Sunday, October 29, 2006

Islam Itu Agama Paling Inklusif


Pemahaman keagamaan selalu ditentukan banyak faktor. Namun, pengalaman pribadi tiap orang dalam menghayati keagamaan adalah faktor terpenting. Demikian pendapat Endy Bayuni, pemimpin redaksi The Jakarta Post, Kamis (15/9) lalu, kepada Novriantoni dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK).

Seperti apa agama diperkenalkan kepada Anda sejak kecil?

Saya datang dari keluarga Minangkabau yang punya tradisi keagamaan (Islam) cukup ketat. Keluarga dan lingkungan saya begitu gigih dan kuat agamanya. Saya mendapat pendidikan agama, terutama dari orang tua, lingkungan, dan pengalaman hidup. Tapi, sebagian besar proses pendewasaan diri saya terjadi di luar negeri karena ayah saya seorang diplomat. Selama 25 tahun saya berada di luar negeri; di Birma, Thailand, Argentina, dan terakhir Inggris. Di Inggris saya mulai menginjak masa remaja.
Tapi, dari semua riwayat itu, masa yang paling penting dalam pembentukan pemahaman keagamaan saya mungkin waktu remaja berada di Inggris. Itulah saat saya mencari identitas dan juga mencari tahu siapa saya. Di situ pula pertanyaan mengenai agama kali pertama mulai dicari tahu.
Orang tua saya termasuk cukup banyak memberi tahu saya tentang agama. Di rumah kita dibesarkan oleh nilai-nilai Islam yang ketat. Di sekolah kita juga mendapat ajaran agama. Tapi, akhirnya pemahaman saya tentang Islam lebih banyak dibentuk pengalaman hidup. Apa yang diajarkan orang tua dan guru mengaji tentu juga masuk bagian proses saya mencari kebenaran.
Apakah Anda pernah giat membaca literatur tentang agama?Sewaktu kuliah di Inggris, saya ikut Islamic society. Di situ saya banyak membaca, bukan hanya literatur tentang Islam, tapi juga agama lain. Tapi, pengetahuan saya mengenai agama dan pemeluk agama lain lebih banyak dibentuk oleh pergaulan yang bersifat internasional.
Saya pernah punya teman-teman Yahudi walau di Indonesia kita selalu diberi tahu bahwa Yahudi itu jahat. Padahal, kalau kita teliti sejarah Islam, sebenarnya juga riwayat yang mengatakan bahwa orang Yahudi pernah menolong Rasul dengan memberi perlindungan ketika sedang dicari untuk dibunuh.
Jadi, ada dua sisi dari orang Yahudi dan itu pelajaran yang saya dapatkan dari proses pergaulan dengan teman-teman dari berbagai agama. Dari situ saya tahu, dalam kelompok agama apa pun selalu ada orang baik dan ada jahat. Di Yahudi ada yang baik dan ada juga yang jahat.
Juga di Kristen, ada yang baik dan yang jahat. Di Islam pun begitu. Pengalaman itu membentuk semacam keyakinan pada diri saya tentang pentingnya nilai-nilai pluralisme, terutama bagi saya pribadi.

Dengan pergaulan lintas agama, apakah Anda merasa keyakinan Anda terhadap Islam mencair begitu rupa?

Pengalaman saya menunjukkan, lewat pergaulan yang luas saya dapat mengenal orang-orang dari kelompok agama lain. Itu justru memperkuat keyakinan saya bahwa Islam adalah pilihan saya dan agama yang paling sempurna. Pergaulan semacam itu juga mengajarkan pada saya untuk menghormati orang dan kepercayaan agama lain. Justru di situ kita dituntut untuk bertoleransi, dengan catatan mereka juga harus menghormati kepercayaan saya.
Kalau itu yang dilakukan kedua pihak, saya pikir tidak akan ada masalah agama di dunia ini yang tidak bisa diatasi. Sebab, kalau tidak ada komunikasi, akhirnya yang ada hanya saling tidak tahu mengenai agama dan manusia lain. Terjadilah rasa curiga.

Mengapa Anda yakin Islam agama yang paling sempurna?

Sebab, saya melihat Islam paling inklusif. Pada 2003-2004, saya mendapatkan kesempatan menerima fellowship di Harvard University, Amerika Serikat. Saya mengisi beberapa sesi seminar di Teologi Harvard. Salah satu topik seminarnya adalah soal hubungan antaragama warisan Nabi Ibrahim, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Di situ pembicara dari agama Yahudi mengakui bahwa Islam adalah agama paling inklusif dibandingkan Yahudi dan Kristen. Argumennya, karena Islam mengakui keberadaan agama, kitab-kitab suci, dan nabi-nabi sebelumnya. Nabi-nabi mereka adalah nabi-nabi kita juga.
Sementara itu, agama yang diturunkan sebelum Islam, misalnya Kristen, tidak mengakui keberadaan Islam. Mungkin karena Islam datang sesudah keduanya. Jadi, masuk akal kalau dalam kitab mereka tidak diajarkan harus menghormati Islam (karena barangnya belum ada, Red). Kita tahu, Yahudi adalah agama yang diturunkan buat suku/ras yang spesifik, yaitu Bani Israel.

Karena paling inklusif, pemeluk Islam harus lebih toleran kepada pemeluk agama lain?

Ya. Jadi, seharusnya kita sebagai pemilik agama ini lebih toleran terhadap agama lain. Kita mengerti agama mereka mungkin juga diterima di sisi Allah. Di Islam, kita diajarkan juga untuk berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan agar diterima di sisi Allah.
Pandangan seperti Anda mungkin dianut juga oleh orang yang konservatif sekalipun di dalam Islam. Tidakkah pandangan seperti itu bisa terjatuh pada anggapan bahwa agama lain sudah terdistorsi dan karena itu Islam datang melengkapi, dll? Dalam soal ini, kita harus kembali pada ayat Alquran yang mengatakan, "bagimu agamamu, bagiku agamaku". Dengan itu, kita bisa menganut agama berbeda, tapi tetap saling menghormati. Saya menekankan bahwa Islam itu bebannya lebih besar untuk toleransi.
Di sini kita kadang menemukan keberatan masyarakat Islam terhadap pembangunan gereja di lingkungan mereka. Mereka curiga gereja akan digunakan untuk sarana pemurtadan.
Anggapan seperti itu sebenarnya tidak selalu salah. Sebab, di Kristen juga diajarkan agar orang lain dirangkul untuk masuk Kristen. Mereka kadang bisa melakukan itu dengan jiwa yang lebih kuat dari orang Islam.
Tapi, kita juga ditugaskan untuk dakwah dengan batasan tertentu. Kalau tidak diterima, tidak apa-apa. Tapi, kadang orang Kristen masuk dan melakukan itu karena rasa cinta dan perasaan ingin menyelamatkan tetangganya.
Karena itu, saya katakan, kecurigaan seperti itu kadang juga benar. Tapi, jawaban atas kecurigaan itu bukan dengan melarang pemeluk Kristen membangun gereja. Itu sudah hak mereka yang diberikan negara dan dijamin undang-undang. Solusinya, bagaimana umat Islam lebih memperkuat iman sendiri terhadap Islam; bukan melarang, apalagi merusak. Sebab, itu sudah mengarah ke tindak kriminal.

Tapi, mengapa persoalan rumah ibadah baru sangat menonjol beberapa tahun terakhir?

Kalau sekarang bermasalah, sedangkan dulu tidak, berarti ada perubahan. Salah satu di antaranya adalah semakin banyaknya kecurigaan terhadap usaha dakwak Kristen. Memang, ada beberapa kasus yang terjadi. Kasus-kasus itu lalu menimbulkan citra bahwa proses pemurtadan memang terjadi di masyarakat. Tapi, memang lebih banyak kecurigaan daripada apa yang sebenarnya terjadi. Kadang ada satu dua kasus yang terjadi, lalu itu digeneralisasi.
Penjelasan lainnya: di kalangan muslim sendiri terjadi krisis ketidakpercayaan diri terhadap agama sendiri. Itu harus diperbaiki. Karena itu, kita harus membangun nilai-nilai Islami, pertama di rumah sendiri, lalu di lingkungan tempat kerja, dan sekolah.

Anda punya kritik tehadap klaim keselamatan sepihak tiap-tiap agama?

Setiap agama memang punya klaim tentang keselamatan dan dengan itu, agamanyalah yang dianggap jalan ke surga. Bagi Kristen, untuk selamat, seseorang harus masuk Kristen. Tapi, di Islam, ada ayat -saya tidak ingat- yang intinya mengatakan bahwa kita harus berlomba-lomba menuju kebajikan agar bisa diterima di sisi Allah. Ada lagi ayat yang mengatakan bahwa agama-agama yang diturunkan melalui Nabi Ibrahim dan keturunannya pun diterima di sisi Allah.
Jadi, Islam sebenarnya mengakui bahwa jalan ke surga tak mesti melalui Islam. Tapi, sebagai orang Islam, saya yakin bahwa Islam yang terbaik dan sempurna untuk membentangkan jalan ke surga.
Bahwa ada yang mengatakan harus melalui Kristen, kita juga harus hormati. Kita tidak bisa memaksakan. Dalam Islam kan juga dikatakan bahwa soal kepercayaan tidak boleh ada pemaksaan. Jadi, pandangan seperti itu harus kita terima juga.
Apa pandangan Anda tentang teori kebenaran relatif tiap-tiap agama?Kita semua memang sedang mencari kebenaran. Saya pikir, agama hanya instumen untuk sampai ke sana. Kalau dalam Islam, Alquran dan hadis yang digunakan untuk mendapatkan kebenaran. Tapi, sebetulnya kehidupan kita sejak lahir sampai meninggal adalah proses untuk mencari kebenaran. Jadi, kalau dibilang relatif, benar juga. Tapi, kita juga harus punya keyakinan tentang bagaimana harus mengajarkan Islam kepada anak-anak.

Apa pandangan Anda tentang keragaman kelompok keagamaan dalam Islam?

Itu merefleksikan kenyataan yang ada dalam kehidupan. Artinya, di tingkat individu sendiri pemahaman tiap orang tentang agama akan sangat berbeda. Pemahaman saya tentang Islam dengan Anda mungkin berbeda karena kita telah menjalani pengalaman hidup yang berbeda.
Tapi, saya tak bisa mengatakan bahwa Islam saya lebih bagus daripada Anda. Kalau mengklaim begitu, itu justru bukan bernama Islam, tapi kesombongan. Yang akan mengatakan bahwa orang itu Islamnya lebih baik daripada yang lain hanya Allah sendiri. Makanya, kita dianjurkan berlomba-lomba berbuat lebih baik agar diterima di sisi Allah.
Adanya organisasi-organisasi keagamaan seperti NU atau Muhamadiyah hanya menggabungkan pemeluk Islam ke dalam kelompok yang kira-kira punya titik kesamaan. NU punya tradisi yang kuat di Jawa pedesaan, sementara Muhamadiyah lebih banyak diikuti orang-orang perkotaan atau kaum pedagang. Tapi, saya yakin, di Muhamadiyah sendiri banyak terjadi perdebatan mengenai pemahaman Islam, demikian juga di NU.
Jadi, yang ada adalah keragaman pemahaman. Kitabnya sama, Rasulnya sama, Tuhannya pun sama. Tapi, dalam soal pemahaman, selalu akan didasarkan pada pengalaman hidup masing-masing.

( Wawancara menarik diatas saya kutip dari Jawapos edisi 22 Sept. 2006 )
Foto : Brilian Putra A

No comments: