Thursday, August 16, 2007

62 Tahun indonesia Merdeka

Kamis, 16 Agustus 2007 Opini harian Republika

Sekali Merdeka, Merdeka Sekali
Oleh : Fahmi AP Pane


Fahmi AP Pane
Anggota Lembaga Penerbitan dan Media Massa Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan

Peringatan HUT Kemerdekaan RI yang selalu dilakukan dengan ritus dan seremoni tertentu oleh institusi negara, serta aktivitas hiburan oleh warga dan massa, tampaknya akan selalu menutupi pemahaman terhadap realitas sehari-hari bangsa Indonesia. Padahal, sekalipun kita memang wajib bersyukur, apalagi jika melihat kondisi Irak, Palestina, Kosovo, dan Afghanistan, bertafakur di Hari Kemerdekaan bakal lebih efektif untuk merenda kesadaran bersama demi merevitalisasi kemerdekaan sejati sebagai bangsa yang beriman dan bertakwa. Faktanya, Indonesia sebagai institusi negara dan bangsa memang telah memproklamasikan kemerdekaannya.

Namun, slogan 'sekali merdeka tetap merdeka' hanya ada dalam lagu dan pidato. Sekali merdeka, untuk kemudian terjajah kembali, setidaknya kita tidak sepenuhnya menjadi bangsa merdeka. Bahkan, dalam aspek fisik dan teritorial, kita juga belum merdeka.

Ironisnya, tidak sedikit aktivis Muslim yang menyatakan Indonesia sudah merdeka secara fisik, tapi belum secara ideologi, politik, ekonomi, dan sebagainya. Padahal, militer Amerika Serikat dan sekutunya bebas melayari wilayah laut yang disebut Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Bahkan, Singapura akan memperingatkan pesawat Indonesia yang berada di wilayah tertentu di atas Batam dan daerah Provinsi Kepulauan Riau lainnya untuk segera meninggalkan areal karena menurut mereka 'posisi itu mengancam Singapura'. Pesawat militer Indonesia harus memberitahukan dan memohon perkenan Singapura, meski ingin melintasi wilayah Indonesia sendiri.

Kepentingan asing
Pada sisi lain, warga negara dan penduduk Indonesia sebagai individu dan komunitas ternyata merdeka sekali. Fenomena individu dan masyarakat yang terlalu bebas itu berlangsung pada semua aspek kehidupan, termasuk aspek keagamaan, seperti liberalisasi penafsiran Alquran dan syariah Islam. Fenomena keterbelengguan negara dan bangsa Indonesia terlihat jelas pada aspek ideologi dan politik. Demokrasi dijalankan, namun itu sebatas dalam pemilu, pemilihan presiden dan kepala daerah. Padahal, ketiga proses pemilihan itu sebenarnya tidak menunjukkan realitas kedaulatan rakyat seperti yang dibayangkan dengan teori demokrasi. Rakyat tidak mampu mengontrol proses dan hasil (output) sistem politik. Jangankan rakyat biasa, anggota parlemen dan partai-partai politik juga tidak mampu menggenggam proses legislasi peraturan perundang-undangan, penyusunan APBN, dan kerangka kebijakan negara. Kalau pun ada undang-undang dan kebijakan negara yang digodok di parlemen dan menerima masukan publik, itu tidak sepenuhnya mampu mencegah praktik penyelenggaraan negara yang telah dikendalikan oleh kekuatan asing dan kompradornya di Indonesia.

Kontrak karya Freeport, konsesi migas bagi Exxon-Mobil di Natuna dan Cepu, kontrak penjualan gas alam di Aceh ke Jepang, dan sebagainya adalah bukti ketidakberdayaan sistem dan hukum negara bila berhadapan dengan misi dan kepentingan negara asing. Kontrak-kontrak itu lebih efektif dan menentukan daripada hukum negara, bahkan hukum dibuat untuk melegitimasinya. Misalnya, pemberian jutaan hektare lahan tambang emas, perak, dan tembaga di Papua kepada Freeport McMoran Copper and Gold Inc, termasuk penambangan terbuka di areal hutan lindung dan kawasan konservasi.

Konsesi Freeport diberikan sebelum Undang-undang Penanaman Modal Asing Nomor 1/1967 dan UU Pertambangan Nomor 11/1967. Belakangan, untuk mencegah UU No 41/1999 tentang Kehutanan menghambat laju eksploitasi Freeport dan perusahaan tambang lainnya di kawasan lindung, pemerintahan Megawati membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 1/2004 yang akhirnya disetujui DPR menjadi undang-undang. Suasana kebatinannya mirip dengan kelahiran perppu dan UU antiterorisme. Situasi tidak berganti meski pemerintahan berganti. Perjanjian Kerja Sama Pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA), baik dengan Singapura, Australia maupun lainnya, adalah bukti lain bahwa kita belum merdeka mengelola negara sendiri. Bayangkan, perjanjian itu dibuat dan diteken dengan mengabaikan Pembukaan UUD 1945, UU Pertahanan Negara, UU Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Pemerintahan Daerah. Itu belum cukup, DCA juga melanggar platform pemerintah sendiri, yang tersusun dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP). RKP adalah pedoman penyusunan APBN (Pasal 12 UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara).

Penelusuran halaman demi halaman baik dalam RKP Tahun 2007 yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2006, maupun RKP Tahun 2008 yang ditetapkan dengan Perpres No 18 Tahun 2007, ternyata tidak ada rencana untuk membuat perjanjian kerja sama pertahanan dengan Singapura dan Australia.

Yang ada antara lain, peningkatan kerja sama bilateral di berbagai bidang, penataan batas wilayah dan pengawasan batas. Ada rencana kerja sama militer internasional dan bilateral, tapi jelas tertulis dengan Malaysia, Papua Nugini, Filipina, dan Timor Leste.

Bila demikian, darimana sumber kekuatan dan anggaran untuk membuat dan melaksanakan DCA dengan Singapura yang ditandatangani tanggal 27 April 2007 di Bali dan dengan Australia pada 13 November 2006 di Lombok? Apakah kasus dana non-budgeter milik Rokhmin Dahuri semata? Sekiranya pemerintah tidak membatalkan DCA, padahal ditegaskan PM Singapura Lee Hsien Loong dan Menlu George Yeo (14 Agustus 2007) bahwa mereka menolak renegosiasi sama sekali, maka jelaslah Indonesia di bawah hegemoni Singapura.

Kungkungan liberalisasi
Sebaliknya, meski negara ini tidak sepenuhnya merdeka, individu-individunya didorong untuk berpikir dan berperilaku terlalu liberal. Atas nama HAM, kekuatan Barat mendorong kebebasan berpikir, bersikap, berperilaku, berbusana, bahkan beragama atau tidak, memuliakan agama atau menistakannya dengan dalih hermeneutika, kontekstualisasi ayat Alquran dan syariah Islam, dan sejenisnya. Pada tataran legislasi, mereka melakukan dekonstruksi draf RUU Pornografi dan Pornoaksi, mengamandemen UU Kesehatan untuk membolehkan aborsi di luar indikasi medis, pengajuan RUU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, dan lain-lain, agar liberalisasi dan komersialisasi syahwat merdeka tetap lestari. Sementara liberalisasi pendidikan akan merajalela sekiranya RUU Badan Hukum Pendidikan disetujui.

Fenomena negara lemah dan terkekang, sementara individu diliberalisasi juga terlihat dalam sektor ekonomi dan keuangan. Liberalisasi finansial itu telah menggiring Indonesia kembali ke tepi krisis moneter dan ekonomi, yang mulai terlihat dari rontoknya bursa saham dan depresiasi rupiah. Liberalisasi perdagangan juga menciptakan rutinitas kelangkaan barang dan jasa di dalam negeri, serta kenaikan harganya, juga meremukkan daya produksi industri domestik. Demokrasi liberal, yang memuja kebebasan individu, makin berkibar sesudah calon perseorangan dibolehkan bertanding dalam pilkada, apalagi bila persyaratannya merujuk kepada calon non-partai di AS. Ini mungkin melebar kepada pemilihan anggota DPR, DPRD dan presiden-wapres. Sementara itu, demokrasi liberal-federal dikembangkan dari jalur partai lokal yang dicoba melalui Mahkamah Konstitusi untuk bisa diterapkan di luar Aceh, serta sistem bikameral kuat ala Amerika.

Kedua fenomena yang bertolak belakang itu memang bertujuan melemahkan NKRI, bahkan menghancurkannya. Tidak ada jalan lain, kecuali kembali kepada Islam, yang bukan saja telah memerdekakan para budak semacam Bilal dan Ammar, tapi juga bangsa Indonesia seperti pengakuan dalam Pembukaan UUD 1945 sejak 62 tahun silam. Islam pula yang mewajibkan kita bersatu serta melarang berpecah belah (QS 3:103), dan mengharamkan kekuatan asing menguasai kita (QS 5:51). Namun, mengapa masih meragukan Allah, padahal ”sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu sebuah kitab yang di dalamnya ada sebab-sebab kemuliaan bagimu, maka apakah kamu tidak memahaminya?” (QS 21:10).

Ikhtisar
- Kemerdekaan Indonesia barulah berada pada tataran fisik, dan belum pada aspek ekonomi, ideologi, politik, dan sejenisnya. - Kekuatan asing masih banyak bermain untuk menekan Indonesia. - Dalam kondisi tertekan seperti itu, individu-individu dalam bangsa ini, didorong untuk terus meliberalisasi dirinya. - Dikotomi ini sengaja diciptakan untuk melemahkan kesatuan Indonesia.



Kamis, 16 Agustus 2007

Kemerdekaan Sejati
Oleh : A Ilyas Ismail


Merdeka atau kemerdekaan (al-hurriyyah) merupakan suatu nilai yang amat tinggi dan merupakan anugerah Tuhan yang amat berharga bagi manusia. Dalam adagiun Arab, terdapat ungkapan, ''La syai'a atsman-u min-a al-hurriyah, tak ada sesuatu yang lebih bernilai ketimbang kemerdekaan.''

Allah SWT berkenan memberikan kemerdekaan itu kepada manusia dan tidak kepada makhluk lain seperti langit dan bumi. Firman Allah, ''Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa. Keduanya menjawab, 'Kami datang dengan suka hati'.'' (QS Fushshilat [41]: 11).

Dalam Islam, kemerdekaan terkait dengan doktrin Ketuhanan Yang Maha Esa. Manusia, sebagai makhluk tertinggi ciptaan Allah, tidak boleh tunduk kepada siapa pun selain Allah. Sebab, ketundukan ini mengandung makna perendahan. Penghambaan manusia kepada sesama manusia, apalagi kepada makhluk lain yang lebih rendah, dapat merendahkan harga diri manusia bahkan melecehkan harkat kemanusiaannya.

Dalam pespektif ini, hanya orang yang bertauhid, ia dapat disebut sebagai orang yang bebas dan merdeka. Ia mampu membebaskan diri dari berbagai belenggu yang akan menjauhkan dirinya dari kebenaran dan dari kepatuhan kepada Allah SWT.

Inilah kemerdekaan sejati yang dibawa dan diadvokasi oleh para Nabi dan Rasul Allah sepanjang sejarah. Kemerdekaan ini pula yang didambakan oleh Siti Hanah, istri Imran, ketika ia bernadzar tentang anak yang dikandungnya. Katanya, ''Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menadzarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi anak yang bebas dan merdeka.'' (QS Ali Imran [3]: 35).

Kata muharrar (orang merdeka) dalam ayat ini, menurut banyak pakar tafsir, bermakna muwahhid, yaitu orang yang tulus dan sepenuh hati menuhankan Allah dan menyembah hanya kepada-Nya. Menurut tafsir al-Ishfahani, merdeka di sini juga mengandung makna moral dalam arti mampu membebaskan diri dari sifat-sifat tercela seperti korup, sewenang-wenang, dan memperkaya diri.

Bila di suatu negara kemanusiaan dan keadilan ditegakkan, maka tidak akan ada di sana perbudakan dan ketundukan, kecuali kepada Tuhan Yang Mahatinggi. Dengan begitu, manusia dapat hidup bebas dan merdeka dalam arti yang sesungguhnya. Wallahu a'lam.


Kolom Hikmah Repubika Aug.16.07

No comments: