Saturday, March 24, 2007

Visi Indonesia 2030

2030, RI Capai 5 Besar Dunia
Visi Indonesia 2030: Pendapatan Per Kapita 18.000 Dollar AS
Jakarta, Kompas -
Indonesia pada abad ke-21 akan mampu menjadi negara maju dan sejahtera. Indonesia menjadi bangsa yang mandiri, produktif, memiliki daya saing, serta mampu mengelola seluruh kekayaan alam dan sumber daya lainnya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi jangka pendek, menengah, dan jangka panjang.

"Saya punya keyakinan, 100 tahun ke depan kita bisa mewujudkan cita-cita dan tujuan dalam Pembukaan UUD 1945. Mengapa kita perlu yakin? Kalau lihat lintasan perjalanan sejarah kita, itu memungkinkan. Jika kita ingin merekonstruksikan masa depan kita 100 tahun ke depan, mari kita lihat perjalanan bangsa 100 tahun ke belakang. Dengan demikian, kita paham perjalanan panjang sejarah untuk memiliki kemampuan dan ketangguhan dalam mewujudkan cita-cita," ujar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Kamis (22/3).

Pernyataan Presiden Yudhoyono ini disampaikan menanggapi kerangka dasar Visi Indonesia 2030 yang diluncurkan resmi di Istana Negara, Jakarta. Kerangka dasar Visi Indonesia 2030 disampaikan Ketua Yayasan Indonesia Forum Chairul Tanjung dalam acara yang dihadiri ratusan undangan yang berlatar belakang beragam, mulai dari pemimpin lembaga tinggi negara, menteri kabinet, pengusaha, pengamat, praktisi pers, budayawan, dan kepala daerah.

Hanya kerangka

Visi Indonesia 2030, menurut Chairul, hanya kerangka dasar yang perlu ditanggapi dan diberi masukan oleh berbagai elemen bangsa lainnya. Visi Indonesia 2030 itu mempunyai empat pencapaian. Pertama, Indonesia akan masuk dalam lima besar kekuatan ekonomi dunia dengan tingkat pendapatan per kapita sebesar 18.000 dollar Amerika Serikat (AS) per tahun. Ini berarti Indonesia berada di posisi setelah China, India, AS, dan Uni Eropa.

"Kedua, tahun 2030, sedikitnya 30 perusahaan Indonesia masuk daftar 500 perusahaan besar dunia. Ketiga, adanya pengelolaan alam yang berkelanjutan dan keempat, terwujudnya kualitas hidup modern yang merata," ujar Chairul.

Menurut Chairul, saat ini Indonesia berada pada kelompok negara berpendapatan menengah ke bawah. Posisi ini akan bertahan hingga tahun 2015. Setelah itu, Indonesia masuk sebagai negara berpendapatan menengah ke atas. "Industrialisasi menjadi katalisator akumulasi modal menuju negara maju dengan kontribusi terbesar dari sektor jasa," paparnya.

Visi Indonesia 2030 mengasumsikan pencapaian itu terealisasi jika pertumbuhan ekonomi riil rata-rata 7,62 persen, laju inflasi 4,95 persen, dan pertumbuhan penduduk rata-rata 1,12 persen per tahun. Pada 2030, dengan jumlah penduduk sebesar 285 juta jiwa, produk domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai 5,1 triliun dollar AS.

Namun, untuk mewujudkan visi itu, Yayasan Indonesia Forum mensyaratkan utama tercapainya tiga keharusan. Pertama, ekonomi berbasis keseimbangan pasar terbuka dengan dukungan birokrasi yang efektif. Kedua, adanya pembangunan berbasis sumber daya alam, manusia, modal, serta teknologi yang berkualitas dan berkelanjutan. Ketiga, perekonomian yang terintegrasi dengan kawasan sekitar dan global.

Untuk mencapai visi itu, menurut Chairul, harus ada sinergi tiga kelompok, yaitu wirausaha, birokrasi, dan pekerja pula. "Sinergi ini mengarah pada peningkatan daya saing global perekonomian Indonesia," ujarnya.

Sinergi itu, tambah Chairul, membutuhkan kontrak sosial baru sebagai perwujudan komitmen bersama untuk maju. "Satu dimensi penting kontrak sosial baru adalah kepastian hukum dan kepastian usaha. Untuk itu, pemberantasan korupsi serta pembenahan sistem dan aparat penegak hukum perlu dilanjutkan," tuturnya.

Yayasan Indonesia Forum merupakan organisasi yang dimotori Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) dan kajiannya dilakukan sejumlah lembaga penelitian universitas di Indonesia dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Menurut Presiden Yudhoyono, Visi Indonesia 2030 itu bisa saja dianggap sebuah mimpi, tetapi jangan malu dengan mimpi itu. "Sebab, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menciptakan mimpi dan mewujudkannya dalam realitas," ujar Presiden.

Presiden Yudhoyono menambahkan, Visi Indonesia 2030 merupakan wujud kesadaran dan kepedulian anak bangsa untuk lebih memajukan dan menyejahterakan seluruh rakyat. (har)



Visi 2030 Memerlukan Rencana Aksi Strategis Orientasi Pembangunan Harus Berbasis Sumber Daya Domestik


Jakarta, Kompas - Mewujudkan impian ekonomi Visi Indonesia 2030 dengan segala target pencapaiannya harus disertai dengan rencana aksi strategis yang jelas dan konkret serta diimplementasikan secara nyata dan konsisten. Stabilitas politik dan keamanan, kepastian hukum, serta kepemimpinan yang kuat akan menjadi kunci sukses.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Mohammad S Hidayat mengatakan, tujuan akhir dari Visi Indonesia 2030 itu adalah mengurangi kemiskinan dan pengangguran serta meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia. Tujuan ini hanya dapat dicapai jika ada strategi jitu yang diimplementasikan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Strategi itu harus dibuat dengan melibatkan dunia usaha.

Implementasi kebijakan pemerintah perlu diperhatikan kemajuannya. "Kalau implementasinya tidak bisa berjalan, saya pikir pemerintah harus segera mengganti kebijakan atau malah mengganti orang," ujarnya.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi memandang Visi Indonesia 2030 adalah cita-cita yang sulit dicapai jika pemerintah kurang memerhatikan tiga faktor penting yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Faktor pertama, kestabilan politik dan keamanan. Mulai dari pemilihan lurah, kepala daerah, hingga pemilihan presiden, kerap sulit dikendalikan. Setelah Azahari yang diduga sebagai gembong teroris dinyatakan tewas beberapa waktu lalu, persoalan aksi-aksi teror kini merebak lagi. Investor bisa merasa takut menanamkan modal.

Faktor berikut adalah kepastian hukum supaya investor merasa tenang menanamkan investasinya. "Mustahil 30 perusahaan Indonesia yang diperkirakan masuk daftar 500 perusahaan besar dunia bisa eksis jika setiap perusahaan yang sukses selalu diganggu dengan kebijakan-kebijakan pemerintah sendiri," ujar Sofjan.

Faktor lain yang tak kalah penting adalah kepemimpinan. Tanpa kepemimpinan yang kuat, pemerintahan tak akan kuat menghadapi persoalan bangsa saat ini. Pertumbuhan ekonomi tahun 2030 yang diperkirakan rata-rata mencapai 7,62 persen hanya dapat dicapai jika masalah-masalah penghambat pertumbuhan ekonomi segera diselesaikan.

Reorientasi

Peneliti pada Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada Mochammad Maksum menegaskan, Visi Indonesia 2030 akan tercapai apabila ada kemauan mengubah (reorientasi) pembangunan yang arahnya berbasis sumber daya domestik. "Pemerintah harus berani mengubah arah pembangunan dengan menciptakan industri berbasis pada sumber daya domestik yang kita miliki, seperti pertanian, perkebunan, kelautan, dan tambang. Hanya itu pilihannya," ujarnya.

Maksum mencontohkan, sektor kehutanan hanya diserap kayunya, padahal kayu hanya memiliki nilai ekonomi 10 persen dari total nilai ekonomi kehutanan. Sumber daya hutan nonkayu bisa menyerap banyak tenaga kerja.

Di bidang pertanian, perkebunan kelapa sawit hanya menghasilkan kelapa sawit mentah (CPO). "Mengapa kita tidak mengembangkan industri pengolahan yang lebih maju yang bahan bakunya dari CPO sehingga kita tak perlu impor minyak dan produk olahan CPO lain," katanya.

"Kita tidak pernah mau mencari nilai tambah dari industri pengolahan berbasis sumber daya domestik yang kita miliki. Semuanya serba ingin instan, rente, dan hanya menyejahterakan segelintir orang," ujarnya.

Terkait dengan Visi Indonesia 2030, Direktur Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Fadhil Hasan mengungkapkan, untuk mencapainya, ada tiga hal yang harus dikedepankan pemerintah. Ketiga hal itu adalah memodernisasi pertanian, menumbuhkan industri manufaktur, dan mengelola sumber-sumber tambang.

Fadhil mengingatkan, misi sebagai penjabaran Visi Indonesia 2030 hendaknya jangan pula menyimpang dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional 2005-2025.

Menurut Fadhil, target dari Visi Indonesia 2030 supaya masyarakat Indonesia berpendapatan per kapita 18.000 dollar AS per tahun terlalu sempit jika hanya mempertimbangkan pendapatan per kapita. Seharusnya, ada penjabaran parameter lain.

"Sebaiknya, ada catatan bahwa pendapatan per kapita 18.000 dollar AS per tahun dicapai dalam kondisi masyarakat yang berpendapatan merata," ujar Fadhil.

Ekonom Standard Chartered Bank, Fauzi Ichsan, menegaskan, pemerintah tidak usah lagi membuat berbagai perencanaan. Tuntaskan saja program yang sudah dibuat. "Itu cukup," katanya. (OSA/MAS/RYO)

Tajuk Kompas

Visi Indonesia 2030

Banyak orang pasti kaget ketika kita mencanangkan mau menjadi negara ekonomi kelima di dunia dengan pendapatan per kapita 18.000 dollar AS tahun 2030.

Namun, visi besar seperti itu bukanlah sesuatu yang harus dimentahkan hanya dengan memperdebatkan itu merupakan harapan yang berlebihan atau tidak. Itu harus dijadikan sesuatu yang disepakati dan kemudian dijadikan tujuan kita bersama untuk bisa direalisasikan.

Segala sesuatu harus dimulai dari mimpi. It’s start with a dream. Bahkan, Presiden Soekarno sejak dulu mengajari kita untuk tidak perlu takut dengan cita-cita besar, kalau perlu malah digantungkan di langit.

Pengalaman banyak negara menunjukkan bukanlah sesuatu yang sulit untuk bisa merealisasikan mimpi seperti itu. Yang terpenting visi masa depan itu menjadi kontrak sosial dan kontrak politik kita bersama agar kemudian kita berupaya mewujudkannya.

Bangsa Korea dan bangsa China merupakan contoh negara yang mampu mewujudkan mimpi besar mereka dalam waktu cepat. Memang perjalanannya tidaklah mudah. Dibutuhkan kerja keras dari semua komponen bangsa itu untuk bisa merealisasikan mimpi tersebut.

Pada akhirnya ahli ilmu sosial seperti Samuel P Huntington mengatakan, kunci bagi sebuah bangsa untuk mewujudkan mimpinya bergantung pada sejauh mana mereka mampu membangun kultur bangsanya. Kultur untuk mau bekerja keras, kultur disiplin, kultur untuk bersikap hemat, kultur untuk bangga dengan apa yang dihasilkan sendiri, kultur untuk tak mudah menyerah, kultur untuk mau bekerja sama, kultur untuk mau menghormati orang lain, kultur untuk tak mau kalah.

Pada kita sekarang ini kultur seperti itu belum ada. Kultur yang ada cenderung mau gampangnya saja dan langsung berhasil. Bahkan secara sosial yang sekarang ini terasa lebih menonjol di antara kita justru sikap curiga, mudah menyalahkan orang lain, dan yang lebih memprihatinkan sikap untuk mudah marah.

Untuk bisa meraih mimpi besar itu, yang perlu kita perbaiki adalah masalah kultur tadi. Di sinilah kita mengharapkan peran para pemimpin untuk tidak lelah-lelahnya menggedor kultur bangsa ini untuk menjadi kultur yang kuat, bukan kultur yang lembek. Pemimpin yang berani secara tegas mengatakan, inilah visi yang harus dituju dan mengajak semua pihak untuk berbuat.

Sekali lagi pengalaman bangsa lain menunjukkan kehadiran seorang pemimpin yang tegas, berani, dan mampu memberi teladan bisa mengubah kultur sebuah bangsa. Kita bisa sebut Lee Kuan Yew di Singapura atau Park Chung-hee di Korea.

Mimpi untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik pada tahun 2030 tidaklah lama lagi. Hanya 23 tahun saja waktu yang kita miliki untuk mencapai ke sana. Karena itu, sekarang bukan saatnya untuk berdebat atau berlomba membuat konsep yang dirasakan lebih hebat.

Sekarang yang jauh kita butuhkan adalah sikap untuk menyepakati bahwa inilah visi bersama yang ingin kita tuju. Selanjutnya kita bersama merumuskan langkah yang harus dilakukan semua komponen bangsa untuk mewujudkan visi kita bersama itu.


Comment : Positive Thinking aja...semoga tercapai INDONESIA

No comments: