Monday, March 05, 2007

Opini : Kemiskinan dan Daya Saing Bangsa

Ditengah melemahnya daya beli masyarakat, kenaikan harga beras akan berpotensi meningkatkan angka kemiskinan. Perkiraaan itu didasarkan atas kontribusi pangan yang cukup dominan terhadap penentuan garis kemiskinan, yakni hampir tiga perempatnya (74,99 persen). Sedangkan seperempatnya disumbang non pangan seperti perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan (BPS, 2006). Dari total pengeluaran konsumsi rumah tangga, porsi pengeluaran untuk beras tercatat sekitar 17,8 persen. Sedangkan sisanya untuk pengeluaran gula pasir, minyak kelapa, telur dan mi instan. Ini berarti kontribusi beras terhadap garis kemiskinan mencapai sekitar 13 persen.

Angka sebesar 13 persen itu diperkirakan cukup berpengaruh dalam meningkatkan garis kemiskinan, sehingga berpotensi menambah jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Padahal, angka kemiskinan baru saja mengalami kenaikan yaitu dari 15,97 persen pada Februari 2005 menjadi 17,75 persen pada Maret 2006 (BPS, 2006).

Dalam jangka pendek, kenaikan harga beras itu akan berpotensi melahirkan kemiskinan sementara (transient poverty). Akan tetapi dalam jangka panjang, jika kenaikan harga beras itu sampai berlarut-larut dapat menyebabkan terjadinya kemiskinan kronis (chronic poverty). Padahal diketahui, jika penduduk sampai terjerembab dalam kemiskinan kronis akan semakin sulit untuk mengatasinya, karena masalahnya akan semakin kompleks.

Lebih jauh, meningkatnya harga beras itu dapat menyebabkan perubahan pola konsumsi penduduk. Konsumsi pangan semakin bias ke kalori, sehingga konsumsi nonkalori seperti protein dan vitamin mendapat porsi yang semakin kecil. Perubahan pola konsumsi itu pada gilirannya akan menyebabkan penduduk menderita kekurangan gizi kian meningkat.

Kualitas hidup memburukMeningkatnya porsi pengeluaran untuk pangan, khususnya beras tidak saja akan membuka peluang meningkatnya penderita kekurangan gizi, akan tetapi juga dapat menurunkan kapabilitas dasar penduduk, yaitu pendidikan dan kesehatan. Porsi pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan diperkirakan semakin kecil seiring dengan meningkatnya pengeluaran untuk pangan.

Diketahui, kesehatan dan pendidikan merupakan faktor penting dalam menentukan kualitas hidup penduduk. Dua faktor ini, ditambah dengan daya beli merupakan unsur-unsur pokok dalam pembangunan manusia. Maka, meningkatnya harga beras dapat menurunkan kualitas penduduk, yang pada gilirannya menurunkan kualitas pembangunan manusia.

Berdasarkan laporan UNDP 2006, peringkat Indonesia dalam capaian pembangunan manusia, berada pada peringkat 108 di antara 177 negara, satu tingkat di atas Vietnam yang berada di posisi 109. Pada tahun 2005 Indonesia berada di posisi 110 dari 177 negara, sedangkan Vietnam berada di posisi 108. Hal ini berarti Indonesia mengalami kemajuan yang cukup berarti dibanding Vietnam.

Namun dibandingkan dengan lima negara ASEAN lainnya, Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Filipina, posisi Indonesia masih berada di bawah. Laporan itu menyebutkan Singapura berada di peringkat 25, Brunei Darussalam 34, Malaysia 61, Thailand 74 dan Filipina 84.

Daya saingSecara keseluruhan, belum membaiknya pembangunan manusia di Tanah Air akan melemahkan kekuatan daya saing bangsa. Ukuran daya saing ini kerap digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu bangsa dalam bersaing dengan bangsa-bangsa lain secara global. Semakin lemah daya saing suatu bangsa akan semakin sulit untuk berkembang. Bahkan ada indikasi bahwa daya saing yang rendah akan menyebabkan ketergantungan pada bangsa-bangsa lain, yang pada gilirannya akan menurunkan kapabilitas bangsa untuk mandiri dan berdaulat.

Ada sembilan pilar yang digunakan untuk menentukan daya saing suatu bangsa, yakni
1) institusi publik baik dari pemerintah maupun swasta,
2) infrastruktur,
3) ekonomi makro,
4) kondisi pendidikan dan kesehatan.
5) pendidikan tinggi,
6) efisiensi pasar,
7) penguasaan teknologi,
8) jaringan bisnis, dan
9) inovasi (World Economic Forum, 2007).

Umumnya negara-negara berkembang masih berkutat pada pilar 1-4, negara-negara menengah telah berada pada pilar 5-7, dan negara-negara maju berada pada pilar 8-9. Kriteria ini didasarkan atas hipotesis terhadap kemajuan suatu bangsa berbasis upah (wages). Pada tahap awal, daya saing bangsa sebagai cerminan besarnya upah atau daya beli masyarakat ditentukan oleh kapabilitas dasar penuduk seperti pendidikan dan kesehatan, mekanisme pasar (market) dan pemerintahan yang akuntabel.

Jika kondisi demikian telah terpenuhi maka besarnya upah akan meningkat seiring dengan pendidikan penduduk yang semakin tinggi, mekanisme pasar yang semakin efisien dan penerapan teknologi yang semakin berkembang. Setelah tahap medium ini dipenuhi, daya saing bangsa akan meningkat lagi, seiring capaian pada pilar 8-9 yang meliputi perkembangan jaringan bisnis yang semakin meluas dan lahirnya berbagai inovasi.

Berdasarkan acuan sembilan pilar itu, telah disusun daya saing bangsa oleh Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) tentang Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness Index atau GCI) tahun 2006-2007. Dalam laporan itu, posisi Indonesia berada pada peringkat ke-50 dari 125 negara. Ini menunjukkan bahwa daya saing Indonesia berada pada tingkat menengah.

Di antara lima negara-negara ASEAN, peringkat Indonesia masih berada di bawah Singapura (peringkat ke-5), Malaysia (ke-26) dan Thailand (ke-35). Namun peringkat Indonesia masih lebih baik dibanding dengan Filipina (ke-71).

Patut dicatat, meski Indonesia bersaing ketat dengan Vietnam dalam hal capaian pembangunan manusia, namun untuk daya saing, kita jauh meninggalkan negara itu. Adapun untuk indeks daya saing global, posisi Vietnam berada pada peringkat ke-77.

Sebenarnya masih terbuka ruang yang cukup lebar untuk meningkatkan daya saing Indonesia, paling tidak sejajar dengan Thailand. Hal ini tergantung pada komitmen pemerintah untuk menurunkan angka kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melaksanakan pemerintahan yang baik (good governance) dan melakukan pemberantasan korupsi.

Dibanding dengan Thailand apalagi Malaysia, kita masih tertinggal dalam soal kemiskinan. Berdasarkan kriteria Bank Dunia sebesar kurang dari 2 dollar AS, tercatat angka kemiskinan di Indonesia sekitar 52,4 persen, sedangkan di Thailand sekitar 32,5 persen dan di Malaysia sekitar 9,3 persen.

Jelas kiranya diperlukan komitmen yang tinggi dari pemerintah untuk segera menurunkan harga beras. Membiarkan kenaikan harga beras berlarut-larut akan berpotensi meningkatkan angka kemiskinan yang pada gilirannya melemahkan daya saing bangsa kita ditengah persaingan global.

Ikhtisar
- Meningkatnya harga beras menyebabkan perubahan pola konsumsi penduduk, yang pada gilirannya menyebabkan kekurangan gizi.
- Kualitas penduduk kemungkinan besar juga mengalami penuruna, yang akhirnya berdampak penurunan kualitas pembangunan manusia.
- Belum membaiknya pembangunan manusia akan melemahkan daya saing bangsa.

Comment : Artikel ini ditulis oleh Razali Ritonga
Kepala Subdirektorat analisis Konsistensi Statistik, BPS ( dari republika March.05.07)

No comments: