Monday, October 08, 2007

Refleksi : Menyambut Idul Fitri 1428 H

Senin, 08 Oktober 2007 WACANA Suaramerdeka.com

Menuju Satu Idul Fitri

Oleh Ahmad Zaini Bisri
BULAN Ramadan tahun ini ditandai oleh penetapan awal puasa yang sama tetapi diakhiri dengan 1 Syawal yang (kemungkinan) berbeda antara dua organisasi besar keagamaan, NU dan Muhammadiyah. PP Muhammadiyah sudah menetapkan 1 Syawal jatuh pada hari Jumat, 12 Oktober. PBNU mengisyaratkan, hasil ru'yat al-hilal (melihat hilal) pada 11 Oktober nanti kemungkinan berbeda dengan ketetapan Muhammadiyah.

Di lain pihak, pemerintah tampak berusaha keras untuk menyatukan dua pandangan yang berbeda soal penetapan 1 Syawal itu. Upaya persuasi lewat media lain sudah dilakukan dengan menggelar pertandingan sepak bola persahabatan antara tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah, yang dimenangkan Muhammadiyah dengan skor 4-2. Waktu itu sang wasit, Wapres Jusuf Kalla, dengan berseloroh mengatakan, karena sudah main sepak bola bareng maka diharapkan Idul Fitrinya juga sama.

Dalam berbagai kesempatan, Menteri Agama Maftuh Basyuni juga mengulang-ulang imbauannya berkenaan perbedaan penetapan hari Lebaran itu. Ia antara lain mengajak pimpinan dua ormas keagamaan itu untuk mengindahkan perintah mematuhi Allah, Rasul-Nya, dan Ulil Amri (pemerintah) sebagaimana yang tersebut dalam Alquran agar tidak ada lagi perbedaan dalam penetapan awal puasa, 1 Syawal, dan Idul Adha.

Sindiran Menag juga diungkapkan dengan nada guyon. Misalnya, ia mengatakan, "Orang lain sudah sampai ke bulan, kita masih berdebat soal bagaimana mengintip bulan." Banyak pihak menyambut baik upaya pemerintah mendorong tercapainya titik temu dalam masalah ini, termasuk memfasilitasi pertemuan-pertemuan antara pimpinan dua ormas tersebut dan kajian atau pembelajaran bersama dalam ilmu falak (astronomi).

Dari kalangan masyarakat juga makin marak desakan agar pemerintah bertindak nyata menyikapi perbedaan itu. Misalnya, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) DIY KH Thoha Abdurrahman yang mendesak pemerintah mengambil sikap tegas menengahi perbedaan penentuan 1 Syawal, yang selalu terjadi hampir setiap tahun. Menurut dia, penentuan 1 Syawal baik dengan cara hisab maupun rukyat adalah bentuk ijtihad. Keduanya bisa dipertanggungjawabkan.

Karena itu, katanya, "Kalangan NU ataupun Muhammadiyah jangan memaksakan kehendak. Saya yakin umat Islam Indonesia lebih memilih 1 Syawal yang sama,"katanya (SM, 27 September).

Benarkah sinyalemen Kiai Thoha itu? Tampaknya memang demikian. Seorang aktivis Muhammadiyah mengatakan kepada penulis, dia merasa risih setiap kali merayakan Idul Fitri atau Idul Adha yang berbeda dengan komunitas muslim lainnya.

Khidmat kepada Umat

Ketika menggelar shalat id, dia mesti menyampaikan permohonan maaf karena harus mengumandangkan takbir lebih dulu. Katanya juga, "Makan juga tidak enak ketika saudara kita yang lain masih berpuasa."

Jeritan hati umat yang di bawah itu patutlah didengar oleh para elite ormas-ormas Islam di Indonesia. Sudah menjadi kewajiban pimpinan untuk memperhatikan aspirasi umatnya. Toh mereka dipilih untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya baik lahir maupun batin. Selama aspirasi itu positif dan tidak bertentangan dengan syariat, wajib hukumnya bagi pimpinan untuk memperhatikannya.

Paradigma itu sekaligus perlu dijadikan etos baru kepemimpinan ormas di Indonesia yang berkhidmat kepada umat; bahwa demokrasi bukan hanya berlaku bagi kaum elite saja tetapi juga bagi masyarakat yang dipimpinnya.

Penetapan hari raya memang merupakan bagian dari ibadah yang berdimensi individu. Namun, sebagaimana dikatakan Kiai Thoha, ibadah yang mengikat banyak pihak seperti penentuan 1 Ramadan dan 1 Syawal sebaiknya dilaksanakan

secara bersama.

Jika selama ini umat diminta bisa menghargai perbedaan penetapan hari raya, janganlah itu dilembagakan sebagai alasan untuk mengagungkan perbedaan. Toleransi umat perlu diimbangi oleh iktikad baik dan kesediaan elite untuk menyikapi perbedaan dengan hati terbuka..

Retorika bahwa perbedaan pendapat adalah rahmat seringkali disalahtafsirkan. Dalam praktiknya, perbedaan pendapat di kalangan muslim di Indonesia kerap muncul akibat ambisi-ambisi pribadi maupun alasan-alasan politis yang menunjukkan kelemahan dalam kepemimpinan umat.

Kalau perbedaan itu rahmat tentulah umat kita akan makin sejahtera, dewasa, disiplin, kompeten, berkarakter, mentalitas bagus, santun, dan terhindar dari berbagai malapetaka. Realitasnya, krisis multidimensi yang sudah berumur satu dasawarsa belum juga berakhir. Bahkan makin banyak saja umat yang menderita. Tidak kurang 11 juta orang menganggur dan terdapat sekitar 40 juta fakir miskin.

Tatanan kehidupan beragama yang rusak oleh ambisi adalah sebuah keniscayaan. Tuhan memberitahukan kepada kita betapa setan mampu mempermainkan pikiran para elite. "Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu. Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."(QS Al-Hajj: 52).

Titik temu antara metode ru'yat al-hilal dan wujud al-hilal harus menempuh perjalanan panjang, karena satu sama lain tidak mau melepaskan bayangan yang membingkai pikiran. Bila bayangan itu dilepas maka insya Allah cahaya akan masuk dengan terang.

Cahaya itu adalah pandangan dan sikap yang dilukiskan oleh Jalaluddin Rachmat sebagai "mendahulukan akhlak di atas fikih"(Rachmat, 2007). Suatu kearifan dan kebesaran jiwa yang diwariskan oleh para imam pendiri mazhab, sehingga seorang ulama besar fikih Syafi'iyyah, Ibnu Hajar al-Haitami pernah berkata, "Mazhab kami benar tetapi mengandung kekeliruan, sedangkan mazhab selain kami keliru tetapi mengandung kebenaran."

Pengumuman Pemerintah

Perbedaan persepsi dan kriteria tentang posisi hilal niscaya akan bisa dieliminir, bila kearifan Ibnu Hajar itu melandasi pandangan para ahli falak dan pimpinan NU serta Muhammadiyah. Toh pegangan mereka saat ini tentang kriteria hilal merupakan buah dari evolusi pemahaman. Dengan kata lain, mereka dulunya pernah "keliru"dalam menerapkan kriteria hilal.

Pada tahap awal, Muhammadiyah menggunakan rukyat dengan standar imkan al-ru'yat 3 derajat. Namun setelah tahun 1938, Muhammadiyah memakai patokan wujud al-hilal. Artinya, dulu posisi hilal 3 derajat di bawah ufuk belum menjadi pegangan bagi Muhammadiyah untuk menetapkan 1 Syawal besok harinya. Sekarang kalau posisi bulan sabit pertama sudah di atas ufuk, berapa pun tingginya, meski tidak merata di seluruh Tanah Air maka besoknya adalah Idul Fitri.

Apa pun metodenya, objek pemberlakuan penetapan 1 Syawal adalah wilayah teritorial Indonesia. Meski NU dan Muhammadiyah mempersilakan umatnya untuk memilih itsbat mana yang diyakininya, penetapan itu secara psikologis mengikat anggotanya di seluruh Indonesia.

Karena itu, bukankah lebih tepat jika ikhbar (pengumuman) datangnya 1 Syawal diserahkan kepada pemerintah yang memangku wilayah teritorial negara, apalagi toh pemerintah sudah dipilih langsung secara demokratis oleh rakyat? Atau, kita masih ingin berdebat soal negara agama dan negara sekuler?

Penetapan hari raya memang merupakan bagian dari ibadah yang berdimensi individu. Namun, sebagaimana dikatakan Kiai Thoha, ibadah yang mengikat banyak pihak seperti penentuan 1 Ramadan dan 1 Syawal sebaiknya dilaksanakan secara bersama.

Ulama besar zaman ini, Yusuf Qardhawi, dalam Fiqh al-Shiyam (1991) menulis, "Sesungguhnya upaya untuk mewujudkan persatuan antarumat Islam dalam puasa mereka dan seluruh syiar serta syariatnya merupakan perintah yang senantiasa akan dituntut. Tidak boleh berputus asa untuk mencapai ke arah itu dan tidak perlu menghindari rintangan yang mengadang. Bahkan wajib menguatkannya dan tidak mengendurkannya. Jika kita tidak berhasil menyepakati bersama di antara negara-negara Islam di seluruh dunia, maka paling tidak wajib bagi kita untuk mewujudkan persatuan masyarakat muslim dalam satu negara."

Bila kita sudah berupaya keras menyatukan pandangan tetapi kompromi yang dihasilkan keliru, menurut Qardhawi besar kemungkinan Tuhan akan mengampuni kita. Ampunan Tuhan akan menjadi rahmat bagi seluruh umat. Kita pun akan munajat dengan doa yang diajarkan oleh Allah Swt ini dengan lebih nikmat: Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. (QS Al-Baqarah: 286). Allahu a'lam bi al-shawab.

- H Ahmad Zaini Bisri, ketua umum Pengurus Wilayah Perhimpunan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KB PII) Jawa Tengah masa bakti 2007- 2010, mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik Undip.



Senin, 08 Oktober 2007 WACANA Suaramerdeka.com

Mulih

Oleh Adi Ekopriyono
SEMUA yang pergi pasti akan pulang. Sejauh bangau terbang akan kembali pula ke sarangnya. Masa kini dan masa depan sekadar muara dari masa lalu. Maka, masa lalu itu penting meskipun tidak harus menjerat langkah.

Jalinan masa lalu, masa kini, dan masa depan itu perlu agar hidup lebih bermakna. Silaturahmi tidak hanya terjadi dalam relasi antara manusia yang satu dan manusia yang lain, melainkan juga antara waktu yang satu dan waktu yang lain dalam bingkai kehidupan manusia. Kata WS Rendra, "kemarin dan esok adalah hari ini."

Bagi orang Jawa, pulang penuh makna, karena landasan filosofinya inward looking, bukan outward looking seperti filosofi Barat. Inward looking itu selalu menarik ke dalam diri sendiri segala realitas yang dihadapi. Implikasinya, menekan perasaan, rendah hati, low profile. Sebaliknya, outward looking melihat keluar ketika menghadapi suatu realitas. Implikasinya, pengungkapan perasaan dan pikiran apa adanya (assertive), high profile.

***

PULANG atau mulih dalam Bahasa Jawa, mencerminkan sikap rendah hati, bahwa sesukses apa pun, sehebat apa pun, manusia harus selalu ingat pada asal usulnya. Pesannya, manusia jangan lupa diri, harus ingat pada akar kehidupannya. Hal ini antara lain terasa dalam ungkapan khas Jawa, ndhisik apa saiki apa, ndhisik sapa saiki sapa. Dulu jadi apa sekarang jadi apa, dulu menjadi siapa sekarang menjadi siapa.

Lebih dalam lagi, ingat pada sangkan paraning dumadi, yang dalam khasanah budaya Jawa sering disebut sebagai salah satu inti ajaran. Dua inti yang lain adalah manunggaling kawula lan gusti dan sarana untuk mencapai keduanya.

Masyarakat Jawa, yang belum kehilangan jawanya (durung kelangan jawane), melihat bahwa dirinya adalah bagian dari tiga dimensi waktu; masa lalu, sekarang, dan masa depan, yang tidak dapat terpisahkan. Mulih adalah bagian dari ritual untuk menjamah masa lalu, agar tidak kepaten obor dan ngumpulke balung pisah. Agar tidak kehilangan tali silaturahmi dengan sanak saudara dan mengumpulkan saudara-saudara yang sudah jauh terpisah-pisah; agar tidak tercerabut dari akarnya.

Mulih lebih bermakna dari sekadar pulang. Mulih ada kaitan dengan pulih. Dalam Kamus Basa Jawa (Balai Bahasa Yogyakarta, 2006:639) disebutkan: mulihake = mbalekake kaya kaanane sing sakawit. Artinya, memulihkan menjadi seperti keadaan semula. Jadi, mulih itu proses menuju pulih.

Dalam konteks itulah saya melihat tradisi pulang kampung atau mudik, yang pada minggu-minggu ini dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Jawa. Tidak pulang bisa diartikan sebagai "pengkhianatan" terhadap masa lalu, bahkan pemutusan tali silaturahmi pada sanak - saudara.

Itulah sebabnya, sekurang apa pun hidup jauh dari kampung halaman, mereka sekuat tenaga berusaha untuk pulang. Uang bukan segalanya, karena rugi uang atau materi tidak menjadi soal asal bisa menjalin relasi dengan banyak teman, atau tetap memelihara hubungan baik dengan sanak saudara (tuna sathak, bathi sanak).

***

MUDIK itu indah. Maka, berbondong-bondonglah jutaan orang untuk pulang kampung; mulih. Mudik itu kearifan lokal yang tidak harus diratapi sebagai pemborosan, buang-buang waktu, atau konotasi negatif yang lain. Kearifan lokal semacam ini justru perlu dikembangkan untuk mengimbangi arus global yang terlalu kapitalistik dan materialistik. Hidup itu keseimbangan antara yang materialistik dan nonmaterialistik, antara yang fisik dan nonfisik, antara yang tangible dan intangible; yang kasat mata dan tidak kasat mata. Tanpa keseimbangan itu, maka hidup bukanlah hidup.

Mulih mengajari siapa saja untuk mencapai keseimbangan, dengan jalan mengembalikan manusia pada kodratnya sebagai manusia; memanusiakan kembali manusia. Manusia - yang dalam Jangka Joyoboyo sudah diprediksi ulahnya akan seperti gabah diinteri ñ perlu dikembalikan ke kondisi semula sebelum terkontaminasi oleh segala macam bujukan duniawi.

"Reorientasi dari kehidupan duniawi ke ukhrowi," kata tokoh agama. "Kembali ke fitrah," kata Pak Kiai. Mulih, pulih; yang jahat tidak lagi menjadi jahat, yang dengki tidak lagi menjadi pendengki, yang suka iri hati menjadi baik hati, dan seterusnya. Mulih itu penuh dengan introspeksi, mawas diri, bahwa manusia itu lemah, ringkih, sekeng. Karena lemah, maka perlu pemulihan.

Itulah jatuh bangun seseorang dalam proses menjadi (sungguh-sungguh manusia). Perspektif Jawa sangat concern pada proses (management by process), bukan hanya mengejar hasil (management by objective), karena hasil itu akan sangat ditentukan oleh proses. Maka, orang Jawa selalu mengacu pada laku, bukan sekadar tindakan. Laku itu mempunyai dua dimensi sekaligus, fisik dan nonfisik. Itulah sebabnya, jangan melihat mudik hanya dari kacamata fisik, karena di dalamnya ada ritual yang berdimensi nonfisik. Ada pencerahan di balik ritual itu.(11)

-- Adi Ekopriyono, wartawan Suara Merdeka di Semarang.




Senin, 08 Oktober 2007 , KOmpas.com


Mudik Membagi Berkah

Yudi Latif

Dalam kembara, sepanjang tahun kita nikmati berkah langit yang turun bak air hujan. Saat Idul Fitri menjemput, berpulanglah seperti akar meneruskan air hujan ke sungai, lantas mengalirkannya hingga ufuk terjauh.

Demikianlah, Allah memberikan tamsil kehidupan dunia laksana air hujan yang menjadikan tumbuhan gembur-subur di muka bumi, kemudian tumbuhtumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin (QS 18: 45).

Betapapun menyenangkan, harta dan anak-anak hanyalah perhiasan dunia yang mudah muspra. Amal salehlah yang membuatnya kekal, yang mengalirkan berkah bagi kehidupan (QS 18: 46). Al Ghazali mengibaratkan "materi" ibarat kuda yang ditunggangi jiwa dalam pengembaraan jati dirinya. Sang jiwa harus memenuhi kebutuhan tunggangannya agar bisa mencapai tujuan. Namun, jika terlalu banyak menyita waktu memberikan makan dan mengaguminya, sang jiwa akan terempas di perjalanan ketimbang mencapai tujuan.

Tujuan hidup untuk kebahagiaan, dan kebahagiaan tertinggi terengkuh ketika manusia mampu menemukan makna hidupnya. Untuk mengerti makna hidupnya, manusia harus memahami dirinya. Untuk memahami dirinya perlu meraba hatinya. Bukan hati dalam arti organ tubuh, melainkan fakultas batin yang memiliki daya reflektif tentang eksistensi manusia sebagai pengembara yang merindukan kepulangan.

Maka kerinduan mudik Lebaran, dengan segala marabahayanya, adalah kerinduan eksistensial demi meraih kebahagiaan. Momen kebahagiaan ini tercapai ketika manusia bisa serempak pulang ke "kampung" Ilahi dan kampung halaman.

Kepulangan ini terasa lebih nikmat ketika pemudik membawa oleh-oleh bagi kerabat dan tetangga. Setelah setahun menyerap hujan berkah langit, saatnya pengembara merembeskan air kebahagiaan bagi warga bumi.

Kebahagiaan terasa sempurna ketika kesuburan bumi terjaga berkat kerelaan berbagi. Al Quran melukiskan nafkah yang dibagikan ibarat sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, dan setiap bulir berbuah seratus biji (QS 2: 261). Semakin banyak memberi, semakin banyak menerima, sehingga kesuburan dan kesejahteraan negeri bertambah.

Maka jika kita memberi, lakukan dengan senang hati. Jika kita tak punya uang, berikanlah pelayanan. Kita tidak pernah kekurangan dalam apa yang dapat diberikan.

Setelah sebulan berpuasa dan beribadah, marilah kita nikmati kepulangan. Bukankah manusia hanyalah anak-anak sang waktu yang mengalir dari titik ke titik persinggahan sementara. Setiap jejak tidaklah sia-sia. Setiap kata yang disapakan memberikan gairah kepada hidup. Setiap darma yang disumbangkan memberikan tenaga kepada sesama.

Semoga mudik kita merekahkan berkah!

Yudi Latif Dosen Universitas Paramadina Jakarta



Idul Fitri

Bulan padat beribadat telah meninggalkan kita. Bulan penempaan diri telah berlalu. Bulan yang suci telah meninggalkan kita. Bulan Ramadan yang penuh hikmah dan berkah serta ampunan telah berganti. Yang jadi pertanyaan, apa yang kita dapatkan dari pelaksanaan bulan suci tersebut. Apa yang membekas dalam nurani kita dan bagaimana sikap/perilaku setelah bulan tersebut bisa dilalui.

Yang penting yaitu apakah kita telah membentuk diri menjadi insan bertaqwa, seperti tujuan Allah menurunkan bulan Ramadan. Masing-masing dapat bercermin diri sehingga secara hakiki melihat sejauh mana sikap serta perilaku kita setelah sebulan menjalani "training". Diharapkan setelah bulan puasa ini ada perubahan terutama untuk 11 bulan ke depan lagi.

Kita masih memprihatinkan pekonomian, politik dan perkembangan sosial di negeri ini. Bencana masih kerap datang, keributan baik di elite maupun di tingkat bawah selalu muncul. Masing-masing dari persoalan itu mempunyai misi serta tujuan tertentu.

Pada saat masih terlanda situasi yang kurang menguntungkan rasanya semua patut menahan diri menjaga emosi agar tidak terpancing oleh pihak yang akan memanfaatkan. Semua dikembalikan pada Dzat yang maha tinggi. Hanya iman yang kuatlah sebagai benteng untuk mem-protectdiri.

Idul Fitri tidak identik dengan hura-hura dan kesenangan semu. Juga tidak sama dengan penghamburan uang serta pemuasan nafsu duniawi. Idul Fitri merupakan penutup dari seluruh rangkaian kegiatan ibadah bulan Ramadan, sebagai perlambang pada hari itu kaum muslimin telah berhasil memenangkan pertarungan melawan hawa nafsu.

Maka sepantasnya kaum muslimin menyambutnya dengan suka cita untuk merayakannya dengan keinginan kuat untuk selalu memelihara kebersihan fitrahnya di hari-hari selanjutnya. Selamat Idul Fitri 1428 H.

No comments: