Thursday, October 11, 2007




Rabu, 10 Oktober 2007 harian Republika

Makna Idul Fitri

Oleh :


Nur Faizin Muhith
Mahasiswa Pascasarjana Departemen Tafsir dan Ilmu-ilmu Alquran Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir

Lepas dari kemungkinan adanya perbedaan dalam menentukan Hari Raya Idul Fitri, yang jelas, seluruh umat Islam di dunia ini akan segera merayakan hari yang biasa dianggap 'kemenangan' tersebut. Perayaan rutin setiap tahun ini menjadi momen sangat penting setelah berpuasa selama sebulan pada bulan Ramadhan. Seluruh umat Islam merayakannya dengan suka dan cita, tak berbeda yang rajin puasa maupun yang hanya alakadarnya.

Sebagaimana sudah maklum, selain Hari Raya Idul Fitri, umat Islam juga punya Hari Raya Idul Adha pada 10 Dzulhijjah. Dalam literatur-literatur Islam klasik, hari raya ini disebut Idul Akbar (hari raya besar), sementara Idul Fitri hanya disebut sebagai Idul Ashgar (hari raya kecil).. Sebagaimana hari-hari besar lain, Idul Fitri tentu memiliki makna umum sebagai hari libur nasional sekaligus makna khusus yang dirasakan umat Islam. Paling tidak, Idul Fitri dianggap sebagai hari kemenangan mengalahkan hawa nafsu dengan berpuasa sebulan penuh.

Erat kaitannya dengan Hari Raya Idul Fitri adalah zakat fitrah yang wajib dikeluarkan setiap individu Muslim. Kalimat kedua dari dua terma ini (Idul Fitri dan zakat fitrah) adalah kalimat yang berasal dari bahasa Arab fithrah yang berarti natural atau dalam bahasa Indonesianya biasa diterjemahkan sebagai segala sesuatu yang suci, bersifat asal, atau pembawaan (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 1997)..

Sisi etimologis
Idul Fitri terdiri dari dua kata. Pertama, kata 'id yang dalam bahasa Arab bermakna `kembali', dari asal kata 'ada. Ini menunjukkan bahwa Hari Raya Idul Fitri ini selalu berulang dan kembali datang setiap tahun. Ada juga yang mengatakan diambil dari kata 'adah yang berarti kebiasaan, yang bermakna bahwa umat Islam sudah biasa pada tanggal 1 Syawal selalu merayakannya (Ibnu Mandlur, Lisaanul Arab).

Dalam Alquran diceritakan, ketika para pengikut Nabi Isa tersesat, mereka pernah berniat mengadakan 'id (hari raya atau pesta) dan meminta kepada Nabi Isa agar Allah SWT menurunkan hidangan mewah dari langit (lihat QS Al Maidah 112-114). Mungkin sejak masa itulah budaya hari raya sangat identik dengan makan-makan dan minum-minum yang serba mewah. Dan ternyata Allah SWT pun mengkabulkan permintaan mereka lalu menurunkan makanan.(QS Al-Maidah: 115).

Jadi, tidak salah dalam pesta Hari Raya Idul Fitri masa sekarang juga dirayakan dengan menghidangkan makanan dan minuman mewah yang lain dari hari-hari biasa. Dalam hari raya tak ada larangan menyediakan makanan, minuman, dan pakaian baru selama tidak berlebihan dan tidak melanggar larangan. Apalagi bila disediakan untuk yang membutuhkan.

Abdur Rahman Al Midani dalam bukunya Ash-Shiyam Wa Ramadhân Fil Kitab Was Sunnah (Damaskus), menjelaskan beberapa etika merayakan Idul Fitri. Di antaranya di situ tertulis bahwa untuk merayakan Idul Fitri umat Islam perlu makan secukupnya sebelum berangka ke tempat shalat Id, memakai pakaian yang paling bagus, saling mengucapkan selamat dan doa semoga Allah SWT menerima puasanya, dan memperbanyak bacaan takbir. Kata yang kedua adalah Fitri. Fitri atau fitrah dalam bahasa Arab berasal dari kata fathara yang berarti membedah atau membelah, bila dihubungkan dengan puasa maka ia mengandung makna `berbuka puasa'

(ifthaar). Kembali kepada fitrah ada kalanya ditafsirkan kembali kepada keadaan normal, kehidupan manusia yang memenuhi kehidupan jasmani dan ruhaninya secara seimbang. Sementara kata fithrah sendiri bermakna `yang mula-mula diciptakan Allah SWT` (Dawam Raharjo, Ensiklopedi Alquran: hlm 40, 2002). Berkaitan dengan fitrah manusia, Allah SWT berfirman dalam Alquran: "Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu?.

Mereka menjawab:"Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. (QS. Al A`râf: 172)." Ayat ini menjelaskan bahwa seluruh manusia pada firtahnya mempunya ikatan primordial yang berupa pengakuan terhadap ketuhanan Allah SWT. Dalam hadis, Rasulallah SAW juga mempertegas dengan sabdanya: "Setiap anak Adam dilahirkan dalam keadaan fitrah: kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi (HR. Bukhari)." Hadits ini memperjelas kesaksian atau pengakuan seluruh manusia yang disebutkan Alquran di atas.

Sisi terminologi
Kendati dalam literatur-literatur Islam klasik, Idul Fitri disebut sebagai Idul Ashgar (hari raya yang kecil) sementara Idul Adhha adalah Idul Akbar (hari raya yang besar), umat Islam di Tanah Air selalu terlihat lebih semarak merayakan Idul Fitri dibandingkan hari-hari besar lainnya, bahkan hari raya Idul Adha sekalipun. Momen Idul Fitri dirayakan dengan aneka ragam acara, dimulai dengan shalat Id berjamaah di lapangan terbuka hingga halal bi halal antarkeluarga yang kadang memanjang hingga akhir bulan Syawal.

Dalam terminologi Islam, Idul Fitri secara sederhana adalah hari raya yang datang berulang kali setiap tanggal 1 Syawal yang menandai puasa telah selesai dan kembali diperbolehkan makan minum di siang hari. Artinya, kata fitri disitu diartikan `berbuka atau berhenti puasa` yang identik dengan makan-makan dan minum-minum. Maka tidak salah apabila Idul Fitri pun disambut dengan pesta makan-makan dan minum-minum mewah yang tak jarang terkesan diada-adakan oleh sebagian keluarga.

Terminologi Idul Fitri seperti ini harus dijauhi dan dibenahi, sebab selain kurang mengekspresikan makna Idul Fitri sendiri, juga terdapat makna yang lebih mendalam lagi. Idul Fitri seharusnya dimaknai sebagai `kepulangan seseorang kepada fitrah asalnya yang suci` sebagaimana ia baru saja dilahirkan dari rahim ibu. Secara metafor, kelahiran kembali ini berarti seorang Muslim yang selama sebulan melewati Ramadhan dengan puasa, qiyam, dan segala ragam ibadahnya harus mampu kembali berislam, tanpa benci, iri, dengki, serta bersih dari segala dosa dan kemaksiatan.

Idul Fitri berarti kembali pada naluri kemanusian yang murni, kembali pada keberagamaan yang lurus, dan kembali dari seluruh praktik busuk yang bertentangan dengan jiwa manusia yang masih suci. Kembali dari segala kepentingan duniawi yang tidak islami. Inilah makna Idul Fitri yang asli.

Adalah kesalahan besar apabila Idul Fitri dimaknai dengan `perayaan kembalinya kebebasan makan dan minum` sehingga yang tadinya dilarang makan siang, setelah hadirnya Idul Fitri akan balas dendam., atau dimaknai sebagai kembalinya kebebasan berbuat maksiat yang tadinya dilarang dan ditinggalkan. Kemudian, karena Ramadhan sudah usai maka kemaksiatan kembali ramai-ramai digalakkan. Ringkasnya, kesalahan itu pada akhirnya menimbulkan sebuah fenomena umat yang saleh musiman, bukan umat yang berupaya mempertahankan kefitrian dan nilai ketakwaan.

Ikhtisar
- Idul fitri merupakan momentum terbaik bagi setiap manusia untuk kembali ke fitrahnya sebagai makhluk yang suci dan terampuni dosanya.
- Cuma, saat ini masih banyak kalangan yang mengartikan Idul Fitri hanya sebagai hari terbebasnya manusia dari kewajiban berpuasa.
- Ada juga kalangan yang menjadikan Idul Fitri sebagai hari pamer kemewahan.
- Mereka yang keliru memaknai Idul Fitri hanya akan menjadi manusia yang saleh secara musiman.



Rabu, 10 Oktober 2007 harian Republika

Ramadhan, Mudik, dan Jati Diri
Oleh :


Deni Al Asy'ari
Ketua Bidang Hikmah Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Mahasiswa Program Pascasarjana UGM

Menjelang perayaan Hari Raya Idul Fitri, sudut-sudut terminal, bandara, stasiun, dan pelabuhan sudah mulai disesaki pemudik. Suasana yang begitu sesak dan padat seakan-akan tidak menjadi soal bagi mereka yang betul-betul ingin kembali ke kampung halamannya. Barangkali sudah setahun bahkan bertahun-tahun mereka meninggalkan tanah kelahirannya dan berjuang di tengah kompleksitas persoalan yang ada di kota-kota besar. Seakan-akan dalam konteks ini mudik menjadi obat bagi kepenatan selama mereka berjuang di perantauan. Oleh karenanya istilah mudik, menjadi amat ppuler menjelang Idul Ftri seperti sekarang ini.

Mudik sebagai perilaku sosial, sekilas tampak sebagai sebuah euforia publik dalam mencapai keberhasilan ekonomi di perantauan. Sehingga pulang kampung menjadi pertanda bagi dirinya akan sebuah kesuksesan. Begitu pula halnya bagi penilaian masyarakat di kampung halaman, mereka yang pulang dari tanah rantau, cenderung dinilai sebagai seseorang yang sukses dalam mencari rezeki. Akan berbeda dengan sebaliknya, mereka yang tidak mudik atau tidak pulang ke kampung halaman di Hari Raya Idul Fitri akan dianggap gagal dalam merantau.

Penilaian umum masyarakat yang demikian tentunya tidak sepenuhnya betul, sebab mudik bukan saja semata-mata persoalan ekonomi, melainkan jauh dari itu adalah juga menyangkut persoalaan spiritual. Banyak dari mereka yang kadangkala pulang ke kampung halaman tanpa bekal, bahkan jikalau membawa sesuatu yang bersifat finansial, mereka lazimnya berupaya dengan cara menggadaikan barang-barang berharga mereka atau membuat pinjaman di perantauan. Maka sangat kurang tepat jika mudik dimaknai semata-mata sebagai bentuk keberhasilan seseorang dalam memperoleh ekonomi.

Apalagi sebagaimana yang kita sadari saat ini, merantau bukanlah sesuatu yang gampang dan mudah, sebab di tengah merosotnya ekonomi bangsa dan kecilnya kesempatan kerja, banyak masyarakat yang melakukan proses urbanisasi atau berpindah ke kota-kota besar demi mempertahankan kehidupan mereka. Jika kita melihat di kota-kota besar, tidak jarang terlihat mereka yang berasal dari kampung halaman untuk mencari nafkah tanpa memiliki pekerjaan tetap. Mereka harus rela diusir dan dipukuli oleh aparat pemerintahan setempat lantaran dianggap mengotori atau merusak keindahan kota.

Keberadaan mereka di kota-kota besar tidak ubahnya sebagai problem sosial yang selalu 'dipingpong' oleh kekuasaan yang ada. Mereka yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga misalnya, harus rela bertahan hidup dengan gaji pas-pasan serta risiko kerja yang kadang kala kurang memanusiakan. Begitu pula bagi mereka yang bekerja di sektor informal seperti pedagang kaki lima, juga harus berjuang mati-matian melawan buasnya pusat-pusat perbelanjaan besar dan supermaket yang secara perlahan-lahan cenderung mematikan usaha kecil mereka. Oleh karena demikian, merantau sebagaimana yang dimaknai oleh masyarakat selama ini tidaklah tepat jika diartikan selalu dengan kesuksesan.

Maka ketika banyak masyarakat di Hari Raya Idul Fitri pulang ke kampung halamannya, sebenarya lebih sebagai bentuk upaya pencarian jati diri mereka yang sesungguhnya. Sebab ketika berada di kota-kota besar, eksistensi mereka sebagai seorang manusia tidak ubahnya seperti sekrup dalam mesin yang tidak diperhitungkan. Sementara di kampung halaman, mereka biasanya adalah orang-orang yang diperhitungkan, dibutuhkan, dan dimanusiakan layaknya bagian dari komunitas sosial tertentu.

Kekejaman tanah rantau inilah yang menghilangkan jati diri mereka sebagaimana manusia seutuhnya. Maka ketika banyak orang untuk mudik ke ke kampung halaman, mereka tidak lepas dari keinginan untuk menemukan kembali kedirian mereka yang hakiki. Kerinduan terhadap kedirian hakiki inilah yang dalam Islam disebut sebagai sebuah sunnatulah.

Di kampung halaman tentunya mereka akan bisa merasakan dan tahu tentang dirinya, walaupun mereka di kampung halaman hanya makan dengan lauk seadannya, dan fasilitas publik yang minim. Dengan berkumpul bersama keluarga, saudara dan sanak famili, mereka akan bisa menyadari dan merasakan bahwa dirinya memang ada dan fungsional. Jadi sangat gagal bagi seseorang yang mudik, jika mereka lupa akan hakikat kediriannya selama ini.

Hakikat Ramadhan
Begitu pula halnya dengan bulan Ramadhan yang datang satu kali dalam satu tahun, kehadirannya merupakan sarana bagi manusia untuk menemukan hakikat kedirian sebagai seorang hamba Allah. Sebab selama 11 bulan penuh, manusia disibukkan dengan berbagai aktivitas sosial. Kadangkala manusia lupa akan hakikat kediriannya sebagai seorang hamba Allah. Seakan-akan manusia hidup dengan kemampuannya semata, prilaku sombong, takabur begitu mudah muncul di antara sesama kita. Bahkan solidraitas sosial demi sebuah kepentingan tertentu menjadi terabaikan. Secara diam-diam kita dengan mudah melupakan Sang Pencipta yang mengatur alam dan segala isinya.

Keserakahan, kesombongan, dan sikap saling menjatuhkan sesama manusia inilah yang menghilangkan kedirian kita sesuangguhnya, sehingga hubungan kita dengan Tuhan semakin minim. Jadi melalui ibadah Ramdhan inilah manusia bisa kembali untuk merenungkan dan menemukan kembali hakikat kediriannya yang hakiki. Di tengah kompelskitas persoalan yang dihadapi, Ramdhan membawa manusia untuk lebih tenang, sejuk, dan teduh untuk berikipir tentang eksistensi diri kita sesungguhnya.

Maka ketika Ramadhan menjadi sarana bagi pencarian hakikat kedirian kita sesungguhnya, tentu akan rugilah mereka yang diberi kesempatan lebih untuk kembali pada hakikat yang sebenarnya, namun melupakannya. Untuk itu, sebagai kata penutup, mudik dan Ramadhan pada dasarnya merupakan sebuah sarana yang bertujuan sama untuk menemukan hakikat kedirian seorang manusia. Bedanya jika mudik untuk menemukan hakikat kedirian seseorang dalam berhubungan dengan manusia, sedangkan Ramadhan, sebagai sarana untuk menemukan hakikat kedirian manusia dalam berhubunan dengan Tuhannya.


Kamis, 11 Oktober 2007 harian Republika

Kembali ke Fitri

Oleh : KH Ma'ruf Amin


Apa yang sudah kita peroleh dalam bulan Ramadhan ini, harus bisa kita pertahankan. Misalnya, ibadah puasa mengajarkan kepada kita kejujuran. Orang puasa tidak pernah mau minum, walaupun tidak ada orang yang tahu kalau dia tidak berpuasa. Karena mempertahankan kejujuran, maka dia tidak mau melakukan itu.

Puasa juga mengajarkan seseorang menjadi sabar. Orang selalu berusaha untuk menahan diri mulai pagi sampai terbenam matahari. Puasa juga mendidik kita untuk menjadi orang yang patuh. Artinya, tidak mau mencederai apa-apa yang menjadi peraturan. Kepatuhan itu menjadi hal yang penting.

Puasa juga mendidik kita untuk menjadi orang yang dermawan. Karena, orang yang berpuasa ikut merasakan bagaimana sulitnya lapar dan haus. Orang yang merasakan, lebih menghayati daripada sekadar melihat apalagi mendengar. Nah, sikap-sikap terpuji ini --yang sebenarnya sifat-sifat yang fitrah-- harus kita miliki setelah ibadah puasa kita laksanakan selama sebulan penuh. Karena itu, kita kembali ke fitrah, kembali kepada kebaikan, dan memiliki sifat-sifat terpuji.

Karena itu, intinya, akhir dari ibadah puasa adalah al'audah ilal fitrah (kembali kepada fitrah). Kalau tidak kembali ke fitrah, berarti puasa kita tidak berhasil. Sesudah kita kembali kepada fitrah, maka kita harus mampu mempertahankan kefitrahan yaitu sikap istiqamah. Istiqamah ini harus kita jaga. Dan, menjaga istiqamah paling sulit karena memang godaannya cukup besar, pengaruhnya cukup besar. Walaupun di dalam agama boleh kembali --bila seseorang melakukan kesalahan ia boleh kembali-- tapi kita justru harus mempertahankan posisi yang sudah fitri.

Sikap-sikap fitri seperti kejujuran, sabar, derma, dan kebaikan lainnya harus tetap ada pada diri seorang Muslim setelah Ramadhan berakhir. Sikap-sikap itu harus kita pertahankan dan kita jadikan perilaku. Dan, yang terpenting dari itu adalah mempertahankan sikap-sikap baik itu dalam kehidupan sehari-sehari setelah Ramadhan. Ringkasnya, al-'audah wal istiqamah (kembali dan konsisten).


inggu, 07 Oktober 2007 harian Republika

Menjadi Wisudawan Ramadhan

Oleh : KH A Hasyim Muzadi


Setahun sekali Allah SWT menggelar ujian akhir dengan peserta miliaran manusia. Waktunya hanya di bulan Ramadhan. Di luar Ramadhan, tidak masuk kategori ujian wajib. Pesertanya berasal dari semua negara yang ada di bentangan bumi ini dan hanya diikuti oleh mereka yang sudah cukup umur.

Ujian dilangsungkan dengan tingkat fairness sangat tinggi sehingga karenanya seluruh bentuk pertanggungjawaban langsung ada di tangan Allah. Begitu fair-nya ujian ini, maka bagi mereka yang kurang sehat secara fisik, habis melahirkan, melakukan perjalanan jauh atau karena usia senja, diperkenankan menikmati rukhsoh alias kompensasi khusus untuk tidak menjadi peserta ujian kolosal. Bahkan, bagi yang secara fisik sehat tetapi secara psikisnya, kesehatannya kurang memadai, juga tak memiliki kewajiban mengikuti ujian mahadahsyat ini.

Ketatkah proses menjalani ujian ini? Tentu saja. Hatta para malaikat pun serta para bidadari di surga tidak boleh ikut campur, tetapi secara khusus turun ke langit dunia sepanjang ujian ini digelar, untuk menyertai para hamba Allah yang tengah berjuang keras agar bisa lulus dari serangkaian bentuk soal dalam ujian.

Dengan untaian doa para malaikat serta munajat para bidadari serta para anbiya, syuhada, dan shalihin di dunia lain, para peserta ujian seperti tengah berjuang sendiri-sendiri menuju kampung halaman abadi mereka. Sebuah maraton yang teramat panjang dengan tujuan sama; penyucian diri untuk menapak kehidupan masa depan yang jauh lebih berat dan lebih ''kejam''. Manusia para pengikut Baginda Rasul Muhammad, bukanlah yang terkuat di antara umat manusia yang pernah lahir di bumi ini, karena ummat nabi terdahulu secara fisik jauh lebih kuat.

Maka untuk, minimal, menyamai perolehan ''koin'' kesuksesan sebagaimana mungkin dilakukan oleh umat terdauhulu --kepada mereka juga diwajibkan ujian serupa-- maka Allah SWT sebagai Penguji Tunggal menerbitkan bislit khusus dengan memberikan malam laylatul qadr bagi mereka pengikut Baginda Rasul yang sukses menempuh ujian ini. Sekali sukses, maka bagi mereka sebanyak poin seribu bulan berada di genggaman. Bahkan, soal-soal yang berstatus sunah, poinnya disamakan dengan poin-poin soal fardhu. Sedangkan yang sukses menjalankan soal-soal fardhu, poinnya malah dilipat-lipat sampai tak mampu kita menghitungnya. Inilah kemudahan yang bisa diperoleh umat Muhammad.

Maka sungguh beruntung, karena para malaikat, bidadari, anbiya, syuhada dan shalihin selalu mengaminkan semua yang para peserta ujian mohonkan kepada Allah SWT. Adakah kita di antara para peserta ujian tersebut? Benar. Kita semua sebagai umat Muhammad. Begitu beratnya ujian ini, sampai-sampai Baginda Rasul meninggalkan jejak khusus agar umatnya menyelesaikan soal-soal ujian ini sebagaimana pernah Baginda Rasul sendiri menjalankannya dulu. Diikuti para sahabat terdekat Rasul yang dengan mudah melakukan itu semua karena faktor kedetakan mereka secara ruang dan waktu kepada era keemasan Baginda Rasul. Lantas, bisakah kita sukses sebagaimana para sahabat menangguk poin-poin sukses di ujian ini?

Sesuai dengan janji-Nya dan janji Baginda Rasul, bila kita mengikuti jejak-jejak Sang Rasul, maka kita bukan saja disebut sebagai para sahabat Rasul tetapi status kita mungkin lebih ''wah''. Kita akan disebut sebagai para ''saudara'' Baginda. Bukankah sebutan ini lebih menyentuh hati dibanding sebutan sebagai sahabat? Tentu kalau kita sukses mengantongi poin-poin ujian ini. Apakah semata ini ujian bagi kita?

Tantu tidak. Hidup dan mati pun adalah ujian. Innal Hayaata Wal Mawta Liyabluwakum Ayyukum Ahsanu 'Amala (Sesugguhnya hidup dan mati adalah ujian untuk mengetahui siapa yang paling baik amalannya). Tetapi ujian di bulan Ramadhan mengandung pesan sosial teramat kental. Ujian kali ini memiliki keterikatakan sangat kuat dengan kehidupan bermasyarakat. Dia bukan semata ujian mahdah yang individual tetapi ujian mahdah yang lebih dekat kepada social message.

Bagaimana dampaknya bagi kita? Tentu sangat besar, karena begitu kita lulus ujian Ramadhan, maka bulan Syawal bukan lagi sebagai pijakan awal tetapi sudah merupakan bulan pembuktian. Mereka yang lulus akan langsung menjadi wisudawan Ramadhan. Bulan Syawal sampai dengan Sya'ban tahun depan, akan begitu berat karena kita harus mengaktualisasikan nilai-nilai keberkahan Ramadhan sebagai seorang wisudawan, bukan lagi sebagai seorang peserta ujian. Kalau sepanjang Ramadhan kita sukses mengendalikan perut kita dari makanan yang haram, maka setelah Ramadhan menjadi sangat ironis kalau kita masukkan yang haram ke dalam perut yang sepanjang Ramadhan sudah disucikan dan diberkahi oleh Allah SWT.

Kalau sepanjang Ramadhan kita sukses membasahi lidah kita dengan munajat, dzikir serta lantunan ayat-ayat suci Alquran, maka menjadi sangat merugi kalau setelah bulan ini kita memenuhi angkasa rumah tangga kita, kantor kita, dan lingkungan kita dengan berkata-kata kotor, sumpah serapah serta menjadi pemicu pertengkaran. Kalau sepanjang Ramadhan pendengaran kita terbiasa menikmati sentuhan Allah, sapaan para malaikat serta panggilan para anbiya, maka sungguh celaka kalau setelah bulan Syawal kita justeru mengisi pendengaran kita dengan bisikan nafsu, rayuan setan serta panggilan silaknat iblis.

Sampai hatikah kita kalau tangan dan kaki yang kita gunakan selama Ramadhan untuk kegiatan amal sosial lalu menjadi sangat individualis dan mementingkan diri sendiri setelah bulan berkah dan bulan berbagi ini berlalu? Nu'udzubillahi Min Dzaalik! Wisudawan Ramadhan secara fisik telah melakukan perawatan serius agar tubuhnya mengalami proses detoksifikasi/penggelontoran racun-racun, lalu tubuh menjadi segar karena terjadinya proses rejuvenasi/peremajaan organ-organ dan akan stabil karena proses pembakaran secara maksimal.

Secara kejiwaan, para wisudawan Ramadhan akan mengalami ketercerahan luar biasa karena selama sebulan penuh benih-benih sifat syaithoni secara bertahap mengalami pengendalian secara gradual. Sifat pelit, suka memeras, mengabaikan sesama manusia, mementingkan diri sendiri serta semua sifat yang berorientasi pada penistaan harkat manusia, akan luruh bersamaan dengan ajaran suka berbagi, kasih sayang serta nilai-nilai positif lainnya yang dikandung Ramadhan. Selamat datang Wisudawan Ramadhan, semoga kita termasuk di antara mereka. Wallahu A'lamu Bishshowaab.


Oct.10.2007 ( Suaramerdeka)

Idul Fitri Kok Berbeda Lagi?


SEPERTI sinetron laris yang diulang, tahun ini hampir pasti kembali terjadi perbedaan penetapan 1 Syawal. PP Muhammadiyah telah mengumumkan akan melaksanakan shalat Id, Jumat (12/10), dengan mendasarkan pada hisab hakiki. Sementara pemerintah yang mendasarkan hisab imkanurrukyat kemungkinan akan melaksanakan shalat Id sehari kemudian.

Bagaimana itu bisa terjadi? Kepada Suara Merdeka, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiyah Jateng Drs H Rozihan SH MAg mengatakan, perbedaan di antara umat merupakan rahmat. Umat Islam mestinya bersikap dewasa dengan memandang perbedaan sebagai sesuatu yang wajar. ''Sebab, Tuhan pun menghargai perbedaan itu,'' kata Rozihan.

Perbedaan antara Muhammadiyah dan kalangan Islam lain dalam menetapkan awal Syawal, terjadi karena perbedaan metode. Persyarikatan yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan itu menggunakan metode hisab hakiki dalam menentukan awal Syawal.

Dikatakannya, dalam hisab, hari Jumat (12/10) memang sudah masuk bulan Syawal. Sebab tinggi hilal saat terbenam matahari di Yogya, +0 derajat 37 menit 31 detik. ''Hilal sudah wujud. Sebab, penetapan awal bulan yang dipedomani Muhammadiyah, hisab hakiki,'' kata dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Unissula tersebut.

Ditambahkannya, kriteria yang dipegang Muhammadiyah sudah terjadi ijtimak sebelum Magrib, Kamis (11/10). Ketika terbenam matahari bulan berada di atas ufuk, bulan belum terbenam.

''Berdasarkan kesatuan wilayah hukum, wilayah yang belum wujudul hilal dapat mengikuti wilayah yang sudah wujudul hilal.''

Yang lebih penting dikedepankan, kata Rozihan, mereka yang merayakan Idul Fitri pada hari Jumat sebaiknya menjaga toleransi terhadap yang masih menjalankan puasa. Begitu juga sebaliknya.

''Ini soal keyakinan. Kalau yakin Jumat sudah masuk Syawal, haram hukumnya berpuasa. Begitu juga, yang meyakini melanjutkan puasa, berlebaran pada hari itu juga haram.''

Ketua Lajnah Falakiyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PW NU) Jateng Ahmad Izzuddin MAg mengatakan, menurut data hisab, tinggi hilal tanggal 29 Ramadan masih 0 derajat 40 menit sehingga sangat sulit dilihat. ''Hal itu menyebabkan ada yang Lebaran Jumat (12/10), atas dasar hisab wujudul hilal dan ada pula yang Sabtu (13/10) atas dasar rukyat dan imkanurrukyat,'' kata pengasuh Pesantren Daarun Najaah Jrakah tersebut.

Dewasa

Sementara itu, ahli falak IAIN Walisongo, Drs H Slamet Hambali MAg memberikan penjelasaan secara ilmiah. Dikatakannya, pada Kamis (11/10) atau 29 Ramadan, posisi hilal (bulan) di Indonesia terbelah. Separuh wilayah Indonesia terbilang positif, matahari terbenam di atas ufuk meski dengan posisi 0 derajat. Tapi separuh lainnya masih negatif, matahari terbenam, hilal sudah terlebih dulu terbenam.

''Di beberapa wilayah Indonesia, seperti Aceh terlihat negatif, Sumatra bagian selatan positif, Jawa positif, Bali positif, dan Sulawesi, Kalimantan, dan Papua negatif,'' katanya.

Itulah sebabnya, pada daerah yang menunjukkan positif 1 Syawal dipastikan hari Jumat (12/10). Sementara landasan rukyat, masih menunggu hasil rukyat Kamis (11/10), yang diprediksi hilal tidak mungkin terlihat dan 1 Syawal jatuh pada Sabtu (13/10). Penetapan ini berlandaskan rukyat dan imkanurrukyat.

''Dihitung positif, jika ketinggian hilal pada 0 derajat 30 menit. Untuk wilayah Jateng dengan tempat melakukan hisab di Menara Alhusna MAJT, posisi hilal baru 0 derajat 10 menit 53 detik. Dengan begitu, diperkirakan hilal tidak akan terlihat,'' katanya.

Menyikapi adanya perbedaan pendapat soal penentuan hari raya Idul Fitri, dia meminta, hendaknya bisa disikapi secara dewasa. Mereka harus bisa saling menghargai dan memberi kesempatan satu sama lain untuk merayakan Idul Fitri dengan waktu sesuai keyakinan masing-masing. Meski berbeda, penentuan waktu tersebut menggunakan prinsip-prinsip penghitungan dengan tetap mendasarkan fikih atau hukum agama.

''Perbedaan penetapan waktu Idul Fitri ini sama halnya dengan perbedaan pendapat soal pelaksanaan doa qunut dalam shalat subuh. Hal-hal tersebut tidak perlu lagi ada pertentangan dan jangan saling memaksakan,'' katanya.

Untuk kaum muslim yang awam, dia menyarankan, lebih baik mereka mengikuti penetapan waktu oleh pemerintah. Pasalnya, tim hisab pemerintah menyertakan sidang itsbat yang mencakup perwakilan ormas Islam, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), hingga astronom. Sore ini (11/10), pemerintah akan melakukan hisab rukyat. Karena itu keputusan penetapannya menunggu hasil rukyat. (Achiar M Permana, Moh Anhar-46)



Kamis, 11 Oktober 2007 WACANA harian Suaramerdeka

Mempererat Silaturahmi

Oleh Muslich Shabir

Sikap atau perbuatan yang sekiranya bisa menyakiti hati orang lain harus dihindari dan dibuang jauh-jauh. Bila ada perbedaan pendapat, perlu disampaikan dengan cara yang bijaksana dan dengan mempergunakan argumentasi yang kuat.

JATUHNYA Idul Fitri atau lebaran tahun 1428 H ini kemungkinan besar akan mengalami perbedaan. Muhammadiyah, ormas Islam terbesar kedua di negeri ini, telah berketetapan hati untuk melaksanannya pada hari Jumat, 12 Oktober 2007. Sementara NU dan Pemerintah masih menunggu rukyatul hilal yang akan dilaksanakan nanti sore, saat matahari terbenam. Bila hilal (bulan sabit) bisa dilihat maka umat Islam bisa berlebaran pada hari yang sama. Akan tetapi bila hilal belum bisa dilihat maka puasa disempurnakan (istikmal) menjadi 30 hari.

Terjadinya perbedaan itu karena adanya metode penentuan awal bulan Qamariyah yang tidak sama. Perbedaan itu itu muncul karena adanya perbedaan dalam memahami nash, dalam hal ini hadis Nabi Muhammad saw. Dalam penentuan awal bulan Ramadan dan Syawal, beliau bersabda yang artinya: "Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah (berlebaranlah) kamu karena melihat hilal. Jika hilal itu tertutup awan maka sempurnakanlah puasa itu (menjadi 30 hari).

Dalam memahami pengertian "melihat" muncul dua pengertian. Pertama, memahaminya bahwa "melihat" itu cukup dengan penglihatan akal melalui perhitungan ilmu astronomi, ilmu falak atau hisab. Kedua, memahaminya bahwa "melihat" itu harus dengan melihat hilal secara langsung dengan mata kepala atau dengan menggunakan alat bantu.

Pemahaman yang pertama membawa implikasi bahwa jika menurut hisab/perhitungan, saat ijtimak (konjungsi) dan ghurub (terbenamnya) matahari tanggal 29 hilal sudah berada di atas ufuk, berapa pun ketinggian derajatnya maka ditetapkan hilal sudah ada . Dengan demikian, malam itu masuk ke bulan Qamariyah berikutnya.

Pemahaman yang kedua berimplikasi bahwa jika hilal tidak bisa dilihat pada saat ghurub (terbenamnya) matahari tanggal 29, maka hitungan bulan Qamariyah itu harus disempurnakan menjadi 30 hari. Perbedaan pendapat di kalangan umat Islam merupakan hal yang biasa, dan Rasulullah saw pernah menyatakan: "Perbedaan di antara umatku merupakan rahmat".

Meskipun kemungkinan besar terjadi perbedaan dalam pelaksanaan Lebaran, jangan sampai perbedaan ini menjadi pemicu retaknya hubungan yang baik antara sesama muslim. Suasana semacam ini perlu diisi dengan upaya yang bisa memperkokoh ukhuwah Islamiyah, tali persaudaraan sesama muslim dengan memperat jalinan silaturahmi yang telah terbina selama ini.

Jalinan silaturahmi itu bisa dengan kunjung mengunjungi, dengan kartu lebaran, melalui telepon atau bahkan cukup dengan mengirim SMS. Silahturahmi merupakan sarana penting dan efektif yang kelihatannya sepele tetapi bisa membawa dampak positif yang terkadang tidak terfikirkan sebelumnya.

Dengan silaturahmi ini kita bisa berbincang-bincang dalam berbagai hal yang tidak hanya bisa mempererat tali persaudaraan saja bahkan bisa juga membawa kepada manfaat duniawi. Rasulullah saw pernah bersabda: "Siapa yang ingin ditambah rezekinya dan dipanjangkan umurnya maka lakukanlah silaturahmi"

Halalbihalal yang sudah menjadi tradisi bangsa kita perlu dilestarikan karena ini merupakan jenis silaturahmi yang sangat baik. Dalam halal bihalal ini kita saling maaf memaafkan atas segala kesalahan dan kekhilafan.

Pintu Maaf

Kita wajib membuka pintu maaf seluas-luasnya kepada siapa pun, buanglah jauh-jauh sifat angkuh, sombong dan egois sehingga tidak mau meminta maaf atau tidak mau memaafkan orang lain. Sehebat apa pun kemampuan manusia, seluas apa pun ilmu pengetahuannya, setingga apa pun jabatan dan kedudukannya pasti tidak akan luput dari kesalahan dan kekhilafan.

Manusia adalah tempat salah dan lupa. Manusia yang tidak mau memaafkan kesalahan orang lain, berarti ia telah berlaku sombong dan congkak. Allah swt., Dzat yang Mahakuasa, Dzat yang Mahamulia, Dzat yang maha dalam segala-galanya, apabila hamba-Nya memohon ampun kepada-Nya, seberapapun besar dosa itu (selain syirik) niscaya Allah akan mengampuninya.

Halalbihalal yang kita lakukan adalah dalam rangka untuk menghapus dosa sesama manusia yang tentunya harus dilakukan dengan niat yang tulus dan ikhlas. Seharusnya, begitu seseorang melakukan kesalahan kepada orang lain, di saat itu pula ia harus meminta maaf.

Akan tetapi pada kenyatannya hal itu sulit dilakukan atau bahkan si pelakunya mungkin tidak sadar bahwa ia melakukan kesalahan, misalnya: ghibah (gunjingan) atau ucapan yang menyakitkan orang lain yang tanpa disengaja. Halalbihalal merupakan sarana yang efektif untuk itu dan bisa menjadikan hubungan kita akan semakin erat.

Hubungan yang erat itu perlu dipelihara dengan sebaik-baiknya. Kita harus mau belajar dari masa lalu. Sikap atau perbuatan yang sekiranya bisa menyakiti hati orang lain harus dihindari dan dibuang jauh-jauh. Bila ada perbedaan pendapat, perlu disampaikan dengan cara yang bijaksana dan dengan mempergunakan argumentasi yang kuat.

Puasa yang telah kita laksanakan selama satu bulan itu harus membawa implikasi yang positif bagi diri kita. Kesalehan pribadi dan kesalehan sosial harus lebih berkualitas daripada sebelum bulan Ramadan. (11)

--- Prof Dr H Muslich Shabir MA, guru besar IAIN Walisongo



Opini harian Kompas Oct. 11.2007

Idul Fitri dan Refleksi Peradaban


M Hilaly Basya

Idul Fitri datang lagi. Inilah hari kemenangan setelah sebulan menjalankan ibadah puasa. Selama ini, Idul Fitri dinilai sebagai hari terlahirnya kembali setiap manusia dalam keadaan suci.

Kepercayaan itu terkait ajaran bulan puasa terdiri tiga fase, rahmah (kasih sayang), maghfirah (ampunan), dan itqu min an-nar (diselamatkan dari api neraka). Puncak pencapaian puasa adalah sucinya manusia. Karena itu, bulan Ramadhan disebut bulan pencucian atau pembakaran.

Arif kepada alam

Keyakinan itu tidak salah, tetapi tema Idul Fitri sebenarnya lebih menggambarkan kerinduan setiap manusia terhadap kebenaran (sesuatu yang bernilai fitriyah). Seperti diungkapkan hadis Rasul SAW, tiap manusia terlahir dalam keadaan fitrah. Fitri dan fitrah berasal dari akar kata yang sama, keduanya menunjukkan kecenderungan alamiah manusia atas kebenaran.

Karena itu, momen Idul Fitri mencakup refleksi yang luas dalam kehidupan manusia. Terkait dengan itu, kearifan terhadap alam, misalnya, merupakan salah satu hal penting yang bisa ditumbuhkan dalam kesadaran berhari raya. Bukankah fungsi keberadaan manusia di alam ini merupakan khalifah (pengatur, pemelihara, pelindung) bagi alam? Artinya eksistensi manusia di Bumi tidak bisa dilepas dari tugas besar yang pernah dititahkan Tuhan kepada Adam, yakni menjadi khalifah fi al-ardh.

Beberapa tahun terakhir ini masyarakat dunia dihadapkan pada ancaman pemanasan global. Bencana alam melanda beberapa negara dan dampaknya amat terasa. Karena itu, peradaban manusia kini sedang mengalami krisis ekologi akibat pembangunan yang tidak disertai kearifan. Kondisi ini menggambarkan, kemajuan ilmu pengetahuan yang diboncengi ketamakan manusia perlahan-lahan menghancurkan peradaban manusia sendiri. Jika masyarakat tidak segera membenahi cara pandangnya terhadap alam dalam proses pembangunan, bisa dipastikan kerusakan ekologi akan kian parah.

Dalam buku A Study of History (1972), Arnold Toynbee menyatakan, pola perkembangan peradaban adalah interaksi antara "tantangan dan tanggapan". Dengan demikian, peradaban masyarakat modern saat ini hanya bisa diselamatkan jika kita berupaya keras untuk mengevaluasi dan melakukan kritik serius atas fondasi peradaban kita.

Bumi, ibu kehidupan

Bumi sebenarnya adalah ibu, sedangkan langit adalah ayah. Tesis ini dikemukakan Ibnu Arabi, filosof Muslim yang hidup beberapa ratus tahun lalu. Dalam bukunya, Arabi menjelaskan, Bumi merupakan tempat produktivitas kehidupan terjadi (1996). Dengan sabar dan telaten Bumi bukan hanya melahirkan kehidupan, tetapi juga memelihara dan mengayomi dengan kesabaran. Karena itu, manusia berutang besar kepada Bumi. Alam yang kini dinikmati manusia merupakan "anak kandung" Bumi. Bahkan kehidupan manusia sendiri sebenarnya berada dalam "pelukan" Bumi. Jadi, Bumi adalah "Ibu kehidupan".

Dalam sejarah kehidupan manusia, kearifan terhadap alam terpancar dari pandangan bahwa Bumi adalah sesuatu yang bernilai suci. Karena itu, masyarakat amat menghormati dan menjaga kelestarian alam. Perusakan alam dipercaya berdampak negatif bagi masyarakat itu sendiri. Sebaliknya, pemeliharaan alam diyakini sebagai pengabdian kepada Yang Suci.

Pandangan seperti ini adalah sebuah kecenderungan fitriah yang seharusnya dimunculkan dan digali dari perayaan Idul Fitri. Sejatinya, manusia menumbuhkan kembali kearifan-kearifan primordial terkait kehidupannya di dunia dan relasinya dengan alam. Arogansi masyarakat modern dalam memandang alam dapat berakibat buruk bagi kehidupan. Ketamakan mengeksploitasi alam, mencerminkan hilangnya penghormatan dan rasa kasih kepada "ibu kehidupan".

Krisis ekologi belakangan ini seharusnya kian menyadarkan manusia bahwa mereka telah tersesat dari fitrahnya. Perilaku tamak dan eksploitatif atas alam harus segera dihentikan. Semoga kita semua termasuk orang yang kembali kepada fitrah.

M Hilaly Basya Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA)

Kamis, 11 Oktober 2007





Idul Fitri, Memahami Hikmah Berbeda


Syafiq Hasyim

Mungkin sebagian umat Islam di Indonesia merasa tidak kompak karena perbedaan perayaan Idul Fitri. Sebagian yang lain mungkin berpikir mengapa umat Islam susah untuk dipersatukan sekalipun untuk hal yang baik seperti Idul Fitri.

Pemikiran seperti ini wajar, tetapi tidak bisa dibiarkan karena bagi mereka yang kurang memahaminya, perbedaan itu bisa dimaknai sebagai keanehan dalam beragama.

Dalam pandangan umat Islam, perbedaan atau berbeda adalah kosakata yang harus dihindarkan dalam urusan agama. Mungkin umat Islam Indonesia sudah terlalu lama dibayang-bayangi keharusan akan kesatuan dan kesamaan dalam segala hal sehingga ketika ada perbedaan dianggap sebagai sebuah degradasi keagamaan.

Cara pandang demikian tidak selalu benar, tetapi juga tidak selalu salah. Perbedaan dalam kehidupan keagamaan adalah hal biasa. Dalam kehidupan sehari-hari saja, kehidupan manusia tidak akan berjalan dengan normal apabila tidak ada perbedaan. Setiap perbedaan pasti memiliki alasan tersendiri, apalagi apabila perbedaan tersebut menyangkut urusan agama.

Para pendahulu kita mengajarkan perbedaan sebagai bagian dari bentuk kasih sayang Tuhan. Perbedaan juga bukan hal yang tabu di dalam agama. Imam Hanafi berkata, "Ketahuilah bahwa pendapat ini adalah pendapat terbaik yang kita upayakan, barang siapa yang berupaya lain, maka upaya lain itulah baginya, dan bagi kita apa yang kita pikir", (Al-Syihristani, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr, 2002, hal 167).

Tidak semua urusan agama harus disatukan dan disamakan. Terkadang perbedaan justru merupakan keharusan jika memang ada alasan yang kuat untuk berbeda. Terlalu obsesif menyamakan semua urusan agama akan menjatuhkan kita ke dalam jurang perpecahan.

Perbedaan perayaan hari raya yang sedang kita rayakan bersama-sama ini tidak ada kaitannya dengan kekompakan umat Islam. Kompak tidak harus sama, apalagi menyangkut keyakinan.

Peran negara

Salah satu penyebab perbedaan perayaan hari raya itu membesar di kalangan umat Islam adalah karena keikutsertaan negara. Dalam era reformasi, negara harus bersifat netral, tidak memihak salah satu kelompok umat Islam. Jika memungkinkan, negara cukup menetapkan dua hari libur, tidak menetapkan hari raya. Biarlah penetapan hari raya dilakukan berdasarkan konsensus umat Islam.

Rezim sekarang seharusnya belajar banyak dari rezim masa lalu yang lebih mengutamakan kesatuan simbolis daripada makna hakiki Lebaran. Semula perbedaan dalam hari raya adalah biasa, tetapi karena keinginan pemerintah untuk menyatukan hari raya terus diulang-ulang, umat Islam menjadi terbebani dan terpecah.

Peran pemerintah yang demikian ini justru menimbulkan skisma tersendiri di dalam umat Islam karena pemerintah menciptakan perasaan bersalah atas umat Islam lain yang merayakan Idul Fitri berbeda dengan pemerintah.

Karena itu, pemerintah harus mulai berpikir untuk berhenti dari ikut campur menentukan hari raya. Ini pertanda buruk bagi pluralisme keagamaan di Indonesia. Personalisasi hari raya oleh negara sebaiknya dihentikan karena akan mengarah kepada otoritarianisme baru pada umat Islam.

Tidak ada larangan apa pun bagi negara untuk memfasilitasi umat Islam mencari titik temu. Namun, negara tidak boleh memaksakan bahwa umat Islam harus bersatu mencapai titik temu itu.

Dalam konteks ini, negara sebaiknya memandang perbedaan Idul Fitri bukan dalam kacamata kepentingan politik citra, melainkan kepentingan keyakinan dan juga kekayaan akan perbedaan umat Islam itu sendiri.

Idul Fitri bukan milik negara, melainkan milik umat Islam yang menjadi warga negara. Cukup pemerintah menetapkan dua hari libur saja untuk memberi kesempatan bagi setiap umat Islam merayakan hari raya menurut ijtihad mereka masing-masing.

Pelajaran besar kemajemukan

Perbedaan Idul Fitri kali ini mengajarkan kemajemukan (pluralisme) yang luar biasa, tidak hanya bagi umat Islam, tetapi juga umat beragama lain di Indonesia. Selain sebagai kemenangan kita, Idul Fitri kali ini juga merupakan simbol perayaan perbedaan dan keragaman.

Umat Islam dan umat beragama lain sebaiknya tidak takut untuk berbeda selama tidak asal beda. Pengakuan dan penerimaan akan perbedaan justru berdampak positif bagi kehidupan keagamaan kita.

Pertama, dengan mengakui dan menerima perbedaan, kita tidak hanya mendapatkan kemenangan sejati, tetapi turut menciptakan keharmonisan.

Kedua, mengakui dan menerima perbedaan tidak hanya membawa kita kepada toleransi, tetapi juga pemahaman yang mendalam satu sama lain.

Ketiga, mengakui dan menerima perbedaan tidak berarti menghilangkan komitmen keyakinan kita sendiri dan menjadi seorang relatifis. Justru, mengakui dan menerima perbedaan adalah puncak perjumpaan dari pelbagai komitmen keyakinan yang ada. (Diana L Eck, New Religious America, hal 69).

Syed Hashim Ali menyatakan hampir dipastikan tidak ada satu sistem pemahaman akan realitas yang cukup dengan sendirinya menerangkan fenomena hidup yang sangat kaya (Syed Hashim Ali, Islam and Pluralism, 2005, hal 21).

Marilah kita jadikan hari raya kali ini sebagai cara kita menghargai perbedaan. Perbedaan untuk memupuk persaudaraan sesama umat Islam dan persaudaraan sesama umat manusia.

Syafiq Hasyim Deputi Direktur International Center for Islam and Pluralism (ICIP)

No comments: