Monday, March 17, 2008

Inspirasi : Manajemen Waktu

Oleh Adi Ekopriyono

WAKTU adalah seluruh rangkaian saat ketika proses, perbuatan, atau keadaan berada atau berlangsung. Skala waktu merupakan interval antara dua keadaan (kejadian), atau merupakan lama berlangsungnya suatu kejadian. Skala waktu diukur dengan detik, menit, jam, hari, bulan, tahun, windu, abad, dan seterusnya.
Tiap-tiap orang menyikapi waktu dengan cara pandangnya sendiri-sendiri. Ada yang memandang waktu sebagai uang (time is money), ada pula yang mengatakan ”waktu adalah ibadah”; tapi ada juga orang yang tidak peduli dengan waktu.

Masyarakat Barat cenderung menyikapi waktu sebagai garis lurus (linear), urutan kejadian. Mereka lebih memanfaatkan waktu untuk sesuatu yang bergerak maju ke depan; maju, maju, dan terus maju.

Masyarakat Timur lebih melihat waktu sebagai suatu siklus. Itulah sebabnya, di dalam khazanah budaya Jawa dikenal konsep cokro manggilingan, bahwa hidup manusia ibarat roda yang terus berputar; kadang berada di bawah, di atas, atau di samping. Hidup bukan sekadar gerak ke depan, melainkan juga ke belakang, introspeksi dan belajar dari masa lalu.

Karena cara pandang itu, maka sering pula orang Jawa dicap sebagai berorientasi ke masa lalu, hidup di hari kemarin. Maksudnya, terlalu banyak menengok ke belakang, sehingga kurang mementingkan masa depan.
Bagi kebanyakan orang Indonesia, skala waktu hampir tidak ada maknanya. Dalam tugas, misalnya, diberi kesempatan satu bulan selesai satu bulan; tapi diberi waktu satu minggu, ya selesai satu minggu. Itulah, fleksibilitas yang mencerminkan perilaku kurang menghargai waktu.
***
WAKTU adalah aset yang sangat berharga bagi manusia. Waktu adalah kesempatan atau peluang yang sangat menentukan kinerja seseorang. Itulah sebabnya, ada rumus yang menyebutkan bahwa kinerja (performance) ditentukan oleh kemampuan (ability), motivasi (motivation), dan peluang (opportunity). Dalam kewirausahaan pun disebutkan, seorang entrepreneur sejati selalu pandai menangkap peluang.

Orang bijak selalu melihat waktu sebagai peluang untuk berbuat sesuatu yang lebih berarti dalam hidup ini. Kesempatan itu berada dalam ruang yang tidak hampa dan bebas nilai. Ruang dan waktu adalah dua hal yang sangat penting.
Hanya orang bijak yang mampu menembus batas-batas ruang dan waktu; tidak lagi bergantung kepada ruang dan waktu dalam menjalankan aktivitas hidupnya. Bagi mereka, batas waktu adalah diri sendiri, bukan orang lain, bukan pula keadaan.

Seorang penulis buku psikologi, Dr Jan Yager, menyebut tujuh prinsip manajemen waktu, yaitu selalu aktif (bukan reaktif), menentukan sasaran, menentukan prioritas dalam bertindak, mempertahankan fokus, menciptakan tenggat waktu secara realistis, dan melakukan sesuatu sesegera mungkin, sekarang juga.

Prinsip itu ia kemas dalam ”jembatan keledai” DO IT NOW. D: divide (membagi tugas), O: organize (mengatur pelaksanaan), I: ignore (mengabaikan gangguan), T: take (meraih peluang), N: now (sekarang juga harus dilaksanakan), O: opportunity (memanfaatkan peluang), W: watch out (bersikap waspada terhadap waktu).

Banyak di antara kita yang tidak melihat waktu sebagai aset yang sangat berharga. Banyak di antara kita yang tidak berhasil mengelola dan menguasai waktu, bahkan sebaliknya justru dipermainkan oleh waktu. Itulah, salah satu kelemahan kita; ketika bangsa lain berlari, kita hanya berjalan atau malah hanya berjalan di tempat.
***
ADA pepatah Minang yang sangat relevan terhadap manajemen waktu, yang intinya: kalau bangun pagi kita harus mendahului matahari terbit, kalau bangun kesiangan rezeki tidak didapat, bahkan WC sekalipun. Seorang teman dari Padang pernah bercerita, kalau bangun kesiangan bahkan (maaf) untuk buang air besar pun ia tidak mendapat kesempatan. Maka, tiap hari ia harus bangun pagi-pagi; mendahului matahari dan antre di WC umum.

Manajemen waktu adalah masalah budaya. Sayang, budaya kita sering dicap sebagai budaya yang tidak menghargai waktu. Muncullah istilah sinis ”jam karet” yang menuding kita lebih senang mengulur-ulur waktu, tidak do it now.
Budaya Jawa yang lebih melihat waktu sebagai siklus, tidaklah keliru, karena semaju apa pun suatu masyarakat toh tetap harus belajar dari masa lalu. Kekeliruan yang sering kita lakukan adalah terbelenggu oleh masa lalu, terbuai oleh romantisme hari kemarin.

Mungkin yang harus dilakukan adalah reinterpretasi cara pandang terhadap waktu sebagai siklus. Waktu sebagai siklus haruslah diartikan bahwa manusia harus belajar dari pengalaman, tetapi pembelajaran itu tidak boleh mengorbankan masa kini dan masa depan.

Siklus juga bukan berarti bahwa kita boleh menyerah dan bersikap ”biarlah waktu yang menentukan”, karena sang pemenang selalu berkata: ”Saya akan berbuat agar sesuatu terjadi.” Adapun sang pecundang berkata: ”Biarlah sesuatu terjadi.íí
Waktu sebagai siklus juga harus diartikan bahwa kalau tidak menghargai waktu, kita hanya akan berjalan di tempat atau bahkan mundur. Kapan ya, bangsa kita bisa berlari untuk mengejar bangsa-bangsa lain yang lebih dulu berlari? (68)

–– Adi Ekopriyono, wartawan Suara Merdeka di Semarang

No comments: