Thursday, December 21, 2006

Belajar dari Jepang : " Birokrasi Jepang "

Tulisan ini tidak bertutur tentang legenda Bangsa
Samurai dahulu kala; namun berkisah tentang Jepang
saat ini. Dongeng di sini berarti sesuatu yang
mengherankan bila disandingkan dengan kondisi
keseharian di tanah air. Meski Jepang bukanlah negeri
dongeng yang sempurna, ada nilai-nilai kebaikan
universal terealisir yang menarik untuk disimak dan
diaplikasikan di tanah air tercinta. Tulisan ini
merupakan fragmentasi keseharian saya, istri, dan
beberapa kawan dekat kami di Jepang.

Kantor pemerintahan dan pelayanan publik

Anda pernah melihat sekelompok semut? Nah, begitulah
kira-kira situasi kantor pemerintahan daerah di
Jepang. Tidak ada "semut" yang diam termangu, apalagi
membaca koran; seluruh karyawan kantor senantiasa
bergerak, dari saat bel mulai kerja hingga pulang
larut malam.
Tak habis pikir, saya tatap dalam-dalam
"semut-semut" yang sedang bekerja tersebut; kadang
kala saya curi pandang: jangan-jangan mereka sedang
ber-internet ria seperti kebiasaan saya di kampus.
Ingin saya mengetahui makanan apa gerangan yang
dikonsumsi para pegawai itu sehingga mereka sanggup
berjam-jam duduk, berkonsentrasi, dan menatap monitor
yang bentuknya tidak berubah tersebut. Tata ruang
kantor khas Jepang: mulai pimpinan hingga staf teknis
duduk pada satu ruangan yang sama - tanpa sekat; semua
bisa melihat bahwa semuanya bekerja. Satu orang
membaca koran, pasti akan ketahuan. Aksi yang bagi
saya dramatis ini masih ditambah lagi dengan aksi
lari-lari dari pimpinan ataupun staf dalam melayani
masyarakat.
Ya, mereka berlari dalam arti yang sesungguhnya dan
ekspresi pelayanan yang sama seriusnya. Wajah mereka
akan menatap anda dalam-dalam dengan pola serius utuh
diselingi dengan senyuman. Saya hampir tak percaya
dengan perkataan kawan saya yang mempelajari sistem
pemerintahan Jepang, bahwa gaji mereka - para "semut"
tersebut - tidak bisa dikatakan berlebihan. Sesuai
dengan standard upah di Jepang. Yang saya baca di
internet, mereka memiliki kebanggaan berprofesi
sebagai abdi negara; kebanggaan yang menutupi
penghasilan yang tidak berbeda dengan profesi yang
lain.

Menyandang status mahasiswa, saya mendapatkan banyak
kemudahan dan fasilitas dari Pemerintah Jepang. Untuk
mengurus berbagai keringanan tersebut, saya harus
mendatangi kantor kecamatan (kuyakusho) atau walikota
(shiyakusho) setempat. Beberapa dokumen harus diisi;
khas Jepang: teliti namun tidak menyulitkan. Dalam
berbagai kesempatan saya harus mengisi kolom semacam:
apakah anda melakukan pekerjaan sambilan (arubaito =
part time job), apakah anak anda tinggal bersama anda
(untuk mengurus tunjangan anak), dsb. Dan dalam banyak
hal, pertanyaan-pertanya an tersebut cukup dijawab
dengan lisan: ya atau tidak. Tidak perlu surat-surat
pembuktian dari "RT, RW, Kelurahan" dsb. Saya percaya
bahwa sistem yang baik selalu mensyaratkan kejujuran.
Sistem berlandaskan kejujuran akan cepat maju dan
meningkat, sekaligus sangat efisien.

Mengetahui bahwasanya saya adalah orang asing yang
kurang lancar berbahasa Jepang, saya mendapatkan
"fasilitas" diantar kesana-kemari pada saat mengurus
berbagai dokumen untuk mengajukan keringanan biaya
melahirkan istri saya. Hal ini terjadi beberapa kali.
Seorang senior saya pernah mengatakan, begitu anda
masuk ke kantor pemerintahan di Jepang, maka semua
urusan akan ada (dan harus ada) solusinya. Lain hari
saya membaca prinsip "the biggest (service) for the
small" yang kurang lebih bermakna pelayanan dan
perhatian yang maksimal untuk orang-orang yang kurang
beruntung.

Pameo "kalau ada yang sulit, mengapa dipermudah" tidak
saya jumpai di Jepang. Pada suatu urusan di kantor
walikota (shiyakusho) saya diminta untuk menyerahkan
surat pajak penghasilan. Saya mengatakan bahwa saya
sudah pernah, di masa yang lalu, menyerahkan surat
yang sama ke bagian lain di kantor tersebut. Saya
sudah siap dan pasrah seandainya mereka menjawab bahwa
saya harus mengurus kembali surat tersebut ke kantor
kecamatan sebelum saya pindah ke kota ini. Agak
tertegun sekaligus lega mendapat jawaban bahwa staf
divisi tersebut akan mendatangi divisi lain tempat
saya pernah menyerahkan dokumen pajak saya sekian
bulan yang lalu. Dia akan mengkopinya dari sana. Ambil
jalan yang mudah, namun tetap mengedepankan
ketelitian. Itulah yang saya jumpai di Jepang.

Berstatus mahasiswa yang berkeluarga (baca: harus
berhemat), kami sempat terkejut melihat tagihan
listrik bulanan yang melonjak hingga 10 kali lipat.
Setelah melakukan pengusutan sederhana, tahulah kami
bahwa ada kesalahan pencatatan meter listrik oleh
petugas - sebuah kesalahan yang tidak umum di negeri
ini. Segera saat itu pula saya telpon perusaah listrik
wilayah Kansai untuk mengkonfirmasikan kesalahan
tersebut. Berkali-kali kata sumimasen (yang bisa pula
berarti maaf) keluar dari mulut operator telepon. Saya
menganggapnya sudah selesai, karena operator berjanji
untuk segera melakukan tindak lanjut. Belum berapa
lama meletakkan tas di laboratorium pagi itu, istri
menelpon dari rumah perihal kedatangan petugas listrik
untuk meminta maaf dan menarik slip tagihan. Setibanya
di rumah malam harinya, baru tahulah saya bahwa yang
datang bukanlah sekelas petugas lapangan (dari kartu
nama yang ditinggalkannya) dan tahulah saya bahwa dia
tidak sekedar meminta maaf, karena
bingkisan berisi sabun dan shampo merk cukup terkenal
menyertai kartu nama petugas tersebut. Saya hanya
berharap, waktu itu, bahwa petugas pencatat yang
keliru tidak akan bunuh diri. Karena kekeliruan dalam
bekerja, secara umum, menyangkut kehormatan di negara
ini.

Saya mengetahui dari sebuah perusahaan penyalur tenaga
kerja di Jepang akan sebuah paradigma "Bila anda
datang ke kantor pada pukul 09.00 (jam resmi masuk
kantor di Jepang) dan pulang pada pukul 17.00 (jam
resmi pulang kantor di Jepang), maka atasan dan
kawan-kawan anda akan mengatakan bahwa anda tidak
memiliki niat bekerja". Saya membuktikan pameo
tersebut, karena setiap hari saya bersepeda melintasi
kantor walikota (shiyakusho) . Sebagian besar lampu di
kantor itu masih menyala hingga pukul 20.00. Dan
beberapa kali saya jumpai staf kantor tersebut
memasuki stasiun kereta, juga sekitar pukul 20.00. Hal
ini berarti, mereka semua memiliki niat bekerja -
versi Jepang.

Pasar, pertunjukan kejujuran dan perhatian

Suatu kali pernah kami membeli sebungkus buah-buahan
dengan bandrol murah; favorit bagi kalangan mahasiswa
asing seperti saya. Saya sudah mengetahui bahwa ada
sedikit cacat (gores atau bekas benturan) pada
permukaan beberapa buah-buahan - sesuai dengan harga
murah yang disematkan padanya. Pada saat kami hendak
membayar buah tersebut, penjual buah buru-buru
menerangkan dan menunjuk-nunjuk kondisi sedikit cacat
pada beberapa buah-buahan tersebut, dan kembali
memastikan niat kami membelinya. Sembari tersenyum,
tentu saja kami mengatakan "daijobu" (tidak apa-apa),
karena kami sudah melihatnya dari awal. Beberapa kawan
kami mengiyakan pada saat kami menceritakan kejadian
yang bagi kami cukup mengherankan ini; ini berarti
sikap jujur tersebut tidak dimonopoli oleh satu-dua
pedagang. Mereka mengerti betul bahwa kejujuran adalah
prasyarat utama keberhasilan dalam berdagang. Tidak
perlu meraup untung sesaat dalam jumlah besar, bila
nantinya akan kehilangan pelanggan.

Hingga hari ini, pada saat bertransaksi di kasir, kami
selalu menerima uang kembalian dalam jumlah yang utuh
- sesuai dengan yang tertera pada slip pembayaran.
Tidak kurang, meski hanya satu yen (mata uang terkecil
di Jepang). Tidak ada "pemaksaan" untuk menerima
permen sebagai pengganti nominal tertentu. Selain
kagum dengan praktek berdagang yang baik ini, kami
sekaligus kagum dengan sistem perbankan Jepang yang
mampu menyediakan uang recehan untuk pedagang dan
vending machine (mesin penjual otomatis) di se-antero
Jepang. Meski bagi sebagian kalangan, uang kembalian
terlihat "sepele"; hal ini bisa menyebabkan
ketidakikhlasan pembeli terhadap transaksi jual-beli.

Istri saya selalu berbelanja bersama anak-anak; dan
karena "keriangan" anak-anak, pada beberapa kasus, pak
telur atau buah-buahan bisa meluncur ke lantai. Dua
kali terjadi beberapa telur dalam satu pak pecah
akibat keriangan anak-anak, dan satu kali melibatkan
buah yang mudah penyok. Pada semua kejadian tersebut,
petugas supermarket melihat dan segera mengganti
barang-barang tersebut dengan yang baru. Padahal kami
datang dengan wajah lelah dan pasrah untuk
membayarnya, karena kami menyadari benar bahwa ini
adalah kelalaian kami. Bahkan pada satu kasus, barang
tersebut sudah dibayar istri saya. Pada saat kami
menerangkan bahwa ini semua ketidaksengajaan anak-anak
kami, dengan ramah petugas supermarket menyahut
"daijobu yo" (tidak apa-apa).

Pada saat berkesempatan mengunjungi sebuah negara lain
di Asia untuk sebuah konferensi, saya baru menyadari
keramahtamahan petugas supermarket di Jepang. Di
Jepang, bila anda menanyakan keberadaan sebuah barang,
maka petugas tidak sekedar memberi arah petunjuk pada
anda, namun dia akan mengantarkan anda hingga berjumpa
dengan barang yang dicari; dan petugas baru akan
meninggalkan anda setelah memastikan bahwa everything
is ok. Hal ini tidak berarti bahwa jumlah petugas
supermarket di Jepang demikian banyaknya hingga mereka
berkesempatan jalan-jalan di dalam supermarket yang
sangat besar; justru sebaliknya, jumlah petugas selalu
sesuai benar dengan kebutuhan, dan mereka selalu
bergerak - seperti semut. Di sebuah toko elektronik,
seorang petugas yang menjelaskan spesifikasi komputer
yang anda tanyai adalah juga kasir tempat anda
membayar serta petugas yang melakukan packing akhir
terhadap komputer yang anda beli.

Polisi, sistem yang bekerja dan melindungi

Kami sempat terheran-heran manakala pertama
menginjakkan kaki di Kobe demi melihat postur polisi
dan kendaraannya yang tidak lebih gagah dibandingkan
dengan petugas pos di Indonesia. Benar, ini bukan
metafora. Memang ada pula polisi di tingkat prefecture
(propinsi) yang gagah mengendarai motor besar bak Chip
- ini jumlahnya sedikit. Namun polisi kota besar
seukuran Kobe - salah satu kota metropolis di Jepang,
posturnya tidak segagah polisi yang sering saya jumpai
di jalan-jalan Republik. Anda tentu menganggap saya
sedang bergurau bila saya mengatakan bahwa motor
polisi di Kota Kobe dan Ashiya serupa benar dengan
bebek terbang tahun 70-an. Saya tidak bergurau. Ini
Kobe dan Ashiya, dua kota di negara macan ekonomi
dunia. Bebek terbang tersebut dilengkapi dengan boks
besi di bagian belakang - mirip dengan petugas
pengantaran barang kiriman. Namun, sekali bapak atau
mbak polisi ini menghentikan kendaraan, tidak pernah
saya melihat ada diantaranya yang berusaha lari. Tidak
ada gunanya lari di negara dengan sistem network yang
sangat baik ini. Ke mana pun anda lari, kesitu pula
polisi dengan uniform yang serupa akan menghampiri
anda. Pelan namun pasti. Saya akhirnya mafhum, bahwa
polisi di sini lebih pada fungsi kontrol dan
pengambilan keputusan (decision maker) - kedua fungsi
ini memang tidak mensyaratkan badan yang harus berotot
dan berisi. Tak heran saya melihat mas-mas polisi muda
berkacamata melakukan patroli dengan bebek terbangnya.
Mereka hanya perlu melihat, mengawasi, dan mengambil
keputusan. Selebihnya, sistem yang akan bekerja.

Lingkungan hidup dan transportasi

Jepang bukanlah negara dengan penduduk kecil. Populasi
negara ini hampir separuh populasi Republik tercinta.
Di sisi lain, wilayah negara ini didominasi oleh
pegunungan yang sulit untuk dihuni. Pegunungan yang
tetap hijau, membuat saya menduga bahwa Pemerintah
Jepang memang sengaja membiarkan kehijauan melekat
pada daerah pegunungan tersebut. Tokyo adalah kota
besar dengan jumlah penduduk terbesar se-dunia,
mengalahkan New York dan berbagai kota besar di
mancanegara. Besarnya penduduk, sempitnya dataran yang
bisa dihuni, dan tingginya tingkat ekonomi mensiratkan
dua hal: kerapian dan kebersihan. Anda akan sangat
kesulitan menjumpai sampah anthrophogenik (akibat
aktivitas manusia) di jalan-jalan di Jepang. Kemana
mata anda memandang, maka kesitulah anda akan
tertumbuk pada situasi yang bersih dan rapi. Orang
Jepang meletakkan sepatu/alas kaki dengan tangan,
bukan dengan kaki ataupun dilempar begitu saja. Mereka
menyadari bahwa ruang (space) yang mereka miliki tidak
luas,
sehingga semuanya harus rapi dan tertata. Sepatu dan
alas kaki diletakkan dengan posisi yang siap untuk
digunakan pada saat kita keluar ruangan. Hal ini
sesuai dengan karakteristik mereka yang senantiasa
well-prepared dalam berbagai hal. Kadang saya
menjumpai kondisi yang ekstrim; seorang pasien yang
sedang menunggu giliran di depan saya berbicara dan
menggerakkan anggota tubuhnya sendiri. Saya tahu bahwa
ruang periksa di hadapan kami bukan ditempati
psikiater ataupun neurophysicist. Belakangan saya tahu
dari kawan yang belajar di bidang kedokteran, boleh
jadi pasien tersebut sedang mempersiapkan dialog
dengan dokternya.

Transportasi di Jepang didominasi oleh angkutan
publik, baik bus, kereta (lokal, ekspres, super
ekspres), shinkansen, dan pesawat terbang (antar
wilayah). Baiknya sistem dan sarana transportasi di
Jepang membuat anda tidak perlu berkeinginan untuk
memiliki kendaraan sendiri - kecuali bila anda tinggal
di country-side yang tidak memiliki banyak alat
transportasi umum. Kereta dan shinkansen (kereta antar
kota super ekspres) mendominasi moda transportasi di
Jepang. Sebuah sumber yang saya ingat menyebutkan
bahwa kepadatan lalu lintas kereta di Jepang adalah
yang tertinggi di dunia. Di Jepang, kereta dan
shinkansen digerakkan menggunakan listrik. Hal ini
tidak menyebabkan polusi udara di perkotaan, karena
listrik diproduksi terpusat. PLTN sebagai salah satu
sumber pemasok utama energi listrik di Jepang, tentu
saja, juga berkontribusi pada rendahnya polusi udara
karena, praktis, PLTN tidak mengemisikan CO2.

Nasehat "tengoklah duru kiri dan kanan sebelum
menyeberang jalan" mungkin tidak sangat penting untuk
diterapkan bila anda menyeberang di tempat yang telah
disediakan di Jepang. Anda cukup menunggu lambang
pejalan kaki berubah warna menjadi hijau; insya Allah
anda akan selamat sampai ke seberang - tanpa perlu
menengok kiri dan kanan. Saat berkesempatan
mengunjungi kota besar lain di Asia, kebiasaan
menyeberang ala Jepang sempat membuat saya hampir
terserempet motor; lampu hijau saja ternyata tidaklah
cukup di kota ini.

Kesehatan dan rumah sakit

Jepang mengerti benar bahwa orang-orang yang sehatlah
yang lebih mampu memajukan bangsa dan negaranya.
Mahasiswa di tempat saya belajar, Kobe University,
wajib melakukan pemeriksaan kesehatan (gratis) setahun
sekali. Fasilitas kesehatan di Jepang mendapat
perhatian yang tinggi dari pemerintah. Sebagai orang
asing, mahasiswa pula, kami dianjurkan untuk mengikuti
program asuransi nasional. Dengan mengikuti program
ini, kami hanya perlu membayar 30% dari biaya berobat.
Dari yang 30% tersebut, sebagai mahasiswa asing, saya
akan mendapatkan tambahan potongan sebesar 80% (yang
belakangan turun menjadi 35%) dari Kementrian
Pendidikan Jepang. Berstatuskan mahasiswa, kami
membayar premi asuransi per-bulan yang jauh lebih
kecil dibandingkan dengan orang kebanyakan. Dari
laporan rutin yang dikirimkan oleh pihak asuransi
kepada kami, tahulah saya bahwa ongkos berobat kami
selalu (jauh) lebih besar dari premi asuransi yang
saya bayarkan setiap bulannya. Berbekal kartu asuransi
nasional,
datang ke rumah sakit ataupun ke klinik swasta bukan
lagi menjadi hal yang menakutkan bagi keluarga kami di
Jepang. Jangan membayangkan bahwa pihak rumah sakit
atau klinik swasta akan memberikan perlakuan yang
berbeda kepada para pemegang kartu asuransi - apalagi
untuk kami yang mendapatkan kartu tambahan khusus
keluarga tidak mampu. Para dokter dan perawat melayani
dengan keramahan yang tidak berkurang serta prosedur
yang sama sederhananya. Keramahan di sini berarti
keramahan yang sebenar-benarnya.

Baik anda kaya ataupun miskin, proses masuk dan keluar
dari rumah sakit di Jepang adalah sama mudahnya. Saat
istri melahirkan di rumah sakit pemerintah di Ashiya,
saya disodori formulir yang berisi opsi pembayaran:
tunai, lewat bank, dll. Tidak menjadi sebuah keharusan
bagi seorang pasien untuk menyelesaikan kewajiban
pembayaran di hari dia harus keluar dari rumah sakit.
Alhamdulillah kami mendapatkan keringanan biaya
melahirkan dari Pemerintah Kota Ashiya; selain bisa
melenggang dari rumah sakit tanpa bayar pada hari itu,
tagihan dari Kantor Walikota (setelah dipotong subsidi
dari pemerintah) juga baru datang dua bulan kemudian.
Saling percaya adalah kuncinya.

Yuli Setyo Indartono. Mahasiswa S3 di Graduate School

Comment : Kapan bangsa kita Birokrsinya bisa seperti Jepang??? Mimpi . . . . .

No comments: