Thursday, August 16, 2007

Kamis, 16 Agustus 2007, Tajuk harian Republika

Merdeka dari Ketimpangan



Indonesia bisa berbangga diri sebagai negara berpenduduk terbesar keempat di dunia yang mempraktikkan demokrasi. Sistem ini meniscayakan kebebasan, salah satu pilar kemerdekaan. Inilah salah satu buah reformasi tahun 1998, saat kita membebaskan diri dari penindasan. Sebuah episode panjang setelah kita membebaskan diri dari penjajahan pada 1945. Ya, besok, seperti halnya pada 62 tahun lalu, 17 Agustus jatuh pada hari Jumat, saat kita memproklamasikan kelahiran negara Indonesia. Jumat adalah hari yang diutamakan oleh umat Islam dan juga suku Jawa, yang menjadi mayoritas di Indonesia ini.

Dalam semangat kemerdekaan ini, kita bisa berefleksi dan berintrospeksi. Apa yang kurang dan apa yang sudah dicapai. Kita bersyukur bahwa negeri ini mampu bertahan dari keterpecahan dan tetap utuh sebagaimana saat kita merdeka. Negeri-negeri besar yang merdeka setelah Perang Dunia II tak semuanya bisa mempertahankan keutuhan wilayahnya. Contohnya India dan Mesir. Usai perang dingin, masa keruntuhan negeri-negeri besar terjadi lagi: Uni Soviet dan Yugoslavia. Indonesia memang kehilangan Timor Timur, namun itu tak perlu disesali. Masuknya wilayah bekas jajahan Portugal ke Indonesia itu sebenarnya kecelakaan sejarah akibat terjebak semangat war against communism yang digelorakan blok Barat.

Kita juga bersyukur bahwa negeri yang dipisahkan 17 ribu pulau serta terdiri atas beragam etnis dan budaya ini tak terjebak perang sektarian seperti yang menimpa negeri-negeri Afrika. Saat gelombang ketiga demokratisasi melanda dunia pada dekade 1990-an, Indonesia juga berhasil memasukinya. Tak hanya itu, sistem itu dipraktikkan tanpa ada pertumpahan darah seperti yang menimpa negara-negara berkembang lainnya.

Namun harus diakui, ada dua prahara yang menyakitkan saat kita berada dalam transisi. Pertama, prahara saat kejatuhan rezim Sukarno. Kedua, prahara menjelang, saat, dan setelah kejatuhan Soeharto. Bahkan prahara yang kedua ini relatif panjang: Ada konflik etnik di Kalimantan, konflik agama di Maluku dan Poso, kerusuhan Mei 1998, dan kisruh dukun santet di Jawa Barat serta Jawa Timur. Lainnya, kita terpukul aksi teroris. Namun kita berhasil menyelesaikan gerakan separatis di Aceh. Dalam konteks ini kita menyisakan gerakan separatis di Maluku dan Papua. Tentu kita tak melupakan fase pahit rezim represif Orde Baru yang telah berhasil kita lalui.

Lalu apa pekerjaan besar kita saat ini? Penting dicatat di sini bahwa kemerdekaan adalah prasyarat bagi sebuah bangsa untuk mengembangkan diri sebagai bangsa yang maju dan sejahtera. Sedangkan demokrasi adalah instrumennya. Dalam konteks ini kita harus mengakui bahwa kita masih tertinggal, terbelakang, dan miskin. Bahkan kemerdekaan dan kebebasan itu baru dinikmati secara benar hanya oleh sebagian kecil elite di negeri ini. Sedangkan sebagian besar lagi masih berkubang pada kemelaratan dan kebodohan. Kata kuncinya bukanlah melarat dan bodoh, tapi ketimpangan. Di negeri semaju apapun, tetap saja ada sedikit orang yang miskin dan bodoh. Sehingga yang tak boleh terjadi adalah adanya ketimpangan. Inilah perjuangan kita: Merdeka dari ketimpangan. Kita baru berhasil memerdekakan diri dari penjajahan dan penindasan.

Ketimpangan meniscayakan ketidakadilan di segala bidang. Padahal demokrasi adalah kesamaan dan kesetaraan di depan hukum, serta kesamaan kesempatan dan peluang. Namun saat ini kita menyaksikan ketidakadilan dalam mendapatkan pekerjaan, berusaha, berekspresi, pelayanan, dan perlakuan hukum.

Jika kita tak mampu merdeka dari ketimpangan, maka kita bisa kembali ke siklus masa lalu. Tentu kita tak menghendakinya.

No comments: