Monday, October 01, 2007

Religi : Memberi makna lebih jauh ibadah kita

Senin, 01 Oktober 2007 harian Republika

Perlunya Kesalehan Sosial



Kalaulah umat Islam Indonesia mempunyai ghirah (gairah) yang sama untuk mengamalkan zakat sebagaimana shalat dan puasa, bisa dipastikan berbagai persoalan bangsa ini dapat terselesaikan. Ini lantaran potensi zakat rakyat kita sangatlah dahsyat, diperkirakan bisa mencapai Rp 17 triliun. Dengan dana sebesar ini tentu akan banyak artinya untuk membantu menyelesaikan berbagai bersoalan umat, terutama yang terkait dengan kemiskinan, ketertinggalan, kebodohan, dan seterusnya. Apalagi jumlah itu belum termasuk potensi dari infak dan sedekah.

Sayangnya, realisasi yang dapat dihimpun dari zakat ini tak sampai 2,5 persen atau hanya Rp 700 miliar per tahun. Dengan kata lain, kesadaran umat Islam untuk berzakat masih sangat rendah. Padahal zakat juga merupakan salah satu dari Rukun Islam (ketiga), bersama Syahadat, Shalat, Puasa Ramadhan, dan Haji. Artinya, setiap orang Islam yang harta kekayaannya mencapai jumlah tertentu (nishab) ia wajib mengeluarkan sekian persen untuk zakat.

Rendahnya kesadaran berzakat barangkali karena kita, umat Islam, cenderung lebih suka pada ibadah-ibadah yang sifatnya pribadi. Ibadah yang bisa langsung dapat dirasakan dan dinikmati secara individu. Ambil contoh, ibadah shalat, puasa, dan haji. Kesadaran untuk melaksanakan tiga jenis ibadah ini begitu tinggi lantaran bisa memberi ketenangan batin secara individual. Sebaliknya, meninggalkan ibadah-ibadah ini membuat sesal secara pribadi pula. Dengan kata lain, kita lebih suka pada kesalehan ritual daripada kesalehan sosial.

Padahal lima jenis ibadah dari Rukun Islam, selain untuk pribadi juga mengandung kepentingan sosial. Ikrar untuk mengucapkan Dua Kalimat Syahadat mengandung arti bahwa yang wajib disembah hanyalah Allah SWT dan pengakuan bahwa Muhammad SAW adalah utusan-Nya. Ini bermakna bahwa semua manusia itu sama dan sederajat di hadapan Allah SWT. Tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang.

Shalat juga bermakna sosial. Yaitu harus bisa mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Begitu juga dengan puasa. Ia mengandung arti agar umat Islam yang menjalankan ibadah puasa dapat merasakan lapar dan haus seperti yang sering dialami oleh para fakir, miskin, dan para dhuafa. Begitu juga dengan haji. Ibadah ini mengandung makna bahwa manusia itu sama di hadapan Allah SWT.

Dengan demikian bisa dikatakan bahwa semua jenis ibadah dari Rukun Islam ini seharusnya bisa berbuah kesalehan sosial. Sebab agama Islam sendiri diturunkan adalah untuk memperbaiki perilaku seluruh manusia. Bukan hanya untuk individu per individu. Bahwa perbaikan perilaku umat harus didahului dengan perbaikan perilaku individu tentu saja benar dan bahkan menjadi keharusan. Namun, yang juga tidak kalah pentingnya adalah bahwa perbaikan perilaku individu (kesalehan ritual) itu juga harus berdampak pada perbaikan perilaku umat secara keseluruhan (kesalehan sosial).

Di antara dampak kesalehan sosial itu adalah kesadaran untuk menjalankan Rukun Islam yang ketiga, yaitu mengeluarkan zakat tadi. Zakat selain untuk kepentingan pribadi, yaitu untuk membersihkan harta kekayaan, juga akan memberi arti penting pada perbaikan sosial bagi masyarakat.

Karena itu, mumpung masih di bulan Ramadhan di mana amal kebaikan akan diganjar berlipat-lipat, mari kesalehan ritual individu ini dapat juga kita tingkatkan menjadi kesalehan sosial. Bukan hanya zakat, tapi juga infak dan sedekah.

Dengan meningkatnya kesadaran kesalehan sosial, kita yakin berbagai persoalan umat yang terkait dengan kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan, akan bisa kita selesaikan.


Senin, 01 Oktober 2007 Hikmah Republika

Dosa Sosial

Oleh : KH A Hasyim Muzadi


Kalau sekiranya maut datang mendadak, lalu kita dipanggil pulang ke kampung paling abadi, cukupkah amal yang kita bawa untuk dijadikan tebusan atas dosa-dosa kita? Kalau dosa kita terjadi akibat maksiat kepada Allah, Dia berjanji mempermudah proses penyuciannya. Asal kita bertobat nashuha, idak kembali ke maksiat serupa sepanjang akhir umur kita. Asal juga kita tidak musyrik kepada-Nya.

Kalau demikian, adakah dosa yang tidak begitu mudah dibersihkan? Ada. Dosa itu adalah dosa sosial alias dosa kepada manusia. Prosesnya agak berbeda, karena Allah sejatinya tengah menunggu pintu maaf dari pihak yang kita sakiti.

Kalau ia maafkan kita, kita harus berjanji kepada Allah untuk tidak lagi berada pada kesalahan yang sama. Dosa sosial adalah kesalahan terbesar yang bisa menjungkalkan kita ke neraka Jahanam dan hanya dosa sosial yang bisa membuat semua amal personal berguguran tanpa kita ketahui. Jadi, jangan pernah kita merasa aman dengan amal kita, kalau kita berangkat ke hadirat-Nya diiringi rintihan anak yatim dan fakir miskin yang kelaparan. Jangan pernah!

Puasa mengingatkan kita agar jangan pernah abai dengan pesan sosial yang dibawanya. Kalau kita mampu menjaga dahaga dan lapar, maka yang kita dapat hanya dimensi fisik puasa. Kalau hanya dimensi fisik yang kita perhatikan, maka kita khawatir dimensi kejiwaan dan spiritualnya kita abaikan. Sebab hanya dengan dimensi kejiwaan dan spiritual akan terpancar makna puasa dalam dimensi sosial. Sehingga dengan demikian, amal yang kita bawa sebagai tebusan atas dosa-dosa kita benar-benar amal sosial yang bermakna pula sebagai amal saleh.

Maka, pernahkah kita tersinggung karena masih banyak saudara kita hidup dalam kekurangan? Pernahkah kita marah kalau ada pengemis datang tetapi pergi dari rumah kita dengan tangan kosong? Pernahkah kita merasa sudah menjadi hamba dengan sebaik-baik keimanan tetapi lupa hak-hak orang lain? Mari buktikan keimanan kita benar-benar kokoh karena dilandasi amal saleh. Wallaahu a'lam.



Jumat, 28 September 2007

Pesan Sosial Puasa

Oleh : KH A Hasyim Muzadi


Pernah terpikirkah oleh kita bahwa sebenarnya dalam banyak ibadah yang sifatnya hampir personal Allah selalu tak lupa menitipkan pesan sosial? Demikianlah sejatinya yang dituntunkan Allah kepada para hamba-Nya. Semua ibadah mahdah seperti shalat, haji, zakat, dan tentu juga puasa di bulan Ramadhan, punya pesan sosial teramat dalam.

Di satu sisi, Ramadhan adalah masa jeda bagi perawatan tubuh kita setelah sebelas bulan mendapatkan tugas operasional amat tinggi. Di sisi lain, puasa sesungguhnya salah satu mizan untuk mengukur kepedulian sosial kita.

Mizan alias timbangan ini bisa digunakan untuk mengukur seberapa besar bentuk keterpanggilan kita begitu menyaksikan ketimpangan hidup. Kalau dengan puasa, perasaan kita tetap tumpul, maka kita merugi. Kalau dengan puasa, kemauan untuk berbagi tidak tampak, maka kita tidak beruntung. Kalau dengan puasa, kita tak jua mampu menjaga tajamnya ujung lidah kita, maka kita benar-benar termasuk golongan yang merugi.

Kalau dengan puasa kita masih kesulitan mendahulukan kehendak Allah sebelum kehendak kita sendiri, maka kita benar-benar tak mampu menangkap pesan puasa yang sejatinya.

Ramadhan mengajarkan soal pentingnya saling memberi dan saling mengasihi. Janganlah merasa aman dari tatapan tajam para penghuni langit, kalau kita dengan sengaja membiarkan tetangga kita kelaparan. Sejatinya kita bukan termasuk orang yang beriman bila hal demikian sampai terjadi! Keimanan menemukan muaranya ketika ia berbuah secara sosial. Teramat sulit untuk mengukur keimanan seseorang kalau keterlibatannya dalam masyarakat, ternyata minus. Jangan pernah menyangka keimanan cuma dapat dibuktikan dengan shalat, puasa, zakat, dan haji!

Bolehlah kita bersujud dan beriktikaf di sudut-sudut masjid dalam keadaan berpuasa. Tapi, ingatlah, kalau pada saat bersamaan kita membiarkan tamu berdiri mematung di depan pintu rumah, membiarkan tetangga kelaparan, tidak menebarkan rasa kasih kepada sesama, maka sedikit demi sedikit konstruksi keimanan kita telah berguguran bersama rasa lapar, dingin, serta kepapaan para tetangga kita.

Seringkali bila menyeru kalangan beriman, Allah tak lupa menyertakan di belakangnya penyifatan ''dan beramal saleh''. Misalnya, Yaa ayyuhal ladziina aamanuu wa 'amilush shaalihat (Hai orang-orang beriman dan beramal saleh). Karena kita beriman, maka kita diwajibkan puasa. Karena kita puasa, maka kita harus beramal saleh kepada masyarakat kita. Wallahu a'lam. Demikian seharusnya.

No comments: