Thursday, December 21, 2006

Filosofi Pendidikan ( Metode Horisontal )

Metode Horisontal lahir dengan keinginan untuk memecahkan
permasalahan yang paling mendasar dari pendidikan matematika di
negara ini. Dan yang menjadi masalah terbesar dalam pendidikan
Matematika adalah membangkitkan rasa percaya diri siswa terhadap
kemampuan numerik & logika dan daya kreatifitas siswa dalam
memecahkan soal, bukan sekedar mengajari bejibum topik matematika,
yang akhirnya malah cenderung hanya memberikan formula jalan pintas
agar siswa KELIHATAN menguasai matematika seperti yang terjadi di
negara ini dan akhirnya membuat siswa muak dengan Matematika karena
mereka sebenarnya tidak mengerti apa yang sedang mereka kerjakan.

Ketika seorang siswa sudah mempunyai kepercayaan diri pada kemampuan
numerik & logika dan mempunyai daya kreatifitas untuk memecahkan
masalah, mereka telah siap menerima pendidikan Matematika yang
bersifat deduktif, yang biasa disebut Modern Mathematics. Di sini
mereka akan benar-benar diajarkan bagaimana BERPIKIR LOGIS dan
KONSISTEN secara mandiri. Bila mereka mampu memahami hal yang
tersulit dalam matematika yaitu untuk berpikir secara logis dan
konsisten ini, maka jalan untuk mempelajari jenis Matematika apapun
akan terbuka lebar. Jadi kalau seorang siswa yang rajin sebenarnya
tidak perlu kursus apapun juga asalkan dia sudah bisa BERPIKIR LOGIS
dan KONSISTEN karena topik2 matematika yang harus diajarkan dalam
kurikulum kita sebenarnya sudah ada di dalam buku-buku teks yang
beredar.

Dengan pemikiran seperti ini, Metode Horisontal membuat sebuah CARA
BERHITUNG
yang BARU beserta CARA PENGAJARAN yang BARU pula, dan
tentunya pengajaran siswa diawali dari Tahap Pengenalan Bilangan
sampai dengan Tahap Kreatifitas. Sebagai Cara Menghitung yang baru,
Metode Horisontal merupakan bentuk deduktif dari Metode Sempoa,
secara umum konsep yang mendasari baik Metode Horisontal dan Metode
Sempoa adalah sama yaitu konsep Asosiasi Posisi. Di sini metode
Horisontal bukan sekedar rumus atau formula untuk mempercepat
perhitungan tetapi merupakan cara berpikir (the way of thinking).
Jadi jelas bahwa Metode Horisontal bekerja mulai pada bidang paling
fundamental dari Matematika yaitu Aritmatika Dasar. Informasi lebih
lanjut dapat dilihat pada: www.sigmetris. com

Kemudian sebagai Cara Pengajaran yang baru, tentunya Metode
Horisontal akan mengikuti standar kurikulum yang sudah ditetapkan
pemerintah. Selain itu Metode Horisontal perlu membangun sebuah
filosofi pendidikannya sendiri yang menjadi landasan bagi Cara
Pengajarannya. Dalam artikel ini, akan diuraikan mengenai Filosofi
Pendidikan dari Metode Horisontal, yang mempunyai beberapa kata-kata
kunci yaitu Kongkrit, Penyelidikan dan Transformatif. Filosofi
Pendidikan ini dibangun berdasarkan tahap-tahap yang harus dilalui
seorang siswa dalam mempelajari sebuah materi pelajaran, terutama
dalam bidang Matematika, yang secara garis besar adalah tahap
Mengenal (know), tahap Memahami (understand) , dan tahap Menguasai
(mastering) suatu materi pelajaran tertentu. Karena itu sesuai
dengan tahap-tahap ini, dibangun tiga dasar filosofi pendidikan yang
mendasari proses pendidikan di dalam tahap-tahap tersebut, sebagai
berikut:

1. Pendidikan yang Kongkrit – Tahap Mengenal

Dalam tahap pengenalan suatu ilmu pengetahuan pastilah akan timbul
pertanyaan: Bagaimana siswa bisa bertanya dan tertarik mengenai
suatu topik jika mereka belum tahu bidang tersebut sama sekali?.
Pastilah di sini harus ada guru yang memperkenalkan topik tersebut
dan memotivasi siswa agak tertarik dengan bidang tersebut. Jadi
sebelum menginjak pada proses Penyelidikan (tahap Pemahaman), siswa
perlu diperkenalkan dengan ilmu pengetahuan yang bersifat kongkrit
(nyata) bagi mereka. Pendidikan seperti ini dinamakan sebagai
Pendidikan yang Kongkrit.

Pendidikan yang Kongkrit adalah jenis pendidikan yang menekankan
segala materi yang diajarkan ke siswa sebaiknya terhubung dengan
realitas kehidupan sehari-hari dan menggunakan konteks nyata sebagai
sumber inspirasi untuk memperkenalkan siswa pada suatu pengetahuan
tertentu. Singkatnya di sini siswa akan dapat mencerap bahwa materi
yang diajarkan adalah hal yang nyata bagi dirinya, bukan sesuatu
yang terlepas dari kehidupannya sehari-hari. Hal ini tentunya tidak
perlu berupa materi yang berbentuk benda nyata, bisa saja topik
tersebut berwujud suatu soal cerita atau sebuah puzzle. Melalui
materi yang bersifat kongnrit seperti ini, kemudian mulai dibangun
materi-materi yang bersifat lebih abstrak sebagai sebuah kontinuitas
yang wajar darinya.

Pendidikan yang Kongkrit mempunyai beberapa karakteristik dasar,
yaitu:
• Menggunakan konteks kehidupan nyata sebagai awal proses
pembelajaran
• Menggunakan model sebagai jembatan antara dunia nyata dan
ilmu pengetahuan. Di sini model berperan untuk menyederhanakan dunia
nyata sehingga bisa dilihat karakteristik- karakteristik yang penting
sehingga dapat dipahami prinsip dasar ilmunya.
• Model yang dibangun tersebut harus dipahami benar oleh siswa
sehingga harus menggunakan istilah, simbol, diagram dan gambar yang
mudah ditangkap atau yang sudah biasa digunakan oleh siswa
• Menggunakan proses pengajaran yang interaktif sehingga siswa
dapat merasakan benar-benar bahwa konteks yang dibahas relevan dalam
kehidupannya sehari-hari.
• Tidak menolak untuk membahas suatu subjek secara lintas ilmu
bila hal ini memang dapat membuat materi yang diajarkan semakin
Kongkrit dalam sudut pandang siswa.

Bila karakteristik ini dipenuhi dalam suatu proses pengajaran, maka
siswa akan mencerap suatu bidang bukan sebagai hal yang abstrak
tetapi sebagai hal yang nyata dan berguna bagi dirinya. Dan tentunya
karena ditekankan pula penggunaan istilah, simbol, diagram dan
gambar yang mudah dipahami siswa, hal ini akan membuat mereka merasa
nyaman dan tentunya mereka juga otomatis akan merasa tertarik dengan
bidang tertarik karena merasa mudah memahaminya. Bila hal ini telah
terjadi maka Pendidikan dengan cara Penyelidikan telah siap untuk
dilakukan oleh siswa, karena prasyaratnya dari sebuah proses
penyelidikan adalah antusiasme dan rasa ingin tahu.

Selanjutnya dalam Pendidikan yang Kongkrit ini, peran seorang guru
adalah sebagai berikut:
• Sebagai seorang pengajar, yaitu ia harus memperkenalkan
suatu topik di depan kelas dengan mulai pada hal-hal yang kongkrit
di sekitar kehidupan siswanya.
• Kemudian dalam interaksinya dengan siswa, guru harus
memberikan sebuah tantangan (challenge) dan sekaligus bantuan (clue)
yang dibutuhkan siswa untuk memahami topik yang diajarkan. Bantuan
tersebut dapat berupa sebuah diagram, gambar atau penjelasan yang
dibutuhkan untuk memecahkan tantangan yang diberikan.
• Perlu pula ditekankan dalam pendidikan yang kongkrit ini,
guru juga berperan sebagai motivator, hal ini dapat dengan bermacam-
macam cara misalnya dengan menceritakan tokoh yang berperan dalam
bidang tersebut, dengan mendemonstrasikan kegunaan ilmu tersebut di
depan kelas dan sebagainya. Selain itu mereka harus selalu memandang
secara positif setiap Keberhasilan dari setiap siswa yang diajarnya
dalam memecahkan soal dan berusaha membantu siswanya dalam
mengkonstruksi konsep diri yang positif.
• Terakhir guru perlu terus-menerus memantau keaktifan
siswanya di dalam kelas ketika berusaha memahami topik yang
diajarkan dengan mengamati caranya bertanya atau menjawab tantangan
(challenge) yang diberikan.

2. Pendidikan dengan Penyelidikan – Tahap Memahami

Dalam model Pendidikan yang menekankan proses Penyelidikan, siswa
didorong untuk bertanya tentang suatu topik tertentu yang menarik
bagi dirinya. Tentunya topik ini harus diperkenalkan oleh seorang
guru yang berperan sebagai fasilitator di sini. Pertanyaan-
pertanyaan siswa ini tidak perlu merupakan hal yang masuk akal atau
mudah dijawab, dan guru tidak bertugas untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan siswa, tetapi bertugas untuk memfokuskan pertanyaan-
pertanyaan ini sehingga siswa dapat memberikan alternatif jawabannya
sendiri.

Pendidikan dengan cara menyelidiki dimotivasi oleh fakta bahwa
seorang Pembelajar yang baik ternyata mempunyai perhatian terhadap
aktifitas bertanya dan menyelesaikan pertanyaan itu sendiri, bukan
hanya tertarik pada hasil akhir pengetahuan saja. Aktifitas
penyelidikan ini sebaiknya dilakukan secara sosial, yaitu bersama-
sama dengan guru dan juga teman-teman sebayanya.

Di sini terdapat daftar dari seorang Pembelajar yang baik, yaitu:
• Percaya diri terhadap kemampuan belajar mereka
• Kesenangan dalam memecahkan suatu masalah
• Tajam dalam melihat hubungan-hubungan yang relevan
• Bersandar pada pendapatnya sendiri bukan pada pendapat orang
banyak.
• Tidak takut untuk salah
• Tidak terburu-buru untuk menjawab
• Mempunyai sudut pandang yang fleksibel
• Menghargai Fakta diatas sebuah Opini dan dapat membedakan
dengan jelas antara sebuah Fakta dan Opini.
• Merasa nyaman dalam Ketidaktahuan, sehingga tidak merasa
perlu untuk menjawab semua pertanyaan yang muncul secepat mungkin.
Dan tidak puas dengan suatu jawaban yang sangat disederhanakan.

Untuk melakukan model pendidikan dengan cara Penyelidikan ini
diperlukan peran baru bagi seorang guru yang berbeda dari model
pendidikan tradisional. Di sini, guru lebih berperan sebagai
fasilitator dan penuntun dibandingkan sebagai seorang pengajar yang
memberikan kuliah saja. Ada beberapa hal yang harus dipahami seorang
guru dalam metode pengajaran ini:
• Mereka harus menghindari siswa bahwa mereka harus tahu
sesuatu hal agar siswa merasa nyaman jika mempunyai pertanyaan yang
belum bisa terjawab olehnya.
• Mereka berbicara dengan siswa dengan cara bertanya kembali
yang berfungsi untuk memfokuskan setiap pertanyaan siswa.
• Mereka tidak dapat menerima jawaban siswa yang
disederhanakan saja
• Mereka harus mendorong siswa untuk bertukar pikiran dengan
siswa-siswa yang lain dan mendidik siswa untuk tidak menghakimi apa
yang telah dikatakan temannya.
• Mereka harus memperkenalkan suatu masalah tertentu agar
menarik minat siswanya.
• Mereka mengukur keberhasilan siswa berdasarkan sifat-sifat
seorang Pembelajar yang baik, yang ditetapkan sebagai tujuan
Pembelajaran ini.

3. Pendidikan Transformatif – Tahap Menguasai

Setelah kita membahas tentang Pendidikan dengan cara Penyelidikan,
selanjutnya akan dibahas mengenai Pendidikan Transformatif sebagai
akibat wajarnya. Dengan menerapkan cara Penyelidikan dalam
kehidupannya sehari-hari, seorang siswa pastilah akan menggali
banyak informasi yang dikumpulkan dari berbagai sumber. Pada suatu
tahap tertentu, pastilah ia akan mempertanyakan kembali informasi-
informasi yang didapat karena biasanya informasi2 tersebut tidaklah
selaras satu dengan yang lainnya atau mungkin pula karena ia tidak
dapat menjawab suatu masalah dengan informasi yang telah
dimilikinya. Bila hal ini telah terjadi, maka sangatlah dibutuhkan
apa yang dinamakan Pendidikan Transformatif. Jadi proses
transformatif diawali dengan Kegagalan siswa untuk memahami suatu
bidang ilmu pengetahuan yang bersifat individual, yang berakibat
pada kebingungan terhadap konsistensi pemikirannya atau
ketidakmampuannya dalam memesahkan suatu masalah tertentu.

Untuk memudahkan pembahasan, maka proses kognitif manusia secara
sederhana dibagi menjadi dua macam:
• Berpikir tingkat Pertama meliputi - menghitung, mengingat,
membaca dan memahami.
• Meta-kognisi, yaitu – proses memantau perkembangan dan hasil
dari dari Berpikir tingkat Pertama.

Dalam Pendidikan dengan cara penyelidikan, berpikir-tahap- pertama
digunakan secara intensif untuk memecahkan pertanyaan-pertanya an
yang muncul dalam diri seorang siswa. Tetapi selain tahap pemikiran
ini, perlu juga disadari bahwa siswa terus memantau setiap
informasi2 baru yang mereka dapat dan berusaha membandingkan dengan
informasi2 yang telah didapat sebelumnya, proses ini dinamakan
dengan meta-kognisi. Dilain pihak seorang siswa pastilah sampai
suatu saat akan terbentur dengan suatu pertanyaan yang tidak dapat
dijawab dengan segala informasi yang telah dipunyai.

Ada satu kata kunci yang perlu dipahami dalam Pendidikan
transformatif pada tahap ini, yaitu Perubahan. Jika hal-hal di atas
telah dialami oleh seorang siswa, maka disini saatnya siswa tersebut
harus berubah. Apanya yang berubah? Tentu yang berubah adalah sudut
pandangnya dalam memandang hal-hal yang telah diketahuinya tersebut.
Ia harus mulai lagi memeriksa informasi2 yang telah mereka dapat
satu persatu, dan memisahkan mana yang sekedar opini dan mana yang
benar-benar berupa fakta. Setelah proses menyaring tersebut maka
akan didapatkan semua hal-hal yang relevan, dan mulailah ia
mempertanyakan Landasan sudut pandangnya terhadap informasi yang
relevan tersebut, terutama dikaitkan dengan Asumsi dasar yang telah
dipegang mereka.

Dalam kehidupan sehari-hari, Asumsi dasar ini adalah berupa suatu
Makna Kehidupan dan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan
manusia, karena mau tidak mau hampir semua sudut pandang dan tingkah
lakunya bermuara pada makna kehidupan tersebut. Sehingga dalam
kehidupan nyata, dengan menyesuaikan makna kehidupan terhadap
informasi2 yang relevan tersebut, seorang siswa akan memandang
segala sesuatu secara berbeda.

Bila kita mendaftar apa sebenarnya yang terjadi pada seorang siswa
dalam proses transformatif ini terutama dalam bidang Akademik, maka
didapat sebagai berikut:
• Memahami kerangka berpikir yang telah digunakan selama ini
• Mempelajari kerangka berpikir alternatif yang lain
• Mentranformasi sudut pandang yang digunakan.agar dapat
mengakomodasi kerangka berpikir yang lain tersebut (yang dianggap
relevan tentunya)
• Dan akibatnya akan Mentranformasi segala kebiasaan
berpikirnya

Untuk melakukan hal ini seorang siswa perlu dibantu oleh guru (atau
orang tuanya) yaitu dalam melalui proses transformatif yang sangat
kritis ini. Tentunya tidak dengan memaksakan kerangka berpikir
mereka sendiri kepada siswa tersebut, tetapi membiarkan siswa
membangun kerangka berpikirnya sendiri.

Proses transformatif ini bisa diajarkan dalam bidang akademis dan di
sini tugas seorang guru adalah sebagai berikut:
• Memberikan suatu masalah atau menunjukkan suatu kejadian
tertentu yang dapat menyadarkan siswa akan Keterbatasan pengetahuan
dan pendekatan mereka.
• Memberikan kesempatan pada siswa untuk mengidentifikasi dan
mendeskripsikan Asumsi-asumsi dasar yang mendasari pengetahuan dan
pendekatan yang mereka gunakan.
• Mendorong siswa untuk menelaah dari mana Asumsi-asumsi ini
berasal dan bagaimana asumsi tersebut membatasi pemahaman mereka
• Mendiskusikan apa yang telah mereka telaah kepada guru dan
siswa yang lain.
• Memberikan kesempatan kepada mereka untuk menguji perspektif
mereka yang telah diperbaharui.

Bila siswa telah biasa dengan proses Transformatif dalam bidang
akademisnya, maka kemungkinan besar mereka juga akan dapat
menerapkan hal ini dalam kehidupan sehari-harinya terutama dalam
melalui perubahan-perubahan dalam tahap kehidupannya dengan sukses.

No comments: