Monday, April 28, 2008

Inspirasi : Kekayaan, Kebahagiaan, Keheningan



Oleh GEDE PRAMA

Mengejar kekayaan. Mungkin itu tema keseharian banyak manusia. Dari sekolah, kuliah, bekerja—di rumah maupun di luar—sampai berdoa di tempat ibadah, mayoritas manusia mengejar kekayaan. Dan tentu, itu boleh-boleh saja dilakukan.

Sebagaimana diajarkan alam, semuanya sedang bertumbuh. Semuanya sedang meninggalkan kegelapan, mendekati cahaya. Cara dan pendekatannya saja yang berbeda.

Ada sahabat yang amat mengkhawatirkan deras dan pesatnya perkembangan ”agama pasar”. Agama yang tempat ibadahnya kursi kekuasaan, yang disembah uang, mantranya hanya mengulang-ulang kata money come, money come, money come.

Dari segi ekses-ekses negatif yang ditimbulkan, tentu bisa dimaklumi kalau ada sahabat yang khawatir. Namun, dari segi kehidupan dan alam sebagai ladang-ladang pertumbuhan, apa saja yang ditanamkan ke Ibu Pertiwi akan diolah jadi daun, bunga, buah. Apa saja yang dibuang ke laut, akan dikembalikan dalam bentuk hujan yang menyejukkan.

Kekhawatiran memang sebentuk kepedulian yang layak dihargai. Namun, khawatir berlebihan mudah sekali membuat kehidupan tergelincir ke dalam penghakiman, kesombongan, dan kecongkakan. Seperti melihat anak-anak kecil berlari-lari di taman, melihat banyak manusia menjejali diri dengan kekayaan dan kekayaan secara berlebihan memang mengkhawatirkan, namun semua ada putaran waktunya, semua ada tempatnya.

Memaksa kehidupan berputar menurut keinginan dan nafsu kita, hanya akan membuat kehidupan menyerupai bunga plastik: dangkal, palsu, dan mudah membosankan.

Ingat kaya, lupa bahagia

Bila begini cara memandangnya, tidak perlu marah berlebihan kepada mereka yang sedang mendewakan uang, sekaligus tidak perlu mengotori batin dengan penghakiman-penghakiman berlebihan. Hanya saja ada sebuah pesan yang layak direnungkan bagi para sahabat yang masih beragama pasar: bila ingat kaya, jangan pernah lupa menjadi bahagia.

Memeluk mesra istri, melayani suami, tersenyum kepada si kecil di rumah, menyapa tetangga, banyak memberi, menghormati hak-hak karyawan, menjaga kepercayaan yang diberikan orang, beribadah secara teratur di tempat ibadah masing-masing adalah sebagian lahan-lahan kebahagiaan. Ketika kekayaan materi pas-pasan (secukupnya), banyak manusia bertumbuh di lahan-lahan kebahagiaan seperti ini. Dan tidak ada wajah kehidupan yang lain kecuali indah, indah, dan indah.

Meskipun begitu, kekayaan materi berlimpah, atau begitu keinginan kaya demikian mendikte, berlakulah rumus kebanyakan manusia modern: ingat kaya, lupa bahagia. Dalam makan sebagai contoh, bukan manusia memakan makanan, makananlah yang memakan manusia.

Semua tahu bahwa makan daging berlebihan berbahaya, namun begitu berhadapan dengan makanan menawan, logika kalah dengan keinginan. Semua tahu bahwa apa saja yang keluar dari badan manusia (dari ludah sampai darah) menjijikkan, namun begitu nafsu seksual menggoda, bahkan ludah orang pun ditelan dengan lahap.

Di tingkat seperti inilah, kekayaan dan keinginan kaya berhenti menjadi kawan, ia berubah menjadi lawan yang menakutkan. Penyakit, perceraian, permusuhan, stres, salah-salah bunuh diri bisa menjadi menu kehidupan kemudian. Semakin banyak kekayaan yang ditumpuk, semakin menakutkan wajah kehidupan.

Di sinilah lahir pentingnya mendidik diri untuk hidup secara berkecukupan. Dalam bahasa Dalai Lama contentment is the greatest wealth. Perasaan berkecukupan itulah kekayaan teragung. Sulit membayangkan kekayaan materi bisa menjadi pupuk penyubur kehidupan tanpa kehadiran perasaan berkecukupan.

Lebih dari menjadi penyubur kehidupan, perasaan berkecukupan adalah kebahagiaan itu sendiri. Kebahagiaan yang lebih dalam. Karena kebahagiaan jenis ini bertumpu pada sesuatu yang sudah tersedia secara berlimpah di dalam diri manusia. Bagi siapa saja yang telah sampai di sini, matanya, telinganya, pikirannya, perasaannya hanya menemukan kebahagiaan dan kebahagiaan.

Keheningan yang membebaskan

Kebahagiaan jenis ini juga kemudian membimbing manusia untuk menemukan lapisan-lapisan diri yang lebih dalam. Meminjam bahasa puitik Jalaludin Rumi, hidup seperti mengupas bawang merah. Di luar ia tampak kecoklatan, kotor, dan bau. Ketika dibuka, ia berwarna semakin putih. Semakin dibuka semakin putih. Dan tatkala semuanya terbuka, tidak ada apa-apa yang tersisa terkecuali air mata yang meleleh....

Sungguh sebuah tumpukan renungan yang amat mengagumkan. Dan Rumi bisa sampai di sini tidak saja dihantar oleh perasaan berkecukupan, namun juga oleh kebersihan dan kesucian batin yang mengagumkan.

Ini sebabnya kenapa segelintir manusia yang sudah melewati kekayaan, berbahagia dengan berkecukupan, kemudian memasuki pintu-pintu keheningan. Berbeda dengan orang-orang kebanyakan yang masih ”mencari”, orang-orang jenis ini sudah berhenti mencari. 0sho agak provokatif dalam hal ini: Stop searching, you have already arrived. Welcome home. Begitu berhenti mencari, manusia langsung sampai. Selamat datang di rumah.

Ajakan untuk kembali ke rumah keheningan inilah yang sedang dilakukan oleh dr Bumbunan Sitorus dalam buku Be Still: Loving Silence, Living Silence. Buku ini kaya akan kutipan-kutipan pendapat tokoh yang sudah pulang ke rumah keheningan dan berhenti mencari. Dari ucapan Yesus Kristus yang terkenal ”be still and know that l am God”, gagasan Krishnamurti yang segar menggetarkan, sampai dengan 0sho yang selalu mengundang kontroversi namun akhirnya mencerahkan.

Sungguh buku ini menjadi sebuah ajakan yang layak untuk direnungkan. Terutama bagi mereka yang sudah menyadari dalam-dalam: ada keterbatasan (bahkan ada sesuatu yang berbahaya) dalam kekayaan materi, ada guncangan naik turun dalam kebahagiaan. Kekayaan, sebagaimana diulas sebelumnya, mudah sekali menggelincirkan manusia ke dalam penderitaan. Kebahagiaan adalah sebagian sisi bandul yang terus bergerak. Habis bahagia sedih, habis sedih bahagia. Dan lelahlah kehidupan karena tidak pernah berhenti bergerak naik-turun.

Dan keheningan, ia hanya menjadi saksi dari apa saja yang terjadi. Ada yang menyebutnya choiceless awareness. Kesadaran yang tidak memilih. Kebahagiaan datang sadari, kesedihan berkunjung juga sadari. Ada yang menyebutnya compassionate witness. Menjadi saksi yang penuh kasih. Seperti ibu yang penyayang, begitulah sang saksi menyaksikan semuanya. Kesuksesan datang disayangi. Kegagalan bertamu juga disayangi.

Thich Nhat Hanh menyebutnya perfect mindfulness. Apa saja dilakukan dengan kesadaran sempurna. Dari mencuci piring, menerima telepon, membuka jeruk keprok, sampai dengan meditasi. Siapa saja yang melakukan semuanya dengan kesadaran sempurna, akan menemukan tidak ada hal positif (sukses, kaya, terkenal) yang membuat kita dilanda ketakutan kehilangan, tidak ada hal negatif (sebutan gagal, miskin) yang membuat manusia merasa minder dan sedih berlebihan. Sejumlah sahabat menyebut ini the part of life that never born and never die. Bagian kehidupan yang tidak pernah lahir dan tidak pernah mati. Apa yang ditakuti manusia kebanyakan sebagai kematian, serupa air laut yang berubah jadi awan, awan yang berubah jadi hujan, dan hujan yang kembali ke laut.

Inilah keheningan yang membebaskan. Buddha Gautama pernah ditanya kenapa murid-muridnya terlihat demikian tenang dan damai, dengan jernih ia menjawab: ”mereka semua tidak lagi menakuti setan masa depan, tidak lagi dihantui hantu masa lalu”. Menjalani hari ini secara penuh kesadaran, itu sudah lebih dari cukup.

Dalam keseharian yang penuh kesadaran, bahkan duduk di toilet pun bisa menjadi sebuah kegiatan yang penuh kedamaian dan kesucian, tidak kalah damainya sekaligus sucinya dengan melafalkan doa di tempat ibadah. Perhatikan pesan seorang guru zen: ”Jika ada yang dikerjakan, itu baik. Bila tidak ada yang dikerjakan, itu juga baik”. Bila semuanya terlihat dan terasa baik, itu tandanya seseorang sudah memasuki rumah keheningan. Pemahaman sekaligus pengalaman mendalam akan kebenaran yang melampaui dualitas inilah yang membebaskan manusia dari keraguan, kekhawatiran, ketakutan, dan bahkan penderitaan.

Sayangnya keheningan yang membebaskan ini hanya mungkin menjadi milik mereka yang berjalan jauh di jalan latihan (baca: kesadaran dan kewaspadaan). Tulisan pendek ini, hanya jari yang menunjuk bulan. Seterang-terangnya jari, tetap ia hanya jari. Hanya berangkat dan berjalan di jalan latihanlah yang membuat manusia kembali pulang ke rumah yang sesungguhnya: rumah keheningan. Di rumah keheningan, bahkan kematian pun bisa disambut dengan senyuman yang menawan.


Comment : Inspiratif, menuju pemahaman makna hidup

Dikutip dari :
Kompas.com Minggu, 27 April 2008 | 01:04 WIB
Oleh GEDE PRAMA
Bekerja di Jakarta, Tinggal di Daerah Perbukitan Desa Tajun, Bali Utara

No comments: