-sampai sang raja tidak tahu lagi
bagaimana cara mengatasinya. Hal pertama yang selalu ingin didengar
oleh sang raja ketika dia bangun pagi adalah tentang kuda
kesayangannya. Maka, sang petugas perawatan kuda selalu menjadi
orang pertama yang menghadap yang mulia. Agar tidak terlambat
memberitahu sang raja tentang kondisi kudanya; setiap pagi dia duduk
bersimpuh disamping ranjang sang raja untuk menantinya terbangun.
Pagi itu, sang perawat kuda bersiap-siap hendak memberikan laporan
ketika sang raja menggeliat. Namun, sebelum dia sempat berkata; sang
raja keburu membentaknya. "Hey, tubuhmu bau kotoran kuda. Mandi yang
bersih sebelum menemuiku." Lalu orang itu diusirnya.

Raja bergegas ke ruang makan untuk sarapan. Ketika sang raja hendak
makan, dia mencium bau busuk itu lagi. Dan dengan rasa penasaran dia
mencari-cari, dimana sumber bau itu berada. "Oh, ternyata dari
makanan ini!" begitu teriaknya hingga para koki istana panik
karenanya. Raja kemudian bergegas menemui sang ratu, sambil
mengumpat kepada semua orang bau yang ditemuinya diseluruh istana
kerajaan. "Lebih baik aku menghabiskan waktu dengan ratuku saja..."
pikirnya. Namun, sang raja dilanda kecewa ketika ternyata ratu yang
sangat dicintainya itupun tubuhnya mengeluarkan bau. Sehingga
sadarlah dia bahwa semua orang diistana menjadi bau. Seketika itu
pula, ia memerintahkan agar semua orang mandi sebersih-bersihnya.
Namun, setelah tujuh hari tujuh malam mereka mandi, ternyata menurut
sang raja; mereka masih bau juga. Mereka terjangkit suatu penyakit.
Yaitu penyakit bau! Maka sejak saat itu, raja memanggil semua tabib
yang ada diseantero kerajaan untuk mengobati penyakit aneh itu.

Seluruh tabib sudah berusaha mengerahkan segenap kemampuannya.
Namun, tak satupun berhasil menghilangkan bau yang tetap menghantui
sang raja. Pada malam harinya, sang raja bermimpi. Dan dalam
mimpinya dia mendapatkan nasihat bahwa penyakit bau itu akan
berakhir jika sang raja bersedia mencukur kumisnya. Meskipun dengan
berat hati, keesokan harinya sang raja merelakan kumisnya untuk
dicukur hingga habis. Ajaib sekali, sejak saat itu tiba-tiba saja
bau diistana serta merta menghilang. Raja tidak lagi mencium bau
itu. Ditengah kegembiraan itu, hati sang raja bertanya-tanya;
mengapa bau itu bisa diselesaikan dengan cara yang sangat aneh.
Mencukur kumis. Saking penasarannya, yang mulia raja meminta tukang
cukur untuk menyerahkan potongan kumis itu kepadanya. Dan ketika
sang raja memeriksa sisa-sisa kumis itu, tahulah dia apa yang
menyebabkan bau diseluruh istana itu......

Saya berharap untuk sampai kepada kesadaran yang dimiliki oleh sang
raja. Sebab, dalam banyak situasi, ternyata bukan lingkungan kita
yang menjadi sumbernya. Kita sendirilah akar masalahnya. Ada kalanya
saya yang mengkritik anda. Ada kalanya pula anda yang mengkritik
saya. Apa bedanya? Siapapun yang mengkritik tidaklah jadi soal;
selama terlebih dahulu memastikan bahwa kotoran yang menjadi sumber
bau itu bukan sesuatu yang menempel dikumisnya sendiri. Dan siapapun
yang dikritik juga tidak jadi soal, selama kritik itu benar-benar
objektif. Akan menjadi soal jika si pengkritik tidak menyadari akan
kumisnya yang kotor. Dan akan menjadi soal jika saat mengkritik,
kita menambahkan bumbu penyedap berupa keinginan untuk menumpahkan
kekesalan, atau ketidakpuasan. Dan, seperti kata sang bijak bestari
tadi; sebelum memaksakan diri melihat semut diseberang lautan;
menyadari keberadaan gajah dipelupuk mata memang perlu didahulukan.

Catatan Kaki:
Tidak semua kritik harus ditindaklanjuti. Jika itu menyangkut
perilaku buruk, pelanggaran integritas, atau tindakan yang tidak
senonoh; maka kita wajib melakukan perbaikan. Tetapi, jika itu
sekedar perbedaan pendapat, atau variasi cara dan metoda dalam
melakukan sesuatu; kita boleh menentukan pilihan sesuai dengan
keyakinan.



Artikel bagus dari milis by Dadang Kadarusman, thx pak atas artikelnya yang
dapat memberikan inspirasi

No comments: