Monday, October 16, 2006

Agar Tak Tekor Setelah Lebaran


Sikapi tunjangan hari raya dengan bijak. Awali dengan rencana anggaran.

"Ayo, belanja baju. Sudah dapat THR, kan?" ucap Fera, 20 tahun, kepada kakaknya yang bekerja di sebuah perusahaan swasta. Ajakan seperti ini bakal lebih sering terdengar, khususnya di hari-hari menjelang Idul Fitri.
Apa boleh buat, THR atau tunjangan hari raya memang sudah lama identik dengan kegiatan belanja. Apalagi Lebaran tinggal sepekan lagi. Benarkah anggapan demikian?
Bicara tentang THR, menurut Ahmad Gozali dari biro konsultasi perencanaan keuangan Safir Senduk dan rekan, sebaiknya awali dengan membuat rencana anggaran. Sudah barang tentu, dalam merancang anggaran, tidak bisa dipukul rata karena setiap orang menerima jumlah yang berbeda. "Umumnya satu bulan gaji," katanya.
Dengan kata lain, di hari-hari ini karyawan menerima gaji dua kali lipat. Patut disyukuri tentunya. Sebab, tidak semua orang mendapat rezeki yang sama. Bahkan ada yang tahun ini mungkin tak kebagian THR.
Saat ini THR, bagi sebagian pekerja, bisa menjadi bonus satu-satunya yang diterima dari perusahaan. Jadi bisa disamakan dengan gaji ke-13. "Namun, bagi karyawan di perusahaan lain, terkadang cukup beruntung mendapatkan bonus lain di luar THR," ungkap Gozali.
Itulah yang dialami Tina, 34 tahun, karyawan swasta di Jakarta. Di perusahaannya, ia tak selalu mendapat bonus tahunan. Itu sebabnya, "Dana THR mesti dipikir-pikir, bagaimana cara menikmatinya," ujar Tina.

Nah, agar THR tetap bermanfaat, perlu strategi pengelolaan. Gozali menyarankan pisahkan antara pengeluaran rutin bulanan dan pengeluaran yang sifatnya tidak rutin, seperti beli baju baru, makanan Idul fitri, silaturahim, dan mudik. Jika tidak dipisahkan, biasanya anggaran rutin bulanan akan ikut jebol karena ada justifikasi pengeluaran yang lebih besar di bulan puasa.
Padahal, kalau mau jujur, di bulan puasa ini pengeluaran sehari-hari seharusnya bisa berkurang dibanding biasanya karena para karyawan tidak mengeluarkan uang saku untuk makan siang. Selain itu, sebagian besar orang memilih makan di rumah bersama keluarga sehingga biaya jalan-jalan dan makan di luar bakal terpangkas.

Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan Lebaran, seperti mudik, pakaian, dan penganan, ada baiknya dipisahkan dari anggaran rutin. "Manfaatkan uang THR," tutur Gozali. Dengan cara ini, penggunaan THR bisa lebih terkontrol karena sudah diperhitungkan sebelumnya.
Jika cukup taat dalam membagi kebutuhan bulanan dan Lebaran, tidak ada salahnya memikirkan tabungan. Tapi, Gozali melanjutkan, ada syaratnya, "Sisihkan sejak awal untuk tabungan. Jangan disisakan di akhir. Sebab, kalau menunggu sisa, rasanya sulit dilakukan."
Lain halnya dengan Tina. "Kalau saya sih THR, ya, untuk digunakan, kan memang itu peruntukannya. Saya tak pernah menyisihkan untuk menabung," katanya lugas.
Cara pandang Tina, menurut Gozali, kurang tepat. Bukankah saat menerima gaji pun tidak semua dipakai kegiatan konsumtif. Umumnya sekitar 30-40 persen dari gaji dipakai untuk membayar utang dan menabung.

Sedangkan untuk konsumsi diambil dari sisanya sebesar 60-70 persen, bahkan bisa kurang jika sudah memiliki program menabung yang tetap. "Kenapa tidak kita perlakukan saja THR seperti gaji bulanan. Sayang, jika semuanya langsung dihabiskan," ujar Gozali lagi.
Di lain pihak, meski dianjurkan untuk tidak dihabiskan, akan lebih bijak bila THR dialokasikan untuk membayar utang. Apalagi jika THR tersebut merupakan satu-satunya bonus yang diterima dari perusahaan.

Betul Lebaran menjadi sarana bersukacita dan tasyakur. Tapi, seperti yang diingatkan Gozali, "Bagaimana mau sukacita kalau masih khawatir dengan lilitan utang yang menumpuk. Memang kita punya hak untuk menikmati Lebaran. Karena itu, bayarkan saja sebagian untuk utang."
Yang jelas, untuk utang yang sifatnya fleksibel, seperti kartu kredit, pembayaran yang dipercepat dengan THR akan mengurangi secara signifikan saldo utang dan sisa bunga yang harus dibayar. Namun, untuk utang yang sifatnya jangka panjang, seperti KPR misalnya, memang efeknya tidak akan terlalu besar.

Bila semua anggaran hari raya sudah terencana, selalu ada celah munculnya kebutuhan tak terduga. Tapi yang tak terduga pun pada dasarnya bisa diakali agar tetap bisa berhemat. Misalnya kebiasaan memberi hadiah kepada kerabat.
Menurut Gozali, kebiasaan masyarakat ini ada sisi baiknya. "Kita memang dianjurkan untuk mengekspresikan rasa syukur dengan memberi hadiah. Dalam Islam dianjurkan sebagai bukti cinta kasih dan dapat mempererat tali silaturahmi."

Namun, tidak bijak ketika orang memaksakan diri untuk memenuhi kebiasaan ini. "Namanya bukan tasyakur lagi. Apalagi ada rasa keterpaksaan, bahkan mungkin sampai berutang," Gozali melanjutkan.
Karena itu, ketika memberikan bingkisan, tentukan dulu prioritasnya. Misalnya hadiah hanya diberikan kepada anak-anak. Hadiah pun tidak harus berupa uang. Bisa juga berupa benda istimewa tapi tidak mahal. "Sekadar ide saja, jika saudara-saudara yang lain sudah membagi uang, kita bisa memberikan celengan," katanya.
Selain itu, perlu diperhatikan agar jangan sampai hadiah Lebaran ini jadi bibit sifat "matre" pada anak-anak. Contohnya menghadiahi uang berdasarkan prestasi puasa. Jika puasanya penuh, si anak akan menerima lebih banyak daripada yang puasanya masih bolong. Meski mungkin cara ini bisa mendorong motivasi puasa bukan karena ibadah, ada sisi positifnya.

( dari Korantempo.Oct.15.2006)

No comments: